Sinau Bareng Memaknai Peran dan Keberadaan Alam

“MAS WAHYU njenengan posisinya dekat dengan Stasiun Pasar Senen ya?”, begitulah bunyi pesan dari aplikasi Whatsapp yang saya terima dari seorang Jamaah Maiyah asli dari Jepara, Mas Galih, saya jawab dengan membalas memakai media share lokasi yang menunjukkan posisi saya dekat dengan tempat dimaksud. “Dekat Mas”, sambung saya lagi yang kemudian dijawab lagi; “Saya sekarang di Stasiun Pasar Senen, nanti malam mau ke Kenduri Cinta”, lalu saya jawab lagi “Sekarang saya kesitu ke Stasiun Pasar Senen ya”, singkat cerita, saya dan Mas Galih bertemu di pintu kedatangan penumpang Kereta Api kemudian kami ngobrol-ngobrol sebentar, kemudian langsung saya ajak untuk sekedar sarapan di warung dan menuju ke  tempat tinggal saya di Jakarta  yang kebetulan tidak terlalu jauh dari Stasiun Pasar Senen untuk beristirahat sejenak.

“Mas Galih, saya tinggal ke kantor dulu ya, nanti malam kita ketemu di Kenduri Cinta silahkan istirahat dulu di tempat saya”, saya pamit karena harus segera beranjak ke kantor untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang menjadi tugas saya. Kebetulan saya bekerja di salah satu instansi pusat yang berada di Ibukota.

Setelah seharian bekerja dengan rutinitas di kantor, tibalah saatnya jam pulang kantor pada petang hari, seperti biasanya saya pulang dari kantor setelah waktu Isya’ atau lebih dari pukul tujuh malam. Seperti biasanya saat pulang kantor di daerah Ibukota suasananya adalah selalu diwarnai dengan hiruk-pikuk jalanan yang macet, dimana kemacetan lalu lintas adalah salah satu gambaran kondisi transportasi Jakarta yang hingga kini masih belum bisa dipecahkan secara tuntas. Kondisi terparah biasanya terjadi pada pagi hari, waktu saya berangkat ke kantor, dan sore sampai malam hari, waktu saya pulang kerja dari kantor. Bahkan di sejumlah ruas di dalam pusat kota, kemacetan juga bisa terjadi di siang hari.

Sampai di rumah yang saya tinggali, Smartphone berbunyi tanda ada pesan masuk yang ternyata dari Mas Galih yang memberitahukan bahwa dirinya sudah berada di lokasi tempat acara Kenduri Cinta di pelataran TIM Jakarta sejak sore tadi. Sejenak saya merebahkan badan untuk beristirahat atau sekedar leyeh-leyeh bercengkerama dengan anak dan istri lewat sambungan video call pada smartphone.

Saya kebetulan di Jakarta istilahnya bujang lokal atau terpisah domisili maksudnya saya berada di Jakarta, sedangkan anak dan istri saya berada di Mojokerto Jawa Timur karena suatu kondisi yang membuat kami terpisah domisili, yakni salah satunya adalah karena istri bekerja mengajar di salah satu sekolah menengah atas di Mojokerto, dan mudah-mudahan harapan saya bisa mutasi bertugas di daerah Jawa Timur dan lebih berharap lagi bisa mutasi bertugas di Mojokerto bisa terkabul. Semoga.

Seperti biasanya pada hari jum’at minggu kedua setiap bulan adalah jadwal saya tidak pulang kampung untuk berkumpul dengan anak dan istri saya di Mojokerto yang mana ini bisa disebut kebetulan atau memang sengaja di-setting supaya  jadwal waktu tidak pulang ke Jawa Timur pada weekend minggu kedua setiap bulan karena pada hari jum’at pekan kedua setiap bulan adalah jadwalnya Kenduri Cinta?! “Hahaha”, tawaku dalam hati, tentunya yang tahu jawabannya adalah saya sendiri.

Ya! Kenduri Cinta, Kenduri Cinta adalah sebuah ‘oase’ yang menyegarkan di tengah ‘kegersangan’ hiruk-pikuknya kehidupan Jakarta. Kenduri Cinta hadir di tengah masyarakat Jakarta yang sudah berjalan selama 18 tahun ini, Cak Nun menemani masyarakat di Jakarta melalui forum Kenduri Cinta untuk membicarakan apa saja, mulai dari persoalan sehari-hari hingga isu nasional yang sedang hangat diperbincangkan banyak orang.

Saya sendiri telah menjadi Jamaah Kenduri Cinta selama kurang lebih 11 tahun, yakni pertama kali datang ke Kenduri Cinta pada pertengahan tahun 2007 ketika saya mutasi tugas dari Langsa, Aceh Timur ke Jakarta, dengan berbekal informasi dari situs padhangmbulan.com, saya mengetahui acara Kenduri Cinta diadakan di pelataran Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat. Bisa dikatakan Kenduri Cinta ini adalah forum Maiyahan atau sinau bareng yang paling banyak atau yang paling lama saya ikuti dari beberapa lingkar forum-forum Maiyah yang ada selama saya mengenal sosok Cak Nun. Pertama kali saya mengikuti kajian beliau di Pondok Pesantren Al-Asy’ari Ceweng, Dander, Bojonegoro pada tahun 1999, yang seingat saya pada waktu itu belum istilah Maiyah dan ketika itu saya masih pelajar kelas 1 Madrasah Aliyah di Tuban Jawa Timur.

Kenduri Cinta edisi Oktober 2018 ini diselenggarakan di hari Jum’at, 12 Oktober 2018 dengan mengangkat sebuah tema: “Maiyah Bumi dan Manusia” yang dapat dikatakan sebagai respon atas peristiwa bencana alam  yang terjadi di Indonesia pada beberapa waktu lalu. Sebagaimana paparan Mas Sabrang yang menjadi salah satu narasumber pada Kenduri Cinta edisi Oktober 2018 ini memaparkan bahwa Penciptaan awal alam semesta ini diawali dengan momentum Big Bang, hingga kemudian terciptalah berbagai komponen-komponen alam semesta, galaksi, planet-planet, bulan, matahari dan lain sebagainya hingga penciptaan makhluk hidup di muka bumi .

Bencana ini dulu tidak ada, Bumi sudah punya ekosistemnya, jauh sebelum manusia ada, sudah ada bumi, ada hewan-hewan, ada tumbuh-tumbuhan, ketika manusia ada maka juga ada angin, ada panas, ada dingin dll. yang sebetulnya itu adalah juga bencana, namun belum disebut bencana ketika belum ada korban, kemudian disebut bencana ketika sudah ada korban. Manusia adalah satu-satu makhluk yang bisa menginisiasi adanya keseimbangan. Kalau keseimbangan tidak diatur maka efeknya akan kembali kepada manusia sendiri, Manusia cenderung membuat sistem untuk menandai alam.

Ketika alam tidak cocok dengan sistem kita, kita menyalahkan alam. walaupun manusia punah, bumi akan tetap ada. Banyak ancaman yang kita sebut ancaman karena kita egois. Alam tak pernah berniat jahat, alam hanya menyeimbangkan yang tidak seimbang. Semua hal yang tidak seimbang penyebabnya adalah manusia. Semua penyebab bencana alam dikarenakan ketidakpahaman manusia karena terhadap sistem yang komprehensif, manusia merasa melakukan sesuatu yang benar, padahal kita menabung bencana yang lebih besar. Prinsip bagaimana cara memberlakukan alam adalah dengan cara melakukan keseimbangan kepada alam.

Cak Nun merespon tema sinau bareng pada forum Kenduri Cinta kali ini dengan menekankan lebih banyak melalui pemaparan saja karena bahan yang perlu dipelajari  sangat banyak, dan guru-guru yang hadir sebagai narasumber juga sangat banyak. Di Maiyah ini, kita semangat untuk saling belajar bukan semangat untuk mengajar. Sebagaimana yang terdapat dalam beberapa Ayat: “Afala Ta’qilun“, “Afala Yatadabbarun“, “Afala Tatafakkarun“, yang menekankan pentingnya menggunakan akal berfikir, menelaah dengan siap untuk memaknai peristiwa-peristiwa maupun fenomena-fenomena apapun saja, termasuk apakah sebuah peristiwa alam yang merugikan manusia itu disimpulkan sebagai peringatan, ujian ataukah hukuman, masing-masing manusia mencari maknanya sendiri.

Lebih lanjut Cak Nun menegaskan bahwa peristiwa bencana jika dibahas secara keilmuan tidak akan ada habisnya dengan perdebatan-perdebatan, yang terpenting adalah diambil kebijaksanaan atas peristiwa bencana yang telah terjadi. Terakhir Cak Nun berpesan agar kita senantiasa jangan memamer-mamerkan identitas-identitas kita karena yang perlu dilakukan adalah Akhlakul Kharimah atau berbuat baik, berlaku indah, bermanfaat kepada sesama. Manusia diciptakan sebagai Ahsani Taqwim yaitu sebaik-sebaik makhluk ciptaan Allah untuk selalu menjaga keseimbangan alam.

Selain Cak Nun dan Mas Sabrang, Kenduri Cinta edisi Bulan Oktober 2018 ini dibersamai juga oleh Syeikh Nursamad Kamba, Kyai Muzammil dll. Yang  secara bergantian memaparkan cahaya-cahaya ilmu yang sangat berguna bagi kita sebagai Jamaah Maiyah. Acara Kenduri Cinta edisi Bulan Oktober 2018 dipuncaki dengan do’a bersama pada Pukul 03.30 pada hari Sabtu dini hari, 13 Oktober 2018.

Selalu merindu untuk berkumpul, duduk bersama, belajar bersama, tertawa bersama, Sholawatan bersama, do’a bersama, bersama-sama sinau bareng Maiyahan di Kenduri Cinta.

Wahyu Setyawan
Jakarta, 13 Oktober 2018