SUDAH 40 HARI lamanya aku harus menerima keadaanku yang baru, berubah menjadi kaleng Khong Guan di mini market pinggir kota kecil. Tidak ada yang mencariku, bahkan pasanganku mungkin pergi dengan kekasihnya yang baru. Tapi, sesekali aku melihat keluargaku yang tidak sadar aku menjadi kaleng yang didambakannya setiap tahun.
Aku memang berasal dari keluarga kurang mampu di pinggiran kota. Sehari-hari keluarga kami selalu bertengkar soal dengan apa kami makan. Apakah dengan beras aking, singkong yang didapatkan dengan mencuri kebun milik orang lain, atau menunggu bantuan uang dari pemerintah. Tidak pernah terbayang oleh kami apa itu nasi putih atau merah, apalagi Khong Guan. Biskuit yang menjadi penyesalan kakekku karena ia tidak mampu membelinya untuk mendiang nenek, yang seumur hidupnya sangat penasaran seperti apa rasa biskuit itu.
Saat masih menjadi anak kecil, aku doyan berlari mengejar layangan putus, tentu karena aku tidak mampu membeli layangan. Bahkan benangnya saja aku kumpulkan dari sisa-sisa layangan putus yang sudah diambil orang lain, di mana aku diam-diam memutus talinya disaat aku tahu tidak akan mendapatkan layangannya. Mungkin kebiasaan itu yang aku bawa hingga dewasa, aku selalu mengincar kesempatan dari putusnya harapan-harapan mereka yang kalah dalam pertempuran. Misalnya, ketika mereka mengejar karier di ibu kota dan harus pupus karena kontrak yang tidak diperpanjang. Sedangkan aku mengais sisa-sisa kekosongan orang di sana, menjadi buruh harian yang akan didepak beberapa hari kemudian karena sudah ada calon yang lebih baik dibanding aku.
Aku teringat ketika aku petama kali tidak dapat layangan putus karena kalah sikut dengan temanku yang badannya lebih besar. Aku menangis dan menyalahkan keadaan. Nenekku datang, menamparku dengan kalimatnya yang lembut, “Pecundang kecil yang menangis, gunakan air mata itu untuk tumbuh menjadi kuat. Aku mungkin tidak melihatmu di saat kamu sudah bisa memberi arti, tapi aku tau kamu berarti.” Anak kecil mana yang mengerti kalimat seperti itu. Aku hanya terus menangis meskipun pada akhirnya aku berlari lagi untuk mengejar layangan lainnya yang putus.
Kalau dipikir-pikir lagi, nenekku itu aneh. Kenapa dengan keadaan rumah yang miskin, masih saja bermimpi makan biskuit—makanan ringan yang tidak bikin kenyang? Seingatku, nenek pernah bilang kalau ada kaleng Khong Guan di rumah ayahnya waktu dia masih kecil. Katanya itu peninggalan kakeknya sebelum pergi ke ibu kota dan tidak pernah kembali. Sejak hari itu aku tahu, kalau Khong Guan itu satu-satunya memori tentang kakeknya yang pergi dan ayahnya yang merindukannya teramat dalam.
Kalau dipikir, aneh sekali kenapa hanya ada satu Khong Guan sejak canggahku masih muda hingga saat ini. Itupun isinya sudah habis dan kalau dibuka isinya hanya kenangan yang tentu juga tidak membuat kenyang, bahkan lebih membuat lapar daripada biskuit keringnya. Entah dengan alasan apalagi, tidak mengubah keadaan yang pasti: nenekku meninggal tanpa pernah mencicipi biskuit Khong Guan.
Kini aku bekerja di ibu kota, sebuah destinasi paling manis dan sadis dari semua yang ada. Katanya, ibu kota lebih jahat daripada ibu tiri. Tapi aku belum pernah mendengar ada ibu tiri yang digadai oleh anaknya. Aku mengganti pekerjaanku yang sebelumnya adalah buruh harian, menjadi juru ketik di sebuah perkantoran dengan gedung yang berusaha mencakar langit, terbuat dari beton-beton yang membuatnya menjulang tinggi dengan sombongnya. Pekerjaanku tidak menghasilkan banyak uang, tapi yang jelas ada kekayaan yang tidak pernah keluargaku miliki, kemampuan untuk membeli biskuit Khong Guan.
Gaji pertamaku sudah ditangan, kini tinggal kaki yang melangkah ke minimarket. Aku ingin membuatnya lebih dramatis, mengajak kakek, ibu, ayah, anakku, dan juga kekasihku tercinta untuk membeli biskuit Khong Guan untuk pertama kali di hidupnya, tepat diatas tanah bekas milik mendiang nenek yang terpaksa dijual kepada orang kota dan dijadikannya minimarket satu-satunya disini.
Kacamata hitam, kemeja kerah yang kaku dan sepatu pantofel hitam. Necisnya aku menyambut momen ini. Semua mengikutiku dibelakang, dengan pakaian seadanya dan lusuh. “Ding dong,” bunyi bel pintu terbuka. Aku disapa tapi tidak kujawab, aku hanya mengucap, “Tunjukkan padaku, dimana letak biskuit Khong Guan itu”. Tangan dari petugas toko yang lemas menunjuk lorong tengah berisikan kumpulan biskuit.
Tanganku berusaha menggapai kaleng paling depan, aku memandang mereka semua dibelakangku, terlihat lusuh dan seperti mengatakan sesuatu yang tertahan sejak pintu masuk: “Kami lapar, cepatlah.”
Tanpa ada ucapan selamat tinggal, tiba-tiba aku menjadi kaleng Khong Guan. Aku memanggil mereka, tak ada yang mendengar. Tapi aku melihat kakekku mengelus tubuh kaleng ini dengan perut yang kelaparan, anakku menangis minta dibelikan, ayahku dengan bau apek keringatnya dan mata yang berkaca-kaca karena tidak bisa membelinya, dan ibuku yang berusaha memaksa untuk membelinya meskipun harus menahan lapar di kemudian hari. Pasanganku? Dia pergi dengan segera meninggalkan mereka sembari menjemput kekasih gelapnya yang ternyata ada di minimarket, dan kulihat sudah ada biskuit Khong Guan dalam kantong belanjaannya.
Tidak terasa sudah 40 hari dan aku masih di sini. Keluargaku masih mengulang hal yang sama di sini, tapi entah apakah mereka sadar aku sudah menjadi kaleng Khong Guan yang suatu saat nanti anakku mampu membelinya dan berkata bahwa kaleng Khong Guan adalah memori terakhir tentang ayahnya, yang entah bagaimana, menghilang setelah bekerja di ibu kota.