Yang Bermain Bola Bukan Hanya Kita

GEGAP GEMPITA Piala Dunia disambut oleh penikmat sepakbola di seluruh penjuru dunia. Kejutan demi kejutan bermunculan. Mulai dari gagalnya Jerman menembus babak 16 besar, hingga tersingkirnya Argentina, Spanyol dan Portugal di babak 16 besar. Negara-negara yang dipenuhi pemain bertalenta nyatanya harus takluk oleh kesebelasan kuda hitam yang tidak diprediksi melangkah jauh di turnamen 4 tahunan ini.

Kesebelasan dengan sederet pemain berkualitas tumbang satu per satu. Piala Dunia 2018 kali ini seolah-olah sedang memberi pelajaran kepada manusia bahwa sebaik apapun kualitas sebuah kesebelasan sepakbola, sebenarnya masih ada pihak yang lebih berkuasa untuk menentukan seperti apa jalannya sebuah pertandingan dan seperti apa hasil akhir dari sebuah pertandingan.

Bahkan di fase grup, kita menyaksikan seorang Lionel Messi harus tertatih-tatih memanggul beban yang sangat berat untuk sekadar menjaga marwah Diego Maradona yang selalu hadir di tribun VIP stadion. Argentina tak mungkin dilepaskan dari tuah Maradona. Gol “tangan Tuhan” yang terjadi tahun 1986 selalu membayangi Lionel Messi untuk mengulang prestasi Argentina menjadi kampiun.

Jerman yang dianggap sebagai tim unggulan kedua di awal turnamen ini pun harus angkat koper lebih cepat. Siapa yang meragukan pola pembinaan pemain sepakbola di Jerman? Sebuah kesebelasan yang dalam 4 edisi Piala Dunia sebelumnya selalu menembus babak semi final, bahkan di tahun 2014 mereka menjadi juara dunia. Nyatanya, 23 pemain terbaik dari tanah Bavarian tak meraih kemenangan di pertandingan penentuan melawan Korea Selatan yang sudah dipastikan tak memiliki peluang untuk lolos ke babak 16 besar. Jerman takluk melalui 2 gol di injury time babak kedua.

Silakan para pundit sepakbola menganalisis kegagalan demi kegagalan negara penguasa sepakbola itu. Federasi sepakbola tiap-tiap negara pun akan segera melakukan evaluasi, mulai dari mengganti pelatih, hingga kembali menyeleksi pemain-pemain terbaik untuk turnamen selanjutnya. Program pembinaan pemain akan semakin digiatkan, kompetisi di masing-masing liga domestik akan semakin ketat persaingannya. Setelah Piala Dunia selesai dilangsungkan, kita akan menyaksikan harga transfer pemain yang semakin tidak masuk akal. Dan semakin sedikit manusia yang menyadari betapa kapitalisnya industri sepakbola hari ini.

Begitulah manusia, sejatinya hanya mampu merencanakan. Yang dilakukan manusia adalah bagaimana menikmati proses menanam, menyirami tanaman, merawat tanaman, menjaga kebun dari gangguan hama. Tak secuil pun manusia memiliki hak untuk memastikan kapan ia akan panen. Tuhan sering bermurah hati memberikan kita panen atas apa yang kita tanam. Namun, seringkali ketika kita mengalami gagal panen, kita juga menuduh Tuhan sebagai pihak yang menyebabkan kita gagal panen.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, manusia semakin menihilkan peran Tuhan. Bahkan mungkin, Tuhan hanya dianggap sebagai pihak yang hanya dipaksa untuk menuruti dan mengabulkan keinginan manusia. Tuhan tak sepenuhnya disembah, tak sepenuhnya ditaati. Sebagian manusia hanya menganggap keberadaan Tuhan hanya di tempat-tempat ibadah saja, dalam konsep ruang dan waktu yang terbatas. Padahal, jengkal bumi dan waktu yang mana yang bukan milik Tuhan?

Begitu mudahnya Tuhan memperhinakan manusia, andai saja Dia menghendaki. Piala Dunia 2018 ini merupakan sebuah amsal yang sangat nyata. Pemain-pemain bertalenta seperti Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, Andres Iniesta, Thomas Muller, Mohammed Salah dan banyak lagi pemain-pemain terbaik era ini yang harus merasakan betapa sakitnya sebuah kegagalan. Mereka adalah pemain yang bermain di negara-negara dengan tradisi sepakbola yang baik, bahkan mereka juga bermain di liga terbaik saat ini, nyatanya tak mampu memuaskan hasrat para pendukungnya.

Kita telah dicontohkan bagaimana Korea Selatan sanggup meladeni Jerman selama 90 menit, kemudian mereka menyentak dalam 9 menit terakhir, mempermalukan Jerman untuk mencatatkan rekor sebagai negara Asia pertama kali yang mengalahkan Jerman. Rusia dengan penuh kesabaran meladeni permainan terbuka Spanyol, memaksa mereka menentukan siapa yang berhak lolos ke 8 besar melalui adu penalti. Uruguay dengan begitu spartan meladeni serangan bertubi-tubi yang dilancarkan Portugal, hingga Denmark yang hampir saja menggagalkan kelanjutan perjalanan tim kuda hitam Kroasia.

Tuhan sedang memberi peringatan kepada manusia agar tidak berlaku sombong. Tuhan sedang mempertontonkan kekuasan-Nya yang sangat mutlak di hadapan manusia. Secanggih apapun teknologi yang diciptakan oleh manusia, entah Video Assistant Referee, Goal Line Technology, hingga inovasi tak-tik yang beragam mulai dari 4-4-2, 4-3-3, 3-4-3, 3-5-2, memainkan pemain yang fasih memerankan play maker, false nine, rumdauter, metronome, hingga trequartista sekali pun, jika Tuhan tidak menghendaki kemenangan, maka kemenangan pun tak kunjung datang. Bahkan sering kita melihat banyak pemain yang selalu berdoa sebelum pertandingan berlangsung, nyatanya tak mampu mengantarkan mereka menjadi juara.

Meskipun demikian, Tuhan masih melimpahkan kasih dan sayang-Nya sehingga kita hingga hari ini masih bisa menikmati tontonan sepakbola yang menarik di Piala Dunia 2018 kali ini. Hanya saja euforia kemenangan atau kesedihan karena kekalahan yang dialami oleh tim yang kita dukung, bisa menjadikan kita tidak peka terhadap peran Tuhan dalam kehidupan kita. Dan tentu saja, itu akan semakin membahayakan hidup kita sendiri.