Tren Penyanderaan Hukum dan Pertahanan Terakhir

SEJAK DITETAPKAN sebagai lembaga Ad Hoc sesuai UU Nomor 30 Tahun 2002, yang sekaligus memberikan status penegak hukum, pada tahun 2002 Komisi Pemberantasan Korupsi menjalankan kiprahnya untuk menjadi penjaga pertahanan terakhir supremasi hukum. Seiring dimulainya perjalanan program pemberantasan korupsi, pada tahun 2004 ditetapkan UU Nomor 32 Tentang Otonomi Daerah. Implikasinya dikemudian hari dapat kita koreksi bersama-sama, tentang perjalanan kedua sistem tersebut. Kurang dari 2 dekade, kurang lebih 361 terpidana kasus korupsi terjaring. Dimana dilakukan oleh seluruh kepala daerah di Indonesia, Secara keseluruhan merupakan walikota-wakil walikota, bupati-wakil bupati, gubernur atau wakil gubernur, telah diputus pengadilan. Atas dasar kinerja aparatur penyidik di KPK. Dari keseluruhan perkara yang ditangani KPK, dari daerah hingga perkara besar skala nasional. pernahkan kita membaca ada tersangka yang kemudian di hadapkan di depan hakim dibebebaskan?.

Selain persoalan riuhnya media massa yang memberitakan tentang pesona diluar perkaranya. Bisa berupa relasi koneksi tingkat tinggi, bisnis yang menguasai sekian persen aset di negeri ini atau bisa jadi tentang usaha-usaha membangun citra penzaliman KPK terhadap sosok tertentu, yang terjerat perkara terkait. Korelasi Otonomi daerah dengan Pemberantasan korupsi nampaknya menjadi suatu bagian yang terikat satu dengan lainnya. Beberapa persoalan besar yang pernah menjerat KPK dimulai pada masa Antasari Azhar hingga Abraham Samad. Terlepas dari kesekian kalinya proses kriminal yang terjadi, hanya antasari saja yang terbukti dan diputus penjara 18 tahun, itupun diluar persoalan korupsi, yaitu pembunuhan berencana. Saat ini, persoalan pemilihan kepala daerah yang diwarnai penyanderaan hukum begitu mengkhawatirkan. Hal tersebut diperkuat dengan sentimen primordial seperti persamaan suku, etnis dan agama. Tombak utama penegakan hukum bertumpu pada 2 pihak, Polisi dan KPK. Oleh karenanya, seringkali kita tonton adanya suguhan drama antara keduanya. Maraknya penyanderaan kepemimpinan melalui mekanisme saling lapor kepada aparat kepolisian digunakan untuk menopang strategi mencapai tujuan kemenangan atau sekiranya mengurangi nama baik orang lain.

Ambiguitas Kekuatan Oposisi dan Rezim

Sayangnya, Tidak terlihat dengan jelas adanya perbedaan yang tegas antara Oposisi dan Rezim dalam konteks kenegaraan. Demokrasi yang menginginkan adanya kekuatan penyeimbang, saat ini hanya menyuguhkan tontotan penyanderaan politik melalui hukum. Di tempat lain, semisal setelah dilantiknya Donald Trump, aksi penolakan terhadapnya dijalankan, dengan terus menerus secara berkala melancarkan aksi turun ke jalan. Masyarakat sipil bergerak mengkiritisi kebijakan luar negeri Trump, dengan menutup akses imigran dari negara-negara muslim yang dianggap penyebar teror. Selain hal tersebut, persoalan kebijakan ekonomi Amerika juga ditunggu oleh dunia, tentang kebijakan impor barang khususnya serangan produk manufaktur dari Tiongkok. Perhatian dan Keberadaan masyarakat sipil di negeri ini, masih tersita oleh persoalan yang cukup sensitif tentang sentimen negatif anti etnis Tionghoa, tentu berkaitan dengan jarak dan perbedaan ekonomi. Perbedaan pemeluk agama dan pandangan yang berbdea di internal Ummat Islam tentang tafsir Surat Al Maidah ayat 51. Ujung dari semua persoalan tersebut adalah tentang apa yang diputuskan oleh hakim.

Jika hakim memutus bersalah, apakah akan selesai begitu saja, yang sudah tentu diharapkan memuaskan hati Ummat Islam. Pun-sebaliknya, jika diputuskan bebas, apakah hakim yang beragama Islam dituduh tidak pro Ummat Islam, tidak peduli dengan agamanya. Setidaknya prasangka bahwa hakim sudah dibeli, akan muncul dan disematkan pada hakim tersebut. Keputusan sudah diambil oleh sebagaian besar masyarakat, khususnya Ummat Islam, bahwa diduga penoda agama telah bersalah. Disini dilema proses peradilan dan penegakan hukum. Pretensi yang dimunculkan adalah situasi yang riuh oleh kepentingan politik dan dorongan untuk menunjukkan siapa yang berkuasa dan siapa yang dikuasai. Kemudian masyarakat memusatkan segala perhatian ke situasi tersebut, dengan menyisakan sedikit perhatian terhadap urusan harga pangan yang terus bertahan mahal, ancaman kooptasi negara lain yang sedang mengepung, ketahanan energi dan persoalan kesehatan dan pendidikan.

Tanggung jawab kelompok oposisi adalah memusatkan perhatian kepada arah kebijakan rezim, berapa anggaran untuk pendidikan, kesehatan atau untuk kedaulatan pangan. Berapa ukuran yang ideal supaya pertahanan dan keamanan tercukupi. Pola mentalitas kepemimpinan yang nampaknya semakin jauh dari Reputasi dan Integritas, semakin tahun semakin melemah. Tuntutan peran kepemimpinan yang memang sudah saatnya mengutamakan kejujuran, integritas dan reputasi yang bersih, sepertinya sudah tiba waktunya, di negeri ini. Seiring tren kriminalisasi yang mulai menjadi gaya bermain.

Era Pemimpin Bersih

Tren penyanderaan pemimpin melalui media hukum yang marak, tidak pula secara apriori, kemudian secara utuh membuka pikiran generasi muda, menghindarkan diri dari resiko terjerat perkara hukum. Skandal yang selalu identik dengan kepemimpinan di negeri ini dari masa ke masa memang menjadi tema yang menarik. Dahulu, orang tidak akan membahas gaya Soekarno yang sering menikah, jika saat ini dilakukan oleh presiden, atau mungkin saja gubernur, akan berbeda ceritanya. Citra pembagian kekuasaan dan kolusi kepada kroni yang dilakukan Soeharto, saat itu memang menjadi keresahan, namun saat ini sangat biasa. Ada waktunya kita sangat sensitif dengan pola birokrasi dan politik keluarga. Faktanya, hampir dua dekade setelah berhentinya Soeharto, kartel-kartel kelompok kecil terbentuk. Saling menyimpan rahasia yang menurut hitungan waktu disimpan, dilakukan fermentasi perkara, disaat waktu yang tepat, akan digunakan untuk memukul atau menyerang balik pesaingnya.

Dipandang secara futuristik, masa depan bangsa ini akan dipertaruhkan ke dalam fase lahirnya era pemimpin bersih, memiliki reputasi yang baik dan berintegritas. Mereka adalah bagian yang memang sangat orisinil dan otentik. Pemandangan saat ini yang membuat jengah kaum muda dan yang memang sedang memperhatikan para pendahulunya. Menjadi refleksi bahwa Indonesia memiliki masa depan. Cara berpikir yang relevan, realistis dan dipenuhi dengan rekam jejak terhadap pendahulunya, akan mendorong pilihan bahwa tidak ada untungnya menjadi korup, menjadi culas dan picik dalam melaksanakan tanggung jawab sebagai pemimpin. Pengorbanan yang sangat besar harus dilakukan, semisal saat ditetapkan sebagai koruptor, bagaimana dengan keluarganya, anak dan istrinya, bagaimana dengan masa tuanya. Semua hanya menyisakan rasa malu dan aib. Kepemimpinan yang bersih nampaknya akan menawarkan daya tarik tersendiri. Momentum yang didorong oleh situasi dan tren cara memimpin, saat inilah yang menjadi pemicunya.

Sebagai negara hukum, bukan negara berdasarkan kekuasaan, Indonesia memiliki jiwa bangsa (Volkgeist). Dimana kepemimpinan tidak didasarkan pada kekuatan modal yang dimiliki. Berapa pemimpin di negeri ini terpilih, tidak hanya mengandalkan modal. Penciptaan popularitas dan pengemasan citra personal memang harus diakui menjadi faktor, biaya politik menjadi mahal. Semua kebutuhan dicukupi oleh pemilik kepentingan. Mereka hanya mencari yang mampu ditawarkan kepada rakyat. Tentu karena beberapa faktor. Nama bersih, sosok yang menjawab kejenuhan masyarakat pada model kepemimpinan nasional, yang mayoritas masih di dominasi oleh kelompok lama, yang tidak otentik.

Sinergi antara penegakan hukum dan pemberantasan korupsi adalah sebagian faktor pendorong bahwa di negeri ini, yang dibutuhkan adalah pemimpin yang bersih, memiliki reputasi yang baik dan berintegritas. Faktanya dengan penyanderaan melalui media kriminalisasi hukum, akan membuat dan mendorong calon-calon kepala daerah berpikir ulang manfaat dan mudhorotnya untuk apa menjadi kepala daerah. Potensi yang sama, diwaspadai oleh para legislator yang juga diancam dengan media yang sama, penyanderaan melalui kriminalisasi hukum. Hal ini adalah sebuah siklus yang patut kita syukuri bahwa era datangnya kebaikan di negeri ini, bisa jadi telah tiba.