Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Esensia

Ekologi di Era Algoritma: Mengapa Kita Peduli Hanya Pada yang Indah?

Rony Oktavianto by Rony Oktavianto
June 11, 2025
in Esensia
Reading Time: 4 mins read
Ekologi di Era Algoritma: Mengapa Kita Peduli Hanya Pada yang Indah?

SATU LAGI episode “no viral no justice” kembali mencuat. Kali ini terkait isu ekologis dari timur Indonesia, tepatnya Raja Ampat, sebuah nama yang tak cuma jadi kebanggaan, tapi juga semacam “tempat suci” bagi para pecinta laut dan keragaman hayati. Pemerintah baru saja membatalkan sementara izin tambang nikel di kawasan tersebut, setelah sebelumnya publik ramai-ramai bereaksi di media sosial. Viral, lalu dibatalkan. Begitu alurnya. Seperti biasa.

Menariknya, ada selisih antara yang diyakini publik dan fakta administratifnya. Banyak warganet mengira tambang tersebut berada di sekitar Piaynemo, ikon Raja Ampat yang fotonya banyak menghiasi brosur wisata dan desktop wallpaper.

Namun menurut Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia, aktivitas tambang terjadi di Pulau GAG, sekitar 30 hingga 40 kilometer dari Piaynemo. “Di wilayah Raja Ampat itu, betul wilayah pariwisata yang kita harus lindungi,” ujarnya, seolah ingin menegaskan bahwa berita kerusakan terlalu berlebihan.

Namun kita tahu, di era algoritma, persepsi seringkali mengalahkan fakta. Fakta bahwa lokasi tambang tidak berada di Piaynemo, tidak meredakan keriuhan publik. Apalagi ketika narasi tersebut mendapatkan resonansi luas di ruang digital, dimanfaatkan oleh berbagai media untuk mendulang klik dan impresi.

Tagar #SaveRajaAmpat sempat menyentuh daftar tren teratas di Twitter/X selama hampir 10 jam, dengan 867 ribu cuitan. Di Instagram, terdeteksi mencapai 1,6 juta Stories.

Angka yang bukan hanya menunjukkan kepedulian, tapi juga bagaimana kolektivitas bisa terbentuk di tengah dominasi “algoritma setan”.

Yang menarik dari kasus ini bukan cuma soal izinnya yang dicabut—meski cuma sementara—tapi mengapa reaksi publik bisa sedemikian kuat? Padahal persoalan lingkungan dari kegiatan penambangan nikel juga marak di tempat lain—terkait, lihat video dokumenter Kutukan Nikel dari Watchdoc Documentary. Di Sulawesi, Halmahera, bahkan di daratan Papua.

Tapi kenapa yang ini terasa lebih menyentuh saraf kolektif kita? Pertanyaannya lalu bergeser: apakah simpati ekologis kita hanya terbatas pada lokasi yang eksotis?

Familiarity / Emotional Attachment

Familiarity berperan signifikan dalam menentukan seberapa besar sebuah isu mampu menyentuh kesadaran publik. Raja Ampat terlanjur “dekat”. Raja Ampat telah kuat terasosiasi dengan gambaran keindahannya; terumbu karang, gunung-gunung dan lautnya. Dan gambar, seperti yang diajarkan ilmu psikologi, lebih cepat memicu reaksi emosional dibanding data atau argumen.

Kondisi ini memicu bias ketersediaan atau availability bias, sebuah bias kognitif di mana kita cenderung menilai sesuatu berdasarkan informasi yang paling mudah diingat, meskipun itu mungkin bukan informasi yang utuh dan terbaik.

Daerah lain juga rusak karena tambang? Mungkin lebih parah. Tapi kita tak cukup punya stok ingatan visual di kepala kita. Tak punya “bank emosi”. Maka simpati pun tak muncul. Isu kerusakan lingkungan di Raja Ampat terasa nyata karena imajinasi kita tentang tempat itu sudah terlanjur utuh. Dan ketika informasi tentang kerusakan datang, kita langsung bereaksi.

Collective Identity

Dalam konteks ini, nama “Raja Ampat” telah jauh melampaui dari sekadar lokasi geografis; ia menjadi simbol, sebuah identitas kolektif (collective identity), akan keanekaragaman hayati dan keindahan alam tropis khas Indonesia.

Kerusakannya langsung terasa sebagai ancaman terhadap “kita” sebagai bangsa yang melindungi kekayaan alamnya. Berbagai gambar video keindahan Raja Ampat di media sosial, semakin membangkitkan sense of ownership, bahwa “ini milik kita bersama”.

Bandingkan dengan lokasi lain yang tidak pernah dibingkai sama. Publik tidak memiliki ingatan bersama yang mengaitkan daerah itu dengan kebanggaan identitas, seperti halnya Raja Ampat.

Charisma Bias

Charisma bias mengacu pada kecenderungan orang yang lebih memprioritaskan hal-hal yang secara visual naratif bersifat “karismatik”—entah berupa binatang, lokasi, atau apapun.

Dalam isu lingkungan dikenal sebagai charismatic megafauna bias, yaitu kecenderungan untuk lebih memprioritaskan perlindungan pada hewan-hewan besar (megafauna), misalnya gajah, harimau, panda, atau badak—sementara spesies yang lebih kecil sering kali diabaikan, walaupun memiliki peran ekologi yang sama pentingnya. Itulah mengapa kebanyakan logo organisasi konservasi seringkali menggunakan gambar panda, gajah, bukan kecoa, jangkrik atau ulat bulu misalnya.

Raja Ampat adalah contoh sempurna dari charismatic place. Visual deretan pulau karang di lautan biru, keragaman biota, semburat matahari yang menembus kedalaman laut, menciptakan daya tarik luar biasa khas anak senja.

Memang secara etis terasa ganjil: kita cenderung memberikan bobot moral lebih besar pada hal-hal yang kelihatan lebih indah. Secara kolektif, kerusakan lingkungan di Halmahera atau tempat lainnya—walau secara ekologi sama pentingnya—lebih diterima sebagai kerusakan lingkungan biasa, sementara kerusakan di Raja Ampat langsung ditangkap sebagai “perusakan terhadap kekayaan bangsa”. Padahal, dari perspektif kelestarian ekosistem: sama.

—

Lantas, teringat pada sebuah kutipan dari buku Animal Farm karya George Orwell, “All animals are equal, but some animals are more equal than others.” Kutipan ini menggambarkan ironi ketidaksetaraan di dalam pernyataan yang seolah-olah menegaskan kesetaraan.

Semua kerusakan alam yang terjadi akibat ekonomi ekstraktif di berbagai lokasi, mestinya sama-sama penting untuk kita suarakan. Tetapi, sebagian mendapat perlakuan dan perhatian istimewa daripada yang lain. Seperti halnya dalam Animal Farm di mana hewan tertentu punya keistimewaan, memiliki kedudukan lebih tinggi, yang seharusnya setara.

Apakah ini adil? Tidak. Tapi bukan berarti tak bisa diolah jadi strategi. Justru di sinilah pentingnya: memahami bahwa simpati publik bekerja lewat emosi, visual, dan simbol kolektif—bisa membantu para aktivis merancang narasi yang lebih resonan untuk isu-isu yang selama ini terpinggirkan.

SendTweetShare
Previous Post

Mukadimah: 25 Tahun Kenduri Cinta

Next Post

Setelah Raja Kesembilan: Belajar dari Sahabat Mbah Nun-Romo Manu, di Tikungan Zaman

Rony Oktavianto

Rony Oktavianto

Related Posts

Keheningan Negara dan Tolak Ukur Kearifan
Esensia

Keheningan Negara dan Tolak Ukur Kearifan

June 26, 2025
Cerita Ruang Ketiga di Kenduri Cinta
Esensia

Cerita Ruang Ketiga di Kenduri Cinta

June 25, 2025
Jejak Kalijaga, Cak Nun dan Maiyah
Esensia

Jejak Kalijaga, Cak Nun dan Maiyah

June 24, 2025
Berdekatankah Kita?
Esensia

Berdekatankah Kita?

June 23, 2025
Intermezzo: Drone Tiba-Tiba Jatuh
Esensia

Intermezzo: Drone Tiba-Tiba Jatuh

June 22, 2025
Rahim Ibu
Esensia

Rahim Ibu

June 21, 2025

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta