Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng di Ponpes Pabelan

Reportase Sinau bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng di Pondok Pesantren Pabelan Mungkid Magelang

Sinau bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng malam ini (21/11) diselenggarakan oleh Universitas Terbuka (UT) dan bertempat di Pondok Pesantren Pabelan Magelang. Saat ini UT sedang melakukan kegiatan pengenalan kepada kalangan pesantren. Dalam hal ini, agenda tersebut direalisasikan oleh Unit Belajar Jarak Jauh Universitas Terbuka (UPBJJ-UT) Yogyakarta bekerjasama dengan lima belas pondok pesantren yang berada di wilayah kerja UPBJJ-UT dengan menyelanggarkan Gebyar Universitas Terbuka di Pondok Pesantren.

Dalam rangkaian kegiatan tersebut, UT juga ingin mengajak santri dan masyarakat pesantren khususnya untuk menimba ilmu melalui maiyahan bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng di Pondok Pesantren Pabelan malam ini. Selain para santri di Pabelan, acara nanti malam dihadiri pula oleh perwakilan santri dari beberapa kota di Jawa Tengah.

UT sendiri adalah perguruan tinggi negeri yang menyelanggarakan pendidikan melalui sistem terbuka dan jarak jauh. Yang dimaksud ‘terbuka’ adalah setiap orang dapat menjadi mahasiswa UT tanpa ada pembatasan, baik tahun kelulusan ijazah SLTA, batasan usia, lama studi atau tempat tinggal. Sementara itu, ‘jarak jauh’ dimaksudkan jarak antara yang belajar dan yang mengajar dijembatani dengan media yang khusus dikembangkan untuk sistem belajar jarak jauh.

Lebih dari sekadar upaya untuk mendapatkan input (mahasiswa baru), kerjasama UT yang menawarkan pola belajar yang fleksibel dengan pondok pesantren yang memiliki keunikan-keunikan tersendiri kiranya bisa melahirkan interaksi edukasi yang unik juga, yang tetap menjawab kebutuhan santri atau tenaga pengajar di pesantren akan ilmu, pengetahuan, dan kompetensi yang diberikan oleh universitas tanpa meninggalkan aktivitas dan local genius pesantren.

“Ilmu itu bukan supaya anda pandai, tapi supaya Allah terharu kepada anda atau kita.”
Emha Ainun Nadjib, Pabelan (Okt, 2015)

Pondok Pesantren Pabelan Magelang malam ini kedatangan banyak orang. Bukan para orangtua yang hendak menyantrikan anak-anaknya di sini, melainkan masyarakat luas yang hendak mengikuti Maiyahan ‘Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng’ yang diselenggarakan UT di kompleks Ponpes ini. Para santriwan-santriwati yang mengenakan seragam putih dan abu-abu semuanya juga turut berkumpul dan mengikuti acara atau kegiatan yang lain dari rutinitas sehari-hari mereka. Hal yang sangat menggembirakan mereka.

Pondok Pesantren Pabelan ini adalah pesantren yang bermodel dan ‘bernasab’ Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo. Pada masa KH Hamam Ja’far, Ponpes Pabelan ini mempunyai reputasi sangat baik sebagai pesantren yang inovatif dengan jumlah ribuan santri. Tetapi sebagaimana pesantren lainnya, Pondok Pabelan juga mengalami dinamika dan perubahan atau perkembangan, dan saat ini yang melanjutkan estafet kepemimpinan adalah adik KH Hamam Ja’far yaitu KH Ahmad Mustofa. Saat Cak Nun naik panggung, beliau langsung membuka Maiyahan dengan meminta salah satu santri untuk maju untuk memimpin membaca surat an-Nashr dan kemudian santri lainnya diminta melantunkan al-Quran. Dari awalan ini, Cak Nun langsung menjadikannya semacam simulasi dan pendadaran karakter santri, mulai dari bagaimana memegang mic, berbicara dengan jelas, badan yang tegap, sampai yang mendasar yaitu hendaknya santri harus menjadi dirinya sendiri.

“Jadikan suaramu adalah suaramu…,” pesan Cak Nun usai meminta santri melantunkan Alquran tapi tidak dengan mengekor pada lagu-lagu manapun. Ia melantunkankannya dengan notasi Jawa. “Bagus, tapi nggak usah dikasih nama Islam Nusantara atau apapun, nggak usah dinamain. Urusannya adalah keikhlasanmu kepada Allah. NU Muhammadiyah dll boleh ada sepanjang membantu kalian dekat dengan Allah.”

Di panggung, Cak Nun tidak sendirian. Kiai Muzammil juga turut naik. Dan saat ini Cak Nun sudah meminta Pak Habib Hirzin dari ponpes Pabelan ini serta Dr. M. Yunus dan Dr. Dyah Prastiti dari UT untuk naik juga. Sementara itu Para pimpinan pondok dan jajaran pengajar duduk berbaur dengan para jamaah dan santri. Jamaah memadat sampai di sisi kanan kiri bahkan belakang panggung juga. Yang di belakang pun tak kalah konsentrasinya dengan yang di depan panggung dalam mengikuti Sinau Bareng Cak Nun.

pabelan3

Di awal, Cak Nun sempat mengingatkan bahwa kata ‘modern’ yang melekat pada ponpes Pabelan, sebagaimana juga Ponpes Gontor, berarti penuh pembaharuan, penuh dengan ijtihad. Dikasih contoh yang langsung konkret para santri di sini diajak menyelami fenomena musik KiaiKanjeng melalui mas Doni yang bawakan One More Night-nya Maroon Five. Suasana sangat hidup, terutama karena eksposisi masing-masing alat musik KK diberi porsi yang cukup, bahkan Mas Saryanto diminta menabuh kendangnya membunyikan musik Maroon Five tadi, dan sewaktu giliran drum Mas Adit, sangat meriah aplaus diberikan.

“Kita merdeka-merdeka saja, karena kita sudah tahu syari’atnya,” ujar Cak Nun saat mengajak para santri naik ke panggung dan berembug akan mau nyanyi apa aja. Ada yang barusan bawakan lagu Iwan Fals, sekarang Sebelum Cahaya-nya Letto. Setiap kali Cak Nun membutuhkan partisipan untuk dialog, membawakan sesuatu, atau apa saja, beliau minta santri yang sudah di panggung memanggil temannya. Jadilah ini contoh yang sederhana dan gamblang mengenai pendidikan dari Cak Nun. Para pengasuh dan pengajar menyaksikan langsung para santri berinteraksi dengan Cak Nun. Para santri diajak belajar mengungkapkan diri secara bebas dan percaya diri karena batasnya jelas yaitu di wilayah kreativitas, para santri harus kreatif dan ekspresif.

Tetapi dalam konteks kebudayaan dan tradisi, kebutuhannya bukan hanya pembaharuan, namun juga pelestarian, keterus-menerusan, atau keberlanjutan dari waktu ke waktu. Itulah sebabnya, Cak Nun tadi mengajak para santri untuk melantunkan Ilahilastu-nya Abu Nuwas yang merupakan bagian dari tradisi di pesantren seperti di Pabelan ini. Secara tidak langsung para santri diajak terbuka tetapi juga diingatkan untuk menjaga tradisi atau hal-hal yang memang perlu, baik, dan nikmat untuk dijalankan terus.

Sudah pukul 00.45, dan di mana-mana dalam maiyahan, para jamaah, yang sepuh, yang muda, bahkan ada pula anak-anak, sangat betah dan seperti belum mau beranjak dari tempat duduknya. Mereka setiap menyimak butir-butir ilmu dan peristiwa-peristiwa keindahan di Maiyahan. Cak Nun sendiri sangat concern untuk menggarisbawahi ihwal ilmu dan pengetahuan dalam pertemuan kali ini. Seakan beliau ingin menjawil para pengasuh pesantren di sini, para santri tak terkecuali, untuk memahami kembali hakikat ilmu dan pengetahuan, membenahi salah persepsi yang sudah sekian lama mengurat akar mengenai ilmu, dan melihat integralitasnya ilmu dengan pelbagai sisi kehidupan. Sedemikian sekulernya ilmu agama selama ini, maka kita tak pernah menerapkan atau mengaitkan matriks hukum Islam dengan praktik kehidupan sosial yang lebih luas. Hukum Islam hanya identik dengan ibadah mahdhoh dan fikih belaka. “Hukum-hukum mulai dari wajib hingga haram tak pernah dipakai dalam terapan sosial. Para santri yang selama ini akrab dengan Nahwu Sharaf dalam mempelajari Bahasa Arab tidak punya imajinasi, ungkapan, atau kesadaran bahwa kehidupan pun ada Nahwu Sharaf-nya, tumbuhan-tumbuhan, alam pun demikian,” papar Cak Nun.

pabelan2

Dari sebelah kanan panggung, seorang Ibu muda berdiri tak sedikit pun tampak capek menggendong anaknya dengan jarik batiknya, bahkan ia sempat menggerakkan badannya dengan wajah penuh senyum saat Mbak Yuli bawakan Laksamana Raja Di Laut dan Mas Imam tembangkan Beban Kasih Asmara. Dan sekarang Mas Islamiyanto memenuhi permintaan dari jamaah untuk lantunkan sebuah lagu Sunda, yang dibawakan dengan sangat baik. “Ilmu itu bukan supaya anda pandai, tapi supaya Allah terharu kepada anda atau kita,” ungkap Cak Nun menyemangati para santri dan jamaah saat mengecek apakah masih akan terus kebersamaan malam ini, dan semuanya bilang “terusss”, juga menyemangati untuk siap ulang-alik, siklikal memetik ilmu dari apapun, termasuk dari ragam lagu yang barusan dinikmati bersama.

“Saya pun mendapatkan ilmu. Baru kali ini saya mendengarkan bahwa matematika adalah ilmu paling suci,” ucap Bu Dyah Prastiti dari UT yang juga seorang penekun matematika dan sains. “Selama ini matematika dirasakan sebagai raja sekaligus hambanya ilmu, dan dalam kerangka itulah selama ini saya menulis karya ilmiah terkait matematika. Ke depan saya akan menulis matematika dengan keberangkatan bahwa matematika adalah ilmu paling suci,” lebih lanjut Bu Dyah mengatakan. Sementara itu, dr M. Yunus yang merasakan bahwa pertemuan malam ini adalah pertemuan ilmu dengan penuh rendah hati mengatakan kepada Cak Nun, “Terima kasih terima kasih Pak Kiai…Mudah-mudahan anak-anak kita para santri ini menjadi orang-orang yang mencintai ilmu.” Maiyahan Pabelan akan segera sampai di penghujungnya. Cak Nun melantunkan beberapa nomor shalawat diiringi musik KiaiKanjeng dalam suasana kekhusyukan.

Usai rangkaian beberapa nomor shalawat yang diikuti dengan sikap dan hati kekhusyukan segenap para jamaah, Cak Nun mempersilakan semua berdiri untuk mengamini doa penutup yang dibawakan oleh Bapak Habib Chirzin. “Mudah-mudahan pondok Pabelan dan UT berkolaborasi menjadi masa depan Indonesia yang merupakan mercusuar dunia, “doa Cak Nun. Pertemuan malam ini telah tiba di puncaknya, para jamaah Maiyah sudah siaga di depan panggung untuk membantu lancarnya jabat tangan antara jamaah dengan para narasumber. Dan puji syukur adik-adik santri Pondok Pabelan mengikuti Maiyahan ini hingga tuntas pada pukul 01.00 WIB.

(Red Progress/Helmi Mustofa)