Eksordium
BULAN Juni ini, Komunitas Kenduri Cinta berulang tahun yang ke-25. Lahir pada hari Jumat, 9 Juni 2000, dan terus istiqamah berjalan di tiap Jumat minggu kedua setiap bulannya. Maka, pada Jumat, 13 Juni 2025, Kenduri Cinta merayakan seperempat abad perjalanan yang penuh cinta.
Sebagaimana pernah saya tuliskan sebelumnya, Kenduri Cinta diinisiasi oleh Mbah Nun sebagai respons atas permintaan banyak pihak yang berharap kehadirannya bisa memberi semangat dan ketenangan di tengah situasi yang tak menentu. Saat itu, pasca reformasi 1998, kondisi politik dan ekonomi masih jauh dari stabil. Masyarakat dilanda kecemasan, kepercayaan antarwarga melemah, dan negara belum sepenuhnya mampu hadir sebagai pelindung.
Selama 25 tahun, Kenduri Cinta telah menjadi ruang perjumpaan. Ruang belajar yang egaliter. Panggung yang tidak ditinggikan karena semua orang berhak bicara dan didengar. Dari diskusi filsafat sampai urusan negara, dari puisi sampai kritik sosial, dari musik jalanan sampai kebudayaan adiluhung. Semuanya sah dibawa ke panggung, selama niatnya tulus dan pikirannya jernih.
Kenduri Cinta sebagai entitas dari gerakan Maiyah, bukan milik Mbah Nun. Namun milik semua orang, jamaah Maiyah. Dan seperti kata Mbah Nun, Maiyah menekankan nilai kebersamaan dalam cinta—terutama cinta kepada Allah, Rasulullah dan Manusia serta seluruh makhluk ciptaan-Nya. Konsep ini disebut sebagai Segi Tiga Cinta.
Selama 25 tahun ini, sudah tak terhitung berapa wajah yang muncul dan hilang. Tapi arusnya tetap jalan. Dari pelataran Taman Ismail Marzuki ke ruang-ruang publik lain. Bahkan di zaman pandemi, Kenduri Cinta tetap dijalankan, meskipun terbatas —karena cinta tidak bisa ditahan oleh protokol.
Kini, kita sampai di Juni 2025. Banyak hal berubah. Dunia makin cepat. Tapi satu yang tetap: kerinduan pada ruang yang jujur, terbuka, dan bersahabat. Kenduri Cinta terus hadir sebagai tempat pulang, tempat belajar, dan tempat bertumbuh.
Reboan: Dapur Kenduri Cinta
Banyak orang mengenal Kenduri Cinta dari tayangan-tayangan sosial media setiap Jumat minggu kedua, ada satu rahasia penting: Kenduri Cinta justru berdenyut di hari Rabu. Tepatnya kumpul-kumpul para pegiat yang disebut Reboan.
Reboan bukan acara resmi, dilangsungkan usai pulang kerja, di sekitaran Taman Ismail Marzuki. Di situlah dapur ide dinyalakan. Tempat para pegiat berkumpul, membahas banyak hal—kondisi sosial, politik, budaya, dan hal-hal yang sedang hangat. Tentu saja, semua itu ditemani kepulan asap rokok, gelas plastik berisi kopi sachetan, dan nyamikan ala kadarnya.
Hari Rabu dipilih karena posisinya yang berada di tengah pekan —terjepit antara Senin yang padat pekerjaan dan Jumat yang menuju akhir pekan. Rabu menjadi semacam jeda logis, ruang napas bagi masyarakat urban yang disibukkan oleh rutinitas kerja.
Di sinilah setiap tema Kenduri Cinta dirancang. Tidak asal beda, tapi juga tidak ikut arus. Tidak mainstream. Tema-tema yang lahir dari Reboan seringkali di luar radar publik, tak terduga namun relevan. Dari sana, dipilihlah satu tema dan judul, lalu dikirimkan kepada Mbah Nun.
Tak jarang, Mbah Nun menyetujui langsung dengan mengirim pointer. Tapi tak jarang pula, Mbah Nun sendiri mengirimkan beberapa alternatif tema dan judul sebagai respons kreatif. Tema yang belum terpakai pun tidak dibuang, melainkan diarsipkan.
Mukadimah: Awal Sebuah Narasi
Setelah tema dan judul disepakati dalam forum Reboan, langkah selanjutnya adalah merumuskan Mukadimah. Tugas ini diserahkan kepada para pegiat yang tak hanya piawai merangkai kata, tetapi juga memiliki ketajaman analisis, keluasan wawasan, dan kepekaan yang dalam. Referensi dari pengalaman pribadi, bacaan buku, hingga kontemplasi batin menjadi bekal utama dalam merumuskan Mukadimah yang bernas dan bernilai.
Mukadimah ini akan dipublikasikan di website official Kenduri Cinta sebagai pembuka wacana. Mukadimah berfungsi sebagai pengantar sekaligus pemantik tafsir dari tema yang diangkat. Selanjutnya, kutipan-kutipan atau nukilan dari Mukadimah akan disebarkan melalui kanal-kanal media sosial Kenduri Cinta—Facebook, Instagram, dan X (dulu Twitter).
Poster: Medium Ajakan
Tak kalah penting dalam rangkaian pelaksanaan Kenduri Cinta adalah pembuatan poster. Di era digital saat ini, publikasi melalui media sosial mungkin terkesan lumrah—tapi bagi Kenduri Cinta, budaya membuat dan menyebarkan poster sudah hidup sejak awal forum ini hadir.
Pada masa-masa awal Kenduri Cinta, poster dicetak besar dan dipajang di pelataran Taman Ismail Marzuki (TIM). Poster-poster ini dilukis manual dengan cat dan kuas—mirip dengan poster film yang terpampang di bioskop-bioskop era sezaman. Selain itu, versi cetaknya juga disebar luas: ditempel di dinding gedung, tembok pinggir jalan, bahkan di batang pohon. Ada kesan yang sangat nostalgik.
Seiring waktu, medium dan teknologi berkembang. Pernah ada masa di mana poster dibuat menggunakan aplikasi dasar seperti Microsoft Paint —sangat sederhana. Beriringan bertambahnya pengalaman dan berkembangnya estetika kolektif, poster Kenduri Cinta dikerjakan dengan pendekatan desain grafis yang matang dan penuh pertimbangan visual.
Sentuhan grafis yang tidak asal-asalan, menjadikan poster Kenduri Cinta sebagai rujukan estetik bagi simpul-simpul Maiyah di berbagai kota. Banyak yang menjadikannya acuan dalam mendesain poster acara di daerah masing-masing.
Tentu saja, poster bukan sekadar hiasan. Ia adalah representasi visual dari tema dan judul yang diangkat. Maka pembuatan poster tidak bisa sembarangan; harus sejalan, linier, dan mencerminkan tema yang ingin disampaikan.
Dalam pembuatan poster Kenduri Cinta, terdapat kekhasan yang tidak akan ditemukan dalam media publikasi pada umumnya. Jika dicermati, tidak pernah ada ajakan eksplisit seperti “Hadirilah” atau “Jangan Lewatkan”. Bahkan, nama-nama narasumber tidak pernah dicantumkan.
Sepanjang ingatan saya, hanya pada masa-masa awal —ketika forum ini masih bertumpu pada pengampu tetap: Mbah Nun, Taufiq Ismail dan Hammid Jabar, dituliskan secara langsung. Selain itu, pengecualian terjadi pada momen-momen khusus, seperti perayaan ulang tahun Kenduri Cinta, di mana dalam posternya sempat disebutkan: KiaiKanjeng, Band Letto dan Komunitas Lima Gunung.
Peroratio
Dua puluh lima tahun bukanlah perjalanan yang singkat. Kenduri Cinta telah melintasi seperempat abad —sebuah rentang waktu yang dijalani, ditanam, dan disiram dengan cinta oleh Mbah Nun. Sejak pertama kali digelar pada 9 Juni 2000, Kenduri Cinta hadir sebagai ruang yang teduh di tengah hiruk-pikuk perebutan arus, baik yang tampak maupun yang samar.
Selama itu pula, Mbah Nun setia mendampingi masyarakat, khususnya mereka yang kerap dibiarkan gamang oleh ketidakhadiran negara—mengisi ruang kosong yang tak dijangkau oleh kebijakan dan perhatian formal.
Lebih dari empat dekade, Mbah Nun telah mewakafkan hidupnya untuk menyapa rakyat kecil. Dari kota ke kota, dari desa ke kabupaten, beliau memeluk luka-luka sosial yang tersembunyi, menguatkan nalar yang nyaris padam, dan menjaga kewarasan publik dengan bahasa yang sederhana namun menyejukkan.
Kini, estafet perjuangan mulai diteruskan oleh anak-cucu ideologis beliau—para pegiat, jamaah, dan generasi baru masyarakat Maiyah. Tentu masih banyak kekurangan, belum sepenuhnya disiplin, belum sepenuhnya konsisten. Tapi tekad sudah ditanamkan. Benih sudah tumbuh di dalam hati.
Menariknya, generasi baru yang kini hadir bahkan banyak yang belum pernah sekalipun bertemu langsung dengan Mbah Nun. Mereka datang, duduk, mendengar, dan merasa terhubung. Bukan karena nostalgia, tapi karena nilai. Karena semangat. Karena cinta yang diwariskan, dan terus tumbuh tanpa pamrih.
Kenduri Cinta adalah ruang yang hidup. Selama nilai-nilai Maiyah masih menyala, ia akan terus ada —melewati waktu, menjemput generasi, dan menjaga yang tak terlihat tapi terasa: cinta yang tak habis dibagi.