Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Esensia

Cakue Keyakinan

Amien Subhan by Amien Subhan
May 28, 2025
in Esensia
Reading Time: 4 mins read
Cakue Keyakinan

Menjelang Reboan edisi pasca Kenduri Cinta Mei 2025 Angon Laa Roiba, teman-teman mulai datang. Serombongan teman yang baru datang langsung melingkar terjebak dalam satu topik yang tidak lazim: cakue. Sebuah gorengan sederhana berbentuk memanjang, kadang mirip simbol tak jelas, kadang seperti dua orang yang sedang berpelukan kaku. Tak ada yang benar-benar tahu siapa yang waktu itu pertama kali memulai, tapi sejak kata cakue muncul, tawa pun meledak berulang-ulang, seperti barisan komika di panggung yang punchline-nya tidak ada jeda.

Sebagian yang baru datang merasa bingung. “Kenapa cakue lucu?” mungkin bisik mereka dalam hati, termasuk saya. Bahkan saya cenderung gelisah, takut tertinggal pemahaman atas konteks lelucon yang terasa seperti kode. Mungkin cakue bukan lagi makanan, tapi password. Mungkin ini semacam ujian seleksi Reboan, yang tahu arti tersembunyi cakue baru bisa duduk di lingkaran.

Tapi dari keganjilan itu, saya justru tertarik. Kenapa sebuah hal sederhana seperti cakue bisa menjadi asik dibahas? Barangkali karena dalam simbol-simbol kecil, sering tersembunyi makna besar. Barangkali cakue bukan soal adonan tepung dan minyak, tapi soal sebuah keyakinan. Memang sebuah realita akan lewat begitu saja jika tidak ada rasa penasaran terhadapnya. Tapi jika ada rasa penasaran yang kuat, meskipun untuk mengungkap sesuatu yang nampak sepele itu nyaris mustahil, tapi penasaran atas sesuatu itu justru diupayakan.

Di tempat yang berbeda, ada seorang pria bernama Jaka. Setelah kehilangan pekerjaan dari pabrik tempat ia bekerja, Jaka memilih berjualan cakue. Modal dari mertuanya ia terima sebagai amanah, dan dengan semangat baru, ia membeli gerobak bekas seorang pedagang cakue yang dulu sangat laris.

Letaknya di pinggir jalan besar, jalur cepat yang setiap hari dilalui ribuan kendaraan. Dulu, saat masih menjadi karyawan, Jaka sering lewat sana dan melihat banyak orang berhenti hanya untuk membeli cakue. Ia berpikir, jika gerobak yang sama, lokasi yang sama, bahkan resep yang lebih ditingkatkan, tentu hasilnya akan lebih baik.

Tapi dua minggu berlalu, dan cakue-nya nyaris tak laku.

Jaka berdiri seharian, menatap kosong kendaraan-kendaraan yang melesat, berharap salah satu akan menepi. Satu-dua orang membeli, itu pun lebih karena kasihan. Ia mulai ragu: apakah rezekinya sedang diuji? Atau justru keyakinan alih profesi adalah pilihan yang keliru?

Hal-hal ‘supranatural’ sering kali menggoda orang-orang yang mulai buntu dalam usahanya. Larilah mereka ke hal-hal mistik. Pengasihanlah, penglarislah, pesugihanlah dan macem-macem hal. Orang-orang “pintar” diburu untuk mendapatkan solusi jitu. Apa itu salah? Karena yang dialami Jaka begitu juga ternyata. Setelah dua minggu jualanya tetep sepi, atas referensi teman, Jaka memutuskan datang ke “Orang Pintar”.

Setelah bertemu, Jaka menjelaskan detail mengenai usahannya, alasan dia pindah profesi setelah PHK, hubungan bisnis modal usaha dari mertua dan segala macam, Si Orang Pintar yang ditemuinya lantas menyuruh Jaka jangan lagi jualan di situ, pindah tempat. “Mas Jaka, Mas Jaka, siapa yang mau berhenti di jalur cepat? Kecepatan mobil 80 km/jam, kalau berhenti tiba-tiba demi cakue, bisa celaka.” Itu saja. Tak ada mantra. Tak ada sesajen. Hanya fakta sederhana yang selama ini tak terpikirkan.

Seringkali data informasi kurang lengkap sehingga penyikapan pada suatu persoalan kurang tepat juga. Keyakinan terbentuk dari serangkaian data informasi yang terakumulasi. Pada prosesnya keyakinan akan selalu di-challenge oleh realita baru. Realita baru bisa menambah keyakinan dan membuat keyakinan semakin kuat atau sebaliknya dapat mengkoreksi keyakinan lama.

Jaka yang semasa kerja sebagai karyawan lewat jalan itu selalu melihat satu-satunya penjual cakue di pinggir jalan ramai pembeli. Lantas setelah di-PHK dapat informasi bahwa pedagang cakue itu akan menjual usahanya bagi siapa saja yang berminat. Tanpa pikir panjang, Jaka menerima tawaran modal usaha dari mertuanya untuk membeli bisnis cakue di pinggir jalan tadi. Tapi kenapa setelah Jaka yang jualan jadi sepi pembeli? Padahal sebelumnya Jaka selalu melihat antrean pembeli mengerumuni. Apakah cakue jualanya kurang enak? Tidak juga ternyata, cakue-nya justru lebih enak dari cakue buatan pedagang sebelumnya.

Setahun sebelumnya di lokasi yang sama, nampak seorang perempuan cantik dengan dandanan menarik sedang memulai usaha berjualan cakue di pinggir jalan. Satu-satunya pedagang di pinggir jalur cepat itu. Sehingga siapapun pengendara baik mobil maupun motor yang lewat akan dengan mudah untuk tercuri perhatiannya. Meski lokasinya agak susah parkir untuk membeli cakue, tapi seminggu setelah hari pertama berjualan cakue yang dijajakan selalu ludes oleh pembeli. Bahkan sesekali nampak beberapa pengendara motor sudah antre membeli ketika si penjual cantik itu masih menyiapkan cakue dagangannya.

Seringkali kita mengira bahwa keyakinan cukup untuk mengambil keputusan, padahal sering kali kita terburu-buru mengambil keputusan sebelum melihat kenyataan secara utuh. Keyakinan bukanlah menutup mata dan berharap mukjizat. Keyakinan adalah melangkah dengan keberanian, sambil terus membuka mata pada perubahan, pada informasi, dan pada logika yang kadang sederhana.

Jaka mengira bahwa kegagalannya adalah ujian spiritual. Tapi bisa jadi itu adalah ujian rasionalitas. Sebuah panggilan agar kita tidak melulu menyalahkan takdir, tapi belajar dari peta dan lalu lintas manusia.

Cakue, dalam cerita ini, bukan hanya makanan. Ia menjadi simbol: tentang harapan yang mengembang, tentang keyakinan yang harus digoreng dalam minyak panas kenyataan. Dan seperti cakue yang terlalu cepat diangkat akan mentah, atau terlalu lama digoreng akan hangus, demikian pula keyakinan kita. Ia butuh waktu. Ia butuh keseimbangan antara sabar dan sadar.

Terkadang, yang kita kira mistik adalah logika. Yang kita kira takdir adalah pola yang berulang. Dan yang kita kira “tidak laku karena belum rezeki”, sebenarnya adalah tidak laku karena tidak ada alasan orang untuk berhenti.

Jaka pun memutuskan pindah lokasi ke tempat yang lebih strategis. Ia belajar, bukan dari kitab tebal atau bisikan ghoib, tapi dari lalu lintas sore dan kebiasaan orang yang lapar selepas kerja. Gerobak Jaka kini laris manis. Ia masih berdoa, tapi kini sambil membaca pola. Ia tetap percaya takdir, tapi tak menolak riset. Dia mengakui kekeliruannya yang telah lalu dan dijadikan sebagai pelajaran terbaik untuk keberlanjutan langkah berikutnya.

SendTweetShare
Previous Post

Meritokrasi Pawon

Next Post

Belajar dari Al-Baqarah Ayat 216

Amien Subhan

Amien Subhan

Related Posts

Keheningan Negara dan Tolak Ukur Kearifan
Esensia

Keheningan Negara dan Tolak Ukur Kearifan

June 26, 2025
Cerita Ruang Ketiga di Kenduri Cinta
Esensia

Cerita Ruang Ketiga di Kenduri Cinta

June 25, 2025
Jejak Kalijaga, Cak Nun dan Maiyah
Esensia

Jejak Kalijaga, Cak Nun dan Maiyah

June 24, 2025
Berdekatankah Kita?
Esensia

Berdekatankah Kita?

June 23, 2025
Intermezzo: Drone Tiba-Tiba Jatuh
Esensia

Intermezzo: Drone Tiba-Tiba Jatuh

June 22, 2025
Rahim Ibu
Esensia

Rahim Ibu

June 21, 2025

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta