Ternyata kekuasaan selalu datang dengan topeng: satu sisi menjanjikan ketertiban, di sisi lain menyembunyikan kecemasan akan kehilangan dirinya sendiri. Di sebuah foto lama, Nelson Mandela berdiri tegak dengan senyum yang seperti menyimpan luka dan kemenangan sekaligus. Ia pernah mengingatkan bahwa seorang penjahat tidak pernah membangun negara; ia hanya memperkaya diri sambil merusaknya. Sebuah kalimat yang terdengar sederhana, tapi menggema seperti palu yang jatuh ke meja hakim—menandai siapa sesungguhnya yang tengah mengadili siapa.
Dalam sejarah kita sendiri, para penguasa kerap tampil bagaikan pawang hujan yang menjanjikan langit cerah, padahal sembunyi-sembunyi mereka menadah air untuk kepentingan ladangnya sendiri. Negara menjadi semacam kebun luas yang dijarah perlahan—tanpa keributan, tanpa darah, hanya dengan tanda tangan yang diatur presisi. Di sinilah kata “pembangunan” memperoleh makna ironisnya: ia tak selalu berdiri di atas pondasi, kadang justru di atas penggerusan.
Di masa yang lain, seorang leluhur mungkin pernah memperingatkan bahwa “air yang keruh bukan tanda kedalaman, hanya pertanda dasar yang terus terusik.” Kita hidup di zaman ketika kekeruhan sering disalahartikan sebagai kedalaman. Para penjarah tampil sebagai penyelamat; mereka mengutip ayat, statistik, atau sejarah, seakan-akan integritas bisa dipinjam sebentar dari buku pelajaran.
Mandela, yang menghabiskan hampir separuh hidupnya dalam penjara, tahu bahwa kekuasaan adalah ujian yang paling setia. Penjara memberikan ruang untuk melihat dari kejauhan: siapa yang membangun negeri, siapa yang membangunnya sambil mencungkil batu pondasinya. Dari balik jeruji, ia menemukan bahwa merusak negeri tidak selalu tampak dramatis. Kadang ia hadir sebagai keheningan yang panjang, sebagai birokrasi yang membusuk, sebagai senyum pejabat yang sedikit terlalu lebar.
Di negeri-negeri yang terus mencari dirinya sendiri, kita belajar bahwa integritas adalah barang langka—bukan karena sulit diciptakan, tetapi karena terlalu murah untuk dijual. Seorang penguasa yang kehilangan integritasnya tidak berbeda dari perampok yang memakai jas safari: rapi di luar, kosong di dalam.
Pada akhirnya, kata Mandela, itu bukan sekadar vonis moral; ia adalah cermin yang dipasang di tengah jalan sejarah. Setiap bangsa harus menatapnya, melihat bayangannya sendiri, dan bertanya: apakah kita sedang membangun rumah, atau justru merapikannya sambil merobek fondasinya? Karena negara yang dikelola oleh mereka yang hanya ingin memerasnya akan runtuh dengan cara paling sunyi—pelan, tanpa gempa, hanya dengan retakan kecil yang tak dihitung, hingga suatu hari kita tersadar bahwa rumah itu ternyata roboh dari dalam.
Seperti dalam semua mozaik yang retak, kita membutuhkan seseorang—atau mungkin sebuah generasi—yang berani menyusun kembali kepingan itu. Dengan tangan bersih. Dengan keberanian yang tak bisa dibeli. Karena negara, pada akhirnya, hanya bisa berdiri oleh mereka yang lebih mencintainya daripada mencintai diri sendiri.
Pesan itu selalu kembali dari masa lalu seperti angin yang membawa debu sejarah: tak pernah benar-benar pergi, hanya berpindah tempat. Di banyak negeri, di banyak era, kekuasaan kerap berubah menjadi semacam kebun gelap tempat para pemegang jabatan menanam kepentingan pribadi. Mereka menyebut dirinya “pelayan publik”, tetapi tangan mereka lebih sering sibuk menakar berapa banyak yang bisa dipindahkan ke saku sendiri. Dari sini kita belajar satu hal sederhana namun getir: negara tidak selalu digerogoti oleh musuh; kadang ia digerogoti oleh orang-orang yang dipilih untuk menjaganya.
Ketika kebijakan berubah menjadi barter, ketika keputusan publik digiring ke ruang-ruang sempit yang hanya dapat dimasuki oleh beberapa nama yang sama dari generasi ke generasi, negara menjadi tubuh yang sakit. Perlahan, tak tampak di permukaan, tetapi nyeri itu berjalan konstan—seperti penyakit yang merayap lewat pembuluh darah. Bangsa yang dikelola seperti perusahaan keluarga akan selalu menemukan dirinya berada di tepi jurang, karena ia kehilangan sesuatu yang tak bisa dibeli: kepercayaan rakyatnya sendiri.
Kekuasaan tanpa moral sejenis mesin yang tak mengenal rem. Ia bergerak cepat, efisien, bahkan tampak berhasil pada awalnya. Tapi sebagaimana mesin yang pelumasan-nya diabaikan, ia akan terbakar dari dalam, lalu meledak dengan cara paling tidak terduga. Korupsi, dalam pengertian yang paling dalam, bukan hanya pencurian uang; ia adalah pencurian masa depan.
Mereka yang memandang jabatan sebagai tambang emas mungkin lupa bahwa negara bukan ladang tebu yang bisa ditebang habis. Ia adalah pohon besar yang akarnya harus dijaga. “Kerusakan yang lebih besar daripada manfaatnya”—begitulah Anda menulisnya. Benar. Karena kekuasaan yang tak bertumpu pada moral akan memproduksi bukan hanya kesenjangan, tetapi juga sikap sinis kolektif rakyat. Dan bangsa yang kehilangan harapan adalah bangsa yang rapuh: ia mudah disetir, mudah dipecah, mudah dijual.
Pada akhirnya, di setiap era dan di setiap tempat, kita kembali pada pertanyaan yang sama: siapa yang sebenarnya membangun negeri ini? Mereka yang berada di kursi kekuasaan, atau rakyat yang terus memikul beban dari kebijakan yang tak mereka minta? Dan dalam senyap, pertanyaan yang lebih penting menyusul: berapa lama sebuah negara bisa bertahan jika orang-orang yang mengelolanya sibuk merapikan keuntungan pribadi ketimbang memperbaiki pondasinya? Sejarah memberi banyak contoh, tetapi jarang memberi kesempatan kedua.
Ulasan tentang Mandela itu, pada akhirnya, memang bukan sekadar catatan tentang seorang tokoh; ia adalah cermin yang disodorkan kepada siapa pun yang duduk di kursi dengan sandaran kekuasaan. Cermin yang tak nyaman, karena memantulkan bukan wajah, melainkan watak. Negara, seperti juga manusia, hanya bisa berjalan tegak bila tulang punggungnya lurus. Tulang punggung itu adalah integritas: kemampuan menahan diri agar tidak berubah menjadi tuan atas rakyat yang seharusnya diayomi.
Dalam banyak kisah bangsa-bangsa yang pernah bangkit dan runtuh, kita mengenali pola yang sama: pembangunan sejati tak pernah tumbuh dari tangan yang licin oleh sogokan. Ia lahir dari mereka yang bersedia menunda kenyamanannya sendiri. Mereka yang percaya bahwa masa depan adalah tanaman yang hanya tumbuh jika dirawat dengan disiplin dan kesabaran, bukan disedot getahnya untuk memperkaya satu-dua nama dalam lingkaran kecil. Para koruptor selalu bermimpi panjang tentang kejayaan, tetapi bekerja pendek seperti pencuri yang menghitung malam.
Mandela, dengan ketenangan seorang yang ditempa kesunyian penjara, mengajarkan bahwa musuh pembangunan bukanlah kemiskinan. Kemiskinan bisa diatasi. Kebodohan bisa diobati. Keterbelakangan bisa diperbaiki. Yang sulit diusir adalah kerak dalam jiwa: mentalitas serakah yang membuat seseorang lupa bahwa jabatan adalah amanat, bukan hak waris. Serakah adalah bentuk kemiskinan yang paling tua, yang tak sembuh oleh pendidikan tinggi atau gelar panjang. Ia merusak dari pusatnya—dari hati—lalu menjalar ke keputusan-keputusan publik seperti karat yang perlahan menggerogoti besi.
Hari ini, pesan itu tak hanya relevan; ia mendesak. Di tengah dunia yang semakin kompetitif, bangsa yang tidak dibangun oleh orang-orang jujur akan tertinggal bukan karena tidak mampu, tetapi karena dikhianati oleh orang-orang yang seharusnya memimpinnya. Seperti kapal yang bocor bukan oleh badai, melainkan oleh awak yang diam-diam mengampangkan paku.
Mandela mengingatkan kita bahwa kemajuan bangsa bukanlah hasil retorika, tetapi hasil karakter. Karakter itu diuji setiap hari, terutama ketika seseorang diberi kekuasaan untuk menentukan nasib banyak orang. Dalam ujian itu, hanya mereka yang sanggup mengalahkan ambisinya sendiri yang bisa menuntun sebuah bangsa keluar dari gelap.
Pesan ini abadi—dan justru karena itu, selalu terasa seperti baru. Karena setiap zaman melahirkan kembali pertanyaan yang sama: kita memilih siapa untuk membawa obor ke depan? Yang membangun, atau yang menggerogoti? Yang berkorban, atau yang hanya mengambil bagian? Jawaban atas itu akan menentukan wajah masa depan kita sendiri.






