Supremasi Keadilan atau Supremasi Hukum?

emha-ainun-najib-dan-anas-urbaningrum

Jumat 1 November 2013, Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) mengundang Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) menjadi narasumber tunggal dalam kuliah budaya yang mengangkat tema Supremasi Keadilan atau Hukum? Bertempat di Rumah Pergerakan, kuliah ini dimulai dari pukul 14.00 dan berlangsung selama 2,5 jam. Anas Urbaningrum selaku tuan rumah memberikan sambutan dan mempersilahkan seluruh yang hadir untuk menggali ilmu sebanyak-banyaknya dari Cak Nun.

“Alasan saya datang ke sini sederhana saja,” ungkap Cak Nun, “Sejak diberi gelar baru oleh KPK, Anas sudah dua kali berkunjung ke rumah saya, maka inilah saatnya saya membalas kunjungannya. Saya tidak ada urusan dengan Anas bersalah atau tidak karena saya bukan petugas hukum. Saya hanya memenuhi kewajiban sebagai manusia untuk menemani orang yang sedang sedih hatinya. Kalaupun memang harus dihubungkan dengan hukum dan politik, saya ke sini untuk mendorong Anas agar menjadi pejuang hukum yang baik, sebagaimana yang selalu saya katakan pula kepada KPK.

“Ini kuliah budaya. Kalau ada wartawan tolong jangan menunggu political statement saya karena saya tidak berpolitik dan saya melihat tidak boleh ada politisi Indonesia yang boleh masuk dalam pikiran saya karena syarat rukunnya tidak terpenuhi sama sekali.”

TRANSFORMASI YANG SALING MENYELAMATKAN

Sebelum mengucapkan salam, Cak Nun menjelaskan terlebih dulu apa makna yang dikandung kalimat Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh. Assalamu’alaikum adalah kesiapan untuk berjanji bahwa kita tidak akan melakukan apapun kecuali perbuatan itu membawa keselamatan kepada orang yang diberi ucapan. Begitu salam itu dibalas, maka kedua pihak itu menyusun satu blue print sejarah yang pedomannya warrahmatullahi wabarakatuh. Yaitu mentransformasikan rimba rahmat Tuhan menjadi taman dan perkotaan barokah. Rahmat adalah segala sesuatu yang Tuhan memberikannya tanpa hitung-hitung: hujan deras, gempa, udara. Uang hasil korupsi dipakai untuk beli soto, tetap enak sotonya. Itulah sifat rahmat. Tapi barokah sudah ada regulasinya, ada syarat rukunnya. Maka tugas pemimpin adalah mentransformasi rahmat berupa Indonesia yang subur menjadi barokah berupa kemakmuran bersama.

“Ini yang kita masih gagal melaksanakannya sejak ’45 sampai sekarang. Kita berada pada puncak kegagalan itu sehingga 2014 nanti kita bingung sebaiknya ada Pemilu atau tidak. Dan memang pihak-pihak baik yang pro maupun yang kontra sepertinya sudah memperkirakan Pemilu tidak akan terjadi.

“Saya pribadi tidak ada masalah mau ada Pemilu atau tidak karena saya sudah tidak hidup bersama Anda. saya hidup di lingkungan dengan frame nilai yang sudah tidak disemayami kebanyakan orang. Dan ini menyebabkan apa-apa yang saya omongkan tidak akan populer bagi anda, yang menurut anda pasti bukan merupakan hal yang aktual.”

MEMPERLUAS JANGKAUAN PIKIR

Cak Nun menambahkan, “Banyak sekali kata-kata dari Bahasa Inggris, Arab, Jawa, Sansekerta, yang diserap menjadi bahasa Indonesia tetapi diselewengkan atau terselewengkan maknanya. Kata kuliah termasuk salah satunya. Kuliah berasal dari kata kullun, artinya setiap di mana setiap bermakna semua. Kalau dikatakan bahwa setiap orang memakai baju, itu artinya tidak ada orang yang tidak memakai baju. Kuliah bermakna universalitas, maka sudah tepat kalau ada kuliah budaya. Kalau kedokteran, pertanian, dan ekonomi, bukan kuliah namanya, melainkan juz’iyah. Termasuk dalam penipuan di dunia adalah ada lembaga yang bernama universitas padahal mereka hanyalah paguyuban fakultas-fakultas.

“Kalau ini kuliah, maka anda adalah orang yang datang dengan pikiran universal. Anda membuka pikiran anda seluas mungkin sehingga menjadi orang yang tahu banyak tentang banyak hal. Ini penting, karena pergerakan seperti ini tidak boleh hanya mengerti struktur politik dan peta kekuasaan, tapi juga harus mengerti dimensi-dimensi yang jauh lebih luas daripada itu. Anda harus terutama bisa mendengarkan suara sejati dari yang anda urusi, yaitu rakyat Indonesia.

“Untuk melangkah lebih jauh, pertama kita harus memahami pengertian setiap unsur dari topik yang diangkat. Apa itu keadilan, apa itu hukum, apa itu supremasi?

“Dalam Al-Quran ada lima kata yang masing-masing bermakna kebaikan. Khair, kebaikan universal yang masih cair dan keberadaannya sangat ruhaniah; merupakan kesadaran yang sangat dalam sehingga belum memiliki bentuk dan formula, dan ini dimiliki oleh setiap orang. Di sinilah rumahnya keadilan. Jenis kebaikan lainnya, ma’ruf, adalah kebaikan yang sudah disidangkan, dirumuskan, dan dieksperimentasikan sedemikian rupa dalam bentuk pasal-pasal. Ma’ruf artinya sesuatu yang sudah diarifi bersama-sama. Ihsan merupakan kebaikan yang lahir murni dari dalam diri seseorang, sementara sholeh adalah kebaikan yang sudah teruji sejarah sehingga mungkin mengalami amandemen-amandemen baik secara jujur maupun tidak. Birr, yang kata sifatnya mabrur, adalah kebaikan yang khusus dilekatkan kepada orang yang sudah menempuh ibadah haji.

“Sementara itu, hukum adalah alat yang diciptakan dengan asumsi orang tidak bisa saling dipercaya satu sama lain. Terhadap hukum ada tiga macam perilaku manusia. Pertama, orang yang tidak membutuhkan hukum karena di dalam dirinya hidup nurani keadilan. Ada hukum atau tidak, dia tetap berbuat baik. Banyak orang yang seperti ini, yang tidak pernah membaca pasal-pasal hukum tapi tak pernah melanggarnya karena berpedoman pada nurani keadilan. Kedua, orang yang tidak butuh hukum karena diam-diam dalam hati dia menolak hukum yang dipahami dan tampak diterimanya. Orang ini mengincar bagaimana caranya mengakali hukum. Ketiga, penegak-penegak hukum sungguhan yang ingin menggunakan hukum sesuai perangkat ketertiban hidup.

“Kalau ada orang kecelakaan lalu kita tidak menolongnya, kita tidak disalahkan oleh pasal hukum apapun. Maka hukum lebih rendah daripada keadilan. Hukum tidak penting-penting amat untuk orang yang sudah matang moral dan budayanya. Tapi di Indonesia ini hukum sangat diperlukan karena degradasi moral, intelektual, dan budayanya sudah dalam tingkat luar biasa. Maka hukum harus benar-benar tegak.

“Kalau kita terjemahkan dengan sedikit pragmatis, kenapa ketika itu kita ingin Pak Harto turun tahun ’88. Sebelum itu Pak Harto masih Islam Jawa, beliau orang Islam tapi juga Jawa maka caranya mempertimbangkan sesuatu, memilih partai, memilih menteri dan staf, selalu dengan pertimbangan ilmu katuranggan dan pranoto mongso.

“Misalkan caranya memilih Mensesneg. Dalam teori kehumasan modern, juru bicara harusnya orang yang artikulatif, pintar berkomunikasi, dan menguasai masalah. Tapi prasyarat-prasyarat ini oleh Pak Harto dibalik. Mensesneg justru orang yang ngomongnya lambat dan sangat mampu tidak ngomong meski sebenarnya dia sangat bisa ngomong dalam kesempatan itu. Itu merupakan cara Pak Harto menyerap informasi dari luar dan menahan informasi jangan sampai keluar.

“Pak Harto sangat tenang pada waktu itu. Tapi kemudian beliau mengalami konversi menjadi Jawa Islam. Di situlah Pak Harto mulai menampung kasus DI/TII, lalu dirumuskan untuk membikin ICMI supaya ada akomodasi politik bagi pejuang-pejuang lama yang dulu berpolarisasi dengan beliau. Maka TNI pun terbagi menjadi TNI merah putih dan TNI hijau.

“Kemudian ada peralihan dari Benny Moerdani ke Hartono, dan sebagainya. Strategi politik Pak Harto mengalami konversi dari Islam Jawa ke Jawa Islam. Mulai goyahlah karakternya. Kegamangan internal berupa Islamisasi ini ditambah dengan pergolakan-pergolakan nasional yang tidak bisa dihindarinya, antara Islam dengan Jawa serta konflik di tubuh TNI dan satuan-satuan lain. Lalu secara internasional, Pak Harto tidak lagi mendapat restu sebab Indonesia boleh makmur asalkan rajanya jangan beridentitas Islam. Boleh saja Indonesia jadi macan ekonomi, tapi macannya jangan pakai peci.

“Pak Harto mengalami kebingungan, anak-anaknya tidak bisa dikendalikan. Ini berpuncak pada krusialitas politik pada ’97. Pikiran kita adalah membentuk dewan negara. Tapi kemudian yang terjadi adalah peristiwa penembakan di Trisakti, kerusuhan, penjarahan. Ketika itu Pak Harto mengatakan kepada saya, “Gerakan mahasiswa saya tidak takut, Cak, tapi kalau sampai rakyat menjarah hancurlah hati saya. Saya merasa gagal sebagai Soeharto dan sebagai Presiden RI.” Maka beliau pun mundur.

“Ketika itu 16 Mei saya dengan lima orang termasuk Cak Nur, menyusun usulan supaya Pak Harto bersedia turun, tanggal 17 kami konferensi pers, tanggal 18 sore kami ajukan melalui Saadilah Mursyid, kemudian dibaca Pak Harto selama 2 jam. Setelah salat Magrib direnungkan sampai salat Isya’, lalu sehabis Isya’ beliau telepon menyatakan bersedia turun.

“Yang ingin saya katakan berkaitan dengan hukum dan keadilan adalah: reformasi gagal karena yang terjadi bukan rekruitmen keadilan terhadap kegagalam hukum, tapi kontinuasi dari kegagalan hukum. Mestinya kan ketika Pak Harto turun, kabinet, MPR, dan DPR juga bubar. Rencana kita membentuk Komite Reformasi, embrio dari MPRS yang nantinya menerima penyerahan kekuasaan dari Pak Harto dan setelah itu langsung mengangkat kepala negara sementara. Kepala negara sementara bertugas menyelenggarakan Pemilu selambat-lambatnya 1 tahun. Konsepnya seperti itu, tapi gagal karena ketidakpercayaan satu sama lain di dalam tubuh Komite Reformasi sendiri.”

Pergerakan tidak boleh hanya mengerti struktur politik dan peta kekuasaan, tapi juga harus mengerti dimensi-dimensi yang jauh lebih luas daripada itu.

TENTUKAN KALIBER

Bicara supremasi, sebaiknya yang sublim di dalam diri manusia bukanlah hukum, melainkan keadilan. Kembali ke nash-nash dasar kehidupan, Cak Nun melempar pertanyaan apakah para peserta menikmati ibadah salat dan puasa. Sebagian menjawab suka, sementara sebagian yang lain diam saja.

“Kamu tahu nggak kenapa hukum itu ada, kenapa kewajiban diturunkan oleh Tuhan? Sesuatu yang diwajibkan adalah sesuatu yang orang tidak suka melakukannya. Kalau dia suka, buat apa lagi diwajibkan?

“Tapi pikiranmu linier, tidak dialektis, tidak siklikal, maka nggak berani menjawab bahwa sebenarnya kamu nggak suka puasa dan shalat. terus teranglah sama Tuhan bahwa kamu nggak suka melakukannya, tapi kamu siap dan ikhlas melakukan semua yang tidak kamu sukai, sehingga itulah yang membuat derajatmu tinggi di hadapan Tuhan.

“Ini saya buka-buka jendela saja supaya ketika nanti anda menghadapi sesuatu yang krusial dalam hukum, politik, dan apapun saja dalam kehidupan ini, anda punya cakrawala yang bermacam-macam sehingga akan lebih matang mempertimbangkan segala sesuatu. Sebab anda tidak boleh salah lagi dalam dua tahun ini.

“Kalau salah lagi, nanti ada opsi-opsi non manusia. Tolong pelajari dan teliti kenapa dulu Atlantis hancur di sini, kenapa ada bencana Nuh dan Luth. Titeni satuan-satuan waktu dari bencana-bencana besar di muka bumi itu. Maka pergerakan ini juga bukan pergerakan melawan SBY. Ngapain melawan SBY, emangnya SBY sebesar kamu?

“Saya bilang sama Anas, tentukan kalibermu. Ibarat mau nyuri, milih jadi tukang ngutil, maling nggasir, maling clurit, atau perampok besar? Saya nggak ngomong nyurinya, tapi yang saya omongkan kalibernya. Manusia Indonesia sekarang sudah tak punya kaliber; takarannya tidak mendasar, tidak hidup-dan-mati, takarannya kecil-kecil. Saya tidak ada urusan Anas ditangkap atau tidak. Saya adalah sahabat semua orang. Bahkan sama setan saja saya bersahabat.”

Tidak mungkin politik di Indonesia dibereskan dengan pasal-pasal hukum, apalagi pelaku-pelaku hukum belum tentu orang yang memiliki concern terhadap keadilan.

DICARI: NEGARAWAN

Ternyata memang kalau urusan negara hanya mengandalkan para politisi dan aktivis pergerakan, keadaan tak bisa teratasi. Kita harus menengok agak ke atas. Kita butuh negarawan, begawan, brahmana, panembahan, ruhaniawan. Dulu ada DPA, tapi sekarang kita nggak jelas – bahkan soal apa itu negara dan apa itu pemerintah.

Di jaman Majapahit, kepala negaranya Hayam Wuruk sementara kepala pemerintahan Gajahmada. BUMN Majapahit setor uang kepada kepada Kas Hayam Wuruk. Dari sana barulah di-supply sekian persen untuk APBN Majapahit. Ada perbedaan jelas antara kas negara dan kas pemerintah. KPK adalah lembaga negara yang harusnya dipilih bukan oleh DPR, tapi oleh lembaga yang lebih tinggi – kalau jaman dulu MPR. Setelah terpilih, Ketua KPK dilantik bukan oleh presiden karena presiden adalah justru pihak nomor satu yang harus diawasi.

“Kita sudah tidak punya kualifikasi lagi dalam hidup ini. Sudah jadi ketua majelis kehormatan masih bisa jadi ketua umum. Nggak bisa dong sudah jadi nabi kok minta jadi wali, sudah jadi gubernur masih mau jadi bupati. Apalagi sampai yang sifatnya estetik, ini sudah hilang juga. Padahal hidup ini bukan hanya soal benar salah dan baik tidak baik, tapi juga tentang pantas dan tidak pantas. Ketiganya saling melengkap dan tidak bisa berdiri sendiri-sendiri. Kalau kamu sudah jadi presiden, kamu harus menjaga kepantasan seorang presiden karena kamu mewakili martabat dan rasa seluruh bangsa. Estetika menyangkut martabat, dan sekarang kita tak punya lagi.”

Yang sekarang kita butuhkan adalah negarawan. Contoh peristiwa kenegarawanan adalah transformasi dari Majapahit ke Demak. Ada transformasi kualitatif ruhaniah yang diperintahkan Sunan Ampel kepada wali termuda Sunan Kalijaga untuk memandu proses itu. Dari Kerajaan Majapahit menjadi Kesultanan Demak bukanlah kudeta politik. Prosesnya dilakukan secara sadar sehingga pejabat-pejabat utama dari Kesultanan Demak adalah anak ke-17 dari Raja Brawijaya, yakni Raden Patah.

Yang menjadi panglima perang adalah anaknya yang ke-2. Setelah menjabat selama dua tahun sang panglima perang mengundurkan diri dan mendirikan padepokan di Jogja; menyebut dirinya Panembahan Bodho. Beliau menyadari bahwa di puncak kekuasaannya seorang tokoh harus beralih ke aktivitas ruhani, maka ada transformasi dari ksatria menjadi brahmana.

Yang harus kita tumbuhkan adalah manusia-manusia Indonesia baru yang memang di dalam dirinya ada supremasi keadilan. Hukum tidak supreme karena ia hanya alat dari keadilan.

“Sekarang kita tidak mengenal dan menghargai itu sehingga ketika Habibie jadi presiden, setelah itu kan giliran Mega. Tapi orang PDIP tidak akan siap kalau Habibie menang, sementara orang Islam tidak kuat kalau Mega yang menang. Kita perhitungkan begitu sehingga saya memprovokasi Gus Dur. Tidak usah percaya sama saya, tapi teliti saja bagaimana proses Gus Dur jadi presiden. Tadinya Gus Dur mengusulkan Sri Sultan. Gus Dur tidak tahu bahwa Raja Jawa itu cukup 9, setelah itu harusnya bikin nama baru lalu mulai lagi urutannya dari pertama.”

Singkat cerita, akhirnya Gus Dur bersedia jadi presiden. Di dalam rapat di rumah beliau Cak Nun bicara tentang wacana bahwa Indonesia hanya bisa diatasi oleh begawan yaitu Gus Dur. Tapi Gus Dur jangan jadi presiden beneran secara teknis; Gus Dur hanya memandu proses supaya presiden yang akan datang lebih sehat dan matang. Tugas Gus Dur adalah tugas kenegawaranan.

“Waktu itu saya harus datang ke Hamzah Haz dan Akbar Tanjung untuk memastikan bahwa PPP dan Golkar memilih Gus Dur, kemudian saya ke Pak Harto untuk meyakinkan beliau. Pak Harto sangat sukar diyakinkan, tapi akhirnya mau dengan agak tidak rela.”

Belajar pada masa silam, gelar raja Majapahit adalah Prabu – berasal dari kata awu, per-abu-an. Awu itu aura, kewibawaan. Raja adalah yang paling tinggi aura kewibawaannya dibanding manusia lain. Kemudian begitu Demak, gelar yang dipakai adalah Sultan karena ada transformasi setting spiritual politik dari Hindu Buddha ke Walisongo. Wacana-wacana yang digunakan adalah Al-Quran dan hadits. Sultan diambil dari Surah Ar-Rahman, artinya kekuatan ekstra yang dianugerahkan Allah kepada seseorang.

Begitu beralih ke Mataram, gelarnya Panembahan. Juga ada pergantian setting politik dari Walisongo ke mitologi Nyai Roro Kidul. Sampai sekarang Nyai Roro Kidul dipakai terus sebagai komunikasi utama politik semua raja Jawa sampai Indonesia. Tidak ada presiden Indonesia yang berani tidak mengaitkan dirinya dengan salah satu keraton: Jogja atau Solo.

“Yang saya maksudkan dengan supremasi keadilan adalah tidak cukup anda berdialektika dalam politik praktis. Tidak mungkin politik di Indonesia dibereskan dengan pasal-pasal hukum, apalagi pelaku-pelaku hukum belum tentu orang yang memiliki concern terhadap keadilan. Yang harus kita tumbuhkan adalah manusia-manusia Indonesia baru yang memang di dalam dirinya ada supremasi keadilan. Syukur secara nasional disebut supremasi keadilan, bukan supremasi hukum. Hukum tidak supreme karena ia hanya alat dari keadilan.”

TANYA – JAWAB

Beberapa pertanyaan kemudian diajukan kepada Cak Nun:

  • Mengapa Cak Nun semangat membicarakan Pak Harto, Gus Dur, tapi tidak membicarakan SBY?
  • Mudah-mudahan Cak Nun mau memberikan petuah-petuah kepada msyarakat supaya Pemilu legislatif dan Pemilu Presiden bisa menghasilkan pemimpin yang baik.
  • Apakah benar mitos yang mengatakan bahwa yang akan menjadi pemimpin negara kita adalah yang mempunyai garis keturunan Brawijaya yang dianggap tidak melakukan kudeta, yaitu garis Ki Ageng Sela ke Ki Ageng Tarub sampai Ki Ageng Pemanahan dan raja-raja Mataram. Konon katanya keturunan Raden Patah tidak bisa menjadi pemimpin negara karena dianggap melakukan perlawanan dan dikutuk oleh Brawijaya.
  • Di Serat Darmo Gandul, diceritakan kronik kudeta dari Majapahit diambil oleh Raden Patah. Lalu muncul mitos bahwa tidak ada raja di Indonesia yang tidak dikudeta. Bagaimana perspektif Cak Nun mengenai hal ini?
  • Di Indonesia terjadi degradasi sejak tahun ’65 sehingga Pancasila sekarang tidak lagi dipegang. Bagaimana supaya kita kembali menjadi orang Indonesia?
  • Bagaimana pendapat Cak Nun terhadap yang mengatakan bahwa Amien Rais lah yang mensukseskan Gus Dur menjadi presiden?
  • Tolong dielaborasi pendapat saya bahwa satu-satunya solusi adalah kembali ke Al-Quran.
  • Apa yang harus kita lakukan untuk mengurangi apatisme di 2014 nanti?

Cak Nun merespon:

“Soal tentang Jawa akan saya jawab, tapi kalau kita ngomong Jawa saya harap teman-teman yang tidak bersuku Jawa dalam pengertian beberapa abad belakangan jangan ada yang merasa terancam; jangan berpikir bahwa ini Jawa-sentris. Orang Batak punya hak jadi presiden tapi bukan karena Bataknya, orang Jawa boleh jadi presiden bukan karena Jawanya. Tolong wacana ini jangan sampai salah niat dan acuan dasarnya.

“Tidak ada Indonesia Indonesia; yang ada adalah Indonesia Batak, Indonesia Bugis, Indonesia Jawa, Indonesia Sunda. Dari manapun asalnya, justru itu diperlukan untuk memperkuat Indonesia. Jawa bukan masa lalu lalau Indonesia hari ini dan masa depan.

“Menurut saya ada pemahaman strategi budaya yang harus dibenahi karena selama ini kita enghancurkan diri kita dengan menyebut bahwa Batak Bugis Jawa itu primordial sementara kalau Indonesia baru nasional universal. Ini salah satu paket ke depan dengan catatan 2014 kita tidak boleh salah lagi dalam bidang apapun supaya anak-anak kita tidak terlalu lama menderita. Belum lagi nanti ada gejolak alam, ada pemanasan global permanen yang dimulai dari Manokwari, pelan-pelan panasnya akan sampai 60 derajat dan itu merupakan filter atau furqan dari Allah untuk memilih siapa yang akan dihancurkan dan siapa yang akan ditugasi untuk membangkitkan. Ini tidak akan terjadi dalam waktu dekat; paling tidak 8 atau 9 tahun lagi.

“Pertanyaan pertama mengapa saya tidak semangat bicara soal SBY. Anda bisa nggak membayangkan mungkin atau tidak Indonesia diurus bener koruptornya secara teknis? Rumah penjara nggak cukup jumlahnya, proses peradilan butuh waktu berpuluh tahun. Tapi saya tidak mengatakan bahwa kita akan mupus atau mengeliminir seolah tidak ada orang korupsi. Jelek-jelek saya mencintai Indonesia dan siapapun di Indonesia. Yang paling saya cintai adalah orang yang paling meremehkan saya, yang paling saya concern adalah orang yang paling membenci saya. Kalau disuruh ngomongin SBY, saya sebenarnya punya paket untuk SBY tapi kan nggak mungkin saya tawarkan. Berbeda antara melamar dan dilamar.

“Dulu saya menemani Rendra sampai meninggalnya. Dari urusan dokter, rumah sakit, tiap hari siang malam saya gilir teman-teman saya. Kemudian Mbah Surp meninggal, dikuburkan di kompleksnya Rendra. Ketika itu Rendra lumpuh, tapi tak ada satu wartawan pun yang menanyakan Rendra. SBY pidato tentang kematian Mbah Surip, tapi tidak pidato ketika Rendra meninggal. Itu kan defisit kebudayaan yang sangat besar.

“Kalau menggunakan antropologi sehari-hari, bangsa Indonesia berhak makan roti tapi lama-lama jatah rotinya berubah menjadi tahi. Teknologi mental dan estetika yang luar biasa membuat bangsa Indonesia bisa menikmati tahi sebagai roti. Generasi kedua bukan hanya mampu mengubah tahi menjadi roti, tapi mereka sudah tidak memiliki pengetahuan untuk membedakan mana tahi mana roti. Generasi ketiga lebih parah lagi. Mereka sudah tidak mengerti bahwa ada tahi. Semua dipikirnya roti. Presiden seperti apapun tetap dipilih, kondisi negara bagaimanapun dianggap roti. Dan kalau ada yang memberi tahu bahwa yang dimakannya adalah tahi, mereka marah.

“Ketika itu SBY mengatakan: Cak Nun sudah tepat posisinya sebagai guru bangsa, ruhaniawan.

“Maksudnya kan saya jangan jadi presiden. Saya iyakan saja, lalu saya katakan saya tidak punya ambisi apa-apa. Saya disuruh merangkak, berenang, jadi presiden, atau apapun, saya manut dan saya tidak punya beban atas apa-apa yang dibebankan Allah kepada saya karena saya adalah sopirnya Allah. Kalau Tuhan yang nyuruh, Dia yang akan melindungi saya, memberi kesejahteraan, membimbing mekanisme saya.

“SBY bukan untuk diomongkan. Dia punya masalah besar sama Allah sekarang. Dia hanya punya satu kemungkinan: menjadi trigger perubahan atau menjadi tumbal. Kalau dia mau mengikhlaskan apa yang harus dia ikhlaskan, namanya akan harum sepanjang sejarah.

“Pertanyaan berikutnya, bahwa saya dibutuhkan rakyat, itu juga mitos. Saya tidak dibutuhkan parpol, stakeholder kekuasaan Indonesia, pers, dan siapapun. Saya hanya punya cinta dan kesiapan.”

Hidup adalah belajar filsafat, kebudayaan, psikologi, moral, matematika, biologi, supaya punya keputusan manajemen yang tepat antara akal, hati, dan syahwat.

PAWANG INDONESIA

“Kalau kita hendak menaklukkan macan, ada tiga cara yang dapat ditempuh. Pertama dengan kekuasaan dan kekuatan (militer). Ini merupakan cara paling primitif. Penaklukan masalah-masalah Indonesia paling gampang adalah dengan kudeta militer. Kedua, dengan cara intelektual. Kita taklukkan macan dengan taktik dan strategi sebagaimana ditempuh oleh para satria. Tapi yang kita butuhkan bukan sekadar satria, melainkan satria pinandhita sinisihan wahyu, orang yang memiliki ilmu, determinasi sosial, kemampuan politik, sekaligus terbimbing oleh Tuhan – tidak melangkah kecuali atas tuntunan Tuhan. Cara ketiga adalah dengan menjadi pawang.

“Kalau anda sudah jadi pawang ini, anda tidak perlu melakukan apa-apa. Begitu anda datang, selesai masalah. Otak menjadi akal yang mampu berpikir karena tersambung dengan pendaran gelombang elektromagnetik di atas kepala anda tiap saat. Semakin lancar hubungan anda ke atas, anda akan semakin cerdas. Kalau anda memiliki ini secara konstan, anda akan menjadi pawang. Pawang tidak perlu bedil, tidak perlu strategi. Orang percaya sama dia, merasa aman sama dia, dan mau menitipkan nasibnya.

“Saya titip cita-cita jangka panjang. Kalau cita-cita Anas cuma untuk dirinya sendiri ya untuk apa? Anas harus melebur dirinya dalam cita-cita semua rakyat. Kalibernya harus kaliber kerakyatan. Perkara jadi apa itu nggak masalah. Kekasih Tuhan ada yang disuruh jadi raja seperti Sulaiman, ada yang disuruh jadi panglima perang seperti Musa, ada yang disuruh jadi anjing seperti Qitmir. Jadi Ketua Demokrat, nggak apa-apa. Dipecat juga nggak masalah asalkan yang memecat bukan Tuhan, tapi orang yang lebih hina dari kamu.”

PERHITUNGAN BUMI-LANGIT

“Untuk 2014 mendatang, kita butuh pertolongan Tuhan juga. Butuh perhitungan bumi-langit karena alam juga akan ikut berperan. Ada kepala dinas hujan, sekjen asap, dan sangat banyak malaikat-malaikat Allah yang berperan. Ada 3 macam komunikasi Tuhan kepada manusia: perintah, diskusi, dan menggoda. Yang menggoda supaya manusia mencari, yang mengajak diskusi supaya manusia membantah dan berdialektika.

“Tahun 2014 saya sangat concern dan saya akan melakukan apapun yang mampu saya lakukan supaya Indonesia selamat. Karena waktunya belum terlalu dekat untuk praktis, saya akan mengelaborasi kemungkinan-kemungkinan dimensi yang berbeda.

“Saya ini penasihat SAR DIY. Kalau mereka naik Gunung Merapi saya ikut. Ketika erupsi saya naik untuk memastikan berapa lama lagi erupsinya. Pada erupsi 2010 saya naik selama 2 malam bersama 4 orang SAR. Kalau Mbah Marijan sampai 12,5 kilometer di bawah puncak, saya saat itu sampai 2 kilometer di bawah puncak.

“Itu saya naik karena tidak tega sama korbannya. Waktu itu ada 193 titik pengungsian. Yang diketahui wartawan paling hanya 2 sampai 5 titik. Saya pelajari Merapi itu apa, getarannya bagaimana, siapa yang di sana, ada energi apa. Di sana saya ketemu banyak hal, sampai kemudian turun Subuh berikutnya dan saya umumkan bahwa sudah ada kesepakatan tidak ada erupsi lagi.

“Termasuk soal mitos Nyai Roro Kidul, pada pertemuan di keraton Jogja 2 tahun lalu yang melibatkan raja-raja Nusantara, saya nekat mengumumkan mulai malam hari itu tidak ada lagi hubungan antara keraton-keraton Jawa dengan Nyai Roro Kidul. Saya tantang kalau ada yang membantah, tapi ternyata tidak ada reaksi dan Sri Sultan tidak masalah.”

Sejarah adalah milik mereka yang menang.

TIGA ARUS PASCA MAJAPAHIT

“Asal-usul PDIP, Golkar, dan PPP itu dari pasca Majapahit. Majapahit yang ikut Demak itu PPP, yang ikut Brawijaya ke Gunung Cetho Ngawi itu Golkar, dan yang melawan Islam, Sabdopalon Noyogenggong, adalah PDIP. Tapi Allah memberikan hidayah, ternyata bupati-bupati alim justru dari PDIP.

“Gunung Merapi dulu dikhawatirkan akan balas dendam 500 tahun oleh Sabdopalon Noyogenggong sehingga akan ada erupsi 30 kilometer dari puncak Merapi pas ke Keraton sampai hancur lebur.

“Hal ini pula yang menyebabkan saya naik, untuk menegaskan bagaimana urusannya. Tapi kita hitung-hitung, 500 tahun itu jatuh pada tahun ’98 dan itu sudah terlewati. Kedua, sasaran dendam Brawijaya bukan Keraton Jogja karena Mataram terusannya Majapahit. Yang sempalan adalah Demak dan Pajang. Maka menurut Anda keturunan Raden Patah tidak bisa meneruskan karena yang melanjutkan Majapahit adalah Ki Gede Pemanahan, Penambahan Senopati, sampai sebenarnya ke Pangeran Diponegoro. Raja yang sekarang agak nyempal dikit. Itu bisa-bisa saja, itu harapan.

“Tapi jangan lupa bahwa anaknya Brawijaya itu jumlahnya 117 yang tersebar di mana-mana, sampai ke Kalimantan, Sumatera. Mereka diangkat oleh Sunan Kalijaga untuk menjadi pemimpin tanah-tanah perdikan di seluruh Nusantara. Maka kenapa tadi saya sebut bahwa yang terjadi bukanlah kudeta. Semua ini dilakukan Sunan Kalijaga dengan ditemani Gajahmada. Saya optimis saja karena Ki Ageng Selo memang punya keistimewaan dan amanah yang berbeda dari putra-putra Brawijaya yang lain.

“Kemarin saya juga membawakan tembang dari papali Ki Ageng Selo di makam Ndoro Purbo yang diserbu kelompok tertentu. Ada yang protes kenapa saya tidak shalawatan tapi justru nembang. Kalau Anda ziarah kubur, Anda harus tanya kepada Almarhum maunya apa.

“Sejarah adalah milik mereka yang menang. Pengetahuan kita tentang Hitler tergantung pada siapa yang mengalahkan Hitler. Kalau ketika itu Hitler menang, kesadaran kita tentangnya akan sama sekali berbeda dengan saat ini. Demikian juga dengan Darmo Gandhul, itu versi oposisi terhadap Islam.”

JANGAN HANYA KENAL PAGARNYA

Cak Nun menjelaskan tentang Syekh Siti Jenar. Syekh Siti Jenar adalah fenomenologi yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga yang kurang setuju dengan kesempitan wali-wali Arab dan Cina. Mereka kurang lokal cara berpikirnya, kurang bisa merasakan kejawannya. Sunan Kalijaga tahu bahwa potensi orang Jawa itu aneh-aneh maka dia ciptakan Syekh Siti Jenar sebagai pembelajaran jangka panjang sehingga orang punya batas kehati-hatian.

Misalkan ada kelompok anak TK yang bermain ke Parangtritis, aslinya nggak masalah main-main air. Tapi bahaya kalau main air sampai agak dalam, bisa kena palung dan hilang. Para ulama, daripada repot mengawasi anak-anak, mending membuat pagar-pagar. Pagar itu namanya fikih. Dalam penyebaran agama, fikih itulah yang sampai ke umat. Umat tidak tahu pertimbangan di belakang fikih. Padahal fikih tidak sama dengan agama; fikih adalah terjemahan versi tertentu dari agama.

Fikih sama dengan level hukum. Sunan Kalijaga tahu bahwa Islam di Indonesia akan gagal kalau hanya mengandalkan fikih, maka beliau mencoba memberi wacana Syekh Siti Jenar supaya umat tetap berpikir ruhaniah.

ERA JAHILIYAH

Fasad adalah kerusakan dalam segala hal, ghulumat kegelapan, sementara jahiliyah merupakan kerusakan menyeluruh tapi menunjuk ke satu asal-usul yakni kebodohan. Maka sebutan untuk jaman edan dalam Islam adalah jahiliyah karena kerusakan moral yang kita gelisahkan merupakan output saja dari kerusakan intelektual.

Begitu orang mulai berpikir tidak jujur, muncullah akibat-akibat berupa kerusakan politik, moral, dan sebagainya. Dia langsung mendapat penyakit-penyakit di badan karena struktur syarafnya kacau.

“Kalau anda tidak bisa melakukan kebenaran pikiran anda, itu lain masalah. Tapi yang utama adalah harus bener dulu di pikiran. Jangan mentang-mentang jadi anak buah tahi lantas kamu anggap dia roti.

“Kegelisahan anda sudah cukup bagi Allah untuk menyelamatkan dan membangkitkan Indonesia, dan sekarang sedang dibagi siapa yang akan mengalami tahlukah atau kehancuran dan siapa yang dipegang Allah untuk membangkitkan.

“Tidak mungkin saya mampu melakukan apapun untuk menjadikan Gus Dur presiden. Yang saya lakukan adalah membikin Gus Dur percaya bahwa dia akan menjadi presiden, lalu menempuh upaya agar Golkar dan PPP sepakat milih Gus Dur. Cuma saya nggak mungkin tanpa Poros Tengah yang dibikin Pak Amien Rais. Kan harus ada kendaraannya. Sebaiknya sejarah indonesia tidak usah mencatat yang saya omongkan. Catat Poros Tengahnya saja. Dan anda terus yakin dengan yang anda yakini. Itu sama dengan yang anda yakini bahwa Pak Harto turun pada pertemuan beliau tanggal 19 pagi dengan 9 orang. Anda hanya tahu resepsi, padahal yang terpenting adalah akadnya.

“Kalau anda membantah, saya tidak akan membantah juga. Nanti setelah Gus Dur naik saya janji tidak akan menemui beliau. Begitu jatuh dari impeachment, orang yang pertama menemui Gus Dur adalah saya, Andi Subiakto, dan Mbak Via. Saya rayu Gus Dur untuk keluar dari istana pulang ke Ciganjur.

“Saya memang di sini bukan untuk dicatat, tapi sekadar supaya anda paham terhadap kebenaran. di segala bidang saya dimanipulir sedemikian rupa, dan saya senang karena itu berarti saya punya hak banyak atas bangsa Indonesia.”

JADI MANUSIA DULU

Tuhan menciptakan policy evolusioner terhadap makhluk-makhluk-Nya. Adam disuruh menjadi makhluk terlebih dahulu, kemudian menjadi manusia, menjadi hamba Tuhan, dan terakhir menjadi khalifah.

Pada tahap awal manusia tidak ada urusan dengan Tuhan – yang penting pikiran dan hatinya benar. Setelah lulus jadi manusia, barulah dia harus belajar menjadi abdullah. Mulai ada dialektika vertikal sehingga menjadi lebih baik, ada legitimasi dari Tuhan. Setelah itu baru jadi khalifatullah yang kaffah. Sekarang ini kita serabutan. Jadi manusia saja belum, sudah mau jadi orang Islam.

Hidup adalah belajar filsafat, kebudayaan, psikologi, moral, matematika, biologi, supaya punya keputusan manajemen yang tepat antara akal, hati, dan syahwat – siapa perdana menterinya, siapa menterinya, siapa DPR. Kalau keliru, hancur leburlah kita.

Seluruh mekanime politik kita saat ini berpedoman pada syahwat, api yang tak terbatas. Oleh karena itu berkuasa berapa lama pun tak akan pernah cukup. Syahwat dalam arti sosial adalah segala bentuk keserakahan dan penguasaan yang tidak pernah ada batasnya. Baru setelah manajemen atas ketiga unsur itu tepat, kita menjadi manusia. Kehadiran agama kemudian akan memperindah.