Sebuah Postimisme

KONTRAS, tubuh kerdil dengan wajah buruk rupa di tengah asri Taman Sriwedari. Sukrasana gemetar dihunus anak panah Sumantri yang sudah siap terlepas dari busurnya. Satu diantara 100 Bidadari yang bertebar di taman menyela. “Duh, Sumantri, apa salah Adikmu? Dia telah hadirkan kami dari Kahyangan dan memindah Sriwedari dari Utarasegara ke Mahespati demi memuaskan hasrat kekuasaanmu. Sebagaimana Citrawati yang kau sia-siakan cintanya, tidak cukupkah usaha adikmu menunjukkan cinta kepadamu?”. Sedetik berpaling perhatian Sumantri, luput kendali busur. Meluncur anak panah mengenai Sukrasana, tewas.

Apapun dilakukan Sumantri demi menunjukkan bukti pengabdian kepada Sang Prabu Arjunasasrabahu. Tekad bela negara hanya sekedarnya untuk membungkus nafsu politik mendapatkan jabatan di pemerintahan Negara Kerajaan Mahespati. Tidak segan Sumantri memperdaya Sukrasana guna memperlancar ambisi kekuasaan. Permintaan Arjunasasrabahu untuk mendatangkan 100 Bidadari Kahyangan dan memindahkan Taman Sriwedari ke Mahespati disanggupi, walaupun untuk itu Sumantri memperalat sang Adik yang sangat mencintai Kakandanya.

Nafsu menguasai sudah alami menyertai manusia di tengah kehidupan bermasyarakat. Nafsu alami yang juga dimiliki oleh hewan. Namun dengan hukum rimba, terjadi seleksi kekuasaan antar binatang dalam sebuah ekosistem yang sempurna. Sekawanan Singa dapat menguasai sabana dan di antara mereka terjadi seleksi kekuasaan yang ketat sehingga menghasilkan seekor Singa yang benar-benar paling layak menjadi raja rimba. Jadi mustahil bagi seekor kerbau, kuda, apalagi kodok, untuk berpura-pura menjadi Singa dalam hukum rimba dan menjadi penguasa sabana.

Coba bandingkan dengan sistem politik negara yang ada saat ini. Taman Demokrasi yang megah dan mewah tidak dibangun dari tumbuhan demokrasi yang tumbuh alami dari benih kedaulatan rakyat. Demokrasi tidak kokoh mengakar pada lahan subur keadilan sosial, tapi sekedar menancap sekenanya diatas pot-pot portable partai politik. Elite politik dengan lobi-lobi kekuasaan dapat saja mencabut, menancap, menggeser, memangkas dan bahkan membuang tanaman yang tumbuh dalam pot-pot milik mereka.

Sistem perpolitikan yang ada saat ini juga tidak benar-benar mampu menghasilkan karier politik yang berjenjang. Ada yang karbitan, matang sebelum waktunya. Ada pula yang sekejap popularitasnya menjulang tapi sebentar kemudian tumbang. Karier politik yang ada tidak tumbuh dari akar kekuasaan atas kemampuan kepemimpinan dirinya ditengah kehidupan sosial yang membumi, tapi lebih kepada pencitraan yang di-make up oleh media massa.

Merebak tingkah politikus kutu loncat. Oportunis, tidak segan menjadikan kawan jadi lawan atau pun sebaliknya menjadikan musuh menjadi teman seperjuangan. Orientasi keberpihakannya adalah yang penting menguntungkan. Bagi mereka, idealisme sepertinya sudah menjadi barang rombengan yang tidak lagi terpakai dan tidak mungkin didaurulang, Tapi jangan tuduh mereka tidak memiliki rasa malu. Hanya saja kemaluan mereka lebih besar dari tubuhnya, sehingga sulit untuk ditutupi.

Nyaris tidak ada upaya pendidikan politik dimana sebuah partai benar-benar sedang menjalankan fungsinya untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dengan lahan kebudayaan masyarakat itu sendiri, atau setidaknya partai politik dapat memfasilitasi aspirasi rakyat.

Alih-alih yang terjadi justru rakyat dibutuhkan hanya sebatas suaranya pada saat pemilihan umum, itu pun terbatas hanya untuk pilihan yang sudah dipilihkan oleh elite partai. Lebih parah lagi proses seleksi pasangan calon pemimpin daerah atau nasional tidak melalui proses seleksi yang memadai untuk menghasilkan pasangan pemimpin yang benar-benar terbaik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa seleksi kepemimpinan saat ini hanya tergantung pada deal-deal koalisi para elite partai-partai politik.

Setelah usai babak final pertandingan sepakbola Piala Dunia yang menyedot banyak antusiasme, kegembiraan, dan kekecewaan masyarakat, dengan dimensi dan skala berbeda babak berikut pertunjukan yang ditunggu oleh publik adalah pengumuman bakal calon pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Yang unik, babak awal ini justru ditentukan bukan pada siapa calon presiden yang akan bertanding pada Pilpres 2019, melainkan pada siapa calon wakil presiden yang akan dipilih oleh calon presiden. Keliru pilihan, bisa jadi berakibat buruk terhadap peta kekuatan pertandingan berikutnya. Jadi ada kesan bangsa Indonesia yang begitu besar, peta perpolitikan nasionalnya hanya dimain-mainkan.

Apakah kita sebagai rakyat mesti menjadi pesimis menghadapi keadaan politik nasional saat ini? Jawablah, ya! Selagi kita masih mengharapkan seekor banteng jantan menghasilkan susu, mendambakan auman anak kerbau, atau terus memimpikan kodok dapat benar-benar mengurusi hutan, mari kita sama-sama mendeklarasikan diri sebagai orang-orang pesimis. Tapi tentu itu akan menjatuhkan kemanusiaan kita. Apalagi sebagai bangsa Indonesia, tentu tidaklah sebodoh itu. Sedangkan untuk melengserkan si Raja Rimba yang berkuasa 32 tahun saja rakyat optimis, apalagi sekadar menonton polah tingkah berbagai satwa yang ingin menjadi seekor Singa. Optimislah bahwa masa depan bangsa Indonesia bukan sekedar fabel atau pun cerita Sumantri yang sedang memperdaya Adiknya demi sebuah syarat administratif suksesi kekuasaan.