SERIGALA BERHATI DOMBA

Reportase Kenduri Cinta edisi AGUSTUS 2018

Maiyah memandang ruang tidak diukur hanya materiil. Ada ruang yang lebih luas di sela tetesan air hujan dibandingkan hujan itu sendiri. Seperti Jumat petang itu (10/8), Jakarta gelap, mendung menggelayuti langit sejak sore, angin bertiup kencang pertanda akan turun hujan. Benar, selepas Magrib, hujan turun deras, melengkapi kemacetan ibukota di akhir pekan.
Sepekan terakhir masyarakat diramaikan dengan pemberitaan kandidat calon presiden dan wakil presiden yang akan bertarung di Pemilihan Umum 2019 mendatang.

Sepertinya Allah sengaja menurunkan hujan malam itu untuk mendinginkan suasana. Pelataran Taman Ismail Marzuki. Para penggiat yang sejak sore telah mempersiapkan acara Kenduri Cinta akhirnya menunda semuanya. Hujan tak ditawar. Alas yang terbuat dari terpal yang telah tergelar itu pun basah tergenang air hujan. Tenda sementara digunakan untuk berteduh.

Selepas Isya’, hujan reda. Alas duduk kembali digelar. Beberapa jamaah yang datang lebih awal, tampak ikut membersihkan terpal-terpal yang tergenang air. Tak lama, hujan kembali turun dengan curah yang tak kalah derasnya. Satu lembar terpal lantas dijadikan tenda darurat. Mereka mengikatkan salah satu ujung terpal di tenda yang sudah berdiri, lalu mendirikan tenda darurat. Kesadaran mengambil peran seperti itu merupakan pemandangan wajar pada setiap maiyahan, Mereka terlatih aktif saling melayani, bukan menunggu untuk dilayani, mengambil peran, sekecil apapun.

The show must go on. Di bawah guyuran hujan, forum maiyahan Kenduri Cinta dimulai. Setelah membaca Surat Yasin dan berdoa untuk simpati terdalam kepada masyarakat Lombok yang tengah diuji kesabarannya oleh Allah dengan gempa bumi, sholawat lantas bergema, menyapa Kanjeng Nabi Muhammad SAW, menuntaskan kerinduan bermaiyah. Suasana terbangun syahdu. Dengan kondisi terbatas, para jamaah berdiri mengelilingi panggung.

Sesi mukadimah dihadiri Ustad Noorshofa. Pembawaan beliau yang kerap memberi bumbu kelakar dan humor pada nasehat-nasehatnya, menghangatkan para jamaah malam itu. Cak Nun pernah menulis salah satu kelakar Ust. Noorshofa ini dalam sebuah esai berjudul Kenduri Cinta Si Udin. Humor-humor segar penuh hikmah Ust. Noorshofa, sangat mencairkan suasana. Jamaah melingkar, ada yang duduk dan ada yang berdiri. Atmosfer sinau bareng mulai terbangun baik.

Ust. Noorshofa malam itu mengajak untuk tadabbur Surat Ibrahim ayat 36. Dikisahkan, Nabi Muhammad SAW menangis saat membaca ayat ini. Sebuah ayat yang berisi peringatan tentang umat Nabi Ibrahim yang menyembah berhala yang menyesatkan manusia. Berhala abad 21 yang wujudnya tak lagi seperti berhala masa Nabi Ibrahim AS. Ada berhala kekuasaan, berhala harta benda, berhala popularitas dan sebagainya.

Melengkapi tadabbur Surat Ibrahim ayat 36, Ust. Noorshofa menyampaikan bahwa ada 4 orang yang tidak akan mudah tergiur godaan berhala abad 21, yaitu: orang yang bisa menahan diri dalam keadaan senang, orang yang bisa menahan rasa takutnya, orang yang bisa menahan diri ketika punya cita-cita dan keinginan, dan orang yang bisa menahan diri ketika marah.

Kemesraan malam itu tidak terganggu sedikitpun karena hujan. Apalagi hanya karena riuh rendah “capres-cawapres”. Nyatanya, semakin malam, jamaah yang hadir justru semakin banyak. Setelah hujan mereda, mereka pun merapikan posisi duduk masing-masing. Farid, tampil membawakan karya-karya ayahnya, Mbah Surip, yang tentu bukan sosok asing di Kenduri Cinta. Jamaah gembira menikmati lagu-lagu yang dibawakan oleh Farid. Selain Farid, tampil juga Raras, murid Beben Jazz yang kali ini tampil dengan gitarisnya Iwan, seniornya semasa kuliah. Komposisi lagu apik dibawakan Raras dengan suaranya yang khas. Lagu Butterfly, hingga Teman Bercerita dibawakan dengan manis. Setelah sesi musikalitas, Fahmi dan Sigit lantas memandu sesi diskusi selanjutnya. Sabrang tampak hadir dan langsung bergabung di panggung.

“Banyak teori untuk mengatur manusia, namun yang paling penting adalah fungsi dan peran manusia dalam membangun cuaca yang baik bagi ekosistemnya.”
Sabrang, Kenduri Cinta (Agustus, 2018)

SWARM inteligence

Forum diskusi dimulai. Pramono Abadi memberikan poin pengantar, yang kemudian disambung Sabrang, “Saat membaca tema acara, saya teringat sebuah kutipan: orang progresif adalah orang yang terburu-buru membuat kesalahan dan orang konservatif adalah orang yang tidak mau kesalahannya dibenarkan.” Kelompok progresif adalah generasi pendobrak, sementara kelompok konservatif merupakan generasi penerus. Diantara keduanya, generasi pendobrak dan generasi penerus, ada generasi pembaharu. Generasi ini berani menciptakan perubahan sekaligus juga berani meneruskan hal-hal yang baik dari generasi sebelumnya.

“Saya tidak pernah nyambung dengan asumsi bahwa serigala itu jelek sementara domba itu baik. Saya tidak melihat jelek atau baik,” Sabrang menjelaskan sebuah ekosistem keberlangsungan makhluk hidup dengan rantai makanannya. Serigala harus memakan domba karena rantai makanan harus berlaku. Jika satu rantai terputus maka ekosistem akan terganggu. Itulah hukum alam. “Yang saya lihat adalah yang penting dia menjadi dirinya sendiri, tidak berpura-pura,” lanjutnya.

Dalam keberlangsungan sebuah ekosistem dibutuhkan keseimbangan, dan keseimbangan membutuhkan cuaca yang tepat. Cuaca, menurut Sabrang, tidak termasuk rantai makanan, namun memiliki pengaruh penting dalam keseimbangan ekosistem. “Cuaca menentukan benih mana yang akan tumbuh dengan baik. Jika cuaca panas, maka (contoh) yang tumbuh adalah kurma atau kaktus,” jelasnya.

Seperti hujan, sedikit atau banyak akan mempengaruhi berapa banyak rumput yang tumbuh. Dengan turunnya hujan, rumput tumbuh makin banyak maka itu pun akan mempengaruhi seberapa banyak domba di suatu area, yang tentunya juga mempengaruhi seberapa banyak serigala yang ada di area itu. Hujan memberi pengaruh yang nyata. “Cuaca tidak terlibat pada rantai makanan tetapi sangat menentukan terhadap apa yang terjadi dalam ekosistem tersebut,” tambahnya.

Sabrang menyinggung situasi politik Indonesia. Menurutnya, cuaca yang ada, seperti yang kita rasakan, menghasilkan calon pemimpin yang kita lihat hari ini. Sistem apapun karena tidak didukung oleh cuaca yang baik maka tidak menghasilkan orang-orang yang tepat. Wajar, jika banyak yang pesimis dengan Indonesia mendatang. Banyak teori-teori untuk mengatur manusia, namun yang paling penting adalah fungsi dan peran manusia dalam membangun cuaca yang baik bagi ekosistemnya.

“Kalau alam lebih mudah membacanya, tetapi cuaca diantara manusia lebih sulit mengidentifikasinya,” Sabrang lalu mengajak jamaah untuk belajar pada organisasi semut. Semut memiliki kebiasaan untuk terus bersilaturahmi. Dengan bersilaturahmi, semut mengetahui peran-peran yang harus diambil. Tidak mungkin semua semut berperan menjadi prajurit atau pasukan penimbun makanan. Musti ada pembagian tugas. Pembagian tugas dan peran ini begitu rapi, sehingga ekosistem mereka sangat seimbang.

Sabrang menjelaskan ada dua syariat yang dilakukan oleh semut: silaturahmi dan berani menjadi (to be). Semut menjaga keseimbangannya dengan menyapa setiap kali bertemu semut lainnya. Sehingga pada pertemuan kesekian ia menemukan peran-peran yang belum diambil oleh semut lainnya, entah itu peran sebagai prajurit, petani, atau apapun, maka ia akan mengambil peran itu. Kesadaran untuk mengambil peran inilah yang kemudian membangun keseimbangan ekosistem kehidupan koloni semut.

Manusia adalah makhluk kreatif dalam membuat masalah. Itu mengapa sistem semut tidak dapat diaplikasikan pada manusia. Pada dasarnya, semua permasalahan makhluk di bumi akan selesai manakala perut mereka kenyang. Binatang sekalipun, ketika kenyang maka ia tidak akan banyak polah. Berbeda dengan manusia. Saat manusia kenyang dia akan mencari masalah. Sesudah kenyang, manusia mulai berpikir cara agar bisa memiliki mobil, rumah, dan hal berharga lainnya. Meski ini juga efek karena manusia memiliki akal.

“Cipta adalah kemampuan untuk melihat swarm intelligence, karena kepandaian itu tidak terletak pada para pelakunya melainkan terletak di atas semua pelakunya.”
Sabrang, Kenduri Cinta (Agustus, 2018)

MELANJUTKAN diskusi, Sabrang: “Menurut saya, apa yang dilakukan oleh Kanjeng Nabi dengan dakwahnya adalah dalam rangka membangun kecerdasan komunal. Piagam Madinah lahir bukan atas prakarsa satu orang yang pandai, melainkan atas berlangsungnya interaksi antar manusia di Madinah saat itu. Ilmu modern menyebutnya swarm inteligence, itulah yang terjadi.”
Kepandaian atau kecerdasan komunal, dijelaskan Sabrang, dapat dijaga dengan konsistensi dalam berbuat sesuatu. Karena, setiap ada manusia yang berkumpul pasti terjadi kecerdasan komunal di dalamnya.

Begitu juga di maiyahan, hanya saja jenisnya berbeda. Ada jenis yang tumbuh menjadi kelompok penakluk seperti orang-orang Romawi misalnya. “Kalau di Jawa ada yang disebut sebagai cipta. Cipta adalah kemampuan untuk melihat swarm intelligence, karena kepandaian itu tidak terletak pada para pelakunya melainkan terletak di atas semua pelakunya,” jelas Sabrang.

Sabrang mengingatkan diskusi bulan sebelumnya, tentang personalitas, identitas, dan intelektualitas, dimana output dari intelektualitas adalah budi pekerti. Sedang hari ini, intelektual yang kita pahami adalah lapisan terluar dari intelektual yaitu kepintaran. Ketika kita menyebut seseorang sebagai intelektual, ukuran yang kita gunakan adalah kepintarannya, kepandaian, dan kecerdasan otaknya. Sementara kita telah pahami bahwa intelektualitas tidak akan berjalan jika ia tidak melekat pada identitas. Maka, di bawah budi ada hangkara, kita sering menyebutnya angkara murka, maka tak mengherankan jika manusia diganggu identitasnya, ia akan murka.

Sabrang mengingatkan, baik intelektualitas, personalitas, maupun identitas, kesemuanya melekat pada ingatan (manas). Ingatan yang jumlahnya lebih banyak yang tidak kita ingat daripada yang kita ingat. Maka, ingatan utama tidak terletak pada kepala, melainkan pada badan. “Ada intelektual yang menempel pada identitas yang kita serap, ada identitas yang menempel pada manas (ingatan), wadag dan ada pula intelektual yang tidak tertutupi oleh manas, akal, maupun identitas, itu yang disebut cipta. Cipta sudah tidak bisa melihat baik atau buruk, yang dia lihat adalah jogetan alam semesta, sehingga cipta mampu melihat apa yang disebut sebagai swarm intelligence. Karena kepandaian komunal tidak menempel pada badan, ia ada di belakangnya lagi,” jelas Sabrang.

Melanjutkan paparannya, Sabrang masuk pada pembahasan game theory. “Dalam hidup ini ada dua jenis permainan. Permainan pendek (finite game) dan permainan panjang (infinite game).” Ia lantas mengibaratkan laki-laki yang melamar perempuan untuk dinikahi sebagai sebuah pertarungan pendek, tetapi saat membangun rumah tangga maka pertarungan panjang pun dimulai. Hal itu karena olak ukur keberhasilan atau kegagalan membangun rumah tangga tidak berlangsung pendek, bukan lagi urusan menang dan kalah, tidak ada garis akhir.

Contoh lain pada medan perang, finite game-nya adalah menang dan kalah, namun tetap saja ada infinite game-nya. Jika ada yang terluka petugas kesehatan mengobati dengan tidak pertimbangan lawan atau kawan. Petugas kesehatan menjalankan infinite game yaitu keberlangsungan hidup manusia. Siapapun yang terluka, ia tolong, meski ia pihak musuh. “Kegaduhan Capres dan Cawapres kemarin itu pertarungan pendek atau panjang?” Sabrang bertanya dan serempak dijawab, “Pertarungan pendek!”

Pertanyaan selanjutnya lantas apa pertarungan panjang bangsa Indonesia? Ada banyak jawaban: keadilan sosial, kesejahteraan rakyat, nilai-nilai kemanusiaan dan sebagainya. Sabrang lalu menganjurkan agar kita mampu mengidentifikasi siapa-siapa yang memiliki kesiapan melakukan perang jangka panjang, tidak memilih mereka yang hanya mengutamakan perang-perang pendek. Siapapun yang terpilih jika fokusnya pertarungan jangka pendek maka Indonesia akan hancur.

Terhadap “cuaca” yang tak menentu, Sabrang tegaskan, “Jika Maiyah tidak mampu mempengaruhi cuaca, maka Maiyah musti membangun rumah kaca. Meski kecil namun cuaca di rumah kaca dapat ditata baik, sehingga benih-benih yang tumbuh didalamnya baik dan berkualitas. Itu hal minimal yang kita upayakan bersama di Maiyah.”

Lantas, Maiyah akan menjadi apa? Sabrang mengajak untuk membaca kembali apa yang dicari manusia sejak Nabi Adam AS hingga hari ini? Jawabnya adalah kebahagiaan. Apapun itu syaratnya (untuk bahagia) jelas bahwasanya yang dicari manusia adalah bahagia. Maka, yang paling memungkinkan dilakukan oleh Maiyah adalah membangun cuaca serta atmosfer kebahagiaan. Sebab cuaca bahagia, atmosfer kegembiraan akan menumbuhkan potensi dan kemampuan dengan maksimal. Tak peduli siapa presiden yang akan terpilih nanti, cukuplah kita ciptakan suasana bahagia bagi diri kita dan orang-orang sekitar kita, itu sudah lebih dari cukup.

“Saya menulis puisi karena saya sedang menemani ribuan bahkan jutaan anak-anak muda yang sedang belajar melakukan peperangan panjang.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Agustus, 2018)

FINITE DAN INFINITE GAME

Menggenapi tema Kenduri Cinta malam itu, 9 puisi karya Cak Nun yang bertema Serigala dan Domba dibaca bergantian oleh jamaah dan penggiat. “Tulisan Emha Ainun Nadjib adalah refleksinya pada situasi dan kondisi negara,” ungkap Mas Uki, sahabat setia Cak Nun, sesaat setelah membacakan puisi berjudul Di Atas Serigala dan Domba.

Cak Nun lantas bergabung ke forum, menyapa jamaah, “Assalaamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Cak Nun meminta jamaah yang tidak beragama Islam untuk tidak menjawab salam, sebab ucapan salam tidak menjadi ukuran toleran atau intoleran. “Kalau anda Kristen, jangan jawab dengan wa alaikum salam, karena itu bukan bahasa dan idiom anda. Jawablah sesuai dengan idiom anda, boleh Shalom, boleh apa saja. Domba tak perlu meniru serigala dan serigala juga tidak usah meniru domba. Ayam tidak perlu meniru-nirukan suara anjing, bebek tidak perlu meniru-niru suara burung, karena setiap yang disuarakan adalah janji dan kesetiaan untuk hidup dalam keseimbangan,” jelas Cak Nun.

“Saya menulis puisi bukan untuk menjadi penyair, sebab jika itu tujuan saya maka ranah saya adalah pertarungan pendek,” sambung Cak Nun merespon paparan Sabrang sebelumnya, “Saya menulisnya karena saya sedang menemani ribuan bahkan jutaan anak-anak muda yang sedang belajar melakukan peperangan panjang,” Cak Nun melanjutkan, “Saya menulis karena saya sedang berbahagia mencari ilmu, belajar bareng, sinau bareng dengan anak-anak muda yang punya jiwa marathon. Puisi Serigala dan Domba merupakan cicilan, menemani anda semua dalam menempuh pertarungan panjang.”

Cak Nun lantas mengisahkan dirinya yang sedang menyukai asma Allah yang tak disebut dalam Asmaul Husna yaitu Al Hayyiyu, Allah Yang Maha Pemalu. Tentu ada nama-nama Allah di luar Asmaul Husna, karena Allah Maha Tak Terbatas. Laisa kamitslihi syaiun, wa lam yakun lahu kufuwan ahad. Dalam khasanah Jawa dikenal dengan Tuhan itu tan kinoyo opo, tan kinoyo sopo, tan kinoyo ngopo. Mentadabburi sebuah ayat Alquran, Innallaha laa yastahyii an yadhriba matsalan maa ba’uudhlotan wa maa fauqohaa, bahwa untuk sekadar memberi permisalan saja, Allah tidak malu menggunakan perumpamaan seekor nyamuk. Sebuah kalimat yang sangat retoris.

Kemesraan relasi antara Cak Nun dan Sabrang begitu hangat malam itu. Cak Nun mengakui, ia belajar banyak kepada Sabrang. Pengenalan istilah finite game dan infinite game oleh Sabrang kemudian diperkuat Cak Nun dengan istilah sprint dan marathon. Sederhananya bisa menggunakan term jangka pendek dan jangka panjang, atau peristiwa yang memiliki ending dan yang tidak. Tugas manusia adalah mengukur dan menentukan mana perjuangan yang finite game dan mana yang infinite game.

Seperti halnya berkeluarga, Cak Nun menambahkan, ukurannya bukan cantik, ganteng atau tidak, karena itu ukuran-ukuran pendek. Rumah tangga adalah peristiwa yang tidak ada ending-nya, sebab mencintai tak mengenal usia. “Berumah tangga itu betul-betul sebuah infinite game. Perjuangan yang tidak ada akhirnya,” tegas Cak Nun.

Pada konteks ke-Indonesiaan, pemerintah menggunakan pertarungan jangka pendek, dimana kekuasaan paling jauh hanya sepuluh tahun. Ketika kekuasaan berganti, program-program pun berganti. Berbeda dengan negara. Negara dibuat untuk menjalani perjalanan yang panjang dan jauh. Singkatnya, pemerintah itu finite game, sementara negara itu infinite game. Maiyah mengenal istilah ciut (sempit), cekak (pendek), dan cethek (dangkal). Ada hal-hal yang sempit, pendek dan dangkal, namun selalu dibesar-besarkan. “Temukan apa perjuangan tanpa akhir dalam hidupmu,” Cak Nun menutup.

“Saya sedang berbahagia mencari ilmu, belajar bareng, sinau bareng dengan anak-anak muda yang punya jiwa marathon, menemani menempuh pertarungan panjang.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Agustus, 2018)

SECARA khusus, Cak Nun mengingatkan, orang Maiyah musti mampu menemukan interkoneksi hal-hal yang kecil dan yang besar, yang dalam maupun yang dangkal, yang luas maupun yang sempit. Orang Maiyah mampu menemukan keseimbangan, tidak boleh merasa dirinya lebih dalam lantas menghina-hina yang dangkal, karena kedangkalan tetap kita perlukan. Orang Maiyah tidak menjadi luas dengan menghina kesempitan. Seluas apapun kita tetap memerlukan kesempitan.

Panjang dan pendek tidak boleh dipahami sebagai keberpihakan, namun untuk memahami peran dan posisi masing-masing. Seperti halnya negara dan pemerintah, siapa yang bersifat finite game, siapa yang infinite game, siapa yang harus mengabdi dan siapa yang menjadi objek pengabdian. Pemerintah tentunya mengabdi kepada negara, artinya negara harus memiliki program-program yang skalanya lebih panjang dari program kerja pemerintah, 25 tahun, 50 tahun atau bahkan 100 tahun misalnya. Sementara program pemerintah mungkin cukup 5 tahun, dengan tetap mengakselerasi program jangka panjang yang dicanangkan negara.

“Apakah negara ngikut terus kepada pemerintahnya kemana pun ia pergi, sesuai dengan kemauan Presiden dan jajarannya, atau pemerintah yang harus mengabdi kepada negara dan bangsa untuk kepentingan jangka panjang?” Cak Nun melempar pertanyaan sebagai bahan diskusi. Pertanyaan berikutnya, “Selama ini apa anda pernah mengalami ada pemerintah yang mengabdi kepada negara? Pernahkah pemerintah berpikir lebih panjang dari masa jabatannya?” Hal itu semestinya tidak terjadi, sesuatu yang abadi justru mengabdi kepada sesuatu yang sementara, sesuatu yang sifatnya jangka panjang justru kalah dengan sesuatu yang sifatnya jangka pendek.

Hal yang paling dekat adalah gagalnya membedakan posisi ASN (Aparat Sipil Negara) dengan pejabat pemerintah seperti Presiden, Bupati, Menteri dan sebagainya. ASN justru disuruh taat kepada pejabat pemerintah yang masa jabatannya lebih pendek. Sementara ASN sendiri memiliki kontrak kerja yang lebih lama dibandingkan dengan pejabat pemerintah.

Melanjutkan paparannya, Cak Nun jelaskan tentang manusia sepertiga yang hanya menonjolkan satu sisi dari 3 hal; kehebatan, kecerdasan, dan spiritual. Sehebat-hebat sarjana hari ini adalah sarjana fakultatif, bukan sarjana universitas. Karena secara substansi kita belum memiliki universitas, yang ada adalah fakultas-fakultas dan jurusan-jurusan yang terkumpul dalam satu perkumpulan yang kemudian disebut universitas.

“Maiyah ini jelek-jelek universitas. Karena di sini anda lengkap, seimbang, punya keutuhan. Kepribadianmu berubah menjadi lebih tenang, menjadi lebih matang, menjadi lebih bijaksana,” Cak Nun menjelaskan konsep universitas kehidupan. Orang maiyah akan menjadi tempat bertanya. Salah satu keindahan yang ditemui di maiyahan adalah saling merasa bahagia, sehingga tidak ada celah untuk berbuat buruk. Maiyah memiliki pijakan yang seimbang dan utuh. Seimbang jiwanya, mentalnya, cara berpikirnya, cara pandangnya.

Tampak Syeikh Nursamad Kamba hadir di forum, Cak Nun lantas menceritakan kemesraan persahabatannya dengan Uki Bayu Sedjati. Bagi Cak Nun, sahabat setianya setelah Alm. Pakde Zainuri adalah Mas Uki Bayu Sedjati. Pada masa Patangpuluhan, saat Cak Nun harus bolak-balik ke Jakarta, Mas Uki selalu stand by mengantar Cak Nun kemana-mana. Seringkali, ketika Cak Nun diundang mengisi seminar dan tidak diberi honor, Mas Uki orang yang selalu membantu mengurus akomodasi perjalanan Jakarta-Yogyakarta. “Maka, kalau saya harus memberi award kepada Mas Uki, award itu adalah kesetiaan,” ungkap Cak Nun.

“Temukan apa perjuangan tanpa akhir dalam hidupmu.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Agustus, 2018)

CAK NUN mengingatkan untuk tidak mengkultuskan dirinya, “Saya cemas, kawatir. Saya mengalami banyak salah paham, salah pandang, salah nilai, salah melihat. Saya kawatir anda salah sangka pada saya. Saya tidak ingin memiliki anda dan tidak mungkin juga saya memiliki umat, karena yang memiliki umat hanyalah Rasulullah Muhammad SAW.”

“Saya kawatir anda menyangka saya mengetahui hal yang sebenarnya saya tidak tahu. Kalau lebih detail, saya kawatir anda menyangka bahwa saya mengerti hal-hal yang sebenarnya saya tidak mengerti, tetapi karena anda menyangka saya mengerti kemudian anda memperlakukan saya secara berlebihan,” Cak Nun mengungkapkan.

“Tolong tetap objektif kepada saya, agar kita tidak terjebak pada kesalahan-kesalahan prinsipil,” Cak Nun menyambung dengan menjelaskan mengapa dirinya tidak ingin disebut ulama. Menurut Cak Nun, yang banyak dikenal sebenarnya adalah fuqaha (jamak dari kata faaqih), yaitu orang yang mempelajari dan memahami serta mengerti ilmu fiqih. “Kalau ulama, sangat tidak mencukupi hanya dengan kemampuan seorang faaqih,” jelas Cak Nun.

Seseorang disebut ulama bukan hanya memiliki kualitas seorang faaqih saja. Karena jika fuqahaa, itu sesuatu yang jelas tentang tafaqquh terhadap sesuatu hal. Sederhananya, seorang faaqih adalah seseorang yang memahami matriks hukum lima; wajib, sunnah, makruh, halal, dan haram. Tetapi kalau ulama, secara bahasa berasal dari kata ‘alima-ya’lamu-‘ilman, fahuwa ‘aalim. Jamak dari kata ‘aalim adalah ulama. Jika faaqih, sangat jelas objeknya apa, yaitu fiqih. Sementara seorang ‘Aalim atau ulama, tidak ada objeknya, apa-apa yang harus dimengerti oleh seorang ulama. Sifatnya universal namun substantif.

Satu-satunya bahan, ulama itu adalah warasatu-l-anbiyaa, mereka adalah pewaris Nabi dan juga Rasul. Maka, identifikasi dan ukuran paling tepat bahwa seseorang dapat disebut sebagai ulama setidaknya memiliki sifat-sifat yang dimiliki oleh Nabi. Jika arti dari ulama hanya orang yang mengerti, maka kita musti mampu mengidentifikasi, Nabi dan Rasul itu semasa hidupnya mengerti tentang apa?

Melanjutkan, Cak Nun kemudian mengupas tentang cara dakwah Rasulullah SAW yang membuat kemudahan-kemudahan bagi umatnya. Salah satu contohnya adalah hadits Rasulullah SAW, Shollu kama roatumunii usholli, Salatlah seperti engkau melihatku salat. Akan menjadi lebih sulit jika konten hadits itu berubah menjadi Shollu kama usholli, Salatlah kamu seperti aku mendirikan salat. Maka setiap umat Islam harus melaksanakan salat persis seperti apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW.

Kepribadian Rasulullah SAW dipenuhi oleh rasa kemanusiaan. Rasulullah SAW memahami hati setiap manusia, memahami kecenderungannya, kebutuhannya. Tidak ada sejarahnya beliau menceramahi orang, beliau menjawab pertanyaan para sahabat dan menyampaikan apa yang dibutuhkan oleh para sahabat. Bahkan, Rasulullah SAW itu memiliki sifat yang selalu melonggarkan umatnya, memudahkan umatnya.

Pada sisi lain, Allah juga menegaskan: Inna akromakum ‘indallahi atqookum, bahwa manusia yang paling mulia di hadapan-Nya adalah orang yang paling bertakwa diantara manusia lainnya. Dan sepenuhnya itu merupakan hak prerogatif Allah untuk menentukan siapa-siapa yang termasuk dalam kualitas atqookum.

Hikmah dapat dipetik dari hadits tentang salat tadi, bahwa Rasulullah SAW selalu memberi kelonggaran dan kemudahan. Sifat kelonggaran inilah yang menjadi salah satu ciri Rasulullah SAW. Seperti seharusnya ulama yang mestinya memiliki kelengkapan yang mengacu pada kelengkapan yang dimiliki oleh Rasulullah SAW.

Cak Nun kemudian bercerita hubungan sosial beliau dengan banyak orang. Seperti ketika suatu kali diundang di Banyuwangi bersama Gus Dur, sementara ada himbauan dari aparat bahwa Gus Dur dan Cak Nun dialrang berbicara di depan publik. Peristiwa ini terjadi pada masa Orde Baru. Ketika sampai lokasi, spanduk terbentang tentang pengajian yang dihadiri oleh KH Abdurrahman Wahid dan Emha Ainun Nadjib. Rupanya aparat tidak mengetahui bahwa KH Abdurrahman Wahid adalah Gus Dur dan Emha Ainun Nadjib adalah Cak Nun.

Sepulang pengajian, kendaraan yang dinaiki Gus Dur dan Cak Nun dikejar-kejar oleh aparat, sempat resah, namun Gus Dur selalu mengelak ketika Cak Nun meminta sopir agar melipir ke pinggir jalan sebentar untuk menemui aparat. Cak Nun kemudian turun dari mobil dan menghampiri mobil aparat yang mengejar-ngejar tadi, ternyata aparat itu hanya ingin bersalaman dengan Gus Dur dan Cak Nun. Cerita-cerita seperti ini begitu banyak dialami Cak Nun, dan selalu dianggap oleh Cak Nun sebagai kebahagiaan tersendiri.

Apa yang hendak Cak Nun sampaikan adalah bahwa kehidupan ini berlangsung panjang, bukan dalam wilayah pertarungan pendek. Ada banyak episode yang akan dijalani oleh setiap manusia, dan tentu saja setiap perjalanan akan berbeda. Maka, Cak Nun mengingatkan kepada Jamaah Maiyah agar memiliki ketepatan hati seperti seorang pelari maraton. Dengan nafas yang teratur, juga ayunan langkah kaki yang tidak terburu-buru, ada manajemen kapan harus berlari cepat (sprint) dan kapan harus berlari lambat, karena jarak yang ditempuh sangat jauh jika dibandingkan dengan sprint.

“Di Maiyah kita saling melengkapi, tidak gampang memangkas-mangkas, tidak gampang mengklaim-klaim, kita muter, kita ber-thawaf, karena puncak ilmu adalah ketika kita memiliki kesadaran thawaf.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Agustus, 2018)

MENCIPTA ATMOSFER

Cak Nun lantas memberi kesempatan jamaah merespons. Ramdan, seorang jamaah asal Madura bertanya bagaimana menciptakan The Next Cak Nun. Baginya Cak Nun adalah sosok yang tidak ada banyak di dunia. Jamaah kedua, Koko, lebih memberi respon bahwa Cak Nun adalah sosok yang penuh cinta dan mampu menjadi pemersatu, maka tidak mengherankan jika banyak orang yang ingin datang maiyahan meskipun awalnya hanya melihat di Youtube saja. Danang, jamaah ketiga, menanyakan bagaimana mengetahui proporsi dalam diri kita tentang ke-domba-an dan ke-serigala-an yang tepat.

“Anda tahu di Maiyah ini tidak ada yang menjadi tidak indah, karena kita merasa saling aman, karena kita seimbang satu sama lain, tidak hanya keseimbangan individual tetapi juga keseimbangan sosial di antara kita. Kita saling lengkap, tidak gampang memangkas-mangkas orang, tidak gampang mengklaim-klaim orang, kita muter, kita ini ber-thawaf. Karena puncak ilmu adalah ketika kita memiliki kesadaran thawaf,” Cak Nun merespon.

“Ibarat salat, Anda ini bukan orang yang sudah taat kepada salat, tetapi orang yang sudah menikmati salat. Karena puncak dari salat itu sebenarnya bukan taat, melainkan nikmat. Maka saya tidak pernah mengajak untuk berbuat baik, yang saya ajak adalah menemukan kenikmatan dalam berbuat baik,” lanjut Cak Nun.

“Temukan kenikmatan dalam berbuat baik, bahkan ketika anda sedang diuji Allah dengan nasib buruk, anda harus mampu menemukan kenikmatannya,” Cak Nun terus membesarkan hati jamaah, mengajak untuk melangkah lebih maju dengan tidak menempatkan hidup hanya hari ini namun hidup abadi. Di Maiyah kita belajar kembali menemukan kebenaran yang tepat. Terus mengupayakan untuk berbuat baik. Pokoknya berbuat baik, entah nanti dapat apa dan kapan akan mendapatkannya.

“Karena di Maiyah orang saling memberi ruang satu sama lain. Orang saling menerima satu sama lain. Di Maiyah tradisinya adalah penerimaan. Tradisinya adalah tradisi Bhinneka Tunggal Ika. Sementara kalau di luar sana, Bhinneka Tunggal Ika yang berlaku itu bersamaan dengan penolakan terhadap pihak lain,” Cak Nun menjelaskan mengapa di Maiyah kita memiliki atmosfer yang penuh dengan cinta dan kerinduan. Sejatinya, Bhinneka Tunggal Ika bukan grup atau kelompok, Bhinneka Tunggal Ika berarti tidak ada satu golongan pun yang ditinggal, semua golongan musti dirangkul. Ketika sudah bersatu, baru kemudian ada aturan-aturan yang disepakati.

Maiyah menggali yang terpendam, membangunkan yang tidur, dan menemukan hidupnya kehidupan dari sesuatu yang seolah-olah sudah mati. Karena tidak ada yang mati di hadapan Allah, semua berdaur ulang. Merespons jamaah selanjutnya, Cak Nun menjelaskan bahwa seringkali orang datang maiyahan sudah membawa bekal, entah itu pertanyaan, keluhan, sambatan hidup atau apapun saja. Begitu duduk menyimak kemudian merasa bahwa apa yang disiapkan itu tidak perlu disampaikan karena merasa sudah menemukan jawaban. Hal ini dikarenakan atmosfer maiyahan adalah atmosfer yang tidak direkayasa, semua terjadi alami.

“Kesalehan manusia merupakan cerminan dari atmosfer kebaikan yang dibangun dalam dirinya.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Agustus, 2018)

SUATU kali KiaiKanjeng diundang maiyahan di gereja dan synagog di Belanda. Orang yang mengundang awalnya kawatir apakah acara akan menghasilkan perdamaian antar umat beragama atau tidak. Namun, saat melihat Cak Nun dan KiaiKanjeng, ia merasakan atmosfer kekeluargaan, kekawatirannya pun hilang seketika. Ia menucapkan; “Wah, beres iki, sedulurku kabeh.” Kalimat itu keluar setelah melihat Cak Nun dan KiaiKanjeng, belum sempat ngobrol apalagi berdiskusi.

“Manusia harus bisa sampai ke titik itu. Orang merasa aman hanya dengan melihat anda. Itu berarti anda sudah menjadi pawang. Pawang tidak perlu menaklukan macan atau serigala, cukup ada anda, maka ular akan jinak. Indonesia ini butuh pawang,” ungkap Cak Nun. Munculnya pawang tidak memerlukan proses kultural, intelektual, apalagi spiritual. Pokoknya, jika ada pawang, maka semua merasa aman. Itulah yang kita perjuangkan di maiyahan. Masing-masing dari kita menjadi agen perubahan untuk mampu menjadi pawang sehingga dimana pun kita berada, orang-orang di sekitar kita merasa aman.

“Anda harus menjadi atmosfer di subjek anda masing-masing. Pokoknya jika ada anda, orang merasa aman. Dan anda tidak bisa mempelajari seseorang untuk menciptakan rasa aman. Langsung dari wajah anda, dan dengan hadirnya anda orang langsung merasa aman, karena itu adalah puncak pencapaian kemanusiaan. Dan itulah Rasulullah SAW,” lanjut Cak Nun.

“Jadi, ‘aalim itu adalah orang yang sudah mensalehi lingkungannya, sudah sesedikit mungkin mudharat yang diciptakan. Saleh itu artinya kebaikan yang sudah dihitung, sudah disimulasi, sudah dimuhasabahi, sudah dieksperimentasi dengan baik sehingga tingkat manfaatnya sangat tinggi dan tingkat mudharat sangat rendah. Aman seaman-amannya, tingkat kontraproduktifnya serendah-rendahnya, that is called sholeh,” Cak Nun menambahkan, kesalehan manusia juga merupakan cerminan dari atmosfer kebaikan yang dibangun dalam diri. Dan fungsi ini tidak hanya berlaku pada hubungan sosial masyarakat saja, tetapi juga berlaku di wilayah teknologi, budaya, kesehatan dan sebagainya.

Maka jika ada perselisihan atau bentrok, kita mengenal istilah ishlah. Saleh merupakan salah satu ciri ulama. Seorang ulama adalah orang yang mampu mensalehkan lingkungan di sekitarnya. Cak Nun dengan rendah hati mengakui bahwa beliau bukanlah ulama, karena yang dilakukan di maiyahan selama ini tidak dalam rangka untuk itu. Perjuangan Cak Nun selama ini dilakukan dalam rangka membesarkan hati orang-orang yang datang di maiyahan, menumbuhkan rasa optimisme, menjaga keyakinan untuk terus bertahan hidup dan berjuang untuk kehidupan yang lebih baik.

“Atmosfer Maiyah adalah mencari kebenaran dari setiap orang, mencari keindahan dari setiap orang, mencari kebaikan dari setiap orang,” lanjut Cak Nun. Manusia adalah tempatnya salah dan lupa, maka tidak perlu kita mencari-cari kesalahan manusia. Sangat gampang kita menemukan kesalahan orang lain, tetapi tidak mudah untuk menemukan kebenaran, kebaikan dan keindahan pada diri orang lain.

Cak Nun juga menambahkan kelakar guyonan khas orang Madura yang penuh dengan kelucuan. Wa ma-l-hayaatu-d-dunya illa la’ibun wa lahwun, Cak Nun mentadabburi ayat tersebut bahwa subjek dari ayat tersebut adalah Allah sendiri. Bukan manusia yang bermain-main dan bersenda-gurau terhadap kehidupan di dunia ini, melainkan Allah. Maka manusia harus taat dan patuh pada senda gurau dan main-mainnya Allah. Ketika Allah menyampaikan Walaa taqrobu zina, namun pada saat yang bersamaan kita dihadapkan pada ciptaan Allah yang bernama perempuan dengan segala dinamika yang ada. Dan kita memiliki tantangan untuk dapat mampu menyeimbangkan hidup kita.

“Kita berada pada keadaan menuju chaos, karena payung yang kita gunakan bersama sudah tidak menjadi payung yang adil untuk semua orang.”
Sabrang, Kenduri Cinta (Agustus, 2018)

PAYUNG-PAYUNG PERADABAN

Sabrang melengkapi majelis ilmu malam itu, “Kalau saya belajar dari sejarah, tidak ada satupun nabi yang sama seperti nabi sebelumnya karena zaman yang dihadapi juga berbeda,” Sabrang merespons pertanyaan bagaimana melahirkan “The Next Cak Nun”. Menurutnya, mungkin saja pada sekian puluh tahun nanti ada manusia seperti Cak Nun, tetapi belum tentu cocok dengan zaman dan peradabannya.

Sabrang menjelaskan lebih dalam, bahwa di setiap zaman selalu diawali dengan ketidakberaturan, chaos, karena memang belum ada aturan yang disepakati sebagai landasan hidup bermasyarakat. Kemudian munculah seorang atau beberapa orang inspirator yang kemudian menggugah dan menjadi inspirasi. Setelah ada yang menginspirasi, maka muncul aturan yang dijadikan payung bersama, memayungi semua para pelakunya, yang kemudian melahirkan kestabilan. Dengan terwujudnya kestabilan, manusianya semakin berkembang, maka persoalan yang muncul adalah bagaimana menguasai payung bersama tadi, kemudian muncul kembali chaos.

Sabrang mencontohkan, salah satu bentuk payung bersama adalah aturan hukum. Ketika hukum sudah dikuasai sekelompok orang, maka chaos akan terjadi. Kita melihat realita hari ini bagaimana lembaga penegak hukum menjadi alat yang digunakan penguasa untuk menyandera lawannya. Padahal, seharusnya payung hukum adalah payung yang harus ditaati bersama. Akibatnya, payung itu sudah tidak diyakini lagi fungsi dan kegunaannya, sehingga timbul chaos. Pada setiap chaos yang terjadi, akan selalu muncul inspirator dalam berbagai skalanya. Hal ini terus berulang.

“Kalau anda jeli, jenis payung baru selalu menjadi antitesa dari payung lama,” Sabrang melanjutkan. Jika dulu ada payung bernama kerajaan, ketika payung itu runtuh muncul payung bernama agama. Kemudian, agama juga tidak mampu dan kuat untuk dijadikan payung, sehingga sekarang kita memiliki payung demokrasi. Kelak, mungkin akan ada payung baru yang menggantikan payung demokrasi. Tetapi ada satu kecendrungan bahwa pengguna payung yang baru pasti tidak menyukai payung sebelumnya. Ketika payung agama lahir, pelakunya adalah mereka yang membenci payung kerajaan. Hari ini, para pelaku demokrasi adalah orang-orang yang tidak menyukai payung agama.

“Kita sekarang memang pada keadaan dimana kita menuju chaos. Karena payung yang kita gunakan bersama sudah tidak menjadi payung yang adil untuk semua orang. Ada keresahan-keresahan seperti itu,” Sabrang menjelaskan mungkin belum sampai pada titik ekskalasinya, tetapi semua orang sekarang sudah merasakan bahwa payung demokrasi sudah tidak menjadi payung yang adil. Menurut Sabrang, salah satu inspirator kita hari ini adalah Cak Nun.

Merespon keresahan Cak Nun sebelumnya, Sabrang memaparkan bahwa ia sama sekali tidak menganggap Cak Nun sebagai apa-apa, entah itu ulama, budayawan, kyai atau apapun saja. “Karena semua itu tidak akan cukup,” ungkap Sabrang. Dengan sudut pandang yang berbeda, Sabrang menjelaskan bahwa ia mencintai Einstein karena Einstein telah membuka cara pandang baru terhadap dunia. Begitu juga dengan Freddie Mercury, keunikan suara Freddie Mercury membuat Sabrang cinta kepada vokalis Queen tersebut. Bagi Sabrang, kepada siapapun saja yang membuka jalan yang baru baginya, maka akan ia cintai. Begitu pun ia memandang Cak Nun. Ia banyak belajar dari Cak Nun, diluar fakta bahwa Cak Nun adalah ayah kandungnya, Sabrang mencintai Cak Nun karena Cak Nun telah membuka wawasan yang luas baginya untuk memahami kehidupan.

“Saat Rasulullah di Madinah beliau memperjuangkan bagaimana agar masyarakat melihat Islam melalui keteladanan dan perilaku setiap manusianya.”
Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (Agustus, 2018)

MENJELANG pukul dua dinihari, diskusi berlangsung hangat dan interaktif. Jamaah ikut terlibat aktif. Memberi jeda, kelompok musik Pandan Nanas tampil membawakan beberapa nomor lagu. Setelah penampilan Pandan Nanas, Sigit mempersilakan Syeikh Nursamad Kamba untuk turut merespons diskusi.

“Figur ulama yang benar-benar ulama sesuai dengan kriteria yang saya pahami, ulama yang disebut sebagai pewaris Nabi, inilah figurnya,” ucap Syeikh Kamba sembari memegang pundak Cak Nun. Bagi Syeikh Kamba, Cak Nun adalah sosok yang tangguh di dalam perjuangan mencintai umat manusia, tidak mudah diperalat untuk kepentingan sesaat, dan tidak bisa menjadikan dirinya sebagai pihak untuk bermusuhan dengan pihak lain. Itulah ulama yang sesungguhnya.

Syeikh Kamba kemudian menjelaskan kenapa di Madinah metode dakwah yang digunakan Rasululah SAW berbeda dengan metode dakwah yang digunakan di Mekah. Secara wahyu saja sudah berbeda, dimana perbedaan ayat-ayat yang turun di Mekah dan Madinah terletak pada substansinya. Ayat-ayat yang turun di Mekah adalah ayat-ayat yang secara substansi mengajarkan tauhid, bagaimana hubungan hamba dengan Allah. Sementara ayat-ayat yang turun di Madinah adalah ayat-ayat yang berkaitan dengan hubungan sosial masyarakat. Jika di Mekah, Islam harus dijelaskan secara teori, sementara di Madinah Islam harus dijelaskan dengan keteladanan. Egalitarian, persamaan hak, tidak ada diskrimnasi, saling memaafkan, saling mencintai, saling menghormati dan sebagainya, kesemuanya ditampilkan oleh Rasulullah SAW di Madinah dengan keteladanan.

“Maka dalam surat-surat Nabi yang dikirimkan kepada kepala-kepala suku di Madinah bukanlah ajakan untuk memeluk Islam, melainkan ajakan untuk mendorong agar nilai-nilai Islam menjadi bagian dari masyarakat Madinah,” terang Syeikh Kamba. Apa yang diperjuangkan oleh Rasulullah SAW di Madinah adalah bagaimana agar masyarakat di Madinah melihat Islam melalui keteladanan dan perilaku setiap manusianya. Tidak ada ajakan untuk memeluk Islam, yang ditumbuhkan adalah simpati masyarakat kepada Islam. Sehingga, keterpanggilan orang untuk masuk Islam bukan berdasarkan paksaan, melainkan kesadaran.

Langkah selanjutnya adalah penguatan basis ekonomi, kelompok-kelompok yang kemudian didekati oleh Rasulullah SAW adalah mereka yang tinggal di jalur-jalur perdagangan. Wilayah-wilayah itu kemudian menjadi salah satu basis kekuatan pasukan Islam ketika masa peperangan. Sayangnya, apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW ini tidak dapat diakselerasikan pada generasi berikutnya dalam peradaban Islam. Bahkan sejak khalifah pertama, tanda-tanda kehancuran peradaban Islam sudah mulai tampak.

Pada masyarakat Quraisy saat itu terdapat dua kekuatan keluarga, keluarga Abdul Muthalib dan keluarga Abu Sufyan. Keluarga Abdul Muthalib mengurusi sosial dan keagamaan, sementara keluarga Abu Sufyan mengurusi urusan politik, luar negeri dan militer. Peristiwa masuknya keluarga Abu Sufyan ke Islam pada saat hijrah ke Madinah lebih kepada dampak dari gerakan sosial politik. Karena setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, kondisi ekonomi di Mekah rapuh. Peristiwa sama juga terjadi ketika masyarakat Badui murtad, hal itu terjadi karena gerakan sosial politik, bukan gerakan keagamaan.

Ketika Khalifah Abu Bakar berkuasa, keluarga Abu Sufyan mendapat akses untuk menjadi bagian dari pengambil kebijakan di pemerintahan. Bagi masyarat Badui, hal ini merupakan ancaman. Masyarakat Badui memiliki rekam jejak bani Abu Sufyan, mereka lalu menolak masuknya bani Abu Sufyan dalam pemerintahan Khalifah Abu Bakar. Penolakan itu mereka lancarkan dengan cara, salah satunya, murtad dari Islam. Karena mereka merasa sudah tidak ada lagi jaminan terhadap apa yang dijanjikan oleh Rasulullah SAW sebelum beliau wafat. Abu Sufyan lalu memberi saran kepada Khalifah Abu Bakar untuk menjadikan masyarakat Badui sebagai tentara bayaran. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu hal yang berakibat pada beberapa wilayah di timur tengah ditaklukan dengan cara peperangan. Fenomena ini berbalik dengan apa yang terjadi di Nusantara. Di sini, Islam tidak disebarkan dengan menggunakan pedang.

“Maiyah ini Al Baqiyatu-l-baqiyaat, ksatria yang tersisa.”
Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (Agustus, 2018)

KARAKTERISTIK penduduk Nusantara, menurut Syeikh Kamba, sudah sejalan dengan nilai-nilai Islam. Syeikh Kamba sepakat dengan penjelasan Cak Nun bahwa Islam dan masyarakat Nusantara ibarat tumbu ketemu tutup. Syeikh Kamba meneruskan, bahwa ketika Khalifah Umar bin Khattab berkuasa, Muawiyah membangun kekuatan militer di Damaskus. Sehingga Islam seperti yang ditampilkan oleh Rasulullah SAW di Madinah sudah tidak tampak lagi. Maka Islam pasca wafatnya Rasululah SAW adalah Islam yang penuh modifikasi.

Syeikh Kamba juga sampaikan bahwa apa yang dibawa Cak Nun di Maiyah persis seperti apa yang dibawa Rasulullah SAW dahulu. Cak Nun membangun komitmen dan kesetiaan dengan jamaah sehingga atmosfer keindahan terbangun secara alami, bukan rekayasa. Syeikh Kamba yang mendalami ilmu tasawuf mengakui bahwa ada nuansa berbeda yang dirasakan ketika datang di maiyahan. Asumsi-asumsi yang selama ini hanya tersimpan dalam pikiran Syeikh Kamba justru seolah-olah dibuktikan oleh Allah di maiyahan.

Syeikh Kamba menekankan, apa yang diajarkan oleh Cak Nun adalah sesuatu yang sifatnya lebih kepada substansi dari Islam. Kita sering diingatkan Cak Nun bahwa jangan hanya menilai seberapa rajin melaksanakan salat, tetapi yang paling utama adalah bagaimana output orang yang salat. Agama itu letaknya di dapur, jangan dipamer-pamerkan di etalase warung. Hal itu sejalan dengan hadits Innama bu’istu liutammia makarimal akhlaq, bahwa yang seharusnya kita tonjolkan kepada manusia yang lain adalah akhlaq dan perilaku kita yang baik. “Maiyah ini saya sebut sebagai Al Baqiyatu-l-baqiyaat, ksatria yang tersisa”, ungkap Syeikh Nursamad Kamba.

“Suatu hari saya ditanya oleh Cak Nun, apa yang sebenarnya diajarkan oleh Rasulullah SAW? Saya menjawab: memahami hidup dan mengerti hidup. Mengerti manusia dan mengerti Allah. Maka Rasulllah SAW adalah ulama yang sesungguhnya,” lanjut Syeikh Kamba. Kita juga mempelajari bahwa perangai hidup Rasulullah SAW adalah lambang dari kearifan dan kebijaksanaan. Dengan bekal mengerti manusia dan mengerti Allah, maka output-nya adalah kebijaksanaan. Tetapi, bukan berarti bahwa mengerti Allah secara dzahir, Rasululah SAW pernah menyatakan bahwa apapun yang terbetik dalam hati manusia tentang Allah, maka Allah bukanlah seperti apa yang dibayangkan dalam diri manusia. Kita selalu salah sangka terhadap Allah, karena kita mengira Allah seperti apa yang kita persangkakan selama ini. Karena Allah tidak bisa dikonsepsikan, tidak bisa dipikirkan, tetapi Dia harus dirasakan. Dan untuk merasakan kehadiran Allah, kita harus membangunnya d atas cinta dan kasih sayang, inilah yang diajarkan di Maiyah oleh Cak Nun.

Umat Islam memahami bahwa salat merupakan cara agar pelakunya terhindar dari perbuatan keji dan munkar. Tetapi, seringkali manusia itu sendiri yang gagal dalam memaknai salat, pada akhirnya salat hanya sekadar menggugurkan kewajiban saja, sehingga efek terhindar dari perbuatan keji dan munkar tidak dirasakan.

Syeikh Kamba mengingatkan bahwa manusia harus mampu membangun intuisi dalam beragama, karena manusia memiliki akses menyentuh Alquran. Menyentuh Alquran tidak sama dengan menguasai bahasa Arab. Benar bahwaAlquran tertulis dengan bahasa Arab, tetapi untuk menyentuh Alquran, untuk memasuki dimensiAlquran tidak ada aturannya bahwa harus dengan cara menguasai bahasa Arab.

Satu hal lagi yang dicatat oleh Syeikh Kamba adalah bahwa Rasulullah SAW tidak pernah mengikat para sahabat-sahabat untuk tidak berkembang, justru Rasulullah membebaskan mereka menjadi orang-orang yang hebat. Begitulah seharusnya seorang guru, ia tidak membatasi ruang gerak murid-muridnya, tetapi justru membebaskan murid-muridnya untuk mengeksplorasi lebih luas lagi cakrawala ilmu yang sudah diterima. “Maka, Maiyah adalah hadiah dari Allah untuk Indonesia,” pungkas Syeikh Kamba.

“Manusia memiliki akal dan akal itu pasti sehat. Aktifkan akalmu, nuranimu, cintamu maka kau akan mendapatkan Alquran melalui udara, melalui partikel, angin dan dedaunan, melalui apa yang kau lihat dan yang kau dengar.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Agustus, 2018)

TRANSFORMASI ALQURAN

“Salah satu transformator Alquran untuk sampai kepadamu itu melalui kata, huruf, dan melalui pemahaman-pemahaman literer, tetapi cara itu hanya kurang dari 50% yang sampai kepadamu. Jangan berpikir begitu bodohnya Allah sehingga hanya melalui kata-kata saja Dia sampai kepadamu,” Cak Nun menambahkan.

“Rumusnya, asal kamu mengaktivasi akal sehatmu dan mengaktivasi kalbumu (qolbu), nuranimu maka kamu akan mendapatkan Alquran langsung, meski kamu ndak bisa baca Alquran. Tapi kalau kamu mau mempelajari secara literer, itu menjadi nilai tambah. Tapi jangan kawatir, pokoknya asal kamu aktivasi, mengaktifkan nurani yang murni dan akalmu yang jernih, Alquran ada di partikel-partikel udara dan aku mengambilnya setiap hari, aku tinggal memetiknya tiap hari, dan anda bisa melakukan itu. Caranya sederhana, jadi dirimu!” Cak Nun menjelaskan.

“Manusia itu punya akal, dan akal itu pasti sehat. Aktifkan itu, nuranimu aktifkan, cintamu aktifkan, anda akan mendapatkan Alquran lewat udara, partikel, lewat angin, lewat daun, lewat apa yang kamu lihat, dan yang kamu dengar, karena subjek utamanya adalah Allah sendiri yang berfirman dan kita menjadi sasaran firman itu, kita tinggal menyerap dan menikmatinya,” Cak Nun melanjutkan.

“Teman-teman, saya mohon doa. Maiyah ini bukan hanya sekadar hadiah dari Allah untuk Indonesia. Maiyah ini adalah gerbang perbuahan dari peradaban dunia di segala bidang. Dari pola berpikir, ideologi, sampai urusan matematika, fisika, ilmu sosial, apa saja. Dunia akan terjungkal dengan cara yang sekarang ditempuh, dan Maiyah sedang menyiapkan solusinya,” lanjut Cak Nun, “Bukan dalam rangka menyombongkan diri, melainkan proses yang kita alami bersama di Maiyah merupakan sebuah gerakan revolusioner, solusi untuk kehancuran peradaban dunia hari ini. Dan itu kita lakukan secara bertahap, seperti halnya Allah menciptakan dunia dalam skala ukuran satuan waktu selama 6 hari.”

“Sekarang orang belum melihat anda. Yang orang lihat adalah sekumpulan orang yang berkumpul sampai jam 3 dinihari, dan orang tidak mengerti dan anda jangan sedih. Allah akan kasih sesuatu. Dunia tidak akan bisa mengelak. Dunia akan mendengarnya, dunia akan melihatnya dan dunia akan memakainya,” tegas Cak Nun.

Menyinggung sedikit ayat Innash-sholata tanha ‘ani-l-fakhsyaa’I wa-l-munkar, Cak Nun menjelaskan bahwa perbuatan keji dan munkar itu selalu diidentikkan dengan urusan moral. Padahal munkar itu berlaku pada apa saja, kalau 5×5 tidak sama dengan 25, maka itu merupakan perbuatan munkar. Jadi, munkar itu juga urusannya dengan ilmu. Cak Nun akhirnya merespons situasi politik di Indonesia terkait kandidat Capres dan Cawapres yang baru bergulir. Menurut Cak Nun justru sekarang ini Indonesia tidak perlu lagi dijelaskan seperti apa keadaannya, karena dari amsal Capres dan Cawapres saja sudah sangat jelas keadaan Indonesia itu seperti apa.

Merespons keresahan Syeikh Kamba bahwa ketika membuka media sosial seolah-olah selalu diceramahi oleh orang, Cak Nun mengajak semua jamaah untuk mencari adakah ayat yang memerintahkan manusia untuk ngajari orang lain. Menurut Cak Nun yang ada adalah ayat yang memerintahkan manusia untuk belajar. Sementara yang kita rasakan hari ini adalah kecenderungan orang itu kecenderungan hasrat untuk menceramahi orang, ngajari orang. Seolah-olah orang lain itu lebih bodoh.

“Saya ini maiyahan tidak pernah ngajari orang. Yang saya lakukan adalah merespons apa yang dibutuhkan oleh manusia, dan saya tidak pernah memberi buah kepada anda. Yang selalu saya lakukan adalah memberi benih. Maka seringkali pernyataan saya disalahpahami orang,” Cak Nun menjelaskan.

Cak Nun kemudian meminta Kyai Muzammil untuk melengkapi tentang ayat yang memerintahkan untuk belajar. “Tidak ada ayat di Alquran yang memerintahkan manusia untuk mengajar. Itu tidak ada, sepanjang yang saya ketahui. Yang ada adalah perintah untuk belajar,” Kyai Muzammil menjelaskan bahwa dalam urat At Taubah dijelaskan bahwa belajar adalah salah satu bentuk dari jihad akbar.

Kyai Muzammil menjelaskan bahwa ketika Rasululah SAW menggagas Piagam Madinah, umat Islam yang ada saat itu hanya 15% dari keseluruhan penduduk Madinah. Hal ini merupakan bukti bahwa meskipun minoritas, Islam mampu menghadirkan keamanan yang lebih substansial. Membahas tentang kebaikan dan kemunkaran, Kyai Muzammil menilai bahwa perbuatan yang kasat mata itu derajatnya jauh lebih kecil dari perbuatan yang tak kasat mata. Karena perbuatan yang kasat mata itu sangat mungkin dimanipulasi, sementara yang tak kasat mata adalah perbuatan yang bisa jadi skalanya lebih besar. Ketika sedekah secara kasat mata kita melihat itu merupakan peristiwa penyantunan, tetapi apabila di dalam hati orang yang bersedekah itu niatannya adalah dalam rangka mendapat balasan harta yang berlipat-lipat, maka perbuatan itu menjadi tidak mulia di hadapan Allah.

Kyai Muzammil kemudian menjelaskan hadits Rasululah SAW, Man roo a minkum munkaron fal yughoyyir biyadihi, fa in lam yastathi’ fa bilisanihi, fa in lam yas tatthi’ fa bi qolbihi, wa dzalika ‘ad’aful iiman. Selama ini selalu dipahami bahwa apabila merubah kemunkaran dengan hati adalah selemah-lemahnya iman, menurut Kyai Muzammil kata dhlo’fun itu juga ada yang memiliki arti paling berat, bukan paling ringan, maka hadits tersebut adalah bahwa apabila seseorang mampu mengubah kemunkaran hanya dengan hati, maka itu adalah sebarat-beratnya iman, sebaik-baiknya kualitas iman.

Tepat pukul tiga dinihari, Kenduri Cinta dipuncaki dengan ‘Indal Qiyam dan doa bersama yang dipimpin oleh Syeikh Nursamad Kamba.