Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Esensia

Dialektika Iman, Ilmu, dan Amal

Ibrayoga Rizki Perdana by Ibrayoga Rizki Perdana
November 19, 2025
in Esensia
Reading Time: 4 mins read
Dialektika Iman, Ilmu, dan Amal

ISLAM bukan sekadar sistem kepercayaan yang terkurung dalam ruang ibadah dan ritual privat. Ia adalah din, sebuah pandangan hidup yang menyeluruh, yang sejak awal kelahirannya telah menyentuh seluruh aspek kehidupan: spiritualitas, etika, ekonomi, hingga politik. Namun, ketika Islam bersentuhan dengan politik, yakni arena kekuasaan yang sarat dengan kompromi dan kalkulasi, muncul ketegangan antara nilai-nilai ideal wahyu dan realitas yang sering kali brutal. Di titik inilah kebijaksanaan (hikmah) menjadi jembatan epistemologis dan praksis yang krusial.

Muhammad Iqbal, dalam Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam, menekankan bahwa Islam adalah agama aksi, bukan sekadar kontemplasi. Bagi Iqbal, wahyu bukanlah teks mati, melainkan energi kreatif yang harus dihidupkan dalam sejarah. Politik, dalam pandangannya, adalah medan aktualisasi spiritualitas: tempat di mana iman menemukan bentuk sosialnya. Ia menolak dikotomi antara agama dan negara, namun juga mengkritik formalisme yang menjadikan agama sekadar simbol kekuasaan. Kebangkitan umat, menurut Iqbal, hanya mungkin terjadi jika iman diterjemahkan ke dalam gerak sejarah melalui ilmu dan amal.

Ali Syari’ati menambahkan dimensi praksis yang tajam. Dalam berbagai ceramah dan tulisannya, seperti Islamology dan Tugas Cendekiawan Muslim, Syariati menekankan pentingnya kesadaran historis dan pembebasan sosial sebagai inti dari risalah Islam. Ia membedakan antara “Islam Muhammadi” yang membebaskan dan “Islam Safawi” yang membekukan. Politik, bagi Syari’ati, bukanlah sekadar perebutan kekuasaan, melainkan medan perjuangan untuk menegakkan keadilan dan membebaskan manusia dari penindasan struktural. Kebijaksanaan dalam politik Islam, menurutnya, harus berpihak pada kaum mustadh’afin (yang tertindas), dan menolak kooptasi agama oleh elite penguasa.

Kuntowijoyo, melalui gagasan Ilmu Sosial Profetik, menawarkan kerangka yang lebih kontekstual dan ilmiah. Ia mengusulkan agar ilmu sosial di dunia Islam tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi juga normatif dan transformatif. Tiga nilai utama, yaitu humanisasi, liberasi, dan transendensi, menjadi poros etis yang harus menjiwai setiap kebijakan publik. Politik Islam yang bijaksana, dalam kerangka ini, bukan hanya soal representasi formal, tetapi tentang bagaimana kekuasaan digunakan untuk memanusiakan, membebaskan, dan mengangkat harkat spiritual masyarakat. Kebijaksanaan bukanlah kompromi, melainkan keberanian untuk menjadikan nilai-nilai profetik sebagai fondasi kebijakan.

Sementara itu, Cak Nun dan Maiyah menghadirkan dimensi kebijaksanaan yang membumi dan dialogis. Dalam berbagai forum Maiyah, Cak Nun menekankan pentingnya “ngerti, ngerasa, dan nglakoni”, yakni memahami secara mendalam, merasakan secara batin, dan mengamalkan secara nyata. Politik, dalam pandangan Maiyah, bukanlah sekadar struktur kekuasaan, melainkan ruang pengabdian. Kebijaksanaan adalah kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara langit dan bumi, antara idealisme dan realitas, antara wahyu dan rakyat. Ia menolak politik yang arogan dan manipulatif, serta mengajak umat untuk kembali pada kesadaran spiritual yang inklusif dan reflektif.

Dalam konteks ini, kebijaksanaan bukanlah kompromi oportunistik, melainkan kemampuan untuk membaca teks dan konteks secara simultan. Ia berakar pada Siyasah Syar’iyyah, yang tidak hanya bertumpu pada literalitas nash, tetapi juga pada fiqh al-waqi, yakni pemahaman mendalam terhadap realitas sosial. Kebijaksanaan menuntut orientasi pada Maqasid al-Shariah: perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Politik Islam yang bijaksana bukanlah politik simbolik, melainkan politik yang mampu mentransformasikan nilai keadilan menjadi kebijakan publik yang konkret dan berpihak.

Untuk melahirkan kebijaksanaan semacam itu, Islam menawarkan tiga pilar utama: iman, ilmu, dan amal. Iman bukan sekadar keyakinan dogmatis, melainkan kesadaran eksistensial bahwa kekuasaan adalah amanah. Ilmu adalah kompas untuk memahami kompleksitas zaman, termasuk demokrasi, pluralisme, dan ketimpangan struktural. Amal adalah aktualisasi dari iman dan ilmu dalam bentuk kebijakan yang adil, inklusif, dan membebaskan. Dalam kerangka ini, iman yang tercerabut dari ilmu akan melahirkan fanatisme, sementara ilmu tanpa iman akan melahirkan teknokrasi tanpa nurani. Amal tanpa keduanya hanyalah aktivisme kosong tanpa arah.

Korupsi yang merajalela di Indonesia adalah bukti nyata kegagalan internalisasi nilai-nilai tersebut. Korupsi bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi pengkhianatan terhadap amanah publik dan negasi terhadap nilai-nilai spiritual. Ironisnya, banyak pelaku korupsi berasal dari kalangan yang akrab dengan simbol-simbol agama, menunjukkan keterputusan antara kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Tanpa kebijaksanaan, agama hanya menjadi alat legitimasi kekuasaan, bukan kompas etik.

Pancasila, sebagai hasil ijtihad siyasi para pendiri bangsa, adalah contoh kebijaksanaan politik yang luar biasa. Ia tidak memilih formalisme negara Islam yang eksklusif, tetapi juga tidak terjebak dalam sekularisme Barat. “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi titik temu yang mengakomodasi substansi ajaran agama tanpa memaksakan bentuk formal tertentu. Ini adalah pilihan strategis demi maslahah ‘ammah (kepentingan umum) dalam masyarakat yang majemuk, sebuah langkah yang sejalan dengan semangat Iqbal, Syari’ati, Kuntowijoyo, dan Cak Nun: bahwa agama harus menjadi kekuatan pembebas, bukan alat dominasi.

Pada akhirnya, Islam tanpa politik berisiko kehilangan relevansi sosialnya, sementara politik tanpa nilai-nilai Islam akan terjerumus menjadi praktik kekuasaan yang menghalalkan segala cara. Kebijaksanaanlah yang menjadi pembeda: ia lahir dari perpaduan iman yang jernih, ilmu yang mendalam, dan amal yang membebaskan. Inilah yang membedakan antara politisi yang menjadikan agama sebagai alat kekuasaan, dengan negarawan beriman yang menjadikan kekuasaan sebagai jalan untuk mengaktualisasikan nilai-nilai luhur demi kemaslahatan rakyat dan pembebasan umat.

SendTweetShare
Previous Post

Guru Siapa? Guru yang Mana?

Next Post

Reportase: Fragmen Kesadaran

Ibrayoga Rizki Perdana

Ibrayoga Rizki Perdana

Related Posts

Kepalsuan di Balik Jendela Kelas
Esensia

Kepalsuan di Balik Jendela Kelas

December 3, 2025
Kebebasan Tanpa Batas Menghancurkan Sumber Daya Bersama
Esensia

Kebebasan Tanpa Batas Menghancurkan Sumber Daya Bersama

December 2, 2025
Kultus Visibility
Esensia

Kultus Visibility

December 1, 2025
Menulis Itu Tidak Gampang
Esensia

Menulis Itu Tidak Gampang

November 26, 2025
Tumbuh tapi Tidak Sadar
Esensia

Tumbuh tapi Tidak Sadar

November 25, 2025
Penjahat Tak Pernah Membangun Negara
Esensia

Penjahat Tak Pernah Membangun Negara

November 24, 2025

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta