Reportase Kenduri Cinta Agustus 2010
Sekitar pukul enam sore, hujan mereda setelah seharian mengguyur kota Jakarta. Dibuka dengan tadarus, forum Kenduri Cinta lalu masuk pada pembahasan atas tema. Frasa “nyanyian sunyi” diambil dari judul buku puisi karya Amir Hamzah. Makna ‘nyanyian’ mengacu ke ruang, sedangkan ‘sejarah’ sendiri merupakan hal yang berhubungan dengan waktu. Setelah pembahasan atas tema disampaikan oleh para penggiat, tampil Kiai Kanjeng bersama Cak Nun, membawakan beberapa nomor lagu dan selawatan, salah satunya Shohibu Baiti. Cak Nun berharap semoga apa yang dibawakan oleh Kiai Kanjeng tidak pernah dianggap sebagai pertunjukan seni, melainkan sebuah sarana spiritual detoxification. Sebab saat ini, hampir semua hal mengandung racun. Bahkan, diam-diam kita bersepakat untuk menganggap sesuatu yang sebenarnya racun sebagai sesuatu yang bukan racun.
Dalam legenda dan tradisi Jawa, ada sebuah kisah, tentang perlombaan lari antara Keong dan Kancil. Keong adalah lambang rakyat kecil yang bodoh, lamban jalannya dan jumlahnya sangat banyak. Sedangkan Kancil adalah simbol untuk golongan pengusaha, pejabat, intelektual, cerdik pandai, yang jumlahnya hanya beberapa. Dalam kisah itu, Kancil tidak pernah menang melawan Keong karena dimanapun Si Kancil menjejak, di situ telah ada Keong. Nah sayangnya, saat ini peran Keong tersebut diambil oleh Keong yang beracun sehingga kalimat ungkapan yang menyertai usaha kita pun adalah “Bersama kita bisa!”. (red: kata “bisa” merupakan homonim untuk makna “dapat” dan “racun berbahaya”)
Mendengar uraian dari Cak Nun yang terkesan othak-athik-gathuk, para jamaah tertawa. Namun tampaknya Cak Nun tidak sedang sekadar mempermainkan kata-kata, “Lahirnya anda bukan pada hari anda dilahirkan, melainkan sejak sekian zaman sebelum anda.”
“Pluralisme dan persatuan bukanlah untuk dibicarakan, bukan untuk dihimbaukan. Yang perlu dilakukan adalah perwujudan keadilan sebagai syarat tumbuhnya pluralisme dan persatuan itu.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Agust, 2010)
Cak Nun lantas menguraikan “kekacauan” dari lambang sila-sila dari dasar negara. Tentu hal ini bukan dimaksudkan untuk melecehkan, namun sebagai pemaknaan kembali nilai-nilai pancasila yang dianggapnya telah luntur. Sila pertama (ketuhanan yang maha esa), kata yang bisa ditambah dengan imbuhan ke-an adalah kata sifat yang dengan pengimbuhan itu akan berubah menjadi kata benda. Maka yang dimaksud tuhan dalam kata ketuhanan itu bukanlah tuhan sebagai subjek melainkan sebagai unsur. Tuhan tidak pernah hadir, Tuhan tidak pernah penting, Tuhan tidak dilibatkan sejak awal. Yang kita pentingkan adalah “rasa” dari Tuhan atau “rasa-rasanya” Tuhan. Makin tidak benar lagi ketika kata ketuhanan digabungkan dengan yang maha esa. Siapa yang maha esa? Tuhan atau rasa ketuhanannya? Mungkin, frasa yang cocok untuk melanjutkan kata ketuhanan adalah yang maha tak terbatas.
Sila kedua (kemanusiaan yang adil dan beradab) lagi-lagi, kata kemanusiaan dapat kita pertanyakan maksudnya. Siapa yang adil dan beradab? Apa itu adil? Apa itu adab? Kata adab jika a dan da yang digunakan bersifat panjang, mengandung makna: komprehensi dari seluruh komponen yang menyusun konfigurasi peradaban. Di sisi lain, adab dengan a dan da pendek mengandung arti: sopan santun. Kita butuh pemetaan yang jelas, yang dimaksud dengan adab di sila kedua itu adab yang mana?
Selama ini, banyak disebarkan wacana pluralisme dan persatuan di tengah peradaban yang tidak adil. Padahal pluralisme dan persatuan bukanlah untuk dibicarakan, bukan untuk dihimbaukan. Yang perlu dilakukan adalah perwujudan keadilan sebagai syarat tumbuhnya pluralisme dan persatuan itu. Pada sila ketiga (persatuan Indonesia) sebenarnya kita masih bingung dan tertukar-tukar antara kata persatuan yaitu sesuatu yang hanya ada satu; kesatuan, hal-hal berbeda yang menjadi satu; dan penyatuan, proses menjadikan hal-hal yang berbeda menjadi satu.
Dari pancasila, Cak Nun melompat ke posisi Indonesia dan dunia. “Indonesia itu makro kosmos, sedangkan dunia itu mikro kosmos, karena semua yang ada di dunia pasti ada di Indonesia dan apa yang ada di Indonesia belum tentu ada di dunia. Secara ekonomi, dunia lah yang membutuhkan Indonesia dan bukan sebaliknya.” Saat ini, menurut Cak Nun, Indonesia sedang menjadi kandidat untuk memimpin dunia.
“Hal yang tidak bisa menimbulkan kesombongan adalah jika kita bekerja untuk mengharap rida Allah, karena hanya dengan itu kita melakukan sesuatu yang kita yakini benar. Kita harus punya keyakinan bahwa Tuhan meridai kita, karena kita akan menjadi penakut jika tak punyai keyakinan itu.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Agust, 2010)
“Kalau anda melakukan sesuatu yang baik itu Allah pasti meridai atau mudah-mudahan Allah meridai?” tanya Cak Nun pada hadirin, “Lho kenapa mudah-mudahan? Wong pasti baik kok? Hal yang tidak bisa menimbulkan kesombongan adalah jika kita bekerja untuk mengharap rida Allah, karena hanya dengan itu kita melakukan sesuatu yang kita yakini benar. Kita harus punya keyakinan bahwa Tuhan meridai kita karena kita akan menjadi penakut jika tak punyai keyakinan itu.”
Melanjutkan uraian sebelumnya, Cak Nun bercerita tentang kisah rajawali, satu spesies burung yang mempunyai potensi umur seperti manusia — sekitar 60–70 tahun. Namun pada usia 40 tahun Si Rajawali akan mengasingkan diri ke pegunungan tinggi dan sepi, mencari batu paling keras untuk dipatuknya sampai paruh lepas dari mulutnya. Begitu pula dengan kuku-kuku tajamnya. Tanpa senjata itu Si Rajawali hidup berbulan-bulan. Rajawali yang mampu bertahan dengan kondisi itulah yang kemudian tumbuh menjadi Garuda.
“Kalau kita tidak mampu melakukan revolusi diri, tidak ada harapan untuk melakukan apapun. Apakah ada bupati yang benar-benar berani mencopot paruhnya?” Maka yang berusaha ditimbulkan di Maiyah adalah kepercayaan diri untuk “tidak berparuh dan berkuku tajam”. Dengan begitu, yang akan timbul kemudian adalah paruh Garuda. Revolusi Rajawali menjadi Garuda itu dalam sejarah telah dilakukan oleh Majapahit, yang darinya lah ilham ke-Indonesia-an berasal. Majapahit sedang berada dalam kejayaannya sebagai negara agraris ketika Canggu — pusat pemerintahan Majapahit ketika itu — diguncang perubahan besar-besaran pada lempeng batuannya sehingga mau tak mau ia harus mau berubah. Dengan dikawal Sunan Kalijaga, Majapahit berani melakukan revolusi sehingga menjadi negara maritim dan menguasai perdagangan global.
“Ilmu Maiyah adalah merohaniakan segala materi atau dengan kata lain menemukan sambungan dari setiap apa saja dengan Allah.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Agust, 2010)
Hadir malam itu Agung Waskito, penulis skenario film Aku Ingin Pulang, sutradara teater di Jogja yang juga menjadi sutradara atas syair Lautan Jilbab. Beliau mengutarakan rencananya untuk membuat syair Lautan Jilbab: The Movie. Setting awalnya adalah di padang mahsyar, di mana ternyata banyak sekali orang yang tidak mempunyai barisan, bahkan para ustaz, kyai, dan sebagainya, setelah itu flashback ke belakang.
Mengomentari padang mahsyar, Cak Nun berkata bahwa ada pergunjingan di sana kelak mengenai kitab-kitab suci. Kitab pertama yang diturunkan untuk umat manusia adalah Taurat, kemudian Zabur, Injil dan Alquran. Dunia bertengkar mengenai keempat kitab suci itu, saling berebut benar. Padahal, perjalanan kitab suci itu kalau mau dianalogikan seperti evolusi dari bluluk menjadi cengkir menjadi degan kemudian menjadi klopo (red: kelapa).
Seperti juga apa yang diributkan di Israel-Palestina, itu sebenarnya merupakan majma’ al-bahrain (red: pertemuan dua laut, pertemuan asin dan tawar). “Nek awakmu mengalami benturan-benturan, asin dan tawar, manis dan pahit, di situlah sebenarnya Allah kasih tanda sesuatu yang seharusnya mati menjadi hidup kembali.” Hamas dan Israel adalah mitra dagang yang sangat mesra. Kita tidak usah khawatir Masjidil Aqsa akan diapa-apain sama Israel. Tidak, walaupun bukan berarti bahwa Israel juga akan melepasnya. Allah akan selalu memelihara Masjidil Haram dan Masjidil Aqsa, itu sudah pasti.
Ada dua pengertian terkait dengan kitab, yaitu yang bersifat empiris dan yang bersifat tekstual. Yang pertama adalah diri manusia dan alam semesta. Yang kedua adalah kitab dalam pengertian lembaran-lembaran kertas. Dahulu, manusia mampu menggunakan ukuran-ukuran sendiri — seperti: pertimbangan rasional — untuk berbuat baik. Lama kelamaan kemampuan itu berkurang sehingga manusia butuh kitab untuk menjalani kehidupannya agar tak tersesat.
“Sunan Kalijaga lah yang telah mengawal proses transformasi politik dari Majapahit, Demak, Pajang dan Mataram. Saat ini, kita semua sebenarnya sedang menjadi pelaku sejarah tersebut, namun pada masa yang berbeda.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Agust, 2010)
Malam itu, Syekh Nursamad Kamba mengawali uraiannya dengan mengurai persoalan filsafat. Ada tiga dimensi dalam agama. Secara ontologis, agama mengajarkan bahwa hanya Allah yang wujud dan mewujudkan semuanya. Epistemologi mengatakan bahwa tidak ada wujud yang tidak diketahui. Dalam kosmologi, yang namanya manusia adalah proses terakhir dari hirarki dan struktur penciptaan. Allah berkata: Dia menyendiri tetapi Dia suka dikenal, maka diciptakan-Nya lah ciptaan-ciptaan, di mana ciptaan pertama adalah berupa Nur. Yang membuat manusia hidup bukanlah raganya, melainkan apa yang disebut dengan roh. Roh adalah pasukan Allah yang telah disiagakan. Segala sesuatu bertasbih kepada-Nya dalam harmoni, kecuali manusia yang keluar dari koordinat. Peradaban yang lepas dari spiritualitas merupakan peradaban bangkai.
Nabi Khidir, generasi kelima dari Nabi Nuh, diberi oleh Allah keistimewaan untuk bisa menjadi perantara tajaliyyat di setiap masa. Syekh Nursamad Kamba mengaku melihat figur Nabi Khidir pada sosok Muhammad Ainun Nadjib.
Menyambung uraian dari Syekh Nursamad Kamba, Cak Nun menyatakan bahwa Nabi Khidir diberi hak (oleh Allah) untuk mengetahui rahasia hari ini, masa depan dan masa silam. Peristiwa “melubangi perahu” memberi pelajaran pada kita: jika tidak ingin dirampok maka jangan bersikap hedonis. Ilmu Maiyah adalah merohaniakan segala materi atau dengan kata lain menemukan sambungan dari setiap apa saja dengan Allah.
Kisah Khidlir “membunuh anak kecil” yang mempunyai potensi kekufuran yang tinggi memberi pelajaran: kita harus mampu membunuh potensi kufur dalam diri kita sendiri, supaya pada akhirnya kita lah yang dikalahkan. Nabi Khidlir “menegakkan pagar” karena ia mengtahui ada harta didalamnya, pengetahuan mengenai masa silam itu lah yang tidak dipahami oleh Musa.
“Yang membuat manusia hidup bukanlah raganya, melainkan apa yang disebut dengan roh. Roh adalah pasukan Allah yang telah disiagakan. Segala sesuatu bertasbih kepada-Nya dalam harmoni, kecuali manusia yang keluar dari koordinat.”
Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (Agust, 2010)
Cak Nun malam itu menyampaikan sebuah kisah tentang peran penting yang dijalankan oleh Sunan Kalijaga dalam mengawal proses transformasi tanah Jawa dari peradaban Hindu-Buddha menuju peradaban Islam, dengan kontekstualitas pemetaan politik masa kini.
Dikatakan oleh Cak Nun, Islam datang ke Nusantara sejak abad VII (pada masa Borobudur) untuk menyelamatkan Majapahit. Hal ini seperti keadaan Islam yang saat ini digunakan untuk menghancurkan NKRI, namun nanti, Islam pula yang akan datang untuk menyelamatkan NKRI. Pada masa Majapahit, Sunan Ampel memberikan mandat kepada Sunan Kalijaga untuk mereformasi total negara kesatuan Majapahit menjadi negara federasi Demak. Yang dilakukan Sunan Kalijaga pertama kali adalah meng-Islamkan para empu (militer). Setelah militer berhasil di-Islam-kan, langkah selanjutnya adalah pengislaman “para anggota DPR” atau dalam hal ini adalah para anggota keluarga Brawijaya. Dari 147 anak-anak Brawijaya, semuanya merupakan murid dari Sunan Kalijaga. Ide federasi (red: konsep desentralisasi) Sunan Kalijaga direalisasikan dengan membuat tanah-tanah perdikan — perdikan adalah asal kata merdeka — yang masing-masingnya dipimpin oleh anak-anak dari Brawijaya tersebut dengan gelar Ki Ageng — salah satunya Ki Ageng Mangir, Batara dan sebagainya.
Secara sosial budaya, golongan-golongan di Majapahit dapat dibagi menjadi tiga, yaitu golongan utara (dipersonifikasikan: para santri, Hizbut Tahrir, PKS, PPP), golongan tengah (dipersonifikasikan: rombongan Islam yang tidak kentara; Golkar) dan golongan selatan (dipersonifikasikan: kelompok yang menolak islamisasi; Sabdopalon Noyogenggong; PDI). Prabu Brawijaya termasuk dalam golongan tengah, yang kemudian menuju Candi Cetho di gunung Lawu dengan dikawal oleh Sunan Kalijaga. Di samping mengawal Prabu Brawijaya V, Sunan Kalijaga juga tetap menemani golongan Sabdopalon Noyogenggong.
Sunan Kalijaga melakukan apa saja tanpa terkotak-kotak sebagai wali atau seniman. Dia juga seorang pelaku politik paling berpengaruh di Nusantara. Sunan Kalijaga pula yang meminta Raden Timbal — pembunuh ayah Sunan Kudus — untuk menjadi senopati utama Kerajaan Demak. Sunan Kalijaga datang pula ke Mangiran, Jogja Selatan dengan 25 pasukan. Dari situlah Ki Ageng Mangir meninggalkan Mangiran untuk berguru kepada Sunan Kalijaga dengan syarat menjadi naga yang mampu mengitari gunung, yang mengandung arti mampu mendakwahkan Islam di daerah sekitar gunung Merapi, Merbabu, Tidar — yaitu daerah Magelang, Kedu, Wonosobo. Sunan Kalijaga lah yang telah mengawal proses transformasi politik di Majapahit, Demak, Pajang dan Mataram. Saat ini, kita semua sebenarnya sedang menjadi pelaku sejarah tersebut, namun pada masa yang berbeda
Forum malam itu dilanjutkan dengan diskusi dan selawatan. Menjelang dini hari, forumMaiyah Kenduri Cinta kemudian ditutup dengan doa bersama.