Sepenggal Kisah Seorang Remaja Istimewa

RABU MALAM, sepulang dari forum Reboan kedua di bulan Januari 2019 (16/1), dengan ditemani rintik gerimis hujan, aku menembus gelapnya malam ibukota. Udara yang terasa sangat dingin membawa pikiranku ke sosok istimewa di malam itu.

Namanya Ilham. Usianya sekitar 17 tahun. Masih duduk di bangku SMU kelas XII. Ilham ini seorang penyandang disabilitas atau tuna daksa. Sebagian anggota tubuhnya ada yang tidak berfungsi seperti orang kebanyakan, tetapi semangat untuk belajar tidak pernah padam.

Setelah sampai di kost, iseng tangan ini menyambar gadget di samping tv. Membuka aplikasi whatsapp dan langsung menyapa Ilham, seorang pemuda spesial yang malam itu hadir di forum Reboan. Sebelumnya, di sela-sela diskusi Forum Reboan yang sedang membahas persiapan Kenduri Cinta edisi Januari 2019, aku meminta nomor kontak Ilham.

“Ham, ini nomer aku ya, NinkNonk KC“. Tak lupa menyebutkan nama dan siapa aku. Lama tak ada jawaban. Ah, mungkin dia lagi di jalan, ucapku dalam hati. Terbersit rasa penasaran ingin mengenal sosok ini lebih jauh. Siapakah dia ini? Kok rasanya baru kenal, tapi aku merasakan ada keganjilan dalam pikiranku.

“Triiiiiiiinnnnng…” Tiba-tiba aku kaget dengan bunyi notifikasi gadget yang aku pegang.. Ada pesan masuk yang hanya tertulis, “Ok mbak.”

Langsung aku membalas pesannya.

“Kalau kamu ada waktu, boleh nggak kita ngobrol ?”

“Untuk apa?” jawabnya.

“Aku pengin belajar dari kamu”, tukasku.

“Hahahahaaaa…. Saya cuma picisan mbak…” tertawa dia membalas pesanku.

Aku bertanya, “Eh btw, ini kamu sudah sampai mana?”

“Masih di TIM mbak”. Ada rasa bersalah melintas di benakku, jam sudah menunjukkan pukul 22.45 WIB, dan ia masih berada di area Taman Ismail Marzuki.

“Oh, okay. Aku pikir kamu sudah sampai rumah. Maaf ya kalau aku mengganggu waktu kamu”.

“Ah, nggak apa-apa mbak. Ini juga masih nunggu gerimis agak redaan”, sahutnya menghalau rasa bersalahku.

“Oh iya, kalau kamu capek ngetik pesan, pakai voice note aja ya,” aku coba memberikan saran.

“Saya nggak ngetik mbak, saya pakai google voice yang merekam suara saya yang bisa langsung diubah menjadi teks”.

Ternyata sosok ini lebih canggih daripada aku. Dia lebih mengerti banyak hal dibanding aku dalam urusan teknologi.

MINGGU LALU, ia juga sempat datang ke gedung Taman Budaya Yogyakarta untuk menyaksikan perhelatan Teater Perdikan yang bertajuk “Sengkuni 2019”, yang naskahnya ditulis oleh Mbah Nun. Dia datang kesana dengan moda transportasi kereta api.

Biasanya, kami di Komunitas Kenduri Cinta, terutama yang sering datang di forum Reboan, ketika ada perhelatan acara seperti Teater “Sengkuni 2019” minggu lalu, kami saling janjian untuk berangkat bersama, tapi Ilham tidak pernah memberitahu bahwa ia akan berangkat ke Yogyakarta untuk menonton “Sengkuni 2019”. Padahal, beberapa kali dia hadir di forum Reboan, mungkin karena merasa masih anak baru, ia segan untuk memberitahu bahwa ia juga hendak berangkat ke Yogyakarta.

Tidak disangka, ketika hari pertama pementasan “Sengkuni 2019” ia hadir di Taman Budaya Yogyakarta. Keterbatasan yang dimilikinya bukan suatu hambatan untuk berangkat ke Yogyakarta, secara mandiri, ia membeli tiket kereta sendiri, dan juga membeli tiket pementasan “Sengkuni 2019” sendiri, tidak merepotkan siapa-siapa. Salut!

“Kamu tinggal di daerah mana?”, aku melanjutkan pertanyaanku.

“Saya tinggal di Pulogadung mbak, tepatnya di belakang Pertamina Maritim dekat halte busway Layur”, sahutnya. Ia juga bercerita, jika datang ke Kenduri Cinta atau Reboan, dari Pulogadung ia menggunakan moda transportasi publik bus transjakarta. Dengan sepeda yang dibuat secara khusus, ia gunakan untuk berangkat ke Taman Ismail Marzuki. Dengan sepeda itu pula, minggu lalu ia gunakan sebagai media bantu ketika melakukan perjalanan ke Yogyakarta.

“Oh, daerah situ. Boleh nggak kalau ada waktu, temen-temen KC main ke rumah?”, desakku.

“Untuk apa mbak?” Sepertinya ada rasa ketidaknyamanan yang aku tangkap ketika aku mendesak dengan pertanyaan tadi.  Ilham ini tinggal bersama ibunya. Bapaknya sudah meninggal. Ibunya bekerja sebagai asisten rumah tangga. Beberapa hal sempat ia ceritakan ketika aku ngobrol di selasar Taman Budaya Yogyakarta minggu lalu sebelum pementasan “Sengkuni 2019”.

“Main aja, silaturahmi sama Ilham dan keluarga”, aku menjelaskan maksud dari pertanyaanku tadi.

“Ya, ya, ya, nanti saya pikirkan lagi”, jawabnya. Nampaknya masih ada keraguan darinya ketika aku membaca pesan balasannya ini.

“Oh iya, kamu sekolah dimana?” tanyaku makin menyelidik.

“Saya sekolah di dekat rumah, kira-kira jaraknya 100 meter dari rumah saya, mbak”.

“Kalau boleh tahu, sudah berapa lama sering datang ke KC?” aku bertanya lagi.

“Sebetulnya saya sudah dari 2016, awal mengenal Kenduri Cinta tepatnya pada bulan Mei, tapi saya tidak serius mengikutinya. Baru pertengahan 2017 saya mulai sering datang ke KC”, ungkapya.

“Dulu kamu kenal Kenduri Cinta dari mana?” tanyaku.

“Awalnya saya kenal Mbah Nun lewat internet. Lalu, saya cari-cari majelis Cak Nun di Jakarta. Ketemulah sama Kenduri Cinta”, lanjutnya.

“Kamu pernah baca karya-karya Mbah Nun nggak?”, kembali aku bertanya padanya.

“Ngga mbak, saya orangnya juga kurang suka baca buku, hehehe..”

“Waktu 2017 lalu saya main ke Kadipiro, saya sempat di kasih oleh-oleh buku dari yang jaga perpustakaannya, buku yang berjudul JEJAK TINJU PAK KIAI, itu aja baru saya baca setengahnya,” tukasnya. Ternyata, sebelumnya juga ia sudah pernah pergi ke Yogyakarta, dan telah menginjakkan kaki di Rumah Maiyah, di Kadipiro.

“Apa yang membuat kamu tertarik dengan sosok Mbah Nun?” aku membombardir lagi dengan pertanyaanku. “Kamu tahu alamat kadipiro darimana? Website kah?”

“Saya tertarik dengan cara bicara Mbah Nun yang selalu menggunakan kalimat-kalimat baku, yang membuat kita berimajinasi dan memaksa kita mencari makna yang sesungguhnya. Saya punya teman orang Bekasi namanya Mas Surono, asli Wonogiri. Dari beliau saya tahu info-info tentang Mbah Nun, termasuk alamat Rumah Maiyah di Kadipiro”, ia menjelaskan padaku.

“Selain sekolah, biasanya aktivitas kamu apa di rumah?” tanyaku lagi.

“Tidur, hahahahaha”, kelakar dia.

Aku pun menyambutnya dengan tertawa. Humoris juga ternyata sosok ini. Nggak nyangka!

“Nah, kalau pergi-pergi begini, Ibu kamu nggak nyariin, apalagi kemarin kamu bisa sampai ke Jogja. Gimana bilangnya?” masih dengan rasa penasaran aku melayangkan pertanyaan lagi.

“Setiap manusia pasti punya jurusnya masing-masing, nggak usah saya jelasin ya mbak”, timpalnya. Terlalu cepat juga mungkin aku menanyakan sesuatu yang sifatnya pribadi baginya.

“Kalau Bapak dimana? Kan kamu bilang kemarin, kamu hanya tinggal sama ibu”.

“Bapak saya di Balikpapan, mbak”.

“Oh, Kerja disana?”

“Ga mbak, lagi tiduran, hehehe..” celotehnya.

Aku masih belum menangkap apa pesannya. Ternyata yang dimaksud Ilham, Bapaknya ada di baliknya papan alias sudah meninggal.

“Ups! Maaf ya, ternyata memang aku masih harus banyak belajar dari kamu”.

“Maaf juga ya mbak, ya begitulah orang Betawi. Kalau becanda suka kelewatan”, lanjutnya.

“Nah, kamu kan orang Betawi, kalau di KC kan Mbah Nun suka menggunakan Bahasa Jawa, kira-kira kamu ngerti maksudnya nggak yang disampaikan Mbah Nun di panggung?”

“Ya, kadang-kadang saya paham walaupun sedikit-sedikit. Saya kan bergaul sama orang Jawa juga mbak, ya sedikit-sedikit tahu laah Bahasa Jawa”.

“Menurut kamu, bagaimana dengan judul-judul yang sering dibawakan di KC? Ada masukan nggak?”

“Saya sih belum bisa melihat sejauh itu ya mbak, apalagi memberi masukan. Yang saya ambil selama ini hanyalah energi positif yang saya yakini akan berguna buat saya sendiri”.

Aku tertegun sejenak. Aku yang sudah bertahun-tahun mengikuti forum ini kadang juga belum bisa mengaplikasikan nilai-nilai yang diajarkan Mbah Nun dalam kehidupanku sehari-hari. Tapi dia, anak baru!! Sungguh luar biasa.

“Oh, okay. Kalau boleh tahu, cita-cita kamu apa sih?”

“Saya kayaknya nggak punya cita-cita mbak”, elaknya.

Aku menangkap sinyal bahwa dia agak menutup diri kalau untuk urusan yang sifatnya personal. Agak introvert sepertinya…

“Eh masak orang hidup nggak punya cita-cita, harus punya dong”, aku menyambung lagi pertanyaanku.

“Saya hanya ingin menjalani kehidupan dengan apa yang saya bisa lakukan dengan keterbatasan saya ini mbak,” sahutnya ringan.

Jawabannya kali ini cukup menohok bagiku. Seorang yang hidup dengan keterbatasan saja masih bisa semangat menjalani kehidupannya. Bagaimana dengan aku? Malu rasanya kalau saat ini aku ada di depan dia. Aku yang dikarunia hidup jauh lebih sempurna dari dia, masih saja suka mengeluh. Kadang masih suka merasa kalau Allah itu tidak adil dengan memberiku nikmat sakit yang sampai sekarang belum terobati. Ternyata aku sebegitu lemahnya. Astaghfirrullah, bener-bener aku malu ya Allah.

“Target kamu yang paling dekat ini apa? Misalnya, pengin lulus dengan nilai bagus, pengin dapat kerjaan atau apa gitu?” tanyaku lagi.

“Pengin nikah mbak… Hahahaha. Nggaklaah, mbak, becanda. Saya nggak mau berpikir untuk ke sana dulu, karena orang yang seperti saya ini harus mempunyai sesuatu yang “lebih” dulu agar orang-orang percaya sama saya mbak”.

“Satu lagi pesan saya mbak, jangan pernah prematur dalam menilai orang. Saya bukan contoh yang baik. Saya hanya manusia yang gagal yang penuh lumur dosa dalam kehidupan. Jadi, saya mohon dengan sangat, tolong tidak mengeluarkan kalimat Saya pengin belajar sama kamu”, balasnya.

“Maaf ya Ham, aku tidak ada maksud untuk menilai kamu seperti apa. Di awal memang aku sampaikan kalau aku pengin belajar sama kamu. Maksudku, aku pengin belajar dari semangat kamu menjalani kehidupan ini dengan segala keterbatasan. Bukan untuk merendahkan apalagi mencemooh kamu. Maaf ya kalau pemilihan diksiku dirasa kurang tepat. Belajar itu bisa dari mana saja, tidak mengenal apa dan siapa. Jadi, jangan tersinggung dengan sharing ini ya”, aku mencoba menjelaskan maksud obrolan ini.

“Terima kasih mbak atas perhatiannya, semoga mbak bisa menjadi kakak untuk saya tidak hanya hari ini, tidak hanya detik ini tapi untuk selama-lamanya”, sahutnya.

“Aamiin. Semoga kita dipersaudarakan lewat KC ya”, balasku. Tak terasa mata yang sudah mulai lelah dan mengantuk ini basah seketika.

“Maaf ya mbak kalau ada kata-kata yang salah dalam membalas pesan ini. Saya nggak tahu apa yang error mulut saya atau google voice nya”, dengan segala kerendahan hatinya dia meminta maaf.

Duuuh,, harusnya kan aku yang minta maaf, karena sudah mengganggu waktunya. Tapi justru dia duluan yang minta maaf.

Dia pun menambahkan, “Mbak maaf ya kalau saya agak berlebih menyikapi obrolan ini. Jujur, saya kurang suka dengan narasi saya ingin belajar sama kamu, karena melihat kapasitas diri apa yang ada pada dalam diri saya. Rasanya nggak pantas orang mengambil pelajaran dari diri saya, mohon dimaklumi ya mbak, namanya juga masih ababil alias ABG labil. Hehehehe”.

“Okay, aku juga tolong dimaafkan ya. Tidak ada maksud apa-apa selain hanya pengin sharing aja sama kamu. Ya sudah, kamu pulang. Hati-hati di jalan”.

Aku pun menutup obrolan malam itu. Belum puas rasanya mengenal jauh sosok Ilham ini. Mungkin lain waktu bisa ngobrol lebih lama lagi ya. Pesan yang sangat bermakna tersirat dari obrolan ini. Jangan menilai orang terlalu dini, tanpa mengetahui latar belakang kehidupannya. Semua manusia yang diciptakan di dunia tidak ada yang sempurna. Nobody perfect!

Jakarta, 16 Januari 2019