Terbiasa Melupakan

SALAH SATU kecanggihan smartphone saat ini yang disukai oleh para pengguna, selain kamera untuk memotret adalah kapasitas ruang penyimpanan yang besar. Dengan ruang kapasitas penyimpanan yang besar akan memungkinkan pengguna menyimpan lebih banyak data. Namun, sebesar apapun ruang penyimpanan di smartphone itu, tidak akan mungkin mampu menyimpan seluruh informasi yang dimiliki oleh si pengguna. Tetap saja ada batasnya.

Pun begitu juga dengan manusia. Mungkin, banyak dari kita memahami bahwa sistem penyimpanan data informasi di dalam kepala manusia itu berbentuk fisik, seperti halnya ruang penyimpanan data pada smartphone yang sehari-hari kita gunakan. Lantas bagaimana sistem ingatan manusia itu bekerja? Terkadang, hal yang baru saja terjadi kita mudah melupakannya, bahkan begitu sulit untuk mengingat kembali. Ada juga saatnya ketika sebuah peristiwa yang sudah terjadi di masa lampau, justru kita tiba-tiba ingat, bahkan sangat detail.

Ketika kita menggunakan smartphone, ketika ruang penyimpanan data sudah penuh, maka kita harus menghapus data yang lain agar kita dapat menambahkan data yang baru untuk disimpan dalam memori penyimpanan data. Namun, lain halnya dengan ruang penyimpanan manusia, secara teknis kita tidak akan mudah menghapus informasi yang pernah masuk ke dalam kepala kita, setiap peristiwa yang pernah kita lihat, kita rasakan, bisa sangat membekas, dan tidak ada panduan teknis bagaimana caranya agar kita mampu menghapus ingatan dalam sistem otak kita.

Mari kita berkaca pada apa yang kita alami hari-hari ini. Begitu banyak peristiwa yang menyita perhatian kita, saking cepatnya arus informasi yang datang sehingga dengan cepat kita mengalihkan fokus perhatian kita kepada peristiwa yang baru. Peristiwa yang lampau, bisa jadi pada momen tertentu akan sangat lekat ingatannya dalam kepala kita, karena memang ada hal yang sangat membekas yang membuat ingatan tentang sebuah peristiwa itu kembali terngiang.

Sayangnya, kita seringkali hanya mengingat-ingat sebuah peristiwa hanya dalam rangka ungkapan simbolik semata. Tidak benar-benar dalam rangka mengambil ilmu dari peristiwa yang kita alami itu. Kita hanya terbiasa untuk mengikuti arus yang ada untuk kemudian turut memeriahkan gegap gempita arus perbincangan yang sedang ramai diperbincangkan.

Coba saja kita lihat di sekitar kita, ketika ada isu yang berkembang dan ramai diperbincangkan, kita semua larut dalam euforia keramaian itu. Ketika ramai kasus kebohongan Ratna Sarumpaet, kita semua larut dalam pembahasan itu. Ketika kemudian ada isu baru tentang indikasi hilangnya barang bukti dugaan kasus korupsi di tingkat elit POLRI, kita larut dalam diskusi yang ada. Ada bendera yang dibakar, kemudian dengan mudah kita terpancing untuk juga membicarakannya. Perdebatan demi perdebatan bermunculan. Begitu seterusnya, setiap hari, setiap minggu, setiap bulan akan selalu ada isu yang baru untuk diperbincangkan banyak orang, dan kita hampir sama sekali tidak memiliki keberanian untuk berdaulat agar tidak ikut larut dalam perbincangan itu.

Ketika sebuah peristiwa baru saja terjadi, kemudian menjadi hype, sehingga hampir semua orang membicarakan peristiwa itu, sebenarnya yang terjadi bukanlah kita menghapus ingatan dari sebuah peristiwa yang sebelumnya terjadi. Yang kita lakukan hanya menyimpan ingatan itu, dan di kemudian hari ketika momentumnya tepat, kita akan kembali membuka ingatan itu.

Dan kita semakin terbiasa membiasakan diri untuk melupakan. Setiap ada informasi yang baru, kita melupakan informasi yang lama. Bukan menghilangkan ingatan, hanya melupakan saja. Sayangnya, dari setiap peristiwa yang kita alami, hampir sama sekali kita tidak memiliki kepekaan untuk mengambil hikmah dan ilmu dari peristiwa itu. Dan kita hanya melewatkannya begitu saja, tanpa ada pendalaman ilmu yang lebih detail, sehingga kita bisa belajar dari peristiwa itu.

Tahun 2019 sudah di depan mata, tahun politik yang hari ini saja sudah sangat terasa sekali nuansa politiknya. Hampir setiap hari ada saja peristiwa yang menyita perhatian kita, yang secara hakikat justru semakin menjauhkan kita dari esensi tahun politik itu sendiri. Perdebatan tentang siapa yang paling pantas untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia semain jauh dari esensi yang seharusnya diperbincangkan.

Pemilihan Umum yang seharusnya menjadi arena pembelajaran bagi masyarakat di Indonesia hanya akan kita lewati begitu saja dengan meninggalkan banyak luka atas perbedaan pandangan politik yang ada. Pada akhirnya, perbedaan pandangan politik justru semakin menyuburkan perpecahan bangsa ini. Jargon persatuan dan kesatuan sudah tidak laku lagi, karena yang ada adalah “kau menjadi bagian dariku jika kau sependapat denganku”, atau yang lebih pragmatis lagi “kau adalah bagian dari kelompokku selama kau memberikan keuntungan bagiku”.