THE SHOW MUST GOAT-ON

REPORTASE KENDURI CINTA DESEMBER 2017

Sejak sore, area Cikini diguyur hujan deras. Cukup deras untuk menunda acara Kenduri Cinta yang sejak 17 tahun lalu diadakan di ruang terbuka, di pelataran Taman Ismail Marzuki. Hujan mereda menjelang pukul sembilan. Karpet alas duduk jamaah akhirnya digelar para penggiat, dan dimulailah acara maiyahan Kenduri Cinta. Penggiat bergantian mengepel, sebagian lain membuang air yang menggenang di pelataran. Terasa benar suasana kebersamaan malam itu. Dengan kain pel seadanya, para jamaah ikut bahu-membahu mengeringkan karpet. Sementara, sebagian jamaah lain tampak menikmati kudapan ringan di warung angkringan belakang. Sesuai tema Kenduri Cinta kali itu, The Show Must Goat-On, maka acara Kenduri Cinta pun “must go on“.

Setelah alas duduk mengering dan tertata, jamaah yang sebelumnya berdiri di pinggir lantas duduk menuju depan panggung. Angin berhembus kencang, udara pun terasa lebih dingin. Jamaah terlihat menenteng gelas-gelas yang berisi kopi, teh, dan jahe panas, untuk sekedar menghangatkan badan. Terlihat seorang bapak dan ibu membawa serta dua anaknya duduk di barisan terdepan. Tepat pukul sembilan malam, Kenduri Cinta edisi Desember 2017 dimulai dengan pembacaan Wirid Tahlukah. Beberapa penggiat memimpin, jamaah pun larut dalam Wirid Tahlukah, melantunkan Ru’us Tahlukah: Yaa Dzal Wabal, Yaa Dzal Adli, Yaa Dzal Qisthi, Yaa Syadiidal Iqob.

Usai itu, Donny bersama Sigit tampil memoderasi forum, memantik respon jamaah. Tampaknya, jamaah telah menyadari bahwa kata yang digaris bawahi pada tema adalah Goat; Kambing. Ada apa dengan kambing? Banyak spektrum pemahaman yang bisa ditampilkan. Salah satunya, banyak kisah Nabi dan Rasul yang memuat penggembalaan kambing. Nabi Ibrahim misalnya, ketika mendapat perintah menyembelih Nabi Ismail, putra tercintanya, Allah ‘menggantikannya’ dengan kambing. Rasulullah SAW sejak belia juga sudah menggembalakan kambing, begitupun nabi-nabi lainnya.

Donny sampaikan, setidaknya ada empat sub tema malam itu: kambing (atau domba), penggembala, rumput dan fenomena adu domba. Membaca amsal tentang kambing (atau domba), domba selalu mengikuti kemana induknya bergerak, domba juga memiliki naluri akan memakan rumput di sekitarnya. Lain hal manusia, meski sama-sama memiliki naluri mencari makan, namun tali yang mengikat manusia bukanlah tali berbentuk fisik seperti halnya kambing ketika digembalakan. Khalifatullah adalah amanah yang diberikan Allah untuk manusia. Manusia diberi kebebasan berkreasi, pagar yang membatasi atau ikatan yang menjadi penahan manusia untuk tidak melakukan perbuatan yang melanggar aturan Allah, terangkum dalam substansi agama.

“Mengapa kita mudah diadu-domba?” tanya Donny yang melihat masyarakat kini mudah berbenturan, mudah dibentrokkan. Termasuk umat Islam. Ia mengutip pernyataan salah satu pemikir Islam, Natsir: Islam beribadah akan dibiarkan, Islam berekonomi akan diawasi, Islam berpolitik akan dicabut seakar-akarnya. Islam dibiarkan hidup, tetapi jangan menguasai ekonomi dan politik. Sementara infiltrasi paham-paham asing makin gencar masuk Indonesia, mengikis kearifan lokal yang mestinya mampu mengakomodir perbedaan antar golongan-golongan. Umat disibukkan mempertentangkan kebenarannya masing-masing.

Donny mengingatkan prinsip Maiyah, bahwa kita musti berpikir seimbang, yang kita cari bukanlah siapa yang benar, melainkan apa yang benar. Dengan begitu, kita terlatih bahwa kebenaran yang kita temui hari ini bukanlah kebenaran mutlak, semua relatif. Karena tafsir kebenaran kita adalah kebenaran tafsir berdasar pengalaman dan pengetahuan kita masing-masing. Kebenaran yang kita yakini hari ini bisa jadi menjadi kesalahan esok harinya.

Khalifatullah adalah amanah yang diberikan Allah untuk manusia.”
Donny Kurniawan, Kenduri Cinta (Desember, 2017)

KEBUN MAIYAH

Pramono Abadi lantas merespon, ia menyorot kata The Show pada tema, yang artinya adalah pertunjukan. Tujuan pertunjukkan adalah menanamkan informasi pada alam bawah sadar. Sama halnya dengan Kenduri Cinta, ada yang menonton dan ada yang ditonton. Apa yang membuat jamaah datang kembali ke Kenduri Cinta? Adalah sajian informasinya. Itulah yang mempengaruhi untuk datang kembali.

Donny lantas melanjutkan, kali ini tentang “adu domba”. Ia mempertanyakan, mengapa diambil domba sebagai idom? Menurutnya, domba adalah simbolisasi dari sesuatu yang dikuasai oleh nafsu. Apalagi jika kepentingannya terganggu, maka ia akan mempertahankan diri. Itulah naluri binatang. Sementara manusia, dengan akalnya, seharusnya tidak bersumbu pendek, ada tahapan eskalasi yang harus ditempuh, sehingga keputusan yang diambil adalah keputusan yang bijak. Seperti itulah seharusnya manusia berlaku. Faktanya, banyak manusia-manusia yang jumud, sempit cara berpikirnya, tidak heran “adu domba” di mana-mana.

Donny juga mengkritisi media-media yang tak lagi mengindahkan kaidah-kaidah jurnalistik, sehingga banyak peristiwa kebaikan tidak terekspos. Bad news is a good news, seperti itulah ibaratnya kaidah jurnalistik saat ini. Dalam memandang peristiwa korupsi misalnya, mestinya kita bisa melihat dari persoalan bukan apa atau berapa yang dicuri, melainkan apa yang menyebabkan ia mencuri.

Tak lama setelahnya, Amien Subhan ikut sampaikan pandangannya. Dalam tafsirnya, Maiyah ibarat kebun yang dipenuhi tanaman, pepohonan, rerumputan, bunga dan sebagainya. Cak Nun, bersama Marja’ Maiyah; Cak Fuad dan Syeikh Nursamad Kamba, adalah sosok yang menebarkan benih-benih di kebun itu. Apa yang kita lihat, kita dengar, yang kita temui hari ini di Maiyah bukanlah sesuatu yang tiba-tiba tumbuh. Amien menanyakan, apa yang bisa kita ambil sebagai pelajaran dari proses panjang ini? Generasi Maiyah ‘zaman now‘ seharusnya mampu mengidentifikasi, mendaftari kemudian mempelajari dan mengambil hikmah dari proses panjang tersebut. Amien menekankan, jangan sampai kita menjadi goat yang mudah diadu-domba. Kebun Maiyah adalah anugerah yang harus kita jaga. Jangan sampai kita hanya menjadi kambing yang bukan saja mudah diadu-domba, tapi pekerjaannya hanya makan rerumputan dan dedaunan.

Adi Pudjo lantas merespons. Menurutnya, sebaiknya kita terus menjaga proses untuk tidak berhenti menjadi lebih baik. “Paling tidak, jika kita itu kambing di kebun Maiyah, belajarlah tentang batas. Ada batasnya kapan harus makan, ada batasnya kapan harus berhenti makan. Mudahnya seperti itu,” tutur Adi. Show di Maiyah juga jangan hanya dipahami sebatas tontonan, melainkan harus mampu dimaknai lebih. Ada buah silaturahmi, ada ranting ilmu, ada daun kebersamaan dan sebagainya.

Pelataran Taman Ismail Marzuki malam itu mulai dipadati jamaah. Awan kabut di langit pun tampak sudah menghilang. Nampaknya Allah sedang mengirimkan berkah air hujan di tempat lain. Memberi jeda diskusi, Restu tampil membawakan puisi berjudul Pantun-Pantunan, dilanjutkan Fitri dan Anjar. Mereka berduet diiringi gitar akustik membawakan lagu-lagu populer.

Setelah jeda berkesenian, forum kembali dibuka. Fahmi Agustian lantas memoderasi sesi selanjutnya. Tampak Kiai Muzammil, Pengasuh Pondok Pesantren Rohmatul Umam, Bantul, yang telah akrab dengan forum-forum maiyahan di berbagai kota. Secara khusus, Kiai Muzammil ingin mengajak jamaah Maiyah Jakarta shalawatan, dalam suasana bulan Maulid Nabi Muhammd SAW. “Masih adakah cinta dalam hati kita untuk Kanjeng Nabi Muhammad?” tanya Kiai Muzammil kepada jamaah.

Kita bershalawat karena Rasulullah SAW adalah bagian penting dalam diri kita.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Desember, 2017)

Kiai Muzammil menuturkan, shalawatan merupakan tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi secara turun-temurun dalam rangka mengungkapkan rasa cinta kepada Rasulullah SAW, sosok manusia yang paling agung. Seandainya kita diizinkan Allah untuk bertatap muka dengan beliau, niscaya kita tidak akan merasa kagum lagi kepada manusia lain. Karena kita sudah bertemu dengan sosok manusia yang paling agung yang pernah diciptakan oleh Allah SAW.

Kiai Muzammil berkelakar, shalawatan adalah tradisi yang kental di Madura. Sejahat apapun orang di Madura, tidak akan berani untuk tidak maulidan. Bahkan, orang Madura menurut Kiai Muzammil berani meninggalkan salat, tetapi mereka tidak berani untuk tidak maulidan. Sebuah kelakar memang, namun bagi Kiai Muzammil, kecintaan kepada Kanjeng Nabi adalah modal utama kita untuk menghadap Allah SAW. Meski kita memilki modal Rukun Islam dan Rukun Iman, kalau tak dilengkapi dengan kecintaan kepada Kanjeng Nabi, maka akan sia-sia.

Kiai Muzammil menjelaskan, dalam tradisi shalawatan terdapat banyak jenisnya. Ada yang dikenal sebagai Diba’an, Simtud Duror, Burdah, Barzanji, dll. Beliau lantas menceritakan Syeikh Imam Bushairi saat menyusun puisi puji-pujian untuk Rasulullah SAW, pada saat ia sakit keras dalam kondisi fisik lemah, bahkan untuk berjalan saja ia tak mampu. Puisi-puisi itu kemudian dikenal sebagai Shalawat Burdah. Ketika sampai di bait ke-51, Syeikh Imam Bushairi tertidur pulas, dalam mimpinya ia didatangi oleh Rasuullah SAW, dan memerintahkan puisi-puisinya agar diselesaikan. Setelah mimpi itu, Syeikh Imam Bushairi terbangun dan seketika itu pula ia sembuh dari sakitnya.

Kiai Muzammil lalu mengajak jamaah untuk melantunkan Shalawat Burdah, dipungkasi dengan membaca doa bersama, agar semua yang hadir dan ber-shalawat diberi kemudahan dan kelak di hari akhir diberi syafaat Rasulullah SAW. Amin.

Beberapa saat kemudian, Cak Nun tampak memasuki area acara. Seperti halnya pada lain tempat, kedatangan Cak Nun disambut gemuruh dan kerumunan jamaah yang berebut ingin bersalaman dan mencium tangan beliau. Kiai Muzammil lalu spontan mengajak jamaah berdiri dan melantunkan Shalawat Burdah, Cak Nun pun turut bergabung, isyik menikmati shalawatan bersama yang dipimpin Kiai Muzammil.

Setelahnya, Cak Nun menyapa, “Kalau belajar politik maka muara guru kita adalah H.O.S. Tjokroaminoto, sementara jika kita belajar tentang khasanah kebudayaan shalawatan di Indonesia, maka muara guru kita adalah Syaikhona Kholil Bangkalan.”

“Kita ber-shalawat karena Rasulullah SAW adalah bagian penting dalam diri kita,” Cak Nun melanjutkan, “Di Maiyah kita melatih diri bahwa hubungan sesama manusia bukan hubungan yang berlandaskan kepentingan politik, ekonomi, laba-rugi dan sebagainya. Hubungan kita adalah hubungan cinta, kemanusiaan, kearifan dan kebijaksanaan.”

Cak Nun kagum pada jamaah Kenduri Cinta yang bisa shalawatan karena Kenduri Cinta berlokasi di Jakarta, dan tidak ada tanda-tanda santri di kehidupan Jakarta. “Saya bukan ahli shalawat, saya bukan ahli agama, saya bukan ahli Islam, saya bukan pakar nilai, bukan. Sudah banyak kebun-kebun yang menghasilkan itu semua. Saya bukan produk dari kebun-kebun itu, saya adalah buah yang tercecer di pinggir jalan. Anda kemudian menemukan saya, yang tercecer itu. Meski demikian, di satu pihak akan lebih menguntungkan, karena anda menemukan buah yang organik, buah yang tidak terkena pestisida,” lanjut Cak Nun. “Maiyah adalah petani-petani organik, yang sudah kapok dengan rabukrabuk, pupuk-pupuk yang sebenarnya hanya skema kapitalis dalam rangka merubah rute pertanian.”

Qurban adalah mekanisme yang dipersiapkan oleh Allah agar kita semakin mendekatkan diri kepada-Nya.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Desember, 2017)

PENGGEMBALA MAIYAH

MENYIKAPI TAHUN POLITIK, tahun 2018 – 2019. Cak Nun mengingatkan bahwa “pestisida 2019” membahayakan. Bersyukur di Maiyah kita memiliki sistem kekebalan tubuh sehingga tak mudah terkena pestisida-pestisida itu. “Indonesia itu ndak ada urusan sama anda, ndak ada urusan sama saya. Bagi Indonesia itu kita ndak ada. Indonesia itu ndak perduli sama Maiyah dan Maiyah memang tidak berguna bagi Indonesia. Maka jika Maiyah berguna bagi diri anda masing-masing, itu sudah Alhamdulillah,” sambung Cak Nun. “Kenapa kita ber-shalawat? Karena Rasulullah ada dalam diri kita,” yang pada puncaknya, Allah adalah tuan rumah hati kita, tidak ada pihak lain selain Allah yang layak untuk menjadi penjaga hati kita. Saat kita melibatkan Allah, maka saat itu pula kita melibatkan Rasulullah SAW. Tidak mungkin kita memisahkan peran antara Allah SWT dengan Rasulullah SAW dalam diri kita.

Selain itu, dengan ber-shalawat, secara tidak langsung kita juga menanamkan dalam diri bahwa kita menyadari ada pihak-pihak lain yang juga berkerumun dengan kita, bukan hanya makhluk yang terlihat secara kasat mata saja. Ayat yang tersurat sudah jelas, innallaha wa malaaikatahu yusholluuna ‘alannabii, yaa ayyuhalladziina aamanuu shollu ‘alaihi wa sallimuu tasliimaa, bahwa Allah dan Malaikat saja bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW, apalagi makhluk-makhluk Allah yang lainnya.

Cak Nun lantas meminta Kiai Muzammil menjelaskan tentang kambing, utamanya yang berkaitan dengan para Nabi dan Rasul. Kiai Muzammil jelaskan, semua Nabi dan Rasul pernah mengalami peristiwa menggembalakan kambing. Nabi Musa misalnya, sebelum diizinkan menikah dengan Putri Nabi Syuaib, ia dipersyaratkan mengabdi 8 tahun, pada masa pengabdian itu salah satu tugasnya menggembalakan kambing. Begitu juga dengan Rasulullah SAW, yang di usia dua tahun sudah menggembala kambing dalam rangka membalas jasa Ibu Siti Halimah yang telah menyusui beliau. Dalam Syair Simtud Duror dikisahkan bahwa Rasulullah SAW mengalami pertumbuhan fisik satu hari sebanding dengan satu bulan pertumbuhan bayi biasanya. Maka, tidak mengherankan jika sejak usia dua tahun Nabi Muhammad SAW sudah menggembalakan kambing.

Menyambung paparan Kiai Muzammil, Cak Nun menjelaskan, setidaknya dari kambing kita belajar bahwa seluruh Nabi dan Rasul pernah menggembalakan kambing. Kemudian, kata qurban juga berasal dari kata qorb yang artinya mendekat. Maka qurban adalah mekanisme yang dipersiapkan oleh Allah agar kita semakin mendekatkan diri kepada-Nya. Qurban bukan victim atau kekejaman. Seperti halnya istilah kawan karib, kawan dekat.

Para Nabi dan Rasul tetap manusia, tetapi mereka adalah manusia terpilih. Tetapi tetap, Allah menganugerahkan sifat-sifat kemanusiaan pada diri setiap Nabi dan Rasul. Seperti misalnya ketika Nabi Ibrahim diperintah menyembelih Nabi Ismail, bukan berarti beliau merasa kuat mental melaksanakannya, tetap saja ada sisi manusia dalam dirinya, ada rasa sedih karena harus menyembelih putra tercintanya; Ismail. Itulah bentuk ujian.

Gampangnya, binatang itu perilakunya default, tidak bisa kreatif apalagi improvisasi. Sementara manusia, meski memiliki naluri binatang tetapi oleh Allah diberi hak custom, manusia diperbolehkan kreatif dan berimprovisasi. Manusia dan Jin diberi hak yang lebih leluasa daripada binatang, bahkan dibandingkan malaikat, karena malaikat hanya melakukan apa yang Allah perintahkan.

Manusia dan Jin ibaratnya diberi remote duplikat oleh Allah untuk me-remote dirinya, dalam batas dan koridor-koridor yang juga sudah disusun oleh Allah. Pada faktanya, semakin manusia diberi keleluasaan justru semakin melanggar batasan-batasan. Manusia berlaku tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah.

Apapun yang kita temui di Maiyah, ambil saja, simpan di saku, siapa tahu besok-besok akan bermanfaat.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Desember, 2017)

DALAM MENGGEMBALAKAN, kambing-kambing biasanya diberi patok atau tali yang mengikat, hal itu agar kambing tidak pergi dari area yang sudah ditetapkan. Menyambung itu, di Maiyah tidak ada patok atau tali yang mengikat. Jamaah memiliki kedaulatan setuju atau tidak setuju. Jamaah Maiyah diberi kebebasan untuk menentukan tali pengikatnya masing-masing, sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. “The Show Must Goat-On maksudnya adalah bahwa kambing-kambing harus menentukan patokannya masing-masing dalam menjalani kehidupan,” Cak Nun melanjutkan. Maiyah memiliki mekanisme cara pandang, sudut pandang, jarak pandang, resolusi pandang. Sementara yang terjadi di Indonesia saat ini adalah kepentingan pandang, memandang sesuatu berdasarkan kepentingan yang diinginkan.

“Kita ini adalah kambing-kambing yang dipegangi remote oleh Allah,” Cak Nun melanjutkan. Sifat kambing adalah memberontak, terutama kambing Jawa, ia tak akan mudah menurut kepada yang menggembalakannya. Jika ia tidak diikat, maka akan berlarian kesana-kemari, dan jika diikat pun tidak mudah untuk ditaklukan agar nurut kepada yang menggembalakan. Berbeda dengan kambing Gibas yang bulunya tebal, tanpa diikat tali pun tidak akan memberontak.

“Manusia ditawari Alquran, dikasih panduan untuk supaya dia mencari patokannya sendiri,” lanjut Cak Nun. Disayangkan, fasilitas kedaulatan manusia itu lantas diterjemahkan sebagai freedom of speech, freedom of expression, sehingga segala sesuatunya diukur berdasarkan atas kepentingan dan kemauan pribadinya tanpa mempertimbangkan apa sebenarnya kehendak Allah.

Bagi Cak Nun, saat ia hadir di forum maiyahan, maka seluruh jamaah menjadi dasar pertimbangan untuk membicarakan tentang suatu hal atau tidak. Pertimbangan apakah yang disampaikan akan menjadi manfaat atau tidak. Karena jika tidak demikian, maka yang terjadi adalah seperti kambing yang lepas dari kontrolnya. Patokan ibarat pangkal nilai, tiang pancang yang membatasi kita. Hari ini kambing-kambing membikin patokan sendiri-sendiri, sehingga berlaku semau-maunya sendiri. Pancasila yang seharusnya menjadi patokan kita, justru kita memaksa Pancasila agar mematuhi patokan yang kita bikin sendiri.

Kita berteriak “Bhinneka Tunggal Ika” tetapi di saat bersamaan kita mengusir salah satu diantara kita. Kita berbicara tentang “Persatuan dan Kesatuan” tetapi sembari membuang sebagian yang ada dalam diri kita. “Kenapa Pemerintah memusuhi rakyatnya sendiri? Karena Pemerintah patokannya adalah kekuasannya sendiri, ambisinya sendiri. Seharusnya kita memiliki patokan bersama,” tegas Cak Nun.

“Orang Maiyah tidak menggunakan mekanisme kepentingan pandang,” tegas Cak Nun. Cak Nun berpesan kepada jamaah, saat datang ke forum maiyahan, dimanapun, harus berposisi seperti orang yang masuk hutan rimba belantara dan tidak berfokus pada satu tujuan. Misal tujuan utamanya adalah mencari durian, maka jangan hanya terfokus hanya untuk mencari durian, karena di dalam hutan rimba Maiyah ini terdapat banyak sekali buah-buah ilmu, pohon-pohon ilmu yang mungkin saat ini tidak kita butuhkan, tetapi justru kelak akan bermanfaat bagi kita. Maka, apapun yang kita temui di Maiyah, ambil saja, simpan di saku, siapa tahu besok-besok akan bermanfaat.

“Hutan ini begitu luasnya dan begitu banyaknya nilai-nilai yang bisa anda dapatkan. Allah jangan diukur berdasarkan pengetahuanmu. Jangan dipikir takdir Allah itu sama dengan apa yang kamu pikirkan. Jangan dipikir kamu punya uang 1 milyar lebih baik daripada kamu punya uang 1 juta,” Cak Nun melanjutkan. Semua yang kita alami, sesungguhnya adalah bermodal kepasrahan kepada Allah. Karena hanya Allah yang tahu momentum yang tepat dan konteks yang tepat untuk kita. Kita pasrah kepada Allah dengan bekal tetap terus berjuang. Bisa saja niat kita masuk hutan mencari durian, tetapi sebenarnya yang kita butuhkan adalah manggis.

Jangan pernah putus asa terhadap kehendak Allah dan jangan pernah tidak percaya kepada keajaiban Allah.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Desember, 2017)

Insan-Abdullah-Khalifatullah

MALAM MAKIN LARUT. Forum tanya jawab kemudian dibuka, memberi kesempatan jamaah untuk bertanya atau memberikan pendapatnya. Ada yang bertanya apa perbedaan antara basyar dengan insan, kenapa di Alquran dibedakan penggunaannya? Ada yang bertanya bagaimana nanti akhir dari kisah Iblis, apakah masuk surga atau neraka. Ada yang bertanya bagaimana konsep pandangan Maiyah terhadap politik, komunitas dan dunia bisnis. Salah satu jamaah, berasal dari Tanjung Pinang, Riau, membawakan oleh-oleh berupa ikat kepala dari kain yang disebut Tanjak. Secara simbolis, ia mengenakan Tanjak di kepala Cak Nun. Cak Nun menggunakannya hingga selesai acara.

Kiai Muzammil merespons pertanyaan-pertanyaan. Basyar sebenarnya merupakan idiom umum yang artinya makhluk Allah. Maka yang disebut basyar sebenarnya bukan hanya manusia, melainkan seluruh makhluk yang diciptakan Allah. Sementara insan adalah basyar yang diberi peralatan lebih lengkap. Peralatan itu berupa disiplin jarak yang hanya bisa dilakukan karena manusia memiliki akal. Maka hanya manusia yang memiliki peralatan itu. Sementara insan adalah galih-nya manusia (naas). Ketika manusia sudah berada pada satu kesadaran inti dari naas itulah insan. Titik berat kesadaran insan adalah hati dan pikirannya (akal). Sementara hewan, tumbuhan dan makhluk lainnya tidak memiliki titik berat seperti manusia dan jin. Karena pada dasarnya hewan dan tumbuhan proses berkembangnya mengikuti alur dan sistem yang sudah dicanangkan oleh Allah.

Ketika insan menemukan bahwa eksistensinya merupakan efek dari kehendak Allah, maka ia akan memiliki kesadaran selanjutnya berupa abid atau abdullah. Di Maiyah kita sudah belajar tahapan-tahapan evolusi ini; Insan-Abdullah-Khalifatullah. Jadi, abdullah adalah manusia dengan kesadaran hati dan pikirannya menemukan kesadaran jarak dan garis persatuannya dengan Allah. Abdullah menyadari bahwa dia adalah makhluk yang diciptakan, bukan yang menciptakan. Dia diadakan bukan yang meng-ada-kan. Sementara khalifatullah adalah manusia yang memiliki kesadaran lebih tinggi lagi, bahwa kehadirannya mengemban amanah dari Allah. Menjadi dutanya Allah agar rahmatan lil ‘alamiin terwujud di bumi.

Manusia bertugas menjadi khalifah untuk melaksanakan khilafah. Khilafah bukan merupakan bangunan sistem yang berhubungan dengan konstitusi atau syariat. Khilafah adalah merupakan ide dasar (benih), yang setiap manusia boleh menanamnya di tempat yang berbeda-beda, pada komunitasnya masing-masing. Khilafah tidak hanya terbatas pada sistem konstitusi negara.

Khilafah juga bisa ditanam dan diaplikasikan dalam komunitas atau kumpulan-kumpulan yang skalanya kecil. Khilafah dalam masyarakat agraris tentu berbeda dengan khilafah pada masyarakat maritim. Khilafah bisa saja berbentuk republik, bisa berbentuk kerajaan, bisa berbentuk kesultanan dan lain sebagainya. Di masa Rasululah SAW, khilafah tidak berbentuk sistem konstitusi negara, karena yang diandalkan oleh Rasulullah SAW adalah kejujuran, ketulusan, keikhlasan satu sama lain, antara sesama manusia.

Menjawab pertanyaan tentang Iblis (apakah masuk surga atau neraka), Cak Nun sampaikan bahwa Iblis adalah salah satu peran malaikat yang memang diskenariokan. Jangan salah sangka bahwa Iblis itu membangkang kepada Allah. Dalam Surat Al Hasyr ayat 11 Allah mengatakan: Kamatsali-sy-syaithon idz qoola li-l-insaani-k-fur falamma kafaro qoola innii bariiun minka innii akhoofullaha robba-l-‘alamiin.

Setelah Iblis membujuk manusia untuk berlaku kafir, seketika itu kemudian Iblis berkata: Sesungguhnya aku berlepas (merdeka) dari diri kamu, karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seluruh alam. Dari ayat tersebut jelas termaktub bahwa Iblis sekalipun tunduk, taat dan takut kepada Allah.

Maiyah hadir untuk menawarkan nilai. Maiyah itu software. Maiyah tidak untuk membentur siapa-siapa.
Kiai Muzammil, Kenduri Cinta (Desember, 2017)

MENGELABORASI KEMBALI sifat-sifat kepemimpinan, Cak Nun meneladani sifat-sifat Rasul yaitu shiddiq, amanah, tabligh, fathonah. Keempat sifat itu sistematis, tidak bisa diubah urutannya. Untuk menjadi orang yang layak mengemban amanah, ia harus terlebih dahulu memiliki sifat shiddiq. Karena sifat shiddiq adalah pondasi. Belajar dari Rasulullah SAW, saking shiddiq-nya beliau, ketika menjual barang, beliau menyampaikan kepada pembelinya berapa harga barang tersebut saat dibeli, kemudian mempersilakan pembelinya memberikan keuntungan berapapun.

Karena sudah memiliki sifat amanah, maka tugas berikutnya adalah tabligh. Rasul memiliki sifat tabligh, karena tugasnya adalah menyampaikan. Baru kemudian sifat fathonah melengkapi sifat-sifat sebelumnya. Kecerdasan seorang Rasul mutlak diperlukan, karena dalam berdakwah ia akan bertemu berbagai macam jenis manusia. Kreativitas, improvisasi, merancang strategi perang dan lain sebagainya diperlukan, sehingga kecerdasan dalam diri seorang Rasul merupakan sifat yang wajib dimiliki. Tetapi, sifat-sifat tersebut tidak boleh dirubah urutannya, karena jika dirubah urutannya maka akan complicated. Untuk apa kita memiliki kecerdasan tetapi tidak memiliki sifat kejujuran?

“Anda jangan pernah putus asa terhadap kehendak Allah dan jangan pernah tidak percaya kepada keajaiban Allah,” pesan Cak Nun. Allah selalu menyiapkan keajaiban-keajaiaban, min haitsu laa yahtasib, yang tidak kita sangka-sangka sebelumnya. Seperti ketika Jabir memasak seekor kambing, namun sanggup memberi makan seluruh pasukan saat menggali parit, sebelum Perang Khandaq. Seperti halnya Nabi Nuh yang hanya memiliki tiga kue Apem, namun mampu memenuhi kebutuhan logistik seluruh pekerja yang membangun bahtera saat itu.

“Kalau HTI menawarkan khilafah kepada Indonesia, kalau Maiyah menawarkan apa ke Indonesia, menurut Anda?” Cak Nun spontan melemparkan pertanyaan sekaligus sebagai respons atas pertanyaan bagaimana konsep politik, komunitas dan bisnis di mata Maiyah. Atas pertanyaan itu, banyak respons muncul dari jamaah. Ada yang mengatakan bahwa Maiyah menawarkan jati diri, kejujuran, kemesraan, keseimbangan, problem solving, kebijaksanaan, memperluas pemikiran yang sempit, kesungguh-sungguhan, kesederhanaan, cinta dll. Tetapi menurut Cak Nun, jawaban-jawaban itu masih berupa benih-benih. “Kalau memang tidak ada yang bisa ditawarkan Maiyah kepada Indonesia, ya sudah tidak apa-apa, yang terpenting Anda datang ke Maiyah mendapatkan manfaat,” lanjut Cak Nun.

“Kita tidak ditagih oleh Tuhan untuk mampu membereskan persoalan Indonesia, namun kita bisa menciptakan Indonesia kecil-Indonesia kecil melalui Maiyah. Indonesia yang sebenar-benarnya Indonesia,” Cak Nun memungkasi, yang kemudian mengantarkan jeda musik yang dibawakan oleh Musisi Jalanan Center, salah satu anak didik Beben Jazz di Komunitas Jazz Kemayoran.

MJC membawakan Yaa Nabi Salaamun ‘Alaika, Tombo Ati dan Hubbul Waton Minal Iman. Jamaah pun larut menikmati jeda musik di sepertiga malam itu. Cak Nun bahkan turut melantunkan Tombo Ati dengan bahasa minang, sementara Kiai Muzammil turut bernyanyi di lagu terakhir.

Dengan mekanisme khalifatullah fi-l-ardhli yang disematkan Allah kepada kita, maka kita memiliki tugas sama, yaitu menjadi Rahmatan Lil ‘Alamiin.Kiai Muzammil, Kenduri Cinta (Desember, 2017)

MENUTUP FORUM malam itu, Kiai Muzammil memungkasi dengan penyikapan, “Maiyah hadir untuk menawarkan nilai. Maiyah itu software. Maiyah tidak untuk membentur siapa-siapa. Maiyah hadir di Indonesia tidak mencari tempat, tidak dalam rangka mencari posisi, tidak untuk meminta bagian dari Indonesia. Maiyah hadir di Indonesia untuk memberi. Maiyah bukan padatan. Maiyah justru menjadi ruang.”

Kiai Muzammil menambahkan, tidak akan terjadi benturan antara Maiyah dengan NU, Maiyah dengan HTI, Maiyah dengan FPI, Maiyah dengan Muhammadiyah dan lain-lainnya. Menurut Kiai Muzammil, orang NU yang datang ke Maiyah akan memiliki software yang lebih lengkap, sehingga ia menjadi lebih NU dari sebelumnya. Begitu juga yang Muhammadiyah, FPI, HTI dan yang lainnya. Karena yang diajarkan Maiyah adalah kesejatian. Maka, sejatinya kita sebagai umat Islam harus mampu mengejawantahkan jargon Rahmatan lil ‘alamin, jika kita tidak mampu mewujudkan itu, maka sia-sia kita ber-Islam. Sesuai dengan ayat Alquran yang menyatakan: wamaa arsalnaaka illa rohmatan lil ‘alamiin. Memang ayat tersebut merupakan ayat yang ditujukan kepada Rasulullah saw, tetapi jika spektrumnya kita perluas, kita sebagai ummat Islam juga memiliki tugas yang sama. Dengan mekanisme khalifatullah fi-l-ardhli yang disematkan oleh Allah kepada kita, maka kita juga memiliki tugas sama, yaitu menjadi Rahmatan Lil ‘Alamiin.

Cak Nun menutup, apa yang disampaikan oleh Kiai Muzammil merupakan titik balik yang seharusnya terwujud di Indonesia. Karena yang terjadi di Indonesia saat ini adalah tahsabuhum jamii’an wa quluubuhm syatta. Mereka terlihat satu kelompok dan satu suara, padahal sejatinya mereka terpecah belah oleh kepentingannya masing-masing. Jika ada salah satu kelompok yang mendapat musibah, kelompok lain akan bergembira. Jika ada salah satu ketua partai politik tertangkap KPK, maka partai politik lain bergembira. Mereka semua tidak benar-benar dalam rangka berjuang mewujudkan Indonesia yang adil dan sejahtera. Karena hampir semua ikatan-ikatan itu tidak mengakar. Ikatan-ikatan mereka sangat lemah.

Sementara di Maiyah, ikatan yang terbangun adalah ikatan Al Mutahabbiina Fillah. Di Kenduri Cinta, tidak peduli apakah kemarin anda Pro-Anies atau Pro-Ahok, apakah anda Pro-Jokowi atau Anti-Jokowi, karena ikatan-ikatan pro atau anti adalah ikatan yang lemah. Yang dibangun di Maiyah adalah ikatan-ikatan yang organik.

Kita merasa aneh, saat melihat perilaku tokoh-tokoh, pejabat negara dan pemerintahan yang menganjurkan rakyatnya untuk mencintai tanah air sementara mereka sendiri tidak benar-benar mencintai Yang Menciptakan Tanah Air Indonesia ini. Cak Nun berharap Indonesia segera ber-Pancasila secara total, karena yang terjadi hari ini Indonesia tidak benar-benar ber-Pancasila. Pancasila hanya dijadikan simbol dan jargon semata, tidak benar-benar diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. “Bagaimana anda mencintai tanah air tetapi anda tidak akrab dengan Yang Menciptakan Indonesia, yaitu Allah SAW,” lanjut Cak Nun.

Cak Nun kemudian menjelaskan akhir-akhir ini menulis DAUR memalui tema “DO”. Bahwa tangga nada Do jangan hanya bisa dipahami sebagai tangga nada semata. Nada Do bisa berubah menjadi nada yang lain, begitu juga Re, Mi, Fa, Sol dan yang lainnya bisa berlaku menjadi Do. Kalimat takbir Allahu Akbar pun sama, jika ia berada pada interval dan momentum yang tepat, maka akan menghasilkan aransemen yang indah dan bermanfaat.

Menjelang pukul empat dinihari, Cak Nun mengajak seluruh jamaah berdiri untuk berdoa bersama dipimpin Pakde Mus.