Kenduri Cinta edisi Januari 2025 baru saja terlaksana, menandai bulan ketiga sejak kepulanganmu, Berkat gemblenganmu selama ini, cerewetmu yang tak henti me-reminder tentang berbagai hal terkait komunitas, meyakinkanku bahwa ini semua telah dirancang sangat lama. Kawan-kawan di komunitas penggiat kini sudah dapat diandalkan. Acara berjalan sesuai dengan rundown yang telah disusun. Jamaah tetap berdatangan meski hujan deras turun dengan cepat di awal acara. Sebagian jamaah memilih merapat ke panggung, bergabung dengan para pengisi acara, sementara yang lain berlarian menyebar ke berbagai sudut di teras Teater Besar.
Sasi wulan ini, menginjak minggu ketiga Januari, genaplah seratus hari sejak kepergianmu. Nyatus. Bagi kami, kawan-kawanmu di Komunitas Maiyah, namamu terukir dengan sangat istimewa dalam bilik hati kami. Kau Gan, begitu telaten menanamkan silaturahmi yang unik, dengan cara yang berbeda-beda bagi setiap kami dalam menjalin pergaulan. Sehingga, meskipun waktu makin berlalu, rasa kehilangan masih tetap menggelayut dalam batin kami…
Sepulang nyambut gawe, biasalah tiba-tiba ada chat WhatsApp masuk,
“Sedang di mana nih? Bisakah merapat ke Waroeng Solo?”
Waroeng Solo terletak di daerah Kemang, bersisian dengan Komplek Jeruk Purut. Tempat kuliner yang menyajikan citarasa makanan rumahan, bagi kebanyakan orang sangat mengundang nostalgi, rasa khas masakan yang makin sulit dan langka ditemui terutama di kota-kota besar.
Tidak bisa tidak, saya selalu memenuhi undangannya. Bojoku sudah sangat memafhumi hal ini ketika dilihat saya prepare mau pergi lagi.
Di waktu lain, pesan serupa datang,
“Bergabung ya, saya di Bakoel Kopi Cikini…”
Di pojokan bangunan di Jalan Cikini, bersebelahan dengan Kantor Pos, berderet bangunan tinggalan kolonial yang masih terawat. Sudah sejak lama dijadikan café atau resto-mini, menyuguhkan kenangan masa lalu untuk mendapatkan sensasi, menikmati berbagai macam suguhan kopi panas atau minuman dingin serta makanan-makanan urban yang tentu saja tidak mengenyangkan. Bakoel Kopi ada di salah satu bangunan yang berderet itu.
Terkadang, giliran saya yang berkabar. Buka aplikasi pesan, klik tanda panah warna hijau lalu send:
“Lagi di sekitar Bintaro nih,”
Bisa ditebak, kami bersepakat keluar bareng menuju restoran Korea untuk menikmati BBQ, daging bakar ala Korea yang bagi saya biasa saja, makanan viral bagi Gen-Z. Atau di warung cepat saji di sisi sebelah kantornya.
Tak ada obrolan yang istimewa, tidak membicarakan hal-hal berat masa depan Indonesia misalnya, atau isu-isu yang sedang viral. Tidak. Terkadang hanya obrolan ringan basa-basi, karena di tengah obrolan selalu berjeda.
“Sorry, tek meeting sik…”
Notebook dikeluarkan, earphone terpasang telat, sehingga bocor terdengar lamat-lamat suara di seberang, bukan suara orang Indonesia, tapi voice yang sangat Brithis.
***
September tahun lalu, saya mengunjungi Yogyakarta. Seperti biasa, saya langsung mengabarkannya kepada Gandhie dengan mengirim foto sebagai bukti. Sebab, jika saya tidak melakukannya, justru Gandhie yang akan lebih dahulu mengirimi foto tentang keberadaan saya di Yogya. Jaringan informasi Gandhie memang luar biasa — ibarat mata-mata, jejaringnya tersebar di mana-mana.
Di penghujung September, saya mendapati kabar bahwa Gandhie sedang berada di Tanah Suci. Ia melakukan perjalanan spiritual sebagai hadiah ulang tahun untuk Melani, istrinya. Alhamdulillah. Bagi Gandhie, ini bukan perjalanan umrah yang pertamanya — mungkin yang kedua atau ketiga.
Beberapa tahun sebelumnya, saya pernah menerima sebuah pesan gambar melalui BBM. Dalam foto itu, Gandhie duduk menghadap kamera di bawah tenda-tenda putih gading, dengan latar lalu lalang jamaah dari berbagai penjuru dunia. Pemandangan khas yang sering terlihat dalam perjalanan ibadah umrah. Foto itu terasa sangat berharga –yang sekarang entah tersimpan di file mana.
Saya pun sengaja mengabarkan hal ini kepada Mbah Nun. Ketika di kemudian hari Gandhie mengetahui bahwa perjalanan spiritualnya, yang awalnya ia simpan diam-diam, akhirnya saya bocorkan, reaksinya biasa saja. Sikapnya menunjukkan bahwa kebaikan memang pantas untuk disampaikan kepada Mbah Nun. Kepercayaan Mbah Nun selama ini terhadap Gandhie, untuk berbagai hal terbukti tidak keliru.
Sesampainya di hotel transit di Kota Madinah, Gandhie mengajak Melani, yang baru delapan bulan dinikahi, untuk segera turun ke bawah. Perjalanan panjang dari Tanah Air ke Arab Saudi memang meninggalkan rasa lelah. Padahal, ingin rasanya meluruskan badan barang sejenak.
“Istirahat dulu, Mas. Sebentar saja,” bujuk Melani, penuh harap.
“Emang nggak kangen sama Kanjeng Nabi?”
Gandhie balik bertanya.
Ya Allah Gan, pertanyaanmu itu lho, siapa yang tidak kangen Kanjeng Nabi, sehingga lantunan shalawat tak putus-putus didendangkan, dijadikan “nyanyian” meninabobokan anak-anak jelang tidur, puji-pujian jelang shalat di langgar-langgar kampung.
Siapa tak rindu?
Tanpa menunda lebih lama, segeralah menuju Masjid Nabawi untuk salat dan berziarah ke Makam Rasulullah. Gandhie menggandeng tangan Melani, menuntunnya hingga sangat dekat. Di depan makam, dengan suara lirih melantunkan shalawat dengan khidmat, meski para asykar — petugas keamanan — berulang kali mengingatkan agar tidak melakukan hal-hal yang dilarang.
Gandhie punya cara tersendiri. Cerdik bersiasat agar bisa lebih lama berada di dekat Rasulullah. Ketika diminta beranjak, ia berdiri dan melakukan shalat. Karena siapa yang bisa mengusir seseorang yang sedang shalat?
Perjalanan berlanjut ke Masjidil Haram. Di tengah ritual tawaf tujuh putaran di depan Ka’bah, berjalan beriringan di antara kerumunan jamaah dari berbagai penjuru dunia. Desakan demi desakan tidak pedulikan, hingga akhirnya Gandhie membimbing istrinya melipir mendekati Hajar Aswad. Tiba-tiba, jalan terbuka begitu saja di tengah himpitan manusia. Dengan mudah mencapai Hajar Aswad. Diciumi batu hitam itu dengan penuh rasa cinta dan kerinduan mendalam kepada Kanjeng Nabi.
“Untuk apa mencium batu hitam ini, kalau bukan karena mengikuti jejakmu, Ya Rasul?” Gandhie berbisik lirih, kepada dirinya sendiri.
Melani memandang suaminya dengan takjub.
“Mas, kok bisa begitu mudah?”
Gandhie hanya tersenyum, tidak berkata apa-apa. Senyum itu seolah menyimpan rahasia yang selama ini dipendam kepada siapa pun.
Siapapun yang mengenal Gandhie dengan dekat akan setuju: Gandhie tidak terlihat sebagai orang yang relijius — setidaknya secara kasat mata. Bahkan, maaf, kesan yang muncul justru sebaliknya — cenderung sekular. Bacotnya kadang nyelekit, rada saru, dan ceplas-ceplos. Semua itu adalah lapisan luarannya.
Namun, apa yang terjadi setelah ia berpulang? Sisi-sisi lain yang selama ini tersembunyi mulai terkuak. Perjalanan sunyi yang selama ini ia jalani tanpa sorot mata membuat iri siapa saja. Gusti Allah benar-benar menjaga hijab itu dengan sempurna.
***
Di hari keseratus ini, saya bersama kerabat Kenduri Cinta bersimpuh di sekeliling rumah terakhirmu, di Taman Makam Blender, Bogor. Bagi saya, ini adalah ziarah keempat. Mungkin, kapan-kapan — tidak janji — akan berkunjng lagi untuk yang kelima, keenam, dan entah sampai bilang.
Kami mengawali dengan uluk salam. Tahlil, tahmid dan Al Quran dilafazkan. Memohon dijembarkan alam kuburmu, diberkahi dengan cucuran kenikmatan oleh Allah —memanen atas segala kebaikan yang selama ini telah kau tanam.
Tentu saja, seperti biasa, guyonan-guyonan tentangmu kembali terlontar. Itu cara kami mengekspresikan kerinduan yang sangat. Ya, kesedihan masih tetap ada, tapi pasti kau tidak rela jika berlarut kan?
Saya yakin sepenuhnya, Allah terus menjagamu, menempatkanmu bersama para kekasih-Nya yang lain. []
Bogor-Jakarta, 22 Januari 2025