BERBEDA DENGAN abangnya yang lihai merakit nalar menjadi argumen, Dinda, anak kedua saya punya karakteristik berbeda: ia lihai menggambar. Sejak umur tiga-empat tahun, hampir setiap hari ia menggambar. Sekarang usianya enam, dan setiap malam masih rutin masuk ke ruang kerja saya, minta di-print-kan sesuatu dari internet untuk ia eksplorasi.
Seperti abangnya, di rumah, Dinda bebas mengekspresikan ide visualnya. Tak jarang ia menyodorkan gambar-gambar—yang jujur saya tak paham itu bentuk apa. Tapi selama ia bisa menjelaskan maksudnya, saya tak ragu bilang, “Bagus banget!”
Sebab saya percaya, gambar atau lukisan itu hanyalah alat, tujuan yang lebih besar adalah apa yang ingin disampaikan oleh si anak melalui alat itu dan bagaimana si anak memilih realitas yang akan direspons. Saya tak pernah menilai pada akurasi gambar yang “harus mirip kenyataan” — kenyataan versi kepala bapaknya. Hal-hal mendasar ini saya pelajari dari Mas Toto (Toto Rahardjo), sejak beberapa tahun silam, jauh sebelum saya menikah.
Saya bersyukur, anak-anak saya punya keberanian untuk berpikir kreatif. Maklum, pada masa bapaknya sekolah dulu, tidak hanya untuk kreatif berpikir, bahkan untuk menggambar pemandangan saja kita semua nyaris seragam. Dua gunung kembar, jalan raya menembus di tengahnya, rumah kecil dan pohon di sisinya, serta burung-burung mungil di langit.
Beruntungnya, setelah dewasa, saya kini tahu jika fenomena “traumatik kreatif” menggambar gunung kembar itu tak cuma terjadi pada saya seorang, tapi merata pada hampir semua anak-anak di Indonesia. Entah sudah berapa jaman.
Meniru Bukan Memahami
Fenomena “gunung kembar itu” itu tak jatuh dari langit. Keseragaman gambar itu berakar dari metode pendidikan yang bersifat indoktrinatif sejak usia dini, yang berlangsung turun-temurun. Paling tidak itu yang pernah dikatakan Prof. Sarlito Wirawan Sarwono, Guru Besar Psikologi UI. Ia menulis: “Semua orang Indonesia menggambar gunung kembar! Tidak ada yang menggambar gasing, rumah, adiknya, atau ayam di belakang rumahnya, karena yang diajarkan hanya menggambar gunung, jadi tahunya ya hanya menggambar gunung.”
Tahun 2010, Prof. Sarlito pernah mendampingi seorang psikolog asal Prancis, Dr. Roseline Davido, saat ia datang ke Indonesia dengan membawa sebuah alat tes psikologi yang ia kembangkan sendiri: tes CHaD — Children Hands that Disturb. Sederhana saja metodenya: peserta diminta menggambar sesuatu yang paling sering mereka gambar saat masih kecil. Lewat gambar-gambar itu, kepribadian peserta kemudian dianalisis.
Saat Dr. Davido mencoba tes ini pada sekelompok dosen di Fakultas Psikologi UPI YAI, hasilnya membuatnya terperangah. Hampir semua menggambar sama: gunung. Bukan sembarang gunung, gunung kembar, lengkap dengan matahari terbit di tengah-tengahnya, sawah menghijau, burung terbang, awan putih, pohon kelapa, sungai atau jalan kecil yang membelah pemandangan. Terlalu seragam untuk dianggap kebetulan.
Semula, Dr. Davido curiga para dosen itu saling menyontek. Tapi Prof. Sarlito, yang saat itu ikut mendampingi, membantah. “Itu memang gambar khas anak-anak Indonesia,” katanya. Dr. Davido belum yakin. Tapi setelah ia mengulang tes di berbagai tempat, ke mahasiswa, siswa SMA, bahkan narapidana dan mantan teroris, hasilnya tetap sama. Gunung kembar itu muncul lagi, dan lagi. Barulah ia percaya.
Memperkuat analisanya, Sarlito memberi contoh lain: gambar bebek. Saat diminta menggambar bebek, hampir pasti bebek itu menghadap ke kiri. Kenapa? Karena mereka diajari cara instan: ubah angka “2” jadi bebek. Angka 2 itu arahnya ke kiri, maka bebeknya pun ikut ke kiri. Ketika diminta menggambar bebek yang menghadap ke kanan, banyak yang kebingungan. Tak ada hafalan untuk itu. Lucu, sekaligus membuat termangu.
Gunung Kembar; Cermin Warisan Pendidikan
Gunung kembar dan bebek hadap kiri, keduanya cermin. Cermin dari sistem yang mendidik anak-anak untuk meniru daripada memahami. Pendidikan yang seragam, yang tak mengindahkan kreativitas. Hafalan, bukan pencarian. Alih-alih menumbuhkan keberanian menggambar dunia dengan cara pandangnya sendiri, anak justru diseragamkan cara pandangnya. Seolah-olah gambaran dunia itu hanya ada satu: versi pendidiknya.
Dalam riset Gunung Kembar: Fenomena Gambar Anak Indonesia (ISI Yogyakarta), Eko Wahyudi menuliskan: pelajaran menggambar di jenjang pendidikan dasar umumnya diajarkan oleh guru kelas, bukan guru seni. Karena tak semua guru mahir menggambar, pengajaran pun jadi tugas sekadarnya: memberikan instruksi yang sebagaimana mereka diajarkan. Terjadilah efek domino. Guru mewarisi metode menggambar dari masa sebelumnya, lalu meneruskan ke anak didiknya. Tak heran jika dari tahun ke tahun, generasi ke generasi, “gunung kembar” terus hadir dalam benak anak-anak. Tertanam, mengakar, bahkan hingga mereka dewasa.
Dan (sialnya) mereka bertemu dengan Dr. Roseline Davido dan Prof. Sarlito Sarwono saat dewasa.
Mooi Indie; Visual Romantik Kolonial
Jauh ke belakang. Gaya melukis pemandangan alam yang menampilkan gunung, sawah, dan pepohonan itu disebut sebagai gaya Mooi Indie — atau dalam terjemahan bebasnya: Hindia Molek. Istilah ini aslinya julukan sinis dari S. Sudjojono, yang ditujukan kepada para pelukis, baik Eropa maupun Indonesia, yang menggambarkan Nusantara lewat lensa eksotisme kolonial. Molek secara visual, tapi memotong fakta seperti konflik, ketimpangan, dan penderitaan akibat kolonialisme.
Sudjojono, di tahun 1937, pernah menyindir betapa repetitifnya lanskap yang dihadirkan dalam lukisan-lukisan Mooi Indie — gunung, sawah, dan pohon; ia menyebutnya sebagai “trinitas visual”. Sebuah komposisi yang terus diulang, bahkan diam-diam diwariskan dalam pelajaran menggambar di sekolah-sekolah, tanpa menyadari bahwa ia menyimpan jejak pandang kolonial: romantik, eksotis, dan steril dari konflik.
Merefleksikan, saya mengutip tulisan Mas Toto dalam artikelnya Hendak Kemana Arah Pendidikan Kita:
Seharusnya para pengelola institusi pendidikan yang bernama Sekolah, saat ini menyelenggarakan refleksi besar-besaran agar dirinya justru bukan menjadi aktor penghambat pertumbuhan manusia. Memang di masa lalu, sekolah telah menghantarkan kita ke gerbang modernisasi, namun celakanya sekolah pada saat ini tidak disadari juga menggerus kreativitas, ekspresi, motivasi, bahkan menjadi pembunuh kecenderungan dan bakat para siswanya.
Sebenarnya sistem pendidikan kita pada saat ini dirancang oleh pengaruh era industri di mana pabrik-pabrik membutuhkan buruh untuk menjalankan mesin. Saat itu sekolah terkait erat dengan penyeragaman untuk menjawab kebutuhan produksi massal.
Nilai-nilai di era industri nampak jelas misalnya; ketika kita mengklasifikasi berdasarkan kelas-kelas dan angkatan, mengatur mereka dengan isyarat bunyi lonceng, sistem tersebut sangat bertolak belakang dengan kebutuhan nyata saat ini.
Lebih memilih penyeragaman dibandingkan melihat serta menghargai keberagaman dan tidak mendorong pembelajaran mandiri. Mengedepankan hafalan dibandingkan kreativitas dan kebebasan berpikir dan daya kritis. Mendukung kompetisi, individualisme dibanding kolaborasi dan kerja-kerja kolektif. Mengutamakan kesuksesan, bukan hadap masalah serta tangguh dalam menghadapi persoalan dan kegagalan. Lebih banyak menyoroti kemampuan analitik dan kognitif namun abai terhadap sensitivitas, empati dan kecerdasan emosional.
Maka, jangan menggerutu, “Gambar pemandangan kok begitu?” tapi justru berbahagialah, seperti yang saya alami, jika suatu hari anak anda menyodorkan gambar pemandangan yang tak menyerupai apa yang dulu anda gambar sewaktu kecil. Itu menjadi pertanda bahwa generasi mereka mulai keluar dari pola yang seragam. Warisan yang terlalu lama membingkai imajinasi anak-anak Indonesia selama puluhan tahun , atau mungkin ratusan tahun.
Mari berprasangka baik: bahwa keterkungkungan para pendidik di ruang-ruang sekolah—yang secara tidak sadar membatasi imajinasi murid-muridnya, hanya terjadi di pelajaran seni rupa. Bukan di pelajaran matematika. Bukan di pelajaran sejarah dan lainnya.
Atau… jangan-jangan semuanya?
Aduh.