Wal Tandzur Zaman Old Li Zaman Now

SEJARAH PERJALANAN masa lalu dari setiap generasi selalu menyimpan pelajaran berharga yang patut diambil hikmahnya bagi para generasi penerus. Sekalipun itu merupakan sejarah yang kelam dan buruk, selalu saja ada sisi positif yang bisa diambil nilai-nilainya untuk dijadikan pegangan hidup.

Begitu juga dengan Maiyah. Dinamika perjalanan 3 dekade Maiyah hingga hari ini, beragam jenis warna yang menghiasi, sekian ragam nuansa juga melengkapinya. Jamaah Maiyah Zaman Now perlu dan penting untuk mempelajari bagaimana Maiyah mengawali perjalanannya. Embrio PadhangmBulan di Jombang yang merupakan mata air Maiyah tidak mungkin dilepaskan begitu saja. Setiap individu Jamaah Maiyah wajib membaca, mempelajari dan memahami bagaimana Maiyah ini lahir.

Berbicara tentang Maiyah, maka kita juga tidak mungkin melepaskan diri dari sosok Cak Nun dan juga KiaiKanjeng. Di awal-awal lahirnya PadhangmBulan, lahir pula Gamelan KiaiKanjeng. Proses kembali mentradisikan sholawatan di Indonesia, tidak lepas dari peran Cak Nun bersama KiaiKanjeng. Rilisnya album Kado Muhammad, Jaman Wis Akhir, Menyorong Rembulan dan beberapa album KiaiKanjeng lainnya merupakan karya-karya yang terbukti tak lekang oleh zaman. Ada banyak cerita sejarah yang mengantarkan lahirnya karya-karya tersebut.

Di Kenduri Cinta edisi Januari 2018, Cak Nun mengajak Jamaah Maiyah yang hadir untuk kembali belajar, bahwa perjuangan Cak Nun bersama KiaiKanjeng dahulu itu tidak mudah. Bagiamana “Lautan Jilbab” dan “Pak Kanjeng” menjadi dua diantara sekian masterpiece yang lahir pada era 80-an saat itu. Bagaimana kemudian hari ini kita melihat begitu banyak perempuan muslim di Indonesia merasakan kebebasan mengenakan Jilbab, tak lepas dari perjuangan Cak Nun menggebrak otoriternya rezim Orde Baru yang saat itu membatasi kebebasan masyarakat untuk mengekspresikan kehidupan beragama.

Banyak orang menganggap bahwa hari ini kita begitu bebas mengungkapkan pendapat, kita begitu bebas berekspresi, menulis apapun saja di media sosial, mengungkapkan apa saja di berbagai media, hari ini kita merasakan kebebasan itu. Cak Nun mengalami di era Orde Baru bagaimana kebebasan berpendapat tidak seperti hari ini, tetapi justru dengan adanya pembatasan-pembatasan itu, era itu justru melahirkan pendekar-pendekar yang kuat dan matang, yang hari ini kita juga melihat kualitasnya. Dan Cak Nun adalah salah satu tokoh yang berproses pada era itu dan istiqomah hingga hari ini. Dari sekian tokoh-tokoh yang berproses di zaman Orde Baru, kita melihat Cak Nun adalah salah satu tokoh yang hingga hari ini tidak berubah sama sekali.

Apa sebenarnya yang mampu mengikat kita untuk berkomitmen di Maiyah? Adalah ketulusan hati kita satu sama lain, keikhlasan kita dalam berjuang, kerendah hatian kita dalam bersikap, kelapangan dada kita dalam menerima segala perbedaan yang ada, sehingga dinamika yang berkembang di Maiyah tidak muncul dalam rangka bersaing satu sama lain, untuk merasa dirinya yang paling unggul. Tetapi proses yang kita alami bersama di Maiyah ini tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka mengejawantahkan segitiga cinta Maiyah; Allah-Rasulullah-Manusia.

Dari 3880 perjalanan KiaiKanjeng, kita juga belajar bagaimana KiaiKanjeng lahir dari kreativitas manusia-manusia yang sangat murni hatinya. Sehingga karya-karya yang lahir dari KiaiKanjeng adalah karya-karya yang otentik. Bagaimana KiaiKanjeng berhasil mengaransemen ulang lagu-lagu lama seperti Tombo Ati dan Lir-Ilir, yang hingga hari ini jika nomor-nomor itu dimainkan oleh KiaiKanjeng, maka siapapun yang mendengarkannya akan slulup menikmati syair dari bait ke baitnya.

Belum lagi bagaimana KiaiKanjeng mampu mengakomodir karya-karya musisi legendaris lain. Medley Dekade yang kemarin dibawakan di Kenduri Cinta adalah salah satu bukti bahwa KiaiKanjeng benar-benar grup musik yang laa syarqiyah walaa ghorbiyah. Nomor “One More Night” karya Maroon 5 berhasil diaransemen ulang dengan alat musik Gamelan KiaiKanjeng menjadi sebuah nomor yang sangat penuh warna, begitu apik dikombinasikan dengan tembang-tembang anak Zaman Old. Kombinasi warna ini merupakan salah satu proses bagaimana KiaiKanjeng tidak hanya menampilkan karya musikal, melainkan juga hendak mengingatkan kepada masyarkat luas dan Jamaah Maiyah khususnya, bahwa ada banyak kearifan lokal yang kita miliki dan harus kita jaga. Bagaimana kemudian lagu “One More Night” ini kemudian mampu disambungkan dengan lagu “Beban Kasih Asmara”, ini juga merupakan salah satu masterpiece lain yang patut kita apresiasi. Bagaimana KiaiKanjeng mampu melakukan switching aransemen musikal dalam waktu yang singkat untuk dimainkan dalam satu waktu.

Maka, memasuki akhir dari 3 dekade perjalanan Maiyah kiranya sudah saatnya bagi Jamaah Maiyah untuk kembali menakar, kembali mengukur diri, kembali menghitung potensi. Kembali merenungkan, apakah Maiyah ini benar-benar anugerah bagi kita semua, apakah kita ini dititipi Maiyah untuk nyengkuyung Indonesia, apakah nilai-nilai Maiyah ini mampu kita pegang teguh sebagai landasan hidup kita, atau jangan-jangan kita hanya menikmati gegap gempita keriuhan Maiyah hari ini? Sejauh mana kita mampu menentukan pijakan itu.

Adalah Piagam Maiyah yang mulai bulan ini disosialisasikan di berbagai Simpul Maiyah, di berbagai forum Maiyahan, hingga di lingkaran-lingkaran terkecil sekalipun. Setiap Jamaah Maiyah wajib dan berhak untuk mengusulkan pasal-pasal yang hendak dimasukkan dalam Piagam Maiyah. Piagam Maiyah inilah yang kemudian akan menjadi pagar bagi kita sebagai Jamaah Maiyah untuk menjalani hidup ber-Maiyah. Piagam Maiyah ini harus lahir dari Jamaah Maiyah, karena Maiyah adalah sebuah Organisme yang tumbuh atas kesadaran dari masing-masing pribadi Jamaah Maiyah.

Kiranya, memasuki bagian akhir 3 dekade perjalanan Maiyah ini, semoga kita semua segera menemukan pijakan yang tepat untuk kita jadikan pedoman hidup kita masing-masing. Sehingga, ketika memasuki dekade-dekade selanjutnya, Maiyah tidak berubah sama sekali nilai-nilainya. Harapan kita, Maiyah justru semakin kuat komitmennya diantara masing-masing individu Jamaah Maiyah.