Kenduri Cinta edisi 14 Februari lalu dengan tema ESTAFET SYUKUR menjadi edisi yang meriah. Kehadiran Bang David Nurbianto dan Bang Hendri Satrio menyajikan suasana diskusi yang sangat menyegarkan. Kehadiran Bang David dan Bang Hensa melengkapi khasanah ilmu dari Ustadz Noorshofa, Bang Boim juga Ustadz Nanda. Saking meriahnya Kenduri Cinta edisi Februari, tidak terasa durasi berlangsungnya forum sudah hampir mendekati durasi Kenduri Cinta seperti sebelum era pandemi Covid-19. Edisi Februari kemarin selesai tepat jam 03.00 dinihari.
Seperti halnya Kenduri Cinta biasanya, forum berlangsung wajar-wajar saja, dimulai jam 19.30 WIB, diawali dengan sesi sholawat, kemudian diskusi sesi 1 sebagai pemantik sebelum memasuki diskusi sesi utama. Diantara sesi diskusi, diisi jeda music dari seniman yang membawakan karya music, baik karyanya sendiri maupun karya Musisi lain yang ia bawakan.
Satu hal yang masih dijaga bersama di Kenduri Cinta sampai hari ini adalah bahwa Kenduri Cinta tidak pernah mempublikasikan siapa saja narasumber yang hadir di forum diskusi bulanan ini. Bukan tanpa alasan, karena memang penggiat Kenduri Cinta ingin semua jamaah yang datang bukan karena ketokohan atau popularitas narasumber yang hadir. Selain itu, agar menjaga orisinalitas nuansa Kenduri Cinta itu sendiri sebagai sebuah forum diskusi terbuka untuk rakyat, yang bisa membincangkan apa saja, dari sudut pandang apa saja. Seperti yang dulu Cak Nun pernah sampaikan bahwa Kenduri Cinta dan juga forum Maiyahan lainnya adalah forum dengan seribu podium. Forum terbuka dengan konsep panggung yang tidak terlalu tingga sehingga juga tidak berjarak dengan audiens yang hadir. Ciri khas ini masih terus dipertahankan di forum-forum Maiyahan, baik di Kenduri Cinta maupun di Simpul Maiyah yang lainnya.

Salah satu sesi yang menarik adalah sesi tanya jawab, yang biasanya baru dibuka setelah jeda musik kedua, lewat tengah malam. Pertanyaan-pertanyan “Ajaib” kerap muncul di sesi ini. Setidaknya Bang Hensa (Hendri Satrio) mengakui hal itu, yang kemudian pada edisi Desember lalu, Bang Pandji pun mengalami hal yang sama.
Di Kenduri Cinta edisi Februari lalu, saat dibuka sesi pertanyaan, ada pertanyaan dari seorang Perempuan Bernama Wartini, dia bertanya kepada Bang Hensa mengenai romantisme kebersamaan Pak Prabowo dan Pak Jokowi. Yang ditanyakan adalah kapan romantisme itu akan berakhir? Atau secara vulgarnya adalah kapan Pak Prabowo akan melepaskan diri dari pengaruh Pak Jokowi? Sebuah pertanyaan yang “Ajaib”, karena ditanyakan di jam 2 dinihari di Kenduri Cinta. Meskipun, bagi Jamaah Maiyah hal tersebut sangat wajar-wajar saja, karena sudah ada ribuan pertanyaan “Ajaib” yang muncul di tengah malam, bahkan dinihari di forum-forum Maiyah lainnya seperti Padhangmbulan, Mocopat Syafaat, Bangbang Wetan, Gambang Syafaat dan yang lainnya.
Pertanyaan tersebut tentu saja bisa dijawab secara diplomatis dengan baik oleh Bang Hensa, karena memang Bang Hensa adalah seorang pakar komunikasi politik. Jawabannya bisa disimak nanti saat videonya dirilis di channel Youtube Komunitas Kenduri Cinta.
Pertanyaan lain datang dari Arnold, Jamaah asal Cikarang yang bertanya tentang konsep syukur, bagaimana menemukan rasa Syukur setelah chaos dalam keluarga? Dan apakah memang ada konsep atau pemahaman “terlalu bersyukur”? Pertanyaan ini dijawab dengan baik juga oleh Ustadz Nanda Avalist.
Ada 1 pertanyaan yang muncul malam itu, ditanyakan oleh Rafi, seorang Jamaah Maiyah asal Cilacap yang malam itu berangkat dari Cilacap untuk menyengajakan diri hadir di Kenduri Cinta. Ia mengakui sudah pernah datang ke Mocopat Syafaat dan beberapa Simpul Maiyah lainnya. Pertanyaan yang dilontarkan oleh Rafi kurang lebih adalah: Bangsa Indonesia ini semakin mudah terpolarisasi, sehingga rakyatnya terpecah-belah dalam beberapa pengkotakan-pengkotakan, apakah gerakan Reformasi yang pernah terjadi di tahun 1998 dimana Cak Nun terlibat di dalam gerakan itu bisa terulang lagi saat ini?
Pertanyaan ini tidak sempat terjawab, karena Bang Hensa dan Bang David sangat on fire untuk saling sahut-sahutan malam itu. Suasana gerr diskusi yang begitu meriah dinihari itu, membuat pertanyaan Rafi tidak sempat terbahas atau direspon oleh narasumber.
Izinkan saya merespon pertanyaan Rafi tersebut. Tentu saja dari Point Of View saya pribadi.

Apakah bisa Gerakan atau peristiwa Reformasi 1998 itu diulang kembali? Jawabannya adalah bisa. Hanya saja faktor-faktor pendukungnya juga harus dipenuhi.
Pertama, harus ada musuh bersama. Saat Reformasi 1998, Presiden Soeharto adalah musuh bersama rakyat Indonesia. Sebagai Presiden berkuasa 32 tahun, ia adalah seorang Presiden yang otoriter dengan kekuatan militer dan politik yang ia pegang. Tidak mudah menggeser hegemoni kekuasaannya, apalagi ia dikelilingi oleh orang-orang yang memiliki prinsip ABS: Asal Bapak Senang. Jadi, jika belum ada musuh bersama, maka gerakan Reformasi itu sangat sulit bisa diulang kembali.
Kedua, krisis ekonomi. Yang membuat Presiden Soeharto saat itu terpojok adalah krisis ekonomi yang semakin membahayakan. Nilai tukar rupiah terhadap dollar melemah drastis dalam beberapa bulan saja. Dari yang awalnya Rp. 2.500 per 1 USD, melemah drastis menjadi Rp. 16.000 per 1 USD. Akibatnya, harga bahan makanan pokok melonjak drastis. Pemerintah mau tidak mau melakukan operasi pasar dimana-mana untuk meredam krisis ekonomi tersebut, karena kas Negara tidak mencukupi, maka Negara akhirnya berhutang ke pihak lain.
Ketiga, campur tangan Negara lain. Hampir semua penggulingan kekuasaan atau pemerintahan sebuah Negara dipengaruhi oleh kekuatan Negara lain. Tentang Negara mana yang bermain, kita bisa berdiskusi lebih lanjut. Namun, yang terjadi di Indonesia di tahun 1998 bisa dipastikan karena pengaruh Negara adidaya yang sangat kuat yang juga memiliki kepentingan untuk melengserkan Presiden Soeharto saat itu.
Keempat, dibutuhkan tokoh sentral penggerak yang tidak memiliki kepentingan politik. Cak Nun dan alm Cak Nur saat itu adalah dua diantara sekian tokoh Reformasi yang tidak memiliki kepentingan politik praktis. Berbeda dengan Amien Rais dan juga Megawati Soekarnoputri saat itu. Ada beberapa tokoh lain yang juga muncul, kebanyakan memiliki kepentingan politik praktis.
Setidaknya, ada 4 faktor itu yang harus dipenuhi terlebih dahulu untuk mampu menggerakan Reformasi seperti tahun 1998. Dan tentu saja, sekarang tantangnnya tidak mudah. Terlebih saat 1998 dulu internet tidak semudah hari ini diakses, sehingga ada celah lain yang perlu diobservasi lagi, terutama dalam persoalan distribusi informasi. Di tahun 1998, saat akses komunikasi terbatas, meskipun ada kemungkinan kebocoran informasi ke pihak penguasa, namun sangat mungkin bisa diantisipasi. Berbeda dengan hari ini, disaat Pemerintah juga memiliki kontrol penuh terhadap distribusi informasi ke publik, maka kebocoran informasi sebuah pergerakan akan sangat mudah terjadi.
Namun, ini hanya persoalan teknis saja. Jika 4 faktor diatas terpenuhi, bukan tidak mungkin gerakan Reformasi seperti 1998 bisa diulang kembali di Indonesia dalam rangka untuk me-restart kembali sistem tata kelola Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.
Namun, untuk saat ini tentu tidak mudah untuk memenuhi 4 faktor tersebut. Hasil survey terakhir membuktikan bahwa rakyat puas dengan kinerja Pemerintah hari ini. Jika kita berbicara mengenai kondisi ekonomi hari ini, rakyat memang mengalami kesusahan, namun belum sampai pada tahap mengalami kesulitan mendapatkan bahan makanan pokok. Rakyat mungkin susah mendapatkan uang, tetapi tidak susah membeli bahan makanan pokok. Rakyat bisa berhutang, sehingga kebutuhan dasarnya bisa terpenuhi. Juga, sesusah-susahnya rakyat Indonesia, nyatanya sudah teruji untuk mampu bertahan hidup. Pandemi Covid-19 memang memakan korban lebih dari 150.000 jiwa di Indonesia, namun secara umum rakyat Indonesia berhasil melewati pandemi itu dan berhasil untuk survive.
Pertanyaan selanjutnya yang harus kita temukan jawabannya adalah, akan kemana sebenarnya arah Pemerintahan Prabowo-Gibran dalam 5 tahun ke depan ini? Pertanyaan yang sampai hari ini tidak mudah untuk ditemukan jawabannya. Program-program Pemerintah secara umum masih dalam proses perencanaan dan pelaksanaan, belum bisa kita nilai keberhasilannya. Benar, ini masih hitungan bulan, baru melewati masa titik awal 100 hari Pemerintahan.

Dengan kondisi dan fakta di lapangan, bahwa masih banyak masyarakat di akar rumput yang merasa puas dengan kepemimpinan Presiden Jokowi selama dua periode, dan sekarang mereka berharap agar Presiden Prabowo mampu melanjutkan atau setidaknya mengulangi pencapaian Presiden Jokowi sebelumnya.
Kita tidak bisa menghindari bahwa fakta masyarakat di akar rumput mayoritas merasa puas dengan kepemimpinan Presiden Jokowi. Kita yang mungkin berada di posisi yang lebih baik secara intelektualitas mampu melihat bahwa kondisi Negara ini sedang tidak baik-baik saja ini memiliki PR yang cukup berat untuk memberi pemahaman kepada masyarakat di akar rumput. Kita tidak bisa menyalahkan kondisi rakyat di bawah yang merasa puas dengan pengelolaan Negara saat ini, karena mungkin kebutuhan mendasar mereka dapat terpenuhi. Sesederhana itu memang.
Bang Hensa sendiri pun mengakui, bahwa fakta itu tidak bisa dihindari. Fakta bahwa masih banyak rakyat di bawah yang merasa puas dengan Pemerintahan saat ini, karena merupakan keberlanjutan dari Pemerintahan sebelumnya. Karena memang kepuasan mereka sangat sederhana. Asalkan kebutuhan mendasar mereka terpenuhi, sudah cukup memuaskan bagi mereka. Berbeda dengan kita yang mungkin memiliki point of view yang berbeda. Kita mungkin bisa melihat bagaimana Hukum dan Konstitusi diobrak-abrik, yang kemudian akan berdampak pada keputusan politik dan kebijakan politik yang diambil oleh Pemerintah.
Kita yang memiliki akses intelektual yang lebih luas, mungkin mampu melihat ada ancaman nyata dari kemunculan Artificial Intelligence yang harus segera diantisipasi. Kita yang lebih melek teknologi, mungkin juga melihat dampak nyata dari media sosial, kita yang lebih faham mengenai trending topic merasa miris karena vídeo-video yang viral di TikTok lebih banyak tentang joget-joget atau informasi hoaks dibandingkan informasi yang bermanfaat atau ilmu yang berguna untuk kehidupan sehari-hari.
Memang, PR kita berat. Maka dari itu, Kenduri Cinta ini kita upayakan untuk terus ada. (Fahmi Agustian).