Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Esensia

Dunia adalah Bagian dari Desa Saya

Putra Ansa Gaora by Putra Ansa Gaora
July 1, 2025
in Esensia
Reading Time: 5 mins read
Dunia adalah Bagian dari Desa Saya

PAGI ITU, sebelum berangkat kerja, saya mampir seperti biasa ke gerobak Bubur Ayam Pak Gondrong di ujung gang. Udara lembap masih menggantung, dan aroma kaldu pelan-pelan menguar dari panci yang terus diaduknya. Sambil melayani, Pak Gondrong bergumam, “Gas melon sekarang susah, Mas. Kalau pun ada, ecerannya sudah naik dua ribu.” Ia menghela napas sebentar, lalu menambahkan, “Kalau begini terus, saya bingung. Mau naikin harga nggak enak, tapi kalau nggak, ya porsinya harus dikurangi. Buburnya jadi lebih encer, suwiran ayam makin tipis.”

Di seberang gerobaknya, televisi kecil di warung kopi menyiarkan berita kota yang terbakar. Qom dan Isfahan dilanda serangan udara. Tak ada garis sebab-akibat yang jelas antara berita itu dan panci bubur di hadapan saya, tapi pagi itu terasa tak sama. Seolah ledakan di Timur Tengah ikut mengguncang gerobak kecil di gang ini, memantul lewat harga gas melon, dan akhirnya tiba juga di mangkuk sarapan saya.

Saya jadi teringat, kita sering berpikir bahwa dunia adalah sesuatu yang luas, dan karena luas, maka ia jauh. Jarak geografis memberi ilusi bahwa apa yang terjadi di luar negeri tak akan mengubah tatanan di dalam rumah. Tapi hari ini, rumah itu tak lagi berdiri sendiri. Satu ledakan di Teluk bisa menggetarkan dinding-dinding ekonomi nasional. Satu deklarasi perang bisa mengubah harga bubur ayam yang tadi saya makan, harga cabai, tiket pesawat, dan asumsi APBN.

Ketika Ayatollah Khamenei menyatakan bahwa lima puluh ribu tentara Amerika dan seluruh warga negaranya kini menjadi target, itu bukan sekadar retorika agresif. Itu adalah sinyal bahwa konflik, kini bukan hanya milik kawasan. Ia telah memasuki ruang global, mengintervensi pasar komoditas, mengacaukan logistik energi, dan bahkan menggoyahkan relasi antarumat manusia di negara-negara yang mengira diri mereka netral.

Perang kini bukan hanya aktivitas militer. Ia telah menjadi modus komunikasi. Ia hidup di dalam citra, pola sirkulasi digital, dan opini publik yang dimanipulasi. Perang tak lagi membutuhkan front fisik. Ia hadir dalam perambatan narasi, dalam pembentukan persepsi, dalam konflik simbolik yang menyusupi ruang domestik kita melalui media sosial dan kanal berita daring.

Apa yang disebut “dunia” hari ini bukanlah entitas yang utuh, melainkan jaringan kompleks dari ketergantungan. Setiap simpul dalam jaringan itu saling bergantung dan saling mengganggu. Sistem distribusi energi, rantai pasok pangan, jalur pelayaran global, sistem keuangan, bahkan aliran informasi—semuanya saling sangkut-paut. Maka, perang di satu titik akan selalu berarti perubahan di titik lain.

Indonesia yang secara historis memosisikan dirinya dalam prinsip bebas dan aktif, kini harus menghadapi kenyataan baru bahwa kebebasan itu tak bisa berdiri di ruang hampa. Dunia telah menyempit secara fungsional. Kedaulatan, yang dulu berarti batas wilayah, kini juga berarti kemampuan mengatur arus informasi, menstabilkan persepsi publik, dan merespons dinamika global yang tak terhindarkan.

Konflik di Iran dan kawasan Teluk adalah manifestasi krisis multidimensi: militer, energi, ekonomi, informasi, bahkan ideologi. Selat Hormuz, sebagai titik strategis distribusi 30% minyak dunia, menjadi chokepoint global yang bila terganggu, akan berdampak pada kestabilan harga dan suplai energi di mana-mana, termasuk Indonesia. Harga avtur akan naik. Maskapai akan terdampak. Subsidi energi akan membengkak.

Di sisi lain, aktor non-negara seperti Hizbullah, Houthi, dan Hamas menjadi proyeksi dari dinamika geopolitik yang bergerak melalui kanal proxy war. Mereka berperan sebagai perangkat geostrategis, bukan hanya sebagai kelompok perjuangan. Dalam medan konflik ini, batas antara negara dan non-negara mengabur.

Namun yang paling mengkhawatirkan bukan hanya perang rudal, tapi perang narasi. Dunia kini dikendalikan oleh arsitektur informasi digital—struktur sirkulasi yang menentukan apa yang kita anggap penting, apa yang kita lupakan, siapa yang kita bela, dan siapa yang kita benci. Dalam dunia yang suara minor telah diredam oleh mekanisme seleksi digital, kita perlu belajar satu hal baru: keberanian epistemik.

Keberanian untuk menyatakan sikap bukan karena suara itu akan didengar, tapi karena ia adalah bentuk tanggung jawab terhadap kesadaran. Dalam gelombang retorika yang saling bertubrukan, kesadaran menjadi satu-satunya ruang yang tidak bisa diretas.

Sementara itu, institusi-institusi internasional seperti PBB kehilangan efektivitasnya. Hak veto menjadi alat dominasi, bukan perlindungan. Majelis Umum PBB hanya bisa mengutuk. Liga Arab terpecah oleh faksionalisme. OKI diam dalam kekacauan. Bahkan Gerakan Non-Blok pun, kini, lebih seperti arsip sejarah daripada kekuatan geopolitik aktual.

Kita lalu menoleh ke BRICS, ke ASEAN, berharap ada rasionalitas alternatif yang masih tersisa. Tapi bahkan di sana, niat baik tak selalu lebih kuat daripada kepentingan strategis. Diplomasi menjadi kalkulasi, bukan solidaritas. Aliansi menjadi perkara manfaat, bukan moralitas.

Di tengah semua itu, Indonesia punya tugas ganda, yakni menjaga stabilitas dalam negeri dan mempertahankan posisi luar negeri yang bermartabat. Ia harus menjadi aktor yang cukup lincah di antara kekuatan besar, tapi juga cukup jujur untuk tidak kehilangan wajah di hadapan rakyatnya sendiri.

Saya membayangkan dunia sebagai desa. Iran dan Israel adalah rumah di ujung jalan yang mulai terbakar. Amerika adalah rumah besar yang bersenjata lengkap. Kita, warga desa yang lain, saling memandang dari balik tirai: marah, cemas, ragu—tapi diam. Barangkali, kita sudah terlalu sering melihat api dan terlalu lama percaya bahwa api itu tak akan sampai ke pekarangan kita.

Indonesia seperti warga desa lainnya, bisa memilih menjadi penonton yang bijak, atau pemadam yang berhati-hati. Dunia hari ini tak memberi banyak waktu untuk kebijaksanaan yang terlalu pelan. Jika kita terlalu lama mengukur risiko, rumah kita bisa ikut terbakar oleh angin yang menyebar cepat.

Kadang-kadang, saya ingin dunia kembali menjadi dunia—luas, asing, dan di luar jangkauan. Saya ingin desa saya kembali menjadi desa—terpencil, tenang, dan mandiri. Itu hanya ilusi yang tinggal dalam nostalgia. Dunia telah datang, dan ia telah menetap. Maka tugas kita hari ini bukan lagi menjaga jarak, tapi menjaga nalar.

Ketika nalar padam, diplomasi menjadi dagelan. Cinta yang seharusnya menjadi bahasa terakhir dari kemanusiaan akan kehilangan gramatika.

Beberapa saat kemudian, semangkuk bubur ayam saya habis juga. Di televisi, berita tentang Iran dan Israel terus mengalir. Jauh di sana, tapi entah kenapa terasa dekat. Pagi itu saya sadar, dunia yang bergejolak di Timur Tengah sana ternyata bisa sampai juga ke mangkuk sarapan saya. Dunia kini tak lagi jauh. Ia sudah duduk di meja yang sama dengan kita. Pada akhirnya, saya pun paham, ternyata dunia hanyalah bagian kecil dari desa saya. Masalah distribusi dan perdagangan minyak di selat Hormuz juga akhirnya berpengaruh pada porsi bubur ayam Pak Gondrong serta kenikmatan akhir suapan bubur ayam pagi itu.

SendTweetShare
Previous Post

Masa Depan Kita Ada di Masa Lalu: Sebuah Ikhtiar Membangunkan Kejayaan dari Koma-nya

Putra Ansa Gaora

Putra Ansa Gaora

Related Posts

Masa Depan Kita Ada di Masa Lalu: Sebuah Ikhtiar Membangunkan Kejayaan dari Koma-nya
Esensia

Masa Depan Kita Ada di Masa Lalu: Sebuah Ikhtiar Membangunkan Kejayaan dari Koma-nya

June 30, 2025
Lelaki di Ujung Cinta
Esensia

Lelaki di Ujung Cinta

June 27, 2025
Keheningan Negara dan Tolak Ukur Kearifan
Esensia

Keheningan Negara dan Tolak Ukur Kearifan

June 26, 2025
Cerita Ruang Ketiga di Kenduri Cinta
Esensia

Cerita Ruang Ketiga di Kenduri Cinta

June 25, 2025
Jejak Kalijaga, Cak Nun dan Maiyah
Esensia

Jejak Kalijaga, Cak Nun dan Maiyah

June 24, 2025
Berdekatankah Kita?
Esensia

Berdekatankah Kita?

June 23, 2025

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta