Yang Memberi Peringatan

SUATU HARI, Yai Sudrun tidur telentang di tengah jalan raya. Kedua kakinya ia lempar-lempar keatas, ia mengais menjadi-jadi, seperti bayi. Wajahnya menangis seperti bayi. Mulutnya menangiskan tangis bayi. Seluruh kendaraan yang melintas di jalan berhenti, macet total. Orang-orang mendatanginya dan bertanya; “Yai Sudrun, kenapa menangis? Ayo kita ke warung saja. Kita cerita-cerita di sana. Supaya jalan bisa dipakai oleh orang-orang beralulalang menyelesaikan keperluan mereka masing-masing”.

Tangis Yai Sudrun semakin menjadi, puncakya ia marah dan berteriak; “Sejak pagi tadi Kanjeng Nabi Muhammad datang mengunjungi kita di sini. Kalian semua tidak ada yang menyambutnya. Tak ada yang peduli kepada beliau. Kalian semua sibuk mengejar uang dan hal-hal rendah lainnya”.

Sepenggal kisah Yai Sudrun itu mungkin sudah tidak asing lagi kita dengar di Maiyahan. Cak Nun beberapa kali mengisahkan perjalanan hidup Yai Sudrun itu. Sosok Yai Sudrun selalu digambarkan oleh Cak Nun sebagai sosok yang spesial. Ada banyak orang yang meyakini bahwa Yai Sudrun adalah salah satu waliyullah. Namun kita selama di Maiyahan selalu diajarkan oleh Cak Nun; Laa ya’rifu-l-wali illa wali. Tidak ada yang mengetahui siapa itu wali, kecuali dirinya sendiri, sang wali itu. Maka, konsep kita terhadap wali, jikalaupun kita meyakini seseorang sebagai seorang wali, cukuplah itu sebagai rahasia kita sendiri, tak perlu kita umbar-umbar, apalagi kita umum-umumkan kepada orang lain.

Yang menjadi hikmah peristiwa Yai Sudrun menangis di tengah jalan itu adalah bagaimana saat itu masih ada sosok yang dengan terang-terangan berani memarahi semua orang, yang setiap hari sibuk untuk urusan dunia, sehingga melupakan urusan akhiratnya. Hari ini, kita sebenarnya sangat membutuhkan sosok seperti Yai Sudrun. Sosok yang berani memberi peringatan kepada kita akan bahaya lalainya kita terhadap dunia.

Di sekitar kita, betapa banyak kita melihat para penjilat penguasa. Seburuk apapun keputusan yang diambil oleh penguasa, maka mereka para penjilat akan membela habis-habisan keputusan yang sudah diambil oleh penguasa. Meskipun mereka tahu bahwa ada yang salah dengan keputusan itu, bagi mereka itu tak penting, justru sebisa mungkin mereka ikut mencari cara agar kesalahan itu dapat ditutupi, dapat dilindungi, dapat dikaburkan, hingga tak terlihat jelas.

Sementara mereka yang menyampaikan kritik terhadpa penguasa pun, tidak sepenuhnya menyampaikan kritik. Ada prosentase dalam dirinya bahwa kritik itu ditujukan kepada penguasa agar penguasa merasa tidak nyaman berkuasa, kemudian ketika kritik dilontarkan, ia berharap agar masyarakat menilai kembali kinerja penguasa, dan berharap agar tidak memilih kembali penguasa itu pada pesta demokrasi selanjutnya. Dan diam-diam ia mengkritik penguasa hari ini sembari berharap semoga di periode selanjutnya ia adalah bagian dari yang berkuasa. Adakah iklim seperti ini akan mengantarkan bangsa ini pada masa depan yang membahagiakan?

Di posisi yang lain, ada banyak masyarakat yang juga lebih berpikir pragmatis. Acuh tak acuh, tidak peduli siapa yang berkuasa, yang penting dia bisa hidup, kebutuhan sehari-hari terpenuhi. Karena baginya, siapapun yang berkuasa, kondisi tidak akan berubah secara drastis. Kalaupun ada yang berubah, paling hanya sedikit saja prosentasenya. Mereka sadar, bahwa mereka hidup di Negara yang tidak jelas. Kritik kepada penguasa dibebaskan, namun mereka pun harus mencari makan sendiri-sendiri. Tak ada jaminan kesejahteraan dari Negara jika mereka diam. Sementara menyuarakan kebebasan berendapat pun tidak menjamin apa-apa, karena memang pada dasarnya masyarakat di Negara ini sudah sangat mandiri. Yang penting cari nafkah, bahkan halal atau haram pun urusan belakangan, toh Negara juga tidak akan menjamin apa-apa kelak di yaumil hisab.

Siapa seharusnya yang bertindak sebagai pemberi peringatan kepada para penguasa? Sementara hari ini, di Indonesia siapa yang berani mengkritik pemerintah akan dianggap sebagai bagian dari pihak oposisi pemerintah. Iklim demokrasi kita hari ini juga tidak sehat-sehat amat. Ketika ada yang mengapresiasi prestasi pemerintah, akan dianggap sebagai pendukung pemerintah. Sementara jika berposisi sebagai pemberi peringatan kepada pemerintah, akan dianggap sebagai bagian dari oposisi. Akibatnya kita tidak benar-benar berani menyatakan dengan jelas dimana posisi kita.

Suatu hari, di suatu desa hendak dilaksanakan sebuah festival sholawatan. Yai Sudrun dari desanya berangkat, orang-orang berebut memboncengkan Yai Sudrun dengan sepeda. Ketika semua orang berebut, Yai Sudrun memilih seseorang diantara mereka. Betapa bahagianya orang tersebut. Yai Sudrun adalah orang yang merdeka, maka ketika ia dibonceng di sepeda, terkadang ia berdiri diatas boncengan, sambil menggerak-gerakkan tangannya, menari-nari.

Rombongan sepeda melaju diatas tangkis, sebuah jalan setapak di tepi sungai dan hutan. Tiba-tiba, Yai Sudrun turun dari boncengan sepeda. Ia lantas mendorong dengan kakinya sepeda yang ia tumpangi. Sang pemilik sepeda terjerembab, jatuh, terperosok ke bawah sisi jalan setapak itu. Yai Sudrun tertawa-tawa, menari-nari di pinggir jalan setapak. Semua orang kaget, kemudian mendekat kepada Yai Sudrun. Setelah pemuda pemilik sepeda itu bangkit, Yai Sudrun mengancam; “Ayo, ngaku!”.

Sang pemuda pun kemudian mengakui perbuatannya, bahwa di malam sebelumnya, ia membawa seorang pelacur, dan melakukan hubungan badan, tepat di tempat dimana ia terjerembab tadi. Begitulah Yai Sudrun, ia tidak peduli siapa yang berbuat salah, maka harus ia peringatkan. Ia tidak peduli apakah kemudian ia akan dibenci oleh orang atau tidak. Dan diam-diam bangsa ini sebenarnya sangat membutuhkan sosok Yai Sudrun. Karena bangsa ini sudah tidak memiliki kepekaan terhadap peringatan dari Yang Maha Pemberi Peringatan.