Kenduri Cinta
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak
No Result
View All Result
Home Esensia

Antara Priok dan Jombang

Ridwan by Ridwan
May 18, 2025
in Esensia
Reading Time: 4 mins read
Antara Priok dan Jombang

SEBELUM MASUK ke konten pembahasan, saya mencoba untuk memberikan sekilas klarifikasi atas stigma buruk mengenai Priok, atau lebih lengkapnya Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Entah mengapa, bagi beberapa orang ketika mendengar kata ‘Priok’—maaf— pasti berkonotasi buruk dan negatif. Dalam benak beberapa orang, orang-orangnya identik dengan narkoba, kekerasan, wajah kemiskinan absolut, dan reputasi premanisme yang meluas.

Fenomena di atas memang sulit untuk dibantah. Namun sebagai orang yang lahir di Priok, saya mencoba untuk memberikan kesaksian (musayahadah) dengan apa adanya. Oh iya, pembahasan Priok ini hanya sebatas wilayah Priok tidak termasuk Kelapa Gading, meskipun sama-sama berada dalam lingkup Jakarta Utara.

Melansir data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis tahun 2022 jumlah penduduk yang bermukim di Kecamatan Tanjung Priok berjumlah 203.206 jiwa. Sedangkan Kecamatan Koja berjumlah 170.822 jiwa. Jumlah yang fantastis bukan? Secara wilayah, Tanjung Priok memiliki keistimewaan luar biasa, yaitu bisa menikmati pemandangan laut secara gratis. Jika melewati Perusahaan Bogasari, laut terbentang tanpa penghalang sedikit pun.

Bila kita geser ke ranah pekerjaan, mayoritas masyarakat bekerja pada sektor trasportasi dan logistik, terutama terkait dengan bongkar muat barang dan jasa. Alasannya tak lain karena memang dekat dengan Pelabuhan Tanjung Priok. Ada juga yang bekerja sebagai Wiraswasta, Jasa Air Gerobakan, Pengepul kardus-barang bekas, dan yang lainnya.

Lalu bagaimana dengan kondisi perekonomian masyarakatnya? Secara garis besar, hampir sama dengan wilayah lainnya di Jakarta. Namun bila melihat kondisi di atas, secara ideal masyarakat sekitar mestinya dapat lebih mapan, kalaupun tidak, ya berkecukupan. Di lapangan, pemandangan jasa sampah keliling dengan gerobak besi atau kayu mudah ditemui. Aktivitas ini dilakukan oleh bapak-bapak, pemuda, bahkan anak sekolah. Sebuah ironi yang miris untuk disaksikan. Kondisi Priok yang berdekatan dengan pelabuhan—yang juga merupakan penggerak ekonomi nasional— justru tidak merasakan dampak bagi masyarakat sekitar. Aneh bin Ajaib.

Itulah sekelumit tentang Priok. Lalu, bagaimana saya bisa tersambung dengan Taman Ismail Marzuki (TIM) dan kegiatan Kenduri Cinta di dalamnya? Jawabannya tak lain adalah Muhammad Ainun Nadjib, atau Cak Nun, yang seiring waktu disapa lebih mesra dan karib sebagai Mbah Nun.

Membicarakan sosok sekaliber Cak Nun tak bisa dilakukan secara satu dimensi. Ia hadir di banyak ruang pergaulan, baik desa maupun kota, santri maupun abangan, konglomerat hingga kaum melarat. Hampir semua mengenalnya. Inilah kepiawaiannya dalam bertutur yang begitu khas, hangat, dan menyentuh. Waktu terasa singkat saat ia berbicara karena kita larut dalam suasana, menikmati tiap kalimat, diselipi humor segar yang membuat terpingkal-pingkal, namun tetap sarat makna.

Dimensi pemikiran Cak Nun dapat dinikmati lewat karya-karya tulisnya. Di ranah seni, ia menyumbangkan lirik-lirik yang diiringi kelompok musik Kiai Kanjeng. Sementara dari sisi kemanusiaan, ia konsisten membela kaum lemah dan tertindas, seperti yang terekam dalam kasus Kedung Ombo dan Lumpur Lapindo di Sidoarjo.

Sebenarnya, pertama kali saya mendengar nama Cak Nun, manakala sedang mendengarkan radio. Selang berikutnya, di televisi  Indosiar dengan program Cermin dengan durasi amat singkat.

Tahap paling intens terjadi saat saya kuliah di UIN SGD Bandung. Di sanalah curiosity saya terhadap Cak Nun tumbuh kuat. Saya mulai memburu dan membaca buku-bukunya. Dari situ, saya menemukan perbedaan mencolok, narasinya ringan, mudah dicerna, namun sarat makna. Setiap karya memiliki kekhasan dan corak tersendiri. Yang unik, hampir semua bukunya tidak memuat daftar pustaka. Wow, inilah keunggulan karya-karya beliau. Ia menulis dengan ijtihad, menjangkau berbagai bidang, mencakup budaya, ekonomi, filsafat, komunikasi, hingga seni. Inilah sosok Mujtahid (subjek) sekaligus ulama ****sejati, dengan gaya pemaparan yang lugas, membumi, dan memikat banyak kalangan.

Lalu, apa sebenarnya irisan antara Priok dan Jombang? Irisannya cukup dekat. Di Priok, dahulu ada nama-nama jalan yang memakai nama daerah, seperti Jalan Donggala, Dayak, Jambi, Jember, dan Jombang. Namun kini, semua itu tinggal kenangan. Area tersebut telah berubah menjadi jalur keluar-masuk kontainer. Ratusan rumah digusur demi perluasan terminal, tanpa ganti rugi yang layak. Ya, saya adalah Agus, alias anak gusuran. Tak jarang saya emosional melihat penggusuran dilakukan dengan kekerasan oleh aparat, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan. Di balik payung hukum dan regulasi, segalanya bisa dibabat habis atas nama pembangunan. Loh kok jadi curhat ya?

Jombang, sebagai Ibu Maiyah, telah melahirkan banyak simpul di berbagai daerah—salah satunya Kenduri Cinta (KC) Jakarta. Di sinilah titik balik cara pandang saya terhadap hidup, kesehatan, dan berbagai aspek lainnya. Segalanya bergeser karena koordinatnya berubah. Di Maiyah, kita diajak berpikir tidak linier, mengasah akal lewat berbagai dimensi: sisi pandang, jarak pandang, bulatan pandang, hingga resolusi pandang, seperti yang dikatakan Mas Sabrang.

Di Kenduri Cinta, semua dipelajari baik dari barat-timur. Namun, tanpa menafikan nilai yang kita anut. Atau memakai istilah Mbah Nun, “Jowo di gowo, Arab digarap, Barat diruwat”. Ini bisa menjadi falsafah hidup bagi individu. Dengan mengejawantah falsafah tersebut, kita dapat menjadi diri sendiri dengan akar menghunjam ke tanah. Tidak mudah terombang-ambing dengan keadaan cuaca yang ada mengitarinya, bahkan dengan skala global sekalipun.

Pada 27 Mei, kita merayakan milad Mbah Nun yang ke-72. Saya mengucapkan terima kasih atas karya-karya dan perjalanan Maiyah yang menyentuh berbagai daerah: desa, kota, pedalaman, pegunungan, kampus, hingga pesantren. Semua dilakukan dengan jiwa melayani tanpa diskriminasi. Kesetiaan Mbah Nun yang tinggi menginspirasi kami, para pejalan sunyi, menantikan kehadiranmu, baik secara fisik maupun dalam cinta hati.

Harapan saya, Kenduri Cinta tetap menjadi rumah bagi semua, tanpa memandang karakter, pandangan, suku, maupun agama. Sebagai penutup, saya kutip Al-Ahzab ayat 21 yang berbunyi, “Laqod kaana lakum fi Rosulillahi uswatun hasanah” — sungguh, Rasulullah adalah suri teladan yang baik. Uswatun hasanah itulah yang diwariskan para rasul, nabi, hingga ulama kepada umatnya, termasuk Mbah Nun. Sejak muda, beliau mendedikasikan hidupnya untuk pendidikan, seni, mendampingi wong cilik, dan meredam konflik. Semoga Maiyah dan Kenduri Cinta dapat menjaga api uswatun hasanah tetap menyala dan lestari di Indonesia kita tercinta, menuju Toto Tentrem Kerto Raharjo, bahkan, jika boleh, menjadi Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.

SendTweetShare
Previous Post

Rezeki Sudah Ada yang Ngatur, Rezeki Sudah Tertakar

Next Post

Kenduri Cinta: Tiga Ratus Bulan

Ridwan

Ridwan

Related Posts

Lelaki di Ujung Cinta
Esensia

Lelaki di Ujung Cinta

June 27, 2025
Keheningan Negara dan Tolak Ukur Kearifan
Esensia

Keheningan Negara dan Tolak Ukur Kearifan

June 26, 2025
Cerita Ruang Ketiga di Kenduri Cinta
Esensia

Cerita Ruang Ketiga di Kenduri Cinta

June 25, 2025
Jejak Kalijaga, Cak Nun dan Maiyah
Esensia

Jejak Kalijaga, Cak Nun dan Maiyah

June 24, 2025
Berdekatankah Kita?
Esensia

Berdekatankah Kita?

June 23, 2025
Intermezzo: Drone Tiba-Tiba Jatuh
Esensia

Intermezzo: Drone Tiba-Tiba Jatuh

June 22, 2025

Copyright © 2025 Kenduri Cinta

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Mukadimah
  • Reportase
  • Esensia
  • Sumur
  • Video
  • Karya
  • Kontak

Copyright © 2025 Kenduri Cinta