Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Esensia

Cerita Ruang Ketiga di Kenduri Cinta

Rony Oktavianto by Rony Oktavianto
June 25, 2025
in Esensia
Reading Time: 8 mins read
Cerita Ruang Ketiga di Kenduri Cinta

AMIEN SUBHAN, seorang karyawan IT di kawasan Pasar Baru, setiap pagi harus berhadapan dengan perjalanan kereta lebih dari sejam dari rumahnya di Bogor. Pulang kerja pun sama. Berdesakan dan berimpitan sudah jadi rutinitas. Pekerjaan yang menuntut presisi tinggi dan akrab dengan deadline sering membuatnya harus membuka laptop lagi di pojok stasiun, menyelesaikan pekerjaan sebelum naik kereta pulang. Namun, setiap Jumat minggu kedua, ia punya agenda khusus: langsung meluncur ke TIM Cikini untuk hadir di Kenduri Cinta. Kegiatan yang sudah dilakukannya mungkin di sepuluh tahun terakhir. Kehadirannya penting. Para pegiat menempatkan Amien sebagai pemantik diskusi pada sesi awal acara.

Karim, umurnya separuh baya (bahasa lain dari menjelang tua). Tinggal di Depok. Kesehariannya dihabiskan di lingkungan birokrasi dengan bekerja di kantor pemerintahan di bilangan Kuningan. Nasibnya tak jauh beda. Pagi dan sore harus bergulat dengan kemacetan Jakarta—berangkat dan pulang kerja. Karim adalah sosok yang seringkali terlihat menjadi moderator pada diskusi sesi malam. Bukan hanya rajin datang di Jumat minggu kedua, ia juga rutin ikut Reboan, forum diskusi santai di hari Rabu malam, juga dilaksanakan di tempat yang sama.

Teguh. Bertempat tinggal di Cengkareng dan bekerja formal di perusahaan Jepang. Sosok Teguh malah sudah ada di lokasi acara (TIM) sejak sore. Dari beberapa tahun lalu, ia secara sukarela membantu para pegiat menyiapkan tenda dan sound system untuk acara. Sosok Teguh yang sibuk mondar-mandir mengatur ini itu dengan seragam perusahaannya sudah jadi pemandangan biasa bagi para pegiat lainnya.

Ada juga Syahbudi, pemuda yang kelihatannya masih seumuran anak kuliahan. Di acara Kenduri Cinta edisi Juni lalu, ia sempat bilang bahwa malam itu adalah kali pertama ia datang. Dari pakaiannya, sepertinya ia juga tak langsung pulang dari kantor, langsung ke Kenduri Cinta—sama seperti Amien, Karim dan Teguh.

Ruang Ketiga: Cara Warga Kota Menemukan Ruang Setara

Amien, Karim, Teguh dan Syahbudi menjadi potret bagaimana Kenduri Cinta menjadi ruang ketiga bagi warga ibu kota, khususnya bagi para pekerja. Pemilihan forum Reboan di hari Rabu (tengah minggu) dan acara Kenduri Cinta sendiri yaitu pada setiap Jumat minggu kedua setiap bulannya juga bukan tanpa perancangan. Forum ini memang sejak awal dirancang mengakomodir para pekerja ibu kota yang “malas pulang cepat” atau semacam “bapak-bapak pamitnya meeting padahal ke TIM”.

Secara akademik, istilah “ruang ketiga” (third place) pertama kali diperkenalkan oleh sosiolog Ray Oldenburg dalam rentetan bukunya sejak 1989 hingga 2018, The Great Good Place dan Celebrating the Third Place. Dalam konteks kultur urban seperti Jakarta, ruang ketiga merujuk pada tempat-tempat informal di luar rumah (ruang pertama) dan tempat kerja (ruang kedua), yang menjadi lokasi berkumpulnya masyarakat untuk bersosialisasi secara spontan.

Contoh klasik ruang ketiga di kota-kota di Barat adalah kafe, taman, kedai kopi, barbershop, yang disebut Oldenburg sebagai “jantung vitalitas sosial” komunitas. Bahasa lokalnya semacam tempat gabut.

Pada laman Kompas, saya membaca tulisan Neli Triana, Ruang Ketiga Yang Mencuri Perhatian, yang menulis bahwa ruang ketiga di Indonesia sendiri bukan hal baru. Sejak dulu, warung kopi, angkringan, pos ronda, atau lapak lesehan telah menjadi tempat nongkrong favorit warga di luar rumah dan kantor. Di tempat-tempat semacam itu, interaksi akrab terjalin tanpa sekat.

Keakraban dan relaksasi yang tercipta di ruang ketiga, katanya, mampu meredakan tekanan hidup.

Pegawai kantoran yang sumpek seharian pun bisa “terobati dengan hanya berjalan beberapa menit di trotoar kala menuju halte atau stasiun”. Apalagi jika sempat singgah di taman kota atau warung kopi langganan. Dengan kata lain, ruang ketiga berfungsi seperti oase: memberi ruang bagi warga kota untuk “bernafas”.

Pemerintah kota Jakarta pun telah lama menyadari pentingnya ruang-ruang publik semacam ini. Acara Jakarta Future Festival di TIM minggu lalu, juga sepertinya upaya Pemprov Jakarta mendorong keberadaan ruang ketiga di ibu kota. Berbagai komunitas diundang dan diperkenalkan.

Area pedestrian Terowongan Kendal dan Dukuh Atas bisa menjadi contoh bagaimana akses jalan raya kendaraan bermotor berubah fungsi menjadi ruang ketiga. Menjelma menjadi arena berkumpulnya anak muda lintas komunitas. Peran besar dari Pemkot Jakarta. Puncaknya adalah fenomena Citayam Fashion Week (CFW) yang terjadi di kawasan itu. CFW seakan menjadi antitesis dari Jakarta Fashion Week (JFW) yang glamor. Sebuah ruang ketiga yang memberi ruang ekspresi bagi generasi muda.

Kawasan trotoar yang tadinya hanya menjadi lokasi berhentinya kendaraan menuju stasiun kereta, mendadak menjadi panggung fashion jalanan bagi remaja-remaja pinggiran kota. Mereka menemukan ruang untuk mengekspresikan diri, berkumpul, beraktualisasi dan mencari perhatian. Ajang itu lahir organik, menunjukkan betapa besarnya kerinduan akan ruang publik yang inklusif.

Akhir-akhir ini, kerumunan publik bergeser ke kawasan Blok M. Setelah puluhan tahun mati suri, kawasan Blok M sekarang menjadi ruang ketiga baru favorit warga. Dari kuliner hingga toko piringan hitam (vinyl) ada, menambah kalcer suasana. Analisis saya, setelah Blok M, perhatian akan bergeser ke kawasan Glodok, sebuah kawasan pecinan yang punya potensi sama.

Ruang Ketiga: Embrio Demokrasi

Agar tulisan ini agak akademis, saya mengutip Ray Oldenburg. Paling tidak ada tiga hal sebuah ruang dikatakan sebagai ruang ketiga. Pertama adalah tempatnya netral (neutral ground), dimana individu dapat datang secara bebas tanpa rasa canggung, tanpa kewajiban formal, tanpa tuntutan sosial politik tertentu. Kedua, ruang ketiga harus terbuka bagi siapa saja, tanpa memandang status sosial, ekonomi, atau latar belakang budaya. Semua pengunjung setara dan memiliki posisi yang sama dalam interaksi sosial di ruang tersebut. Ketiga, meski sifatnya terbuka, ruang ketiga biasanya memiliki komunitas pengunjung reguler yang secara rutin mengunjunginya, membentuk sebuah ikatan komunal yang khas.

Ruang ketiga tidak bisa diremehkan. Ray Oldenburg, dalam artikelnya di laman UNESCO, menyebutnya sebagai embrio demokrasi dengan memberi gambaran historis kedai kopi di Inggris pada abad ke-17. Kedai kopi pada masa itu menjadi pusat diskusi politik dan sosial yang dinamis. Berbeda dengan kedai alkohol (pub atau tavern), kedai kopi menawarkan suasana yang lebih tenang dan serius. Pengunjungnya tidak mabuk alkohol, terjaga pikirannya dengan efek stimulan kopi, sehingga mereka lebih mampu berdiskusi, berdebat secara sehat, dan bertukar gagasan.

Ruang ketiga dalam konteks ini bukan sekadar tempat berkumpul informal, namun juga berfungsi sebagai tempat diskusi politik bebas berlangsung, mencerminkan kesetaraan sosial, dan mendorong kesadaran kritis warga. Kedai kopi dengan harga murah, atmosfer egaliter, dan suasana bebasnya kemudian menjadi fondasi sosial awal lahirnya demokrasi modern di Eropa. Inilah yang dimaksudnya sebagai embrio demokrasi, ruang informal tempat warga berlatih kebebasan berbicara, berpikir kritis, serta belajar saling menghargai dalam perbedaan pandangan.

Kenduri Cinta: Lebih Dari Ruang Ketiga

Sebagaimana ruang ketiga lainnya, Kenduri Cinta menawarkan kekhasan. Sebuah gagasan yang diinisiasi Cak Nun, yang awalnya adalah ajang berkumpul silaturahmi dalam merespons keadaan sosial politik ibukota pasca Reformasi, berkembang menjadi ekosistem pembelajaran informal yang egaliter dan inklusif bagi warga Jakarta.

Keberagaman tema dan pembicara yang diangkat—mulai isu kebudayaan, agama, filosofi, hingga problem sosial kebangsaan—pada akhirnya mendorong keberagaman perspektif atau cara pandang para audiensnya.

Pendekatan interdisipliner atau multidisipliner melatih audiens untuk berpikir kritis dan komprehensif. Alih-alih menerima satu sudut pandang, audiens diajak melihat persoalan dari berbagai kacamata pandang. Seringkali, logika diskusi melompat ke berbagai lintas bidang,dari ekonomi, menyinggung sejarah, lalu jump in ke sisi spiritual. Bagi peserta baru, gaya diskusi ini terasa membingungkan karena tidak sistematis. Terutama bagi mereka yang biasa berdiskusi dengan disiplin akademik. Namun justru di situlah letak pendidikan kritisnya: forum Kenduri Cinta mendobrak cara berpikir yang sempit dan dalam waktu bersamaan membuka jendela-jendela pemikiran lain.

Iklim diskusi yang terbuka dan setara juga menjadi kekhasan forum ini. Sebuah legacy dari Cak Nun yang terus dijaga para penggiatnya, meski telah banyak berganti rupa. Mereka menyebutnya dengan sinau bareng atau belajar bersama. Semua duduk setara, berdiskusi tanpa hierarki. Sebuah praktik langsung prinsip demokrasi yang mendasar: kesetaraan dalam mengemukakan gagasan, sekaligus belajar menerima perbedaan pandangan.

Iklim keterbukaan yang telah alami terbentuk itu membuat audiens terdorong untuk berani mengungkapkan gagasan maupun kegelisahannya tanpa takut disalahkan. Sebagai forum informal, Kenduri Cinta secara konsisten meningkatkan literasi demokrasi, menggugah kesadaran kritis publik, serta mengekplorasi pengetahuan mengenai nilai-nilai dasar demokrasi (kebebasan, egalitarianisme, keadilan, dll).

Karakteristik diskusi di Kenduri Cinta menekankan penggalian bersama: peserta aktif bertanya, menanggapi, bahkan berdebat secara santai. Atmosfer ini melatih literasi demokrasi warga secara langsung. Mereka belajar berdemokrasi dengan cara mengalaminya—berdialog secara setara, saling mendengar, kritis, dan menghargai perbedaan pendapat.

Selain menambah pengetahuan, literasi demokrasi yang disemai Kenduri Cinta juga bersifat nilai. Pesan-pesan moral seperti pentingnya kejujuran dan etika, keberanian mengemukakan kebenaran, dan critical thinking selalu ditekankan, terus menerus.

Suatu waktu Cak Nun pernah menyampaikan, bahwa yang membuat audiens betah di Kenduri Cinta adalah suasana ketulusan dan kerendahan hati dalam mencari ilmu. Nilai-nilai seperti itulah—saling percaya, saling menghormati, dan berani bersuara jujur—yang merupakan fondasi budaya demokrasi yang sehat.

Ruang Ketiga: Ruang Tumbuh Bersama

Di Jakarta, eksistensi ruang ketiga makin hari semakin terancam oleh fenomena komersialisasi ruang publik dan privatisasi kota. Keduanya seringkali jadi penyebab hilangnya tempat-tempat yang sebelumnya bisa digunakan masyarakat secara bebas dan egaliter. Mal dan kafe-kafe mewah bertarif mahal menggantikan peran taman kota. Trotoar yang idealnya menjadi ruang ketiga untuk berinteraksi, kerap dikuasai oleh kegiatan komersial, seperti parkir kendaraan atau lapak dagang. Ruang-ruang hijau yang tersisa, seperti taman atau ruang terbuka publik lainnya, terus berkurang bersamaan dengan derap pembangunan. Sebuah problematika khas kota urban.

Proses demokratisasi yang kita jalani pasca-reformasi membutuhkan ruang-ruang ketiga, dimana warganya dapat mempraktikkan nilai-nilai demokrasi secara langsung dan nyata. Sebagaimana sejarah kedai kopi di Inggris yang menunjukkan pentingnya ruang informal sebagai embrio demokrasi, begitu pula di Indonesia, forum semacam Kenduri Cinta adalah sarana untuk mengasah skill demokrasi pada level terkecil yaitu komunitas.

Ruang ketiga punya peran penting bagi kehidupan kota. Ia bukan sekadar tempat gabut, melainkan juga punya peran sosial. Kota metropolitan dan multi kultur seperti Jakarta perlu menyediakan keduanya: ruang fisik untuk melepas penat dan ruang sosial untuk bertumbuh bersama.

Agar manusia-manusia Jakarta seperti Amien Subhan, Karim, dan Teguh tidak hanya menjadi individu yang sekadar menjalani rutinitas kehidupan kota, tetapi juga tumbuh menjadi warga kota yang aktif, dan pada akhirnya mampu berperan lebih jauh lagi, menjadi warga negara yang bertanggung jawab, kritis, serta memiliki kesadaran demokrasi yang matang.

SendTweetShare
Previous Post

Jejak Kalijaga, Cak Nun dan Maiyah

Next Post

Keheningan Negara dan Tolak Ukur Kearifan

Rony Oktavianto

Rony Oktavianto

Related Posts

Keheningan Negara dan Tolak Ukur Kearifan
Esensia

Keheningan Negara dan Tolak Ukur Kearifan

June 26, 2025
Jejak Kalijaga, Cak Nun dan Maiyah
Esensia

Jejak Kalijaga, Cak Nun dan Maiyah

June 24, 2025
Berdekatankah Kita?
Esensia

Berdekatankah Kita?

June 23, 2025
Intermezzo: Drone Tiba-Tiba Jatuh
Esensia

Intermezzo: Drone Tiba-Tiba Jatuh

June 22, 2025
Rahim Ibu
Esensia

Rahim Ibu

June 21, 2025
The Unstoppable Mediocre
Esensia

The Unstoppable Mediocre

June 20, 2025

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta