Sinau bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng di Balai Desa Selopamioro, Yogyakarta.

Maiyahan malam itu diselenggarakan oleh LEM FH UII Yogyakarta bertempat di Balai Desa Selopamioro Imogiri Bantul. Sebuah desa yang untuk sampai ke sana hari-hari ini kita perlu meninggalkan kemacetan lalu lintas kota Jogja. Cuaca pun cukup cerah setelah siang-sore tadi mendung dan hujan mengguyur kawasan DIY. 

Ibu-ibu dan remaja putri desa Selopamioro lebih dahulu memenuhi tikar-tikar yang sudah disediakan buat jamaah. Selain masyarakat desa, para dosen dan mahasiswa FH UII juga merupakan satu segmen audiens malam ini. Selang-seling pendekatan dan bahasa Cak Nun dalam berkomunikasi dengan audiens yang berbeda budayanya ini, apalagi temanya khas anak kuliah ‘Membangun Integritas….’. Seperti selalu adanya, Cak Nun momong semua kecenderungan kategori hadirin.

Ciri khas yang dapat kita rasakan dalam setiap maiyahan adalah Cak Nun tidak memberangkatkan suatu pertemuan atau maiyahan kecuali dengan memberikan dasar terlebih dahulu, sehingga bangunan selanjutnya akan enak bergeraknya. Seperti malam itu, Cak Nun mengingatkan jamaah atau hadirin pada surat Al-Hasyr ayat 18-19. Bahwa kita harus rajin-rajin konfirmasi dan online dengan Allah. Kalau online, Allah akan menjadi ‘notulen’ dan yg mengabarkan apa-apa yang kita kerjakan. Cak Nun juga mengajak hadirin menyadari bahwa yang dimaksud fasik bukan orang yang gimana-gimana tetapi adalah orang yang tidak mengenal dirinya dikarenakan dia lupa akan Allah. “Lupa sedikit saja kita kepada Allah, kita tidak akan ingat diri.”

‎Ternyata bapak-bapak, ibu-ibu, remaja dan warga masyarakat yang hadir sangat banyak dan memenuhi sepanjang jalan lurus di depan panggung. Sesungguhnya kekuatan perjumpaan maiyahan bersumber salah satunya dari niat, kemurnian, dan kesungguhan jamaah yang hadir itu sendiri. Cak Nun dan KiaiKanjeng merespons, mengolah, dan mengantarkannya menjadi suatu bentuk komposisi yang pas dan relevan dengan yang dibutuhkan. Kekhusyukan dan kesyahduan bisa dengan enak terbangun saat misalnya Mbak Yuli mengajak mereka melantunkan pujian Wujud Qidam Baqa yang notabene juga cara ndeso dan Mbak Nia bawakan Ajining Urip. Wajah ibu-ibu yang mendominasi bagian depan pendopo yang dijadikan area ‘panggung’ memancarkan kekhidmatan tapi yang sekaligus memunculkan kegembiraan.

Memang nikmat dan membuat hati bergetar merasakan paduan-paduan yang tercipta. Pak Lurah ternyata siap diminta nyanyi untuk menggembirakan terlebih dahulu hati masyarakatnya. Tak tanggung-tanggung, lagu Tombo Ati KiaiKanjeng yang dipilihnya. Spontan langsung ia bawakan, dan KiaiKanjeng segera mengiringinya. Dan itulah KiaiKanjeng sang pelayan, yang siap sedia mengiringi untuk terlahirnya suasana acara yang asyik dan menyenangkan. Dan tanpa terasa keindahan itu telah merasuk pelan-pelan menjejak ke dalam jiwa siapapun yang hadir di sini. Setiap petikan, pukulan, atau apapun yang menyebabkan alat-alat musik berbunyi pun bisa sangat dinikmati dan dirasakan bagaimana kerjasama indahnya satu sama lain.

‎Jika dicermati, sebagaimana dalam maiyahan selama ini, satu istilah atau konsep kunci bisa menjadi pintu masuk ke kesatuan pemahaman. Dari satu titik bisa masuk ke berbagai dimensi tetapi dalam satu kesatuan dan menjadi suatu cara berpikir. Demikianlah malam ini yg mengulas mengenai integritas.

jogja1

“Ibu-ibu dan bapak-bapak yang sepuh ini tidak bisa menjadi yang memikul utamanya, yang dibutuhkan desa Selopamioro adalah manajer-manajer muda dari ‘kota’ yang akan mengelola dan mendayagunakan potensi.”

Integritas atau intelektual adalah ketersambungan satu sama lain. Kebersatuan atau nyawiji. Dan itu berlaku untuk semua hal. Pelajaran hidupnya adalah jelas: jangan suka nyuwil-nyuwil. Mempelajari apa saja harus terkait dengan yang lainnya. “Gambaran integritas itu seperti tak bisa dipisahkannya antara gula dengan manisnya, laut dengan ombaknya atau wanita dengan cantiknya. Integritas adalah anda melihat laut tanpa melupakan ombak, melihat gula tanpa tidak ingat manisnya,” papar Cak Nun.

Bergerak lebih lebar, rupanya integritas bisa kita temukan pada soal-soal lain. Dalam ekonomi umpamanya, laba atau rugi pun masing-masing punya integritas. Tujuan salat pun sesungguhnya adalah integritas. Cak Nun menggarisbawahi, “Dalam peristiwa ada fenomena dan fakta integritas. Melangkahkan kaki pun ada integritasnya. Allah menciptakan sesuatu dengan integritas.”

‎Melangkah lagi, Cak Nun membawa ke pemahaman politik kenegaraan dan kebangsaan. Ada lima pilar bagi terbangunnya suatu negara. Rakyat, tentara atau militer, kaum intelektual, kekuatan budaya, dan kekuatan agama. “Integritas adalah pemahaman dan pengelolaan negara dengan mengoptimalkan semua potensi yang ada pada lima pilar tersebut. Selama ini yang dominan adalah potensi tentara dan kaum intelektual. Integritas adalah bersatu padunya lima unsur tadi.”

Hal yang sama juga dapat diterapkan dalam memahami Pancasila sebagaimana belakangan dijelaskan secara komprehensif oleh Cak Nun. Jadi, integritas dapat menjadi cara berpikir, sebagaimana barusan Cak Nun contohkan. Sekaligus merupakan contoh cara berpikir yang nyawiji, yang integral.

Luar biasa, penjelasan yang sangat akademis dari Cak Nun tetap membuat warga masyarakat desa ini setia mengikuti acara. Sesuatu yang dalam forum-forum seminar kerap mudah mengundang kebosanan, kening berkerut, atau kejenakan berkurang. Namun tidak demikian halnya dengan paparan Cak Nun.  

Dua lagu sebelumnya mungkin membantu mengantarkan mereka ke sesi ‘ilmiah’ ini, tetapi boleh jadi mereka khidmat mendengarkan karena memang muatan-muatan seperti ini yang mereka butuhkan dan selama ini tidak mereka dapatkan dari pemimpin atau kaum intelektual. “Masih tahan?” tanya Cak Nun kepada mereka setelah menyampaikan cara berpikir integritas. “Terussss,” jawab jamaah. 

‎Integritas atau intelektual adalah ketersambungan satu sama lain. Kebersatuan atau nyawiji. Dan itu berlaku untuk semua hal.

Dari filosof logika, Cak Nun bergeser menjalankan peran ahli pembangunan desa sesaat sesudah Pak Lurah Selopamioro mengemukakan pikiran dan harapannya akan kemajuan desa. “Desa Selopamioro ingin maju apanya?” tanya Cak Nun. “Maju segala aspeknya,” jawab mereka. Cak Nun mengingatkan untuk ditimbang-timbang dan dipikirkan kembali keinginan semacam itu. Pada praktiknya, ekonomi mengalami kemajuan selalu dengan ongkos menurunnya akhlak dan budaya masyarakat. Budi pekerti kita rendah, secara spesifik itu ada kaitannya dengan reformasi politik ’98. Anak-anak muda saat ini sebenarnya sudah terdesak. Musuh mereka sudah masuk ke rumah-rumah mereka, yaitu televisi. Jauh sebelum ada hape. Televisi telah merebut ‘prime time‘ kultural hidup nyata anak-anak dan generasi muda dan digantikan dengan ‘prime time televisi’ yang menghancurkan mereka, yang membuat mereka tak kunjung dewasa. Mereka dibuat kanak-kanak atau remaja terus oleh tayangan-tayangan televisi.

Sekarang musuh itu sudah berada di dalam genggaman tangan, yaitu hape atau gadget. Di situ anda atau mereka bisa ganti status, bisa copas ini itu, dan tidak punya kontrol intelektual apapun. “Walaupun saya nggak pusing-pusing amat, karena sebagai orang Jawa akan tersenyum-senyum sendiri. Tapi itulah gambaran konstelasinya. Jantung masyarakat sudah diambil alih televisi dan gadget dan dimasukkan racun-racun ke dalamnya,” urai Cak Nun.

Menyarankan langkah strategis, Cak Nun mengemukakan, “Cita-cita kemajuan bersama di desa ini tentu bisa kita pahami, tetapi ibu-ibu dan bapak-bapak yang sepuh ini tidak bisa menjadi yang memikul utamanya. Yang dibutuhkan desa Selopamioro ini adalah manajer-manajer muda dari ‘kota’ yang akan mengelola dan mendayagunakan potensi. Masyarakat sepenuhnya yang akan mendukung. Manajer-manajer itu yang menghidupkan budaya di sini, menciptakan desa wisata, desa budaya, permainan anak-anak, dan kreativitas-kreativitas lainnya. Intinya, ekonomi maju oke saja, asal integral dengan matangnya budaya, akhlak, dan dimensi-dimensi hidup yang lain,” tegas Cak Nun.

‎Di area jamaah, satu pemandangan yang khas. Banyak ibu-ibu muda yang mengajak anaknya yang masih kecil. Sebagian anak-anak itu sudah tertidur di pangkuannya, di alas, atau di gendongan orangtuanya. Sementara ibu-ibu sangat menyimak uraian-uraian Cak Nun yang usai soal pembangunan desa, masuk ke soal politik pada skala negara dan pemerintah.

Di bawah-bawah pohon, juga terlihat betapa enjoy bapak-bapak atau para muda mengikuti ilmu-ilmu Maiyah. Sampai di bagian-bagian akhir Cak Nun menyarankan agar dari mahasiswa fakultas hukum lahir pemikiran-pemikiran yang lebih jelas dan tertata mengenai politik kenegaraan. Cak Nun berpesan hendaknya ada jiwa kenegaraan yang tidak membiarkan sebuah pemerintahan mewariskan kesulitan-kesulitan pada pemerintahan selanjutnya.

‎Di antara maiyahan yang beberapa kali diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UII dalam beberapa tahun terakhir, malam ini sangat lengkap pencapaian ilmunya, dan kedekatannya dengan sasaran tematiknya.

Teks: Red Progress/Helmi Mustofa