Tak Bertaring

KEBEBASAN berpendapat mungkin adalah satu-satunya buah dari Reformasi yang bergulir 20 tahun yang lalu. Hanya itu yang hari ini kita nikmati bersama. Kita semua mengetahui, bahwa ketika Orde Baru berskuasa di Negeri ini, untuk mengungkapkan pendapat tidaklah mudah. 32 tahun Soeharto berkuasa, tidak kita rasakan kebebasan berekspresi seperti hari ini. Generasi Milenial tentu tidak mengetahui bagaimana situasi saat itu. Merasakannya pun apalagi, anak-anak muda hari ini hanya mengetahui berdasarkan cerita-cerita orang. Bahkan bisa jadi pula, orang-orang yang hari ini merasakan kebebasan berpendapat, ketika Orde Baru berkuasa mereka bak macan ompong yang tak punya taring.

Mengungkapkan pendapat apalagi mengkritik penguasa di zaman Orde Baru taruhannya adalah nyawa. Tidak jarang ada orang yang berani mengkritik penguasa saat itu, keesokan harinya hilang entah kemana. Bahkan ada yang sampai hari ini tidak diketahui keberadaannya. Misterius.

Di Zaman Now, zaman dimana manusia hidup seperti di hutan belantara. Semua orang melakukan banyak hal tanpa mempertimbangkan bahwa apa yang ia lakukan akan ia pertanggungjawabkan. Kebebasan berpendapat hari ini diaplikasikan dengan sangat serampangan. Berbeda dengan ketika era Orde Lama dan Orde Baru berkuasa, para aktivis era itu benar-benar menghitung apa yang mereka suarakan. Bukan hanya memikirkan konten yang akan mereka sampaikan, tetapi juga menyiapkan mental mereka, karena nyawa adalah taruhannya.

Berbeda dengan era ini, kebebasan berpendapat yang dirasakan oleh generasi hari ini adalah kebebasan berpendapat yang tidak ada aturan mainnya. Sering kita melihat kegaduhan demi kegaduhan di media massa baik cetak maupun elektronik, kemudian berlanjut di media sosial. Perdebatan demi perdebatan yang tidak menghasilkan apa-apa selain permusuhan demi permusuhan dan perpecahan demi perpecahan.

Badut-badut yang muncul baik di media massa maupun media elektronik pun semakin lucu. Ada benarnya ungkapan peringatan; Stop making stupid people famous. Era digital hari ini sama sekali tidak menyediakan fasilitas filter bagi pengguna internet. Seluruh informasi yang masuk ditelan mentah-mentah. Hanya informasi yang mereka sukai yang mereka baca. Kemasan judul sebuah berita menjadi sebuah umpan yang begitu disukai oleh masyarakat hari ini. Bukan hanya teks, bahkan juga video yang beredar di internet hari ini banyak yang diberi judul-judul provokatif yang tujuannya utama sebenarnya adalah menarik sebanyak mungkin pengunjung untuk melihat konten tersebut.

Kebebasan berekspresi yang tanpa taring. Seringkali orang justru terjebak dengan pendapat yang ia ekspresikan sebelumnya, karena hari ini ia justru menjilat ludah sendiri. Argumen atau pendapat yang dulu sudah pernah ia bantah, hari ini justru ia anggap sebagai argumen yang benar. Sementara ia juga tidak mau menerima pendapat orang lain. Lantas, dimana letak kebebasan berpendapat yang ada? Karena pada faktanya, pendapat orang lain yang tidak sependapat dengan kita akan dianggap sebagai pendapat yang salah. Dan kita seringkali menutup kesempatan orang lain untuk menyampaikan hasil olahan pemikirannya dalam mengungkapkan pendapatnya.

Jadi sebenarnya maunya itu bagaimana kita ini? Ketika orang lain berpendapat, tetapi kita juga tidak mudah menerimanya. Kebebasan berpendapat apa sebenarnya yang kita anut hari ini? Belum lagi polarisasi kelompok-kelompok yang terjadi di Negeri ini semakin runcing. Tanpa dijelaskan lebih detail lagi, hari ini kita melihat ada dua kubu yang selalu berbenturan satu sama lain. Bahkan, tidak ada peluang bagi orang hari ini untuk berposisi netral. Karena, ketika sebuah pendapat diungkapkan, maka kita akan dianggap sebagai bagian dari salah satu kubu. Dan ketika besok kita berpendapat lain, kita juga akan dianggap oleh orang sebagai bagian dari kubu yang lain.

Entah virus apa yang sudah menjangkit Bangsa Indonesia hari ini, sehingga pola pikir masyarakat hari ini terkesan mudah terprovokasi, sangat mudah digiring opininya oleh segelintir orang. Sementara, media massa yang seharusnya memiliki peranan penting untuk menjadi salah satu agen perubahan pun sama sekali sudah tidak memiliki taring.

Satu-satunya cara agar cara berfikir masyarakat kita ini kembali sehat adalah untuk kembali berlatih jernih dalam berfikir. Berlatih untuk tidak instant dalam menerima informasi yang diterima. Karena hari ini, manusia terbiasa untuk tidak mengolah informasi yang mereka terima, belum lagi apabila informasi yang diterima adalah informasi yang tidak disukai karena merupakan informasi yang bukan datang dari kelompoknya sendiri. Padahal belum tentu informasi tersebut salah, hanya karena sumber informasinya datang dari pihak yang tidak disukai, maka kemudian informasi tersebut ditolak.

Karena tidak mungkin kondisi seperti sekarang ini kita wariskan kepada generasi bangsa selanjutnya.