SAMBUNG SINAMBUNG SILATURAHMI PATRIOT SAKINAH

Reportase Silaturahmi Kenduri Cinta, 6 Maret 2021

SATU TAHUN yang lalu, pada Kenduri Cinta edisi Maret 2020, di hari Jum`at 13 Maret 2020, adalah momen Forum Kenduri Cinta diselenggarakan secara normal. Tepat di hari itu pula, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengumumkan penetapan PSBB pertama. Informasi mengenai menyebarnya virus Corona saat itu sudah meluas, bahkan sudah masuk ke Indonesia saat itu. Malam itu, penggiat Kenduri Cinta pun mempersiapkan segala hal untuk mengantisipasi situasi dan kondisi di lapangan. Alhamdulillah, Kenduri Cinta malam itu berlangsung lancar dan tertib seperti biasanya.

Hari-hari setelahnya, kita menjalani masa-masa adaptasi kehidupan baru. Orang menyebutnya sebagai The New Normal. Aktifitas yang biasanya dilakukan, berubah secara konsep secara fundamental. Pertemuan tatap muka praktis menjadi hal yang menakutkan dan mengkhawatirkan. Campaign untuk tetap di rumah saja pun digaungkan. Kekhawatiran banyak orang mengenai wabah Covid-19 semakin menghantui. Korban jiwa pun berjatuhan, dan angka kasus positif setiap hari terus bertambah. Satu tahun yang sangat berat, telah kita jalani.

Meskipun menjalani tahun yang cukup berat, Kenduri Cinta secara komunitas tidaklah vakum sama sekali. Ada banyak hal yang telah dicapai sepanjang tahun 2020. Sempat menyelanggarakan Reboan On The Sky selama 10 edisi dan juga tetap menjalankan Reboan seperti biasanya, beberapa kali diselenggarakan dalam konsep tatap muka secara langsung, dank arena beberapa hal dipertambangkan, Reboan kembali diselenggarakan secara daring.

Secara internal Jamaah Maiyah pun menjalani tahun yang sangat berat. Selain pandemi, di tahun 2020 kita kehilangan sosok-sosok teladan; Syeikh Nursamad Kamba, Bunda Cammana dan Pak Iman Budi Santosa. Sosok-sosok guru dalam bidangnya masing-masing, yang sudah turut mewarnai khasanah ilmu di Maiyah. Al Fatihah kita panjatkan kepada beliau-beliau yang telah mendahului kita.

Menutup tahun 2020, penggiat Kenduri Cinta berikhtiar untuk kembali berkreasi. Musyawarah Lengkap diselenggarakan, menyepakati beberapa langkah-langkah untuk dilakukan di tahun 2021. Setelah berdiskusi dan berembug dalam kurun waktu kurang dari 1 bulan, diputuskanlah untuk menyelenggarakan forum pertemuan kecil dan sederhana dengan tema “Sambung Sinambung Silaturahmi – Patriot Sakinah”.

Silaturahmi harus terus dijaga. Silaturahmi harus terus terjalin. Semangat untuk saling tersambung ini yang diperjuangkan untuk terus digelorakan. Bertempat di Aula SMKN 27 Jakarta, acara ini pun dihelat. Pemilihan tempat ini bukan tanpa alasan. SMKN 27 bukan tempat yang asing bagi Kenduri Cinta. Mulai dari Workshop, Musyawarah Lengkap, Rapat Kerja, pertemuan internal, acara buka puasa bersama bahkan ketika KiaiKanjeng ada acara di Jakarta, Edotel SMKN 27 menjadi tempat transit sebelum menuju lokasi acara.

Secara lokasi, mudah dijangkau karena akses menuju tempat ini sangat mudah. Dan juga, pertimbangan mengenai protokol kesehatan yang diterapkan pun menjadi hal yang dipikirkan secara serius. Sebelumnya, Kenduri Cinta secara offline sempat dilangsungkan di sebuah Rooftop Hotel di sekitaran Cikini pada bulan Agustus lalu, yang kemudian rekaman videonya ditayangkan di bulan September. Namun, ada banyak pertimbangan saat itu yang kemudian diputuskan untuk belum kembali dilaksanakan.

Hingga akhirnya, acara di SMKN 27 pada 6 Maret 2021 lalu menjadi kickoff awal yang semoga menjadi permulaan untuk kembali diselenggarakannya Kenduri Cinta di bulan-bulan selanjutnya. Publikasi acara pun dilakukan melalui media sosial Kenduri Cinta beberapa hari sebelumnya. Seperti biasanya, poster dan mukadimah pun disebarluaskan. Pada momen ini pula, Kenduri Cinta merilis logo baru dengan warna yang baru. Rilis resmi perkenalan logo baru ini bisa dibaca melalui tautan berikut ini.

“Yang menjadi kekuatan forum Maiyahan seperti Kenduri Cinta adalah atmosfer tatap muka secara langsung”
Fahmi Agustian, Kenduri Cinta (Maret, 2021)

Kejutan syukur dalam silaturahmi

MUNGKIN kita memang belum terbiasa, menyelenggarakan Maiyahan di pagi hari. Sudah sejak lama, trade mark Maiyahan adalah forum diskusi yang berlangsung dari malam hari hingga dini hari. Atmosfer guyub yang terbangun di Maiyahan biasanya memang sebuah atmosfer yang selalu dirindukan, yang tidak bisa ditemui di forum-forum lain.

Lewat pukul 9 pagi, acara dimulai dengan pembacaan Wirid Akhir Zaman dan beberapa lantunan sholawat.

“Yang menjadi kekuatan forum Maiyahan seperti Kenduri Cinta adalah atmosfer tatap muka secara langsung”, Fahmi memulai menyapa Jamaah yang hadir pagi itu. Fahmi kemudian menjelaskan beberapa hal, kenapa pada akhirnya Kenduri Cinta tidak memilih untuk melakukan Maiyahan secara daring. Salah satu pertimbangannya adalah karena jika dilakukan secara daring, atmosfer tatap muka secara langsung tidak akan didapatkan.

Lebih-lebih, Kenduri Cinta berada di Jakarta, salah satu daerah zona merah Covid-19, jika menyelenggarakan sebuah pertemuan dan membuat kerumunan akan menarik perhatian banyak orang. Kita semua mengalami betapa liarnya media sosial hari ini, sehingga penggiat Kenduri Cinta mempertimbangkan untuk keamanan dan keselamatan bersama, lalu memutuskan untuk menahan diri dengan tidak menyelenggarakan terlebih dahulu Maiyahan secara langsung.

Fahmi juga menjelaskan, kenapa publikasi di media sosial mengenai acara ini tidak semasif biasanya dan juga tidak membuka diskusi di media sosial. Salah satu konsep komunikasi di Kenduri Cinta yang sudah terbangun sejak lama adalah, apabila sebuah informasi sudah dipublikasikan secara resmi melalui kanal-kanal resmi, maka seharusnya sudah tidak ada pertanyaan lagi mengenai informasi tersebut. Sudah pasti, jika informasi sebuah acara diumumkan di media sosial Simpul Maiyah, maka acara tersebut terbuka untuk umum.

Secara konsep, pertemuan ini memang digagas dalam balutan silaturahmi. Tujuan utamanya untuk kembali menghidupkan suasana keakraban satu sama lain. Selain penerapan protokol kesehatan, jamaah yang hadir pun disuguhi kudapan-kudapan ringan yang ala kadarnya dan sederhana. Bukan sesuatu hal yang istimewa. Jajanan pasar, kopi, the hingga nasi angkringan serta sate usus dan ati ampela yang dilengkapi dengan tahu-tempe bacem terasa nikmat disantap.

“Mungkin bagi teman-teman yang datang ke acara ini pun penuh pertimbangan”, Amien Subhan menambahkan apa yang disampaikan oleh Fahmi sebelumnya. Kerinduan itu memang harus diobati dengan pertemuan tatap muka secara langsung. Amien menegaskan apa yang disampaikan oleh Fahmi bahwa dengan pertemuan secara langsung kita dapat melihat gerak-gerik serta mimik wajah audiens secara langsung yang menjadi lawan bicara kita.

“Setiap kita pasti memiliki kerinduan untuk kembali bertemu dalam forum Kenduri Cinta”, Amien melanjutkan. Menurut Amien, kerinduan adalah sesuatu hal yang harus dipelihara. Ditambahkan oleh Amien, pertemuan seperti pagi itu sedang dipertimbangkan terus-menerus dalam diskusi internal penggiat Kenduri Cinta. Apakah akan diselenggarakan rutin setiap bulan atau hanya diselenggarakan by event. Artinya, hanya diselenggarakan pada momen-momen yang tidak terjadwal rutin, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang matang.

Tanpa disangka-sangka, ditengah-tengah diskusi sesi awal, Cak Nun hadir di lokasi. Sebuah kejutan tentu saja, kejutan yang sangat membahagiakan. Bukan hanya bagi penggiat Kenduri Cinta, tetapi lebih-lebih juga bagi jamaah yang hadir.

Mungkin banyak yang mengira bahwa kehadiran Cak Nun sudah diketahui oleh penggiat Kenduri Cinta. Padahal sama sekali tidak. Para penggiat yang berjibaku mempersiapkan acara ini sama sekali tidak ada yang tahu bahwa Cak Nun akan hadir. Sampai akhirnya Cak Nun benar-benar sampai di lokasi.

Ternyata, bukan hanya kita saja yang kangen. Cak Nun juga kangen untuk bersua dengan kita. Ketika mendengar informasi bahwa Kenduri Cinta akan mengadakan sebuah pertemuan kecil, Cak Nun memutuskan untuk berangkat menuju Jakarta menggunakan moda transportasi darat, dengan kendaraan pribadi tentunya. Pilihan transportasi darat dengan kendaraan pribadi ini pilihan yang paling masuk akal jika dibandingkan dengan menggunakan tranportasi udara seperti biasanya Cak Nun pilih ketika situasi normal.

Dengan menggunakan kendaraan pribadi, kemungkinan untuk bersinggungan dengan banyak orang sangat terminimalisir. Tentu saja, pilihan ini dengan risiko menempuh perjalanan yang cukup jauh dan memakan waktu yang lebih lama, sekitar 8 jam perjalanan untuk satu kali perjalanan Yogyakarta menuju Jakarta.

Melengkapi diskusi sesi awal, Adi Pudjo menyampaikan bahwa salah satu nilai plus yang dimiliki oleh Maiyah adalah silaturahmi. “Saya merasakan ada yang kurang dari silaturahmi online selama satu tahun terakhir yang rutin kita jalani”, Adi Pudjo menyampaikan salah satu keresahan yang muncul dengan konsep silaturahmi online saat ini. Keresahan yang disorot oleh Adi Pudjo adalah ketika kita sudah disiplin menerapkan protokol kesehatan kita telah melalaikan protokol media sosial yang sering dilanggar oleh pengguna internet, terutama anak-anak yang dalam satu tahun ini tampak sangat fasih menggunakan internet.

“Mari kita kembangkan protokol medsos, terutama untuk keluarga kita sendiri”, Adi Pudjo menambahkan. Ditambahkan oleh Adi Pudjo, silaturahmi harus terus dijaga. Meskipun saat ini kita harus menyambung silaturahmi dengan menggunakan platform yang tersambung dengan internet, yang harus diperhatikan adalah penggunaan platform-platform tersebut dengan bijak.

“Setiap kita pasti memiliki kerinduan untuk kembali bertemu dalam forum Kenduri Cinta”
Amien Subhan, Kenduri Cinta (Maret, 2021)

Mengupas makna silaturahmi

SECARA FISIK, dalam satu tahun terakhir memang nyaris tidak ada momen yang memungkinkan bagi Cak Nun untuk hadir dalam forum secara langsung di Kenduri Cinta. Ada beberapa momen yang memang terjadi, namun terselenggara dalam suasana yang tidak kita harapkan, yaitu pada momen 7 hari dan 40 hari wafatnya Syeikh Nursamad Kamba. Di satu sisi kita merasakan kesedihan atas kepergian Syeikh Nursamad Kamba, tetapi di momen itu kita bisa merasakan perjumpaan tatap muka secara langsung dengan Cak Nun di kediaman Mbak Fatin, istri Syeikh Nursamad Kamba.

Namun, dalam konteks nilai, dalam satu tahun terakhir Cak Nun justru sangat produktif melahirkan karya. Di awal-awal pandemi, Cak Nun merilis seri tulisan Corona yang kemudian dibukukan dalam buku “Lockdown 309 Tahun”, lalu ada juga seri kliping tulisan yang sebelumnya ditayangkan di Harian Kedaulatan Rakyat yang dibukukan dalam buku “Apa yang benar, bukan siapa yang benar”. Lalu ada kumpulan puisi dalam buku “Rahman Rahim Cinta”. Dan dalam 1-2 bulan ini, kita juga disuguhi tulisan-tulisan Cak Nun dalam seri “Kebon” di website caknun.com, yang sebentar lagi juga akan dirilis dalam versi buku.

Belum lagi ada puluhan seri video yang ditayangkan di channel youtube caknun.com, dimana Cak Nun bersama beberapa narasumber lain seperti Mas Sabrang, Pak Manu, Yai Toto Rahardjo, Yai Muzammil, dan yang lainnya juga membahas banyak ilmu yang sangat padat, menjadi tambahan bekal bagi kita sebagai Jamaah Maiyah selama pandemi.

Dan juga, Almarhum Syeikh Nursamad Kamba menjelang akhir hayatnya meninggalkan bekal berharga bagi kita berupa buku Ilmu Tasawuf; “Mencintai Allah Secara Merdeka”, yang sangat dikhususkan oleh Syeikh Nursamad Kamba sebagai buku praktis Ilmu Tasawuf untuk Jamaah Maiyah. Jadi sebenarnya, meskipun kita menjalani masa pandemi selama satu tahun terakhir, para Marja’ Maiyah tidak berhenti memberi bekal kepada kita, bahkan mungkin sangat berlebih.

“Hidup itu tidak tergantung faktanya tetapi tergantung pemaknaan-pemaknaan terhadap fakta. Jadi bagaimana kamu memaknai pengalamanmu. Rasulullah misalnya mengatakan bahwa banyak orang yang berpuasa tetapi hanya mendapatkan lapar dan dahaga, misalnya”, Cak Nun mengawali dengan satu pijakan yang mendasar.

Cak Nun menyampaikan bahwa saat ini kita semua sedang menjalani sebuah mekanisme puasa. “Anda harus mampu memaknai. Jangan sampai kita hanya mendapatkan kesengsaraan dan kelelahan selama pandemi ini”, lanjut Cak Nun. Saat ini, menurut Cak Nun kita sedang menjalani satu mekanisme puasa yang lebih berat. Seharusnya kita bisa Maiyahan, tetapi tidak bisa. Seharusnya kita bisa nonton film, nonton konser, ngumpul-ngumpul dan lain sebagainya, tetapi karena pandemi ini kita harus berpuasa tidak melakukan itu semua.

“Saya ini kan lebih sehat daripada sebelum pandemi. Lebih seger, lebih fresh, lebih sehat semuanya. Karena kita ndak boleh kalah sama keadaan apalagi keadaan itu kayaknya bukan kita yang menyebabkan”, Cak Nun melanjutkan. Satu amsal disampaikan oleh Cak Nun, ketika sebuah area hutan digunduli, kemudian menyebabkan banjir dan kita mengalami banjir padahal kita tidak ikut menggunduli hutan. “Mungkin saat ini kita disuruh puasa silaturahmi, padahal kita tidak ikut-ikutan merusak silaturahmi”, lanjut Cak Nun sembari menegaskan agar kita lebih terampil untuk menemukan pemaknaan-pemaknaan atas segala sesuatu yang kita alami.

“Mungkin ada yang salah dan sangat serius yang dilakukan oleh manusia selama ini. Mungkin dalam urusan pergaulan, budaya maupun dalam bermasyarakat, berorganisasi, bernegara dan beragama”, Cak Nun menambahkan. Selama ini manusia sebenarnya sudah dibekali tuntunan yang lengkap. Dalam beragama misalnya, sudah diberi panduan yang jelas, tetapi tetap saja antar umat beragama selalu ada konflik dan perdebatan yang ujungnya adalah perpecahan. Ada yang saling mengkafirkan, membid’ahkan dan lain sebagainya. Ada banyak sekali contoh tersebut. Belum lagi dalam kehidupan bernegara. Silang sengkarut perbedaan pandangan politik saat ini telah mengakibatkan rusaknya tali silaturahmi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. “Akhirnya kita diputus oleh Tuhan silaturahminya, karena memang kita bertengkar terus”, lanjut Cak Nun.

Jadi yang bertengkar bukan hanya dalam urusan politik atau negara, dalam beragama juga saling bertengkar, bahkan mungkin di dalam diri kita terjadi pertengkaran demi pertengkaran. Cak Nun menyampaikan, apa yang kita alami ini bisa kita maknai sebagai hukuman, ujian, atau apapun saja. Yang jelas, kita semua saat ini sedang mengalami dampak dari sesuatu hal yang mungkin kita tidak ikut merusaknya.

Secara ilmu kesehatan, sudah jelas bahwa pandemi ini disebabkan akibat virus yang tidak ditangani dengan baik. Namun, dalam kehidupan berbudaya, ada akibat-akibat lain yang akhirnya kita semua merasakan dampaknya. Salah satunya adalah terputusnya silaturahmi antar sesama manusia. Mungkin dengan adanya teknologi sedikit membantu agar silaturami itu tidak terputus sama sekali, namun melihat fenomena yang kita saksikan, pada faktanya media sosial tidak benar-benar mampu menjadi media silaturahmi secara daring saat ini, tetap saja selama pandemi ini media sosial dipenuhi dengan pertengkaran demi pertengkaran. Tidak semuanya memang, namun prosentasenya lebih banyak pertengkaran daripada persaudaraan. Itulah faktanya.

“Aku iki sregep matur nuwun neng Gusti Allah”, Cak Nun melanjutkan. Selama pandemi ini, kita semua menyaksikan betapa produktifnya Cak Nun dalam menulis. Mulai dari tulisan Seri Corona, kemudian kumpulan puisi dan saat ini masih berlangsung tulisan seri Kebon yang juga sudah disiapkan oleh Cak Nun untuk dibukukan. Cak Nun mengakui bahwa produktifitas yang beliau lakukan itu bukan karena kehebatan, melainkan karena selalu bersyukur kepada Allah. Cak Nun menceritakan proses menulisnya bahwa saat menulis, apapun yang terlintas, meskipun baru satu alinea, akan segera dituangkan dalam bentuk tulisan. Meskipun lintasan kata-kata itu muncul ketika senggang, Cak Nun segera menuliskannya di notebook.

“Saya menulis segitu banyak karena saya menghitung bahwa saya tidak akan dihargai oleh siapapun”, lanjut Cak Nun. Ditambahkan, bahwa subjek utama dari kehidupan ini adalah Allah. Bagi Cak Nun, setiap ide yang muncul ketika menulis itu datang dari Allah, baik ketika serius berpikir untuk menulis maupun ide-ide yang terlintas begitu saja. Rumus baku yang dilakukan oleh Cak Nun adalah bersyukur dengan cara segera menuangkannya dalam bentuk tulisan. Tentu bagi setiap orang berbeda-beda penerapannya, tetapi kunci utama yang disampaikan oleh Cak Nun adalah bahwa sudah semestinya kita selalu bersyukur kepada Allah atas anugerah kehidupan ini.

Kembali kepada pemaknaan hidup, Cak Nun menegaskan agar setiap individu kita harus terus mampu menemukan pemaknaan. Di Maiyah kita sudah mempelajari sudut pandang, jarak pandang, resolusi pandang dan lain sebagainya, Cak Nun mengingatkan agar pedoman itu digunakan saat kita memaknai kehidupan yang kita alami ini. Dalam satu tahun terakhir menjalani masa pandemi ini, apa yang bisa kita maknai? Dan pemaknaan itu tidak ada batasnya, karena setiap individu memiliki sudut pandang, jarak pandang dan resolusi pandang yang berbeda satu sama lain.

“Maiyah ini kita ikhtiarkan sebagai persemaian benih-benih masa depan sebagaimana yang Allah maksudkan di dalam semua kitab-kitab Allah”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Maret, 2021)

“SILATURAHMI itu idenya siapa? Siapa yang membikin terminologi silaturahmi? Allah. Apapun yang dibikin oleh Allah tidak bisa dibikin oleh manusia”, Cak Nun melanjutkan. Manusia mungkin bisa mengkreatifi banyak hal, tetapi sejatinya manusia tidak bisa melakukan apa-apa tanpa diinisiasi terlebih dahulu oleh Allah. Manusia sanggup mengolah beras menjadi nasi, tetapi sejatinya beras itu sendiri lahir dari padi yang diciptakan oleh Allah.

Pada spektrum yang lebih luas Cak Nun menggambarkan bahwa Khilafah itu ciptaan Allah. Tentu saja Khilafah yang masih murni tanpa campur tangan manusia, bukan Khilafah yang akhir-akhir ini diributkan dan diperdebatkan. Sementara manusia hanya mampu menciptakan demokrasi, yang kita semua mengalami betapa tidak sempurnanya demokrasi buatan manusia saat ini. Sebaik apapun demokrasi akan tetap kalah dengan Khilafah, asalkan Khilafah yang diterapkan benar-benar Khilafah yang murni dari Allah dan diterapkan dengan cara yang baik.

Dalam Al-Qur`an kita mengenal kebijaksanaan. Cak Nun menukil sebuah ayat dari Al-Qur`an; Ud’u ilaa sabiili rabbika bilhikmati wa jadilhum billati hiya ahsan. Dalam Khilafah yang diciptakan oleh Allah, sumbu utamanya adalah kebijaksanaan. Ketika kita hendak menyampaikan sebuah kebenaran kepada orang lain, landasannya haruslah kebijaksanaan. Sementara yang terjadi saat ini, saat kita meyakini sebuah kebenaran yang kita terapkan lebih sering bukan kebijaksanaan melainkan pemaksaan kehendak. Orang lain kita paksa untuk meyakini apa yang kita yakini. Tentu saja itu bukan sebuah perilaku kebijaksanaan.

Lebih jauh, Cak Nun mengajak kita sebagai manusia untuk tetap mampu menemukan ketakjuban-ketakjuban dari semua yang diciptakan oleh Allah. Karena ada begitu banyak hal yang seharusnya membuat kita takjub dan kagum dari yang Allah ciptakan. Dengan tetap menemukan ketakjuban dan kekaguman terhadap ciptaan Allah itu, maka kita tidak punya alasan untuk tidak bersyukur kepada Allah.

“Anda harus berada pada keadaan fana’ dan baqa’ agar anda takjub kepada Allah”, Cak Nun melanjutkan. Ada banyak dimensi yang tidak mampu dicapai oleh manusia, dan itu sudah dilakukan oleh Allah. Dalam konsep hidup dan mati saja misalnya. Apakah seluruh ekosistem kehidupan yang diciptakan oleh Allah ini membutuhkan oksigen? Apakah malaikat hidup membutuhkan oksigen? Bagaimana di kemudian hari ketika manusia berada di neraka dan surga? Imajinasi manusia pada akhirnya terbatas pada apa yang ada di dalam alam fikiran manusia saja. Seperti halnya imajinasi mengenai hantu. Manusia tetap berimajinasi bahwa struktur dan bentuk hantu itu seperti manusia. Ia memiliki mata, hidung, mulut, telinga, tangan, kaki dan sebagainya. Manusia tidak benar-benar merdeka untuk menentukan imajinasinya mengenai hantu itu sendiri. Imajinasi manusia selalu bergantung pada apa yang sudah diciptakan oleh Allah sebelumnya.

Dalam sebuah ilmu sosiologi dijelaskan bahwa kehidupan society dibangun antara komunikasi dengan komunikasi yang lainnya. Cak Nun menemukan ada satu hal di belakang komunikasi yaitu relasi. Inilah yang disebut dengan silaturahmi. Cak Nun mencontohkan bahwa Pencak itu adu fisik antara dua pendekar, tetapi ketika Pencak digabungkan dengan Silat, maka yang terbangun adalah pertarungan dua pendekar yang tidak dalam rangka untuk saling mengungguli yang lainnya. Pencak Silat adalah sebuah pertarungan yang tujuannya justru untuk mempererat persaudaraan. Cak Nun menambahkan bahwa Silaturahmi adalah sebuah relasi yang didasari oleh kasih sayang dan menghasilkan cinta yang ujungnya adalah tauhid.

Sebenarnya, Silaturahmi itu bukan sesuatu yang rumit. Cak Nun mencontohkan banyak hal, bahwa silaturahmi seharusnya terbangun dalam hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya, wakil rakyat dengan yang diwakilinya, orang tua dengan anaknya dan yang paling intim adalah antara hamba dengan Tuhannya. Cak Nun kembali menegaskan bahwa ada nalar yang jelas, ada rasio yang terukur yang kemudian kita hari ini menemukan fakta bahwa kita tidak bisa tersambung satu sama lain karena relasi yang terbangun memang tidak bertujuan untuk membangun ikatan persaudaraan yang sesuai dengan yag dimaui oleh Allah. Sehingga akhirnya kita saat ini mengalami situasi silaturahmi yang tidak kondusif. Jangan kan relasi yang berlandaskan kasih sayang yaitu silaturahmi, mungkin kita juga selama ini tidak serius dalam membangun relasi (silah).

“Maiyah ini kita ikhtiarkan sebagai persemaian benih-benih masa depan sebagaimana yang Allah maksudkan di dalam semua kitab-kitab Allah”, Cak Nun menambahkan yang kemudian mengajak jamaah yang hadir untuk menghitung prosentase dalam hidup ini antara kebutuhan dan keinginan lebih banyak yang sudah tercapai? Mayoritas bahkan mungkin semua dari kita mengalami bahwa yang selalu terpenuhi adalah keinginan kita bukan kebutuhan kita. Di Maiyah kita menyusun kembali satu demi satu hal-hal yang luhur yang menjadi pijakan hidup kita.

Cak Nun mengingatkan kepada jamaah bahwa tidak mungkin kita akan menuju pada keselamatan selama kita lebih mengutamakan apa yang kita inginkan daripada apa yang kita butuhkan. Dalam Al-Qur`an disebut; wa ‘asa ‘an takrohu syai`an wa huwa khairun lakum wa ‘asa ‘an tuhibbu syai`an wa huwa sarrun lakum. Menurut Cak Nun, ayat ini adalah salah satu rumus hidup yang paling dahsyat yang sudah disiapkan oleh Allah untuk manusia. Karena tidak ada satupun yang terjadi dalam hidup ini yang dialami oleh manusia yang sama sekali tidak terkait dengan Allah, maka sudah seharusnya landasan utama hidup kita adalah ilmu ketepatan dari ayat tersebut diatas tadi. Kita memang seharusnya manut sama Allah, bukan mengutamakan keinginan dari dalam diri kita.

Lebih lanjut, Cak Nun kembali tahaduts bin-ni’mah mengenai proses produktifitas dalam menulis selama masa pandemi ini, sekaligus mengajak jamaah untuk juga turut menulis meskipun hanya sekadar 1-2 aline saja. Tulisan yang berisi ungkapan, resapan, tetesan, kesan yang dirasakan selama bersentuhan dengan Maiyah. Tulisan yang pendek, tidak harus panjang. Bagi Mbah Nun, kegembiraan dan kebahagiaan kita ber-Maiyah harus juga disebarluaskan, meskipun hanya dituangkan dalam sebuah tulisan yang pendek.

“Kalau anda ingin jadi penulis, anda jangan terganggu oleh apa yang akan anda tulis”, Cak Nun menambahkan. Salah satu rumus atau kunci yang juga selalu dipegang oleh Cak Nun adalah, apapun yang sedang terlintas dalam fikiran, itulah yang ditulis. Jangan sampai ada nafsu dalam diri ketika akan menulis. Cak Nun mengibaratkan, jika di meja hanya ada seiris mangga, maka nikmatilah seiris mangga itu. Tidak perlu membayangkan buah yang lain yang justru merusak konsentrasi dalam menikmati mangga.

Dari tulisan-tulisan singkat itu, jika banyak dari Jamaah Maiyah yang turut berkontribusi, maka akan terkumpul banyak tulisan yang bisa jadi kelak akan dibukukan dan juga dikreatifi menjadi karya yang lain. “Cukup menuliskan tetesan kecil dari pengalaman hidup anda, itu sudah cukup, yang berasal dari pemikiran otentik dalam dirimu”, Cak Nun menegaskan.

“Jadi rasa syukur itu berpijaknya bukan pada titik 0 kemudian ke 1 dan 2. Tetapi bisa saja rasa syukur itu berawal dari titik minus. Karena aslinya kita ini tidak ada, kemudian diadakan oleh Allah. Aslinya kita tidak ada, kita tidak punya apa-apa dan juga tidak bisa bikin apa-apa. Tapi kita kemudian dikasih Allah banyak hal. Semua itu yang harus kita syukuri”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Maret, 2021)

Syukur sebagai pijakan melihat rezeki dari Allah

DISKUSI SESI AWAL kemudian diberi jeda agar beberapa jamaah turut merespons dan berinteraksi. Pertemuan Kenduri Cinta akhir pekan lalu bisa dikatakan sebagai restart setelah satu tahun tidak rutin menyelenggarakan Maiyahan seperti biasanya di Jum`at kedua di TIM. Acara ini pun dirancang dengan konsep yang sederhana, karena goal yang ingin dicapai sebenarnya adalah kembali merasakan pertemuan tatap muka yang guyub. Maka, penggiat Kenduri Cinta pun menyiapkan beberapa jajanan pasar dan kudapan angkringan yang memang tujuannya dinikmati bareng-bareng dalam pertemuan ini. Sehingga suasana akrab kembali dirasakan bersama.

Ihsan Aji, salah satu Jamaah Kenduri Cinta yang tinggal di dekat Stasiun Jakarta Kota menyampaikan sebuah pertanyaan kepada Cak Nun mengenai ayat di Al-Qur`an; alaa bi-dzikrillahi tathmainnu-l-qulub. Ada juga Adam Riza, salah satu penggiat Kenduri Cinta yang selama pandemi aktif mengajak teman-teman di sekitarnya untuk bertani dan memanfaatkan lahan yang ada untuk bertani. Yang ketiga, ada Mugi, salah satu jamaah di barisan depan yang berbagi kisah bahwa ia beberapa bulan yang lalu sempat terkonfirmasi positif Covid-19 dan sempat dirawat di Wisma Atlet Kemayoran.

Dari 3 jamaah tersebut, Cak Nun merespons dengan satu landasan sesuai judul, yaitu Silaturahmi. Cak Nun menyampaikan, silaturahmi adalah hubungan kasih sayang, maka yang harus kita lakukan atau mungkin kita hitung ulang adalah menegaskan kembali hubungan kasih sayang dengan semua pihak yang memang bersentuhan dengan kita. Dari Ihsan Aji misalnya, Cak Nun menyampaikan bahwa yang harus dibangun adlaah silaturahmi yang baik dengan Al-Qur`an, sehingga bisa mencapai titik tathmainna-l-quub itu tadi. Begitu juga dengan Adam Riza, upaya melestarikan kembali budaya bertani adalah salah satu ikhtiar untuk menjalin kembali hubungan kasih sayang dengan tanah.

Dari kisah Mugi yang pernah terkonfirmasi positif Covid-19, Cak Nun menegaskan bahwa memang sudah seharusnya kita bersyukur sampai hari ini kita masih diizinkan oleh Allah untuk tetap menghirup nafas di dunia. Mungkin saat terkonfirmasi Covid-19, ada beberapa fungsi tubuh yang tidak optimal, tapi kita pun tetap bersyukur, toh akhirnya fungsi anggota tubuh itu sudah kembali lagi seperti semula.

“Jadi rasa syukur itu berpijaknya bukan pada titik 0 kemudian ke 1 dan 2. Tetapi bisa saja rasa syukur itu berawal dari titik minus. Karena aslinya kita ini tidak ada, kemudian diadakan oleh Allah. Aslinya kita tidak ada, kita tidak punya apa-apa dan juga tidak bisa bikin apa-apa. Tapi kita kemudian dikasih Allah banyak hal. Semua itu yang harus kita syukuri”, Cak Nun menambahkan.

Cak Nun kembali menegaskan bahwa kita jangan sampai kalah dengan keadaan. Selama satu tahun pandemi ini kita semua berhasil mampu melewati situasi yang sulit dengan skalanya masing-masing. Cak Nun mengingatkan bahwa yang utama harus kita jaga adalah keimanan kita kepada Allah. Kepercayaan kita yang utuh, teguh dan penuh kepada Allah, itulah yang menyebabkan kita mampu bertahan hingga hari ini.

Saat kita menyadari bahwa kita sejatinya tidak ada dan itu menjadi pijakan awal untuk mensyukuri rezeki yang dianugerahkan oleh Allah. Cak Nun menggambarkan posisi kita 0, tidak punya apa-apa, kemudian Allah memberikan kita 1, 2, 3, 4 meskipun belum 5 dan 6, misalnya, itu harus kita syukuri. Saat kita mendapatkan 1 sampai 4, kemudian kita tidak bersyukur dan justru meminta 5 dan 6, maka akan mengakibatkan kita tidak bisa menikmati 1 sampai 4, dan juga belum tentu mendapatkan 5 dan 6.

“Maka jangan pernah khawatir karena Allah punya sifat yarzuqhu min haitsu laa yahtasib”, Cak Nun menambahkan sembari menegaskan bahwa salah satu kunci agar kita bisa mendapatkan yarzuqhu min haitsu laa yahtasib itu adalah kita bersyukur dengan mendayagunakan apa yang sudah Allah anugerahkan kepada kita. Cak Nun pun lagi-lagi mengingatkan jamaah yang hadir agar jangan sampai malas. Dalam Al-Qur`an, Allah memperingatkan manusia agar jangan menghardik waktu. Cak Nun menjelaskan bahwa menghardik waktu maksudnya adalah tidak menghargai waktu. Sebisa mungkin waktu yang kita punya harus dimanfaatkan untuk melakukan kegiatan yang produktif. Bagi Cak Nun, kemalasan adalah salah satu perilaku yang tidak menghargai waktu.

“Agar anda survive hingga satu-dua tahun lagi, anda harus menemukan banyak hal untuk disyukuri”, lanjut Cak Nun. Berbicara mengenai rezeki, Cak Nun kembali menglaborasi bahwa rezeki itu ada 3 tingkatan. Pertama, rezeki karena kita bekerja. Bekerja bisa juga seperti berdagang, bertani, atau juga bekerja di kantor, di pinggir jalan, di manapun saja, asalkan kita bekerja kemudian kita mendapat rezeki. Kedua, ada rezeki yang sifatnya direct, rezeki yang datang karena akumulasi kebaikan kita sepanjang hidup, kemudian Allah memberikan kita rezeki. Yang ketiga, Cak Nun menyebut rezeki Maryam. Maksudnya adalah seperti kisah Maryam ibunda Nabi Isa, ketika Allah memerintahkan untuk tetap di rumah, tidak diperkenankan keluar dari rumah, namun Malaikat Jibril diutus oleh Allah untuk memenuhi kebutuhan Maryam selama ia berada di rumah. “Saya berdoa agar jamaah Maiyah sesekali bisa merasakan rezeki Maryam ini”, ungkap Cak Nun.

“Kalau anda hidup dalam dialektika iman dan taqwa kepada Allah, maka Allah juga akan bertanggung jawab kepada anda, gitu lho mas…”, Cak Nun melanjutkan. Seluruh anugerah yang sudah diberikan oleh Allah kepada kita jangan sampai tidak didayagunakan sama sekali. Jika kita bisa menulis, maka menulislah. Jika anugerah dari Allah itu bermusik, maka bermusiklah. “Jadi anda harus menemukan segala hal yang ada pada diri anda yang bisa anda syukuri dan anda harus bisa menambah segala hal yang menambah rasa syukur anda, maka Allah akan bertanggung jawab kepada itu semua”, Cak Nun menegaskan.

“Jangan sampai anda mengalami apapun dan mengerjakan apapun tanpa melibatkan Allah”, Cak Nun melanjutkan sembari merespons pertanyaan mengenai ayat alaa bidzikrillahi tathmainna-l-qulub. Kebetulan, Beben Jazz juga bergabung dalam forum ini, Cak Nun menanyakan kepada Beben apakah seorang musisi Jazz harus menguasai aliran musik yang lain agar ia menjadi seorang musisi Jazz yang handal? Beben menjawab; tidak. Cak Nun menggambarkan bahwa kita hidup di dunia ini memang memiliki pilihan untuk short cut, untuk tidak mengikuti pakem manusia modern. Lebih gamblang lagi, Cak Nun mengajak jamaah untuk berani short cut langsung ke Allah.

“Jangan sampai anda mengalami apapun dan mengerjakan apapun tanpa melibatkan Allah”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Maret, 2021)

BAGI Beben Jazz, setiap individu sebenarnya sudah memiliki jiwa Jazz dalam dirinya. Hanya saja, mungkin terdistraksi dengan kemalasan-kemalasan, sehingga seringkali manusia enggan untuk berkreasi dan berimprovisasi. Dalam musik Jazz justru harmoni yang baik adalah ketika seorang musisi berimprovisasi saat bermain musik Jazz. Menurut Beben, mengutip salah satu musisi Jazz ternama, hidup ini sudah Jazz tetapi akan lebih lengkap jika kita berani berimprovisasi. Bahkan seorang musisi Jazz, jika saat bermain musik ia melakukan kesalahan notasi nada, dengan kreatifitas justru mampu melahirkan aransemen yang baru. Jadi, kesalahan notasi tidak menjadi persoalan, justru menjadi karya yang baru.

Beben mengakui, justru selama pandemi ini ia justru semakin sibuk dengan job yang selalu datang. Dengan improvisasi, Beben tidak berhenti berkarya dalam bermusik. Beben pun masih selalu tersambung dengan teman-teman Simpul Maiyah, terakhir pada edisi Juguran Syafaat bulan lalu, Beben turut berbagi ilmu dalam forum rutin Juguran Syafaat yang terselenggara secara daring.

Cak Nun lalu merespons Beben, bahwa memang seharusnya manusia itu harus mampu menemukan apa saja di dalam apa saja. Pada setiap keadaan, manusia harus menemukan sesuatu untuk disyukuri dan dimaknai. Bahkan, pada tahap kesadaran Tauhid, manusia harus mampu melihat Allah pada setiap keadaan, seperti halnya Sayyidina Ali bin Abi Thalib mampu menemukan Allah dalam setiap apa yang ia lihat. “Anda di Maiyah itu pelajarannya sederhana; anda jangan tidak menemukan Allah dalam bidang apapun saja, pada setiap peristiwa yang anda alami, anda jangan mengalami apapun tanpa ingat Allah”, tegas Cak Nun.

Ada satu khasanah ilmu dalam budaya jawa yang disebut Pranotomongso. Cak Nun mengibaratkan bahwa Jazz adalah sebuah mekanisme atau sistem dalam hidup yang melatih setiap individu manusia agar sigap beradaptasi dengan keadaan. Dicontohkan oleh Cak Nun dalam permainan sepakbola, yang terjadi di lapangan selama 90 menit adalah harmoni Jazz yang mengalir. Meskipun pelatih menyiapkan strategi dan susunan pemain, tetapi apa yang terjadi di lapangan bisa sangat berbeda dengan strategi yang diracik oleh si pelatih. Aliran bola tidak bisa direncanakan, setiap pemain akan melihat tata ruang dan merespons momentum untuk mengambil keputusan yang tepat dalam waktu yang singkat. Jika tidak mampu beradaptasi dengan kondisi di lapangan, maka akan menjadi kelemahan yang akan dimanfaatkan oleh lawan.

Ditambahkan oleh Cak Nun, bahwa dalam hidup ini yang diperjuangkan adalah keindahan bersama, bukan kebahagiaan individu. Harmoni keindahan bersama itu bisa dicapai salah satunya dengan silaturahmi, manakala kita sendiri merusak ikatan silaturahmi dan tidak serius dalam membangun silaturahmi, maka pada saat itu pula kita dipastikan gagal mewujudkan keindahan bersama.

Kembali, Cak Nun menyinggung kesalahpahaman manusia dalam memahami arti kata syariat. Hampir setiiap muncul kata syariat banyak sekali masyarakat di Indonesia yang salah paham, dianggapnya bahwa syariat adalah aturan baku semacam hukum, padahal sebenarnya yang dimaksud aturan seperti itu adalah ilmu fikih. Cak Nun menjelaskan bahwa syariat Allah itu sangat luas, air mengalir menuju tempat yang lebih rendah adalah syariat Allah. Gravitasi bumi adalah syariat Allah, angin berhembus adalah syariat Allah. Dan lain sebagainya. Silaturahmi merupakan salah satu syariat Allah, karena Allah sendiri yang menciptakan ide silaturahmi itu.

Di tengah-tengah syariat Allah itu, manusia diberi sedikit hak untuk berimprovisasi. Seperti halnya pertandingan sepakbola, meskipun tujuan utamanya adalah mencetak gol ke gawang lawan, ada pagar-pagar yang menjadi batas aturan main. Dalam sepakbola, syariat Allah berupa gaya gravitasi bumi tidak bisa dikendalikan, sama halnya dengan hembusan angin yang sangat mungkin mengubah arah bola ketika ditendang oleh pemain.

“Satu tahun ini, anda harus segera menghitung dalam satu tahun menjalani pandemi covid-19 ini anda sudah mendapatkan manfaat apa saja yang harus anda syukuri. Kalau belum menemukan, harus segera anda kejar, anda cari, agar anda bisa bersyukur kepada Allah”, Cak Nun melanjutkan. Ungkapan syukur itu tidak harus sesuatu yang besar, meskipun hanya dengan mengucap satu-dua kata sebagai ungkapan syukur, itu saja sudah cukup. Ungkapan syukur kepada Allah.

Cak Nun menegaskan kembali mengenai tulisan 1 alinea mengenai persambungan setiap individu kepada Maiyah. 1 alinea itu hanya merupakan batas, karena kematangan manusia itu ketika ia mengerti batasnya. Cak Nun menyampaikan bahwa jika tidak ada batasnya, justru membahayakan bagi manusia itu sendiri. “Anda harus tahu bedanya kemerdekaan dan keterbatasan. Hidup itu matangnya kalau anda menemukan batasnya”, ungkap Cak Nun.

Acara berlangsung sangat akrab dan guyub, dan juga sangat rileks, namun demikian ilmu-ilmu yang diwedar oleh Cak Nun pun sangat padat. Agar semakin rileks, Krist Segara pun membawakan beberapa nomor lagu karya ciptaannya. Sementara itu jamaah yang hadir menikmati kudapan nasi kucing angkringan yang disajikan lengkap dengan tahu dan tempe bacem, serta sate usus dan ati ampela.

Cak Nun berinteraksi dengan Krist yang mengungkapkan bahwa selama pandemi ini ia mampu membuat beberapa karya lagu. Cak Nun memberikan saran bahwa sebagai musisi agar Krist berkarya tanpa harus terjebak pada pakem musik saat ini. Cak Nun berharap agar Krist mampu menemukan otentisitas dari karyanya dengan terus melahirkan karya-karya baru.

“Selamat atas ketahanan hidup anda selama satu tahun dikasih ujian oleh Allah Swt”, Cak Nun memungkasi pertemuan di Aula SMKN 27 Jakarta Pusat. Cak Nun kemudian berpamitan, dan tentu saja tanpa bersalam-salaman. Semua saling memahami situasi dan kondisi, semua saling mengalah dan saling mengerti bahwa ada hal lain yang lebih diutamakan dari sekadar bersalaman dengan Cak Nun.

Total 16 jam perjalanan pulang-pergi Yogyakarta-Jakarta, dengan jarak tempuh mencapai 1.132 KM. Cak Nun pun menempuh perjalanan ini hanya kurang dari 24 jam saja. Jum`at sore (5/3) bertolak dari Yogyakarta dan sampai di Jakarta pada Sabtu dini hari, kemudian setelah acara, sekitar jam 14.00 WIB, Cak Nun kembali menempuh perjalanan darat kembali ke Yogyakarta.