TUAN RUMAH DIRI SENDIRI

Reportase Kenduri Cinta Maret 2018

Forum Kenduri Cinta edisi Maret 2018 dengan tema Tuan Rumah Diri Sendiri, dibuka dengan pembacaan surat Yasin dan doa bersama untuk Alm. Pak Ismarwanto KiaiKanjeng. Setelahnya, Bukhori, penggiat komunitas menyampaikan kepada forum tentang kegiatan Musyawarah Lengkap Pengurus Komunitas Kenduri Cinta yang mana salah satunya menghasilkan keputusan perihal terbentuknya Formatur Komunitas Kenduri Cinta yang terdiri dari Fahmi Agustian sebagai Ketua, Tri Mulyana sebagai Wakil Ketua dan Sigit Hariyanto sebagai Sekretaris. Pembentukan formatur diharapkan akan lebih memacu koordinasi dalam penyelenggaraan roda organisasi komunitas.

Struktur baru yang terbentuk kali ini menggantikan struktur kepengurusan sebelumnya yang diketuai oleh Agus Susanto. Forum mengapresiasi kinerja Saudara Agus Susanto yang selama dua tahun terakhir telah menunjukkan dedikasi dan kesetiaannya.

Pada kesempatan berikutnya, Tri Mulyana juga sampaikan, formatur yang terbentuk lebih bersifat fasilitator. Organisme Komunitas Kenduri Cinta yang dinilai sangat cair rentan membuat komunitas berjalan tanpa arah. Tentu diperlukan orang-orang yang memiliki komitmen waktu, tenaga serta pikirannya untuk tidak hanya mengelola hal-hal teknis acara dalam forum rutin bulanan, namun juga untuk mengordinir berbagai bentuk partisipasi dan kontribusi segenap jamaah komunitas, beserta pergerakan-pergerakannya.

Sebagai orang yang ditunjuk sebagai ketua, Fahmi Agustian menjelaskan bahwa tim formatur dibentuk bukan dalam rangka memadatkan komunitas menjadi organisasi. “Ibarat seperti tim kesebelasan sepakbola, harus ada pembagian tugas, siapa penjaga gawangnya, siapa pemain bertahannya, siapa penyerangnya, siapa manajernya dan seterusnya,” ucap Fahmi.

Masuk pada tema Kenduri Cinta, Adi Pudjo mengawali, “Apa Maiyah ada pengaruhnya bagi diri kita? Apakah setelah dari Kenduri Cinta kita mendapatkan pengaruh atau Maiyah hanya sekadar hal yang cukup kita ketahui saja keberadaannya? Pertanyaan-pertanyaan ini harus kita jawab, agar kita mampu menyadari ketepatan posisi dan kemandirian kita dalam bermaiyah. Tema Kenduri Cinta ini sifatnya lebih pada evaluasi internal kita masing-masing.”

Adi tambahkan, fungsi akal seharusnya dimaksimalkan sebagai bagian dari anugerah Tuhan, tidak hanya sebagai receiver informasi, tetapi juga melatih kemampuan kita mengontrol dan mengelola informasi-informasi. Jika potensi itu dimaksimalkan, derasnya informasi-informasi tidak akan menguasai diri kita yang kemudian membuat kita makin jauh diri kita yang sejati.

Hendra Kusuma menambahkan, tema kali ini juga relevan dengan term man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa robbahu, dimana tujuan hidup ini adalah agar kita dapat mengerti dan mengenali diri kita menjadi lebih berdaulat, lebih mandiri dan hanya bersandar kepada Allah SWT. Tuan rumah bagi diri sendiri merupakan refleksi mendalam dari lagu Shohibu Baitiy, sebuah lagu yang penuh dengan nuansa spiritual dari KiaiKanjeng. “Cak Nun suatu kali tegas mengingatkan bahwa malas itu salah satu perbuatan dosa. Ketika kita malas, itu sama dengan kita tidak mensyukuri anugerah yang diberikan oleh Tuhan,” Fahmi memperkuat.

Forum lantas mengajak jamaah untuk terus mengusulkan butir-butir Piagam Maiyah melalui formulir online yang telah disiapkan. Harapannya, melalui formulir online dapat menjangkau lebih luas, sehingga memperkaya usulan butir-butir Piagam Maiyah. Sebab spirit penyusunan Piagam Maiyah adalah kemandiriaan, maka Piagam Maiyah harus disusun oleh jamaah Maiyah sendiri.

Mengisi jeda, Boby dan Orkes Semberengen tampil membawakan beberapa lagu. Kolaborasi alat musik tradisional dan modern mengalun menghangatkan suasana Kenduri Cinta di Taman Ismail Marzuki malam itu.

Tujuan hidup ini adalah agar kita dapat mengerti dan mengenali diri kita menjadi lebih berdaulat, lebih mandiri dan hanya bersandar kepada Allah SWT.”
Adi Pudjo, Kenduri Cinta (Maret, 2018)

DAULAT ATAS DIRI SENDIRI

Memasuki sesi diskusi, Sigit Hariyanto dan Tri Mulyana menghadirkan Husein Ja’far dan Harico Wibowo sebagai narasumber. Husein Ja’far mengawali paparannya, “Terhadap handphone saja kita sudah tidak berdaulat. Tidak ada lagi kedaulatan atas konten di media, karena pada dasarnya yang berkuasa adalah para sponsor yang membiayai media-media itu. Bagi saya, Allah ingin kita berdaulat atas diri kita, sehingga kita tidak akan pernah tunduk kepada selain Allah. Karena kalau kita menyembah selain Allah, maka pasti kita akan menjadi budak dan tidak memiliki kedaulatan atas diri kita sendiri. Ketika manusia diperbudak oleh dunia, akhirnya justru menjadi semakin jauh dari Allah.”

“Sementara, Allah satu-satunya yang menjanjikan kedaulatan penuh kepada manusia. Allah sendiri adalah pihak yang menjamin keadilan kepada manusia. Khasanah-khasanah sejarah Islam seperti kisah Raja Namrud dan Firaun adalah bukti bahwa ketika manusia gagal berdaulat atas dirinya sendiri, akibatnya adalah menjadi budak bagi dunia yang ia agung-agungkan,” tambahnya.

Husein Ja’far juga menyampaikan bahwa penaklukan-penaklukan yang dilakukan oleh pasukan Islam pada zaman Nabi adalah dalam rangka mengajarkan kepada manusia bahwa setiap manusia memiliki kedaulatan atas dirinya. Ketika pasukan Islam menaklukan sebuah wilayah, ada beberapa aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar. Misalnya tidak boleh merusak rumah ibadah agama atau kepercayaan lain, tidak boleh membunuh perempuan, tidak boleh membunuh binatang dan banyak lagi yang membuktikan bahwa Islam menghargai kedaulatan setiap makhluk. “Kullukum raa’in, wa kullukum mas’uulun an ra’iyyatihi, setiap diri manusia adalah pemimpin bagi kalian sendiri, dalam skala kecil maupun besar, dan setiap kita akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang kita pimpin,” lanjut Husen Ja’far.

Sebuah hadits qudsi berbunyi, “Ana ‘inda dzanni ‘abdii bii“, Allah mengatakan “Aku adalah apa yang dipersangkakan oleh hamba-Ku”. Bahkan hanya sekadar persangkaan saja, Allah menghargainya. Artinya, jika kita berprasangka apapun terhadap Allah maka Allah akan berlaku sesuai dengan apa yang kita persangkakan. Maka, bukankah lebih baik kita selalu berprasangka baik kepada Allah? Sehingga Allah akan membalas dengan hal yang baik pula.

“Kedaulatan kita dalam diri kita adalah kedaulatan Allah,” lanjut Husein Ja’far. Menurutnya, terminologi man ‘arofa nafsahu faqod ‘arofa robbahu adalah sebuah konsep kesejatian, bahwa diri kita dengan Allah adalah satu kesatuan. Tidak ada hukum dari Allah yang tidak ada manfaatnya bagi makhluk-makhluknya. Kita salat, zakat, puasa dan beribadah adalah dalam rangka memberi manfaat bagi diri kita sendiri. Seringkali, kita sebagai manusia lebih menuntut hak daripada kewajiban. Adanya mekanisme ibadah yang diwajibkan kepada kita adalah alur yang tujuan utamanya adalah menyelamatkan kita.

Implementasi kedaulatan diri dalam konteks ibadah kepada Allah adalah jangan hanya berharap surga dan takut kepada neraka. Sujudnya kita seharusnya seperti sujudnya Nabi Muhammad SAW, yang meskipun sudah dijamin surga masih tetap mendirikan salat, karena konsep yang dibangun dalam diri Nabi adalah bersyukur atas segala anugerah yang telah Allah berikan, melakukannya atas dasar cinta karena bersyukur.

“Aturan hukum dari Allah jangan dipatuhi atas ketakutan terhadap neraka atau pengharapan atas surga, tetapi atas kedaulatan cinta kepada Allah. Anda mencintai Allah, maka anda akan tunduk kepada semua ketentuan Allah, apapun ketentuan itu,” lanjut Husein Ja’far. Dijelaskan oleh Husein Ja’far, Surat Ali Imron ayat 31 adalah salah satu landasan ayat yang membahas tentang kedaulatan cinta kita sebagai manusia kepada Allah SWT.

Allah satu-satunya yang menjanjikan kedaulatan penuh kepada manusia. Allah pihak yang menjamin keadilan kepada manusia.”
Husein Ja’far, Kenduri Cinta (Maret, 2018)

Setelah paparan Husein Ja’far, Sigit mempersilakan Harico Wibowo yang kini aktif di Kwarnas Gerakan Pramuka. Harico malam itu memaparkan distiribusi informasi yang kini sudah tidak terkendali. Tak seperti dulu, kini setiap individu adalah produsen informasi. Harico berpendapat justru saat ini merupakan momentum tepat untuk mendistribusikan informasi seluas-luasnya, tentu informasi yang bermanfaat dan dipenuhi kebaikan.

“Banyak dari kita, saat membuat akun di media sosial tidak membaca Term of Service yang telah disiapkan pihak pengelola,” lanjut Harico, “Begitu juga dengan anugerah yang diberikan Allah, jarang kita mau memahami apa guna dan fungsinya.” Adanya aturan-aturan dalam agama adalah agar kita mengetahui apa fungsi dan kegunaan dari anugerah Allah itu.

Setelah berturut-turut dilangsungkan diskusi, Tri Mulyana lantas mempersilakan Komunitas Kandank Jurank yang malam itu hadir bersama Dik Doank mementaskan karya-karya musik mereka. Dua nomor lagu, Ikhlas dan Janda Jainab, dibawakan apik dan semarak khas Kandang Jurank. Tak lama, Sabrang dan Cak Nun tampak hadir di forum.

Setelah penampilan musik dari Kandank Jurank Doank, Cak Nun lantas menyapa jamaah. Jamaah menyambut sapaan Cak Nun dengan hangat. Forum tampak memadat dan khidmat. Sebulan lamanya jamaah memendam kerinduan untuk kembali bertatap muka, ber-muwajahah, belajar, menyimak untaian hikmah dan ilmu kehidupan yang disampaikan Cak Nun. Sosok yang bukan hanya sebagai guru, orang tua tetapi juga “mbah” bagi mereka.

“Judul kali ini sangat luas dan begitu diaplikasikan akan memunculkan dimensi-dimensi yang sangat mungkin berbenturan satu sama lain, tetapi justru kita akan belajar banyak dari itu semua,” Cak Nun mengawali dengan mbeber kloso menadaburi surat Al-Ikhlas, yang dimana justru tidak terdapat kata ikhlas di dalamnya. Cak Nun berpandangan, hal itu agar lelaku ikhlas harus kita jalani, bukan untuk diomong-omongkan apalagi dipamer-pamerkan. Disitulah substansi keikhlasan.

Tema Tuan Rumah Diri Sendiri telah disadari Cak Nun sejak 1968, saat ia mengawali kegiatan menulis di berbagai media. Cak Nun menyadari bahwa ada konsep manusia ruang dan manusia perabot. Ruang adalah konsep wilayah yang menampung perabotan (hardware). Semua makhluk hidup membutuhkan konsep ruang dan waktu, dan hanya pada konsep itulah ilmu modern berhenti dalam memahami dimensinya, belum berkembang lebih jauh lagi. Apa yang kita alami hari ini dijelaskan oleh Cak Nun adalah dimensi perabot dimana kita harus mencari ruang yang tepat untuk menempatkan diri. “Termasuk hak asasi manusia adalah perjuangan yang sangat memalukan untuk mencari ruang, dan itu sangat perabot. Perabot itu sangat materiil sedang ruang itu mendekati ruhani,” jelas Cak Nun.

Dalam konteks Sohibu Baitiy, pemahaman kita di dunia akan menjadi terbalik di akhirat nanti jika kita mendasari pemahaman itu atas dasar duniawi. Misalnya, jika di dunia, uang yang kita berikan kepada orang lain akan menyebabkan berkurangnya harta. Begitu juga ketika sebuah gelas berisi air kemudian kita tambah airnya, maka yang terjadi akan luber airnya karena tak mampu memuat. Dalam kerangka berpikir ruhani, ketika kita bersedekah yang terjadi bukan berkurangnya harta namun justru peristiwa syukur yang kemudian menambah nikmat bukan menguranginya.

“Tidak ada guru yang menjadi bodoh setelah memberi ilmu kepada murid-muridnya. Maka, di Maiyah kita tak pernah merasa penuh, bahkan sampai jam tiga pagi pun kita masih belum merasa penuh, karena anda berada dalam mekanisme ruhaniah,” ungkap Cak Nun.

Surga itu penting dan boleh kita idam-idamkan, tetapi tidak boleh kita menuhankan surga. Tuhan kita adalah Allah SWT. Berpihaklah kepada Allah maka engkau pasti akan mendapat surga, tetapi jika engkau berpihak kepada surga belum tentu engkau akan mendapatkan Allah.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Maret, 2018)

KESEIMBANGAN BERSEDEKAH

“Materialisme tidak bisa menjadi andalan hidupmu, dan itu tidak ada hubungannya dengan kebahagiaan dan penderitaan, itu metode berpikirmu. Orang sekarang, kekayaannya tak meningkat meski hartanya bertambah,” lanjut Cak Nun mengelaborasi konsep manusia ruang dan manusia perabot.

“Saya tidak pernah mengubah konsep saya terhadap uang sepuluh ribu rupiah. Jangankan seratus ribu rupiah, sepuluh ribu saja nikmatnya luar biasa bagi saya,” sambung Cak Nun sembari menyampaikan bahwa konsep rezeki dan harta yang tidak terletak pada berapa nominalnya tetapi bagaimana kita mensyukurinya. Cak Nun mengkritisi budaya saat seseorang mendapat uang sepuluh ribu rupiah lalu berharap bulan depan mendapat dua puluh ribu rupiah atau bahkan seratus ribu rupiah. Namun, ketika uang mereka dapatkan lebih banyak, konsumsinya juga bertambah. Maka berapapun uang yang ia dapatkan tidak akan pernah terasa cukup.

“Kalau anda bertahan pada rasa tiga juta rupiah, maka uang lima juta rupiah akan menjadi kekayaan. Orang sekarang tidak pernah merasakan kekayaan, maka mereka rakus luar biasa karena tidak pernah kaya. Orang sekarang tidak bisa menikmati apapun karena mereka mencari uang, seharusnya yang dicari adalah keindahan dan kebahagiaan,” Cak Nun melanjutkan, “Kalau anda ingin menjadi manusia yang man ‘arofa robbahu, jadilah manusia ruang.”

“Saya ingin anda berpikir; Jadilah ruang!” Cak Nun berpesan malam itu. Sebagai sosok intelektual bangsa, Cak Nun tak pernah mengambil pusing jika kemudian tak diakui sebagai tokoh di Indonesia. Karena konsep manusia ruang diterapkan oleh Cak Nun sendiri. Memposisikan diri untuk menampung semua, tidak ada eksistensi diri, apalagi keinginan untuk populer. Menuntut ruang kepada Indonesia bukan hal yang dicita-citakannya. Ia juga menyadari keadaan masyarakat Indonesia saat ini yang hidup dalam kesempitan, kedangkalan, sumbu pendek yang tak memungkinkannya mendapat ruang luas.

“Kalau anda berpikir menjadi ruang, luar biasa beruntungnya,” Cak Nun menambahkan bahwa konsep rumah yang terpenting bukanlah fisik rumahnya, melainkan prinsip ruangnya. Begitu juga dengan kita sebagai manusia, jika kita mampu menjadi manusia ruang maka kita tidak akan disibukkan dengan hal-hal yang bersifat material, justru kita yang akan menampung itu semua.

Cak Nun melanjutkan, man’ arofa nafsahu faqod ‘arofa nafsahu sangat berdialektika menjadi man ‘arofa robbahu faqod ‘arofa nafsahu. Karena pada hakikatnya adalah qul huwallahu ahad, bahwa Allah itu Maha Tunggal, tak ada duanya. Makhluk-makhluk ciptaan Allah di seluruh alam semesta sejatinya berposisi diadakan oleh Allah, untuk menjadi ada.

“Maka prinsip manusia ruang adalah shodaqoh (sedekah),” lanjutnya. Sedekah adalah konsep keseimbangan. Dengan menyantuni anak yatim, orang miskin, maka dunia menjadi seimbang. Sedekah adalah upaya menyeimbangkan keadaan. Sedekah berasal dari dua huruf dalam bahasa Arab, shod-dal-qof, dimana salah satu bentuk lainnya adalah kata shiddiq atau jujur. Maka orang jujur adalah orang yang berprinsip pada keseimbangan hidup, karena orang jujur akan senantiasa menjadi penyeimbang kehidupan.

“Allah tidak menciptakan apapun kecuali atas dasar keindahan, kemesraan, cinta, intimitas dan kedekatan,” sambung Cak Nun, “Yang namanya tuan rumah itu bukan engkau memenuhi rumahmu, tetapi engkau menjadi ruang dimana semua kau tampung. Maiyah adalah tuan rumah, menjadi ruang sehingga siapa saja boleh masuk, tidak ada jarak.” Maiyah menjadi forum yang sedemikian bebas dan menampung siapa saja, dihadiri ribuan orang tetapi kita semua menyadari bahwa Maiyah bukan buatan kita. Maiyah merupakan anugerah dari Allah, Allah sendiri membikinnya.

Sedekah adalah konsep keseimbangan. Sedekah berasal dari dua huruf, shod-dal-qof, bentuk lainnya shiddiq atau jujur. Maka orang jujur berprinsip pada keseimbangan hidup, orang jujur akan senantiasa menjadi penyeimbang kehidupan.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Maret, 2018)

“Maiyah adalah kehendak Allah, Allah memberi hidayah kepada anda semua. Karena Allah mencintaimu, anda dipilih oleh Allah. Anda semua datang ke Maiyah, anda disini menjadi ruang. Disini semua menjadi ruang bagi satu sama lain,” ucap Cak Nun mensyukurinya.

“Kenapa anda semua ini senang di Maiyah, seperti ini, karena anda bertatapan muka, anda bermuwajahah, anda tidak menjadi pengecut disini,” lanjut Cak Nun. Secara teknis, Maiyah memiliki prinsip bahwa panggung harus rendah, tidak ada jarak antara narasumber dengan audiens, agar yang berbicara di panggung bertanggung jawab atas apa yang ia bicarakan. Forum Maiyah adalah arena pelatihan, pembangunan mental, penempaan kreativitas berpikir, sehingga akal semakin terlatih dengan baik. “Semua orang kita terima, kita menjadi ruang bagi semua keindahan. Kita menjadi ruang bagi semua kebaikan, menjadi ruang bagi semua ekspresi cinta dari siapapun saja,” tegas Cak Nun.

Cak Nun melanjutkan dengan pemaparan tentang identitas dan personalitas, yang kemudian berkaitan dengan kualitas. Ketika kita ditanya mengenai identitas (apakah muslim atau bukan) bisa saja kita menjawab muslim, karena urusannya untuk kepentingan identitas. Tetapi ketika kita ditanyakan tentang kualitas (apakah kita sudah muslim atau belum) di hadapan Allah, sejatinya kita semua tidak ada yang mengetahui sedikitpun apakah kita sudah muslim atau belum, karena yang ditanyakan adalah kualitas. Banyak manusia hari ini yang tertukar, tak mampu memahami mana identitas dan mana personalitas, akibatnya adalah tidak mampu memperhitungkan kualitas.

Setelahnya, Cak Nun lantas mempersilakan Dik Doank untuk menampilkan beberapa lagu. Di tengah penampilan hujan turun deras. Jamaah pun segera memposisikan diri, sebagian merapat ke bawah tenda dan panggung, sebagian lagi berteduh di gedung-gedung sekitar pelataran Taman Ismail Marzuki, sebagian lain mengubah fungsi terpal yang sebelumnya dijadikan alas duduk menjadi payung untuk berteduh. Dan tidak sedikit pula yang mengungkapkan kesyukuran dinihari itu dengan tetap bertahan diguyur hujan.

Mereka semua mensyukuri rahmat Allah berupa hujan sebagai anugrah dan rizki. Tak ada gelagat untuk bersegera menyudahi pertemuan agung di Kenduri Cinta, justru seolah-olah mereka ingin lebih lama lagi bisa bercengkrama satu sama lain. Bukan hal yang baru di Kenduri Cinta bahwa hujan yang turun tidak diposisikan sebagai penghalang untuk sinau bareng. Alam semesta merupakan makhluk Allah yang juga harus kita akrabi, tak terkecuali air hujan.

“Saya hanya bisa ber-khusnudzon dan mendoakan untuk anda semua, setiap tetes hujan yang menimpa kepala anda, baju anda, kulit anda, minimum ada satu tetes dari Allah yang akan membukakan rahasia-rahasia rahmatnya, besok, lusa, seminggu lagi dan seterusnya, insya Allah,” Cak Nun berdoa ditengah guyuran hujan deras. Sementara sebagian jamaah berteduh di bawah tenda, meskipun dengan sedikit berdesakan, sebagian yang lain di barisan belakang bersikukuh untuk tidak beranjak dari tempat mereka duduk. Mereka tetap khusyuk menikmati jalannya forum meskipun harus berbasah-basahan.

“Hidup ini kan soal untung dan rugi, sama dengan orang dagang. Masalahnya yang disebut orang dagang nilainya adalah materi. Sementara dalam pemahaman ilmu yang lebih luas dan sejati, untung dan rugi itu dialektika antara ruhani dan materi,” tutur Cak Nun.

Semua orang kita terima, kita menjadi ruang bagi semua keindahan. Kita menjadi ruang bagi semua kebaikan, menjadi ruang bagi semua ekspresi cinta dari siapapun saja.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Maret, 2018)

PERSONALITAS DAN IDENTITAS UNTUK KUALITAS

Cak Nun lantas mempersilakan Sabrang untuk menjelaskan sisi pemahamannya tentang personalitas, identitas dan kualitas. Sabrang mengawali dengan paparan bahwa kekayaan tidak sama dengan kebahagiaan melalui sebuah penelitian antara komunitas sekuler dan komunitas religius. Pada penelitian itu, komunitas sekuler relatif lebih makmur, kaya, dan terjamin secara ekonomi dibanding komunitas religius. Tetapi, kelebihan dari komunitas religius adalah mereka yang merasakan kebahagiaan.

“Personalitas adalah sesuatu yang diberikan kepada manusia oleh Tuhan. Kesepakatan pemberian yang manusia sendiri tidak mengingatnya, tentang personalitas yang kelak melekat pada dirinya. Sedangkan identitas adalah sesuatu yang kita ambil sepanjang hidup. Identitas dibangun sepanjang hidup,” Sabrang menjelaskan.

Kaitannya dengan kualitas, personalitas adalah modal dasar setiap manusia, sementara identitas adalah asupan yang datang dari luar diri manusia, sementara kualitas adalah suatu mekanisme bagaimana kita sebagai manusia dapat terus memperbaiki identitas itu.

Sabrang berpandangan bahwa media sosial hari ini adalah bukti nyata bahwa manusia tidak siap menjadi makhluk yang berdaulat. Bukan salah media sosialnya, melainkan bagaimana orang hari ini memperlakukan media sosial sebagai ajang untuk mengekspresikan diri. Yang dipikirkan adalah apa yang mereka suka, bukan apa yang baik bagi mereka.

Sabrang mengilustrasikan, saat ada menu prasmanan, kita bebas memakannya, dan ketika kita memutuskan berhenti, ada beberapa kemungkinan, karena memang sudah kenyang, karena sudah menikmati semua jenis masakan, atau karena memang perut kita sudah tidak mampu lagi menampungnya. Atau kita memiliki perilaku yang lebih dewasa untuk membatasi diri untuk makan seperlunya.

Begitu juga dengan media sosial. Derasnya arus informasi di media sosial memerlukan kedewasaan perilaku agar kita berdaulat. Bagi Sabrang, hari ini kita sedang mengalami diabetes informasi, dimana kita terlalu banyak asupan informasi yang kita sendiri tidak mampu memfilternya.

Ketika makan, kita tidak mampu membatasi diri. Kita makan semua jenis makanan karena kemauan dan nafsu, yang merupakan tanda kita belum dewasa, tidak memahami mekanisme kesehatan. Begitu juga dalam ber-media sosial, kita belum mampu mengontrol informasi, mana informasi yang layak kita baca dan mana informasi yang seharusnya kita abaikan. Kegaduhan media sosial bukti nyata masyarakat belum benar-benar menjadi tuan rumah bagi dirinya.

“Anda harus berdaulat pada diri anda sendiri, anda harus mengetahui waktu yang tepat pada saat apa anda harus membaca sebuah informasi atau tidak,” Cak Nun menyambung Sabrang. Cak Nun berpendapat, konsep iqra’ tidak terbatas pada membaca informasi berupa teks atau naskah. Rasulullah diperintahkan untuk membaca. Apa yang harus dibaca oleh Rasulullah saat itu? Sementara Rasulullah sama sekali tidak bisa membaca dan menulis. Spektrum dan nuansa membaca pada akhirnya memang tidak terbatas pada materi, bahwa membaca tidak harus selalu membaca buku, koran, majalah dan lain sebagainya, tetapi ada saatnya bahwa kita membaca alam, nuansa, fenomena dan sebagainya untuk mendapatkan informasi.

“Ada teori, undzur maa qoola walaa tandzur man qoola, lihat apa yang dikatakan jangan melihat siapa yang mengatakan. Tetapi juga ada klausul yang terbalik, undzur man qoola walaa tandzur maa qoola,” Cak Nun melanjutkan. Rasulullah SAW misalnya, maka apa yang disampaikan beliau adalah kebenaran yang pasti kita taati. Sebuah pernyataan akan berbeda takaran validitas kebenarannya bergantung pada siapa yang menyampaikannya. Kebenaran tentang Alquran yang disampaikan oleh Rasulullah lebih bisa dipercaya dan lebih meyakinkan daripada ulama-ulama. Karena Rasulullah SAW memiliki mandat resmi untuk menerima informasi langsung dari Allah SWT.

Anda harus berdaulat pada diri anda sendiri, anda harus mengetahui waktu yang tepat pada saat apa anda harus membaca sebuah informasi atau tidak.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Maret, 2018)

Lantas, bagaimana kita mampu menyaring informasi yang benar dan mana yang hoax? Siapa yang berhak melegitimasi sebuah informasi itu hoax atau bukan? Apa parameternya? Sementara fakta hari ini adalah hoax tidaknya sebuah informasi bergantung pada kepentingan. “Maka anda harus berdaulat untuk bertanya kepada kejernihan akalmu dan kejujuran nuranimu, kepada kepekaan tradisimu. Kalau engkau tidak menemukan jawabannya, maka itu adalah syubhat, maka tinggalkan,” tegas Cak Nun.

Apakah kita harus setuju dengan apa yang ada di dunia ini? Apakah kita juga harus setuju dengan semua yang terjadi di Indonesia? Segala dinamika politik, hukum, ekonomi, budaya, dan sebagainya boleh saja dikuasai oleh segelintir orang. Bahkan situasi politik, keputusan hukum, konstitusi dan sebagainya, boleh saja dikuasai. Sebagai rakyat kecil, yang bisa kita lakukan adalah tetap berada dalam kesadaran bahwa Allah memiliki kehendak. Ada qadla dan qodar-nya Allah dalam kehidupan yang sedang kita jalani ini.

Mereka para penguasa kapital dan dalang politik boleh saja menguasai banyak hal yang berkaitan dengan hajat hidup rakyat Indonesia, tetapi mereka sama sekali tidak bisa menguasai qadla dan qodar-nya Allah. Dan terhadap qadla dan qodar-nya Allah kita menyerah kepada Allah. Mau tidak mau kita harus menerima ketentuan Allah yang berlaku kepada kita.

Dinamisnya kehidupan juga harus kita sadari sebagai sunatullah. Adanya ujian bagi setiap manusia karena Allah juga sudah mempersiapkan solusinya. Hujan turun, pasti akan reda. Ketika sudah reda, hujan akan turun lagi. Suasana gembira dan sedih juga dinamis, kita harus mampu menakar sejauh mana kita mengekspresikan kegembiraan dan kesedihan kita. Hidup terus berjalan dan terus berganti.

“Saya tidak memikirkan hak. Karena hak adalah produk dari kewajiban. Saya melakukan kewajiban terus menerus, otomatis produknya adalah hak-hak saya,” Cak Nun merespons paparan Husein Ja’far sebelumnya tentang hak dan kewajiban. Cak Nun memiliki konsep bahwa melaksanakan kewajiban kepada Allah atas dasar utang kepada Allah. Karena semua yang kita alami dan semua yang ada dalam diri kita adalah anugerah dari Allah, dan sampai kapanpun kita tidak akan pernah mampu membayar utang kepada Allah atas semua itu. Kita bahkan tidak akan pernah mampu membayar utang kita kepada ibu kita, apalagi kepada Allah. Maka hidup kita yang sedang kita jalani ini adalah dalam rangka membayar utang kepada Allah dengan cara melaksanakan kewajiban yang sudah diperintahkan oleh Allah kepada kita.

“Pendidikan yang anda alami adalah pendidikan yang menyeragamkan,” Cak Nun melanjutkan, “Kurikulum pendidikan kita hari ini tidak peduli dengan kecenderungan anda apalagi terhadap qadla dan qodar-nya Allah kepada anda. Apa yang dilakukan pendidikan hari ini bukan mengantarkan murid menemukan dirinya melainkan untuk tujuan-tujuan yang sifatnya keuntungan dunia.”

Cak Nun berpesan agar Jamaah Maiyah serius menjalani kehidupan, menemukan keahliannya, menemukan kepakarannya di profesinya masing-masing. Hal sekecil apapun yang saat ini digeluti, agar ditekuni dengan semakin serius sampai menjadi pakar dan ahli dari hal tersebut. Apapun saja, sekecil apapun, seremeh apapun hal itu. “Kalau anda tekun, seluruh kebutuhan anda akan tercukupi,” pesan Cak Nun.

Menjelang jam 3 dinihari, kehangatan Kenduri Cinta semakin bergairah dengan alunan musik jam session yang dibawakan oleh Beben Jazz and Friends yang berkolaborasi dengan Kandank Jurank Doank.

Kalau anda ingin menjadi manusia yang man ‘arofa robbahu, jadilah manusia ruang.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Maret, 2018)

Berkali-kali Cak Nun menyampaikan bahwa Maiyah adalah salah satu metode untuk melatih keseimbangan berpikir dan berlaku. Seperti apa yang diajarkan oleh Rasulullah tentang konsep makan; makan sebelum lapar dan berhenti makan sebelum kenyang, sebuah implementasi dari peristiwa keseimbangan. Konsep ini adalah dalam rangka menjaga keseimbangan metabolisme tubuh kita sendiri.

Salah satu yang dicontohkan oleh Cak Nun dalam melatih keseimbangan adalah posisi duduk iftirosy pada setiap maiyahan. Dengan posisi duduk tersebut, selain melatih keseimbangan, juga melatih fokus dalam berbicara. Selain itu, ketika posisi tubuh kita seimbang,maka berapa lama pun maiyahan tidak akan merasa lelah.

Cak Nun memuncaki Kenduri Cinta edisi Maret 2018 ini dengan mengajak jamaah berdiri dan melantunkan Thibbil Quluub bersama-sama kemudian berdoa. Jamaah kemudian berkesempatan bersalaman dengan Cak Nun dan narasumber lainnya. Prosesi salaman antara Cak Nun dengan Jamaah Maiyah pada setiap akhir maiyahan adalah sebuah peristiwa kemesraan dan keakraban yang juga selalu ditunggu oleh Jamaah Maiyah. Karena momentum salaman inilah satu-satunya momentum dimana siapapun bisa bersalaman, mencium tangan, memeluk Cak Nun, minta didoakan, minta di-suwuk air mineralnya dan beragam cara lain yang mereka ekspresikan saat prosesi salaman ini.

Cak Nun pun sabar melayani satu per satu jamaah bersalaman, diiringi sholawatan yang dilantunkan penggiat Kenduri Cinta. Tak jarang, untuk prosesi salaman saja bisa menghabiskan waktu hampir satu jam lamanya.