RUWAIBIDHOH

REPORTASE KENDURI CINTA juni 2017

KEBAHAGIAAN 17 TAHUN

BULAN JUNI merupakan bulan yang monumental bagi Kenduri Cinta, karena di bulan Juni Kenduri Cinta merayakan hari jadinya. Dan, pada tahun ini, Kenduri Cinta merayakan ulang tahun yang ke-17.

Di samping bertepatan dengan bulan Ramadhan, KiaiKanjeng yang telah lama dinanti dan dirindukan oleh Jamaah Maiyah di Jakarta juga turut hadir menambah keistimewaan berkah tahun yang ke-17 bagi Kenduri Cinta. Tiga minggu lamanya teman-teman Penggiat Kenduri Cinta mempersiapkan event ini. Semua bergembira. Ikhlas dan tulus mengorbankan waktu, tenaga, pikiran serta materinya untuk mensukseskan Kenduri Cinta edisi spesial 17 Tahun. Sudah sejak Jum’at pagi, para Penggiat sudah stand by sesuai dengan tugasnya masing-masing.

Sore harinya, para Penggiat Kenduri Cinta bersama-sama menggelar karpet di depan panggung. Langit senja Jakarta sangat cerah. Lalu para penggiat pun berbuka bersama di sekitar panggung sore itu saat Adzan Maghrib berkumandang. Selepas Maghrib, KiaiKanjeng melakukan check sound hingga menjelang Isya’.

Pukul delapan malam, Kenduri Cinta dimulai dengan ritual rutin Wirid Ta’ziiz dan Tadzlil serta Wirid Wabal. Sigit, Hendra, Nashir, Afif dan Fahmi berada di panggung memandu jama’ah berwirid bersama. Setelahnya, Sigit membuka Kenduri Cinta, mempersilahkan beberapa penggiat Kenduri Cinta untuk naik ke panggung.

Adi Pudjo, yang merupakan penggiat aktif sejak dimulainya Kenduri Cinta tahun 2000 mengungkapkan betapa waktu berlalu dengan cepat, tidak terasa sudah 17 tahun. “Kenduri Cinta ini adalah berkah kepada kita semua, untuk saling silaturahim dan kalau bisa juga saling mengenal satu sama lain”, sebuah pesan awal yang sangat ringan namun lugas. Bahwa salah satu tujuan diadakannya Kenduri Cinta adalah memperluas jalinan silaturahim.

Luqman kemudian menambahkan bahwa pada malam hari ini saatnya Jamaah Kenduri Cinta berbahagia, saling berbagi cerita tentang perjalanan mengikuti Maiyah. Luqman pun bercerita sedikit tentang pengalamannya saat pertama kali mengikuti Kenduri Cinta, yang awalnya mengenal sejak menonton beberapa video Kenduri Cinta di youtube. Menjadi jamaah youtubiyah, video-video yang ia tonton kemudian ia unduh dan disimpan di handphone. Hampir setiap hari ia simak, hingga akhirnya ia memutuskan untuk datang langsung di Kenduri Cinta pada 2011 silam.

Kebahagiaan 17 Tahun Kenduri Cinta pun semakin lengkap dengan kehadiran perwakilan dari beberapa simpul Maiyah. Ali Fatkhan dari Gambang Syafaat dan Hilmy Nugraha dari Juguran Syafaat adalah dua diantara banyak penggiat simpul Maiyah yang hadir malam itu.

“Mungkin, Kenduri Cinta yang sudah berumur 17 tahun ini salah satu faktor (bertahannya) karena teman-teman Penggiat Kenduri Cinta  merasa dia tidak sebagai faktor utama, tetapi memiliki kesadaran untuk memiliki perannya masing-masing seperti di pertunjukkan wayang itu tadi. Kalau ada yang merasa paling dominan di Kenduri Cinta, saya tidak yakin Kenduri Cinta akan bertahan hingga 17 tahun”,
Ali Fatkhan Kenduri Cinta (Juni, 2017)

ALI FATKHAN bercerita, bahwa dalam sebuah pertunjukkan wayang ada banyak sekali unsur di dalamnya, mulai dari dalangnya, wayangnya, sindennya, layarnya, blencongnya, wiyogonya, gamelannya, panggungnya dan lain sebagainya hingga penontonnya. Tetapi, satu yang pasti adalah bahwa dari semua unsur itu, tidak ada satupun yang berhak merasa paling dominan, tidak boleh ada yang merasa paling berjuang, tidak boleh ada satupun yang merasa paling berkuasa atas pertunjukan wayang itu. Begitu juga dengan Kenduri Cinta, setiap orang yang bersentuhan, apalagi para penggiatnya, harus memiliki kesadaran yang sama bahwa tidak ada yang berhak merasa paling berjasa atas terselenggaranya Kenduri Cinta. Yang harus terbangun adalah kesadaran bahwa masing-masing individu memiliki peran dan memilih perannya masing-masing untuk saling bersinergi satu sama lain.

“Mungkin, Kenduri Cinta yang sudah berumur 17 tahun ini salah satu faktor (bertahannya) karena teman-teman Penggiat Kenduri Cinta merasa dia tidak sebagai faktor utama, tetapi memiliki kesadaran untuk memiliki perannya masing-masing seperti di pertunjukkan wayang itu tadi. Kalau ada yang merasa paling dominan di Kenduri Cinta, saya tidak yakin Kenduri Cinta akan bertahan hingga 17 tahun”, pungkas Ali.

“Kalau saya berangkatnya adalah rasa bersyukur. Karena, perjalanan 17 tahun bukanlah perjalanan yang mudah”, Fahmi merespon apa yang disampaikan oleh Ali Fatkhan. Fahmi menambahkan bahwa tidak ada yang eksklusif di Kenduri Cinta, semua diterima dengan rasa yang sama. Fahmi juga mengungkapkan bahwa dapur Kenduri Cinta, yaitu Forum Reboan, adalah forum yang terbuka bagi siapa saja yang ingin bergabung. Jika ingin mengenal Kenduri Cinta lebih dalam maka Forum Reboan adalah tempatnya. Di forum yang diselenggarakan setiap hari Rabu malam di Teras Galeri Cipta II itulah persiapan Kenduri Cinta dibicarakan dan didiskusikan.

Begitu juga dengan event 17 Tahun Kenduri Cinta kali ini, Forum Reboan adalah wadah disusunnya semua persiapan baik teknis maupun non teknis, selain juga koordinasi melalui WhatsApp Group dan email. Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Ali Fatkhan, Fahmi menegaskan bahwa setiap penggiat di Kenduri Cinta memiliki perannya masing-masing, dan di setiap peran yang mereka pilih itu tidak ada satu pun dari mereka yang tidak all out. Ditengah kesibukan yang setiap harinya dijalani mereka bersedia menyisihkan tenaga dan pikiran untuk Kenduri Cinta. Dan, itulah gambarannya yang juga terjadi di simpul-simpul Maiyah lainnya, tidak hanya Kenduri Cinta, hingga langgeng sampai saat ini. Serta, yang lebih penting lagi adalah jangan sampai terbesit sedikitpun niat untuk meraih eksistensi. Fahmi pun mengundang jamaah untuk turut serta berkontribusi sebagai penggiat Kenduri Cinta, “Silahkan datang reboan”, ajaknya. Apresiasi yang tinggi disampaikan Fahmi kepada seluruh Penggiat Kenduri Cinta dan juga simpul-simpul Maiyah lainnya, yang hingga hari ini berkontribusi demi terselenggaranya forum-forum Maiyah di berbagai daerah di Indonesia.

“Kami dari Juguran Syafaat turut bersyukur dengan 17 Tahun Kenduri Cinta ini, karena kami benar-benar belajar banyak dari Kenduri Cinta”, Hilmy Nugraha dari Juguran Syafaat mengawali paparannya.

Satu hal yang sangat ditekankan oleh Hilmy adalah bagaimana Kenduri Cinta mampu konsisten dalam banyak hal. Selain Forum Kenduri Cinta sendiri setiap bulannya, ada Forum Reboan yang juga konsisten dilaksanakan setiap hari Rabu, Hilmy sendiri jika kebetulan datang ke Jakarta pada hari Rabu, selalu mampir di Forum Reboan. Diakui oleh Hilmy, ada banyak hal yang dipelajari oleh Juguran Syafaat dari Kenduri Cinta, seperti bagaimana konsistensi dalam memunculkan tema setiap bulannya, menyusun mukadimah, poster hingga reportase di setiap edisinya merupakan sebuah proses yang kunci utamanya adalah konsisten.

Tri Mulyana kemudian bercerita awal mula bergabung di Kenduri Cinta, diakuinya bahwa salah satu hal yang menarik banyak orang di Kenduri Cinta adalah pemilihan kata-kata yang digunakan sebagai tema Kenduri Cinta setiap bulannya, yang hampir tidak bisa ditemukan selain di Maiyah. Menurut Tri, kata-kata yang dipilih sebagai tema selalu marketable, sangat menjual. Disamping itu, Tri mengungkapkan pengalamannya bahwa di tengah kesibukan pekerja sehari-hari, Kenduri Cinta dan Forum Reboan diakuinya membangun mental hidup yang lebih kuat dari sebelumnya. Baginya, menjadi penggiat Kenduri Cinta melatih dirinya menjadi personal yang memiliki energi lebih dari orang kebanyakan. Kenduri Cinta menjadi sebuah arena penempaan diri  yang bukannya melelahkan tapi justru menambah tenaga, sebagai wadah untuk mengisi ulang energi setiap bulannya.

Perwakilan dari Simpul Papperandang Ate di Mandar, Munir, mengungkapkan bahwa benih Maiyah di Mandar salah satunya ditanam melalui Komunitas Teater Flamboyan yang lahir pada tahun 1980. Papperandang Ate sendiri memiliki arti proses penjernihan hati, yang juga sebenarnya sudah ada sejak tahun 1997. Tentang Cak Nun, hal yang paling berkesan bagi Munir adalah bagaimana membangun semangat masyarakat di Mandar untuk mandiri, yang hingga akhirnya melahirkan Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2004 sebagai salah satu buahnya. Alisyahbana (alm) adalah salah satu sahabat yang mengajak Cak Nun untuk datang ke Mandar dan turut membina Komunitas Teater Flamboyan.

MELAMAR UNTUK PERNIKAHAN KEBANGSAAN

LEWAT PUKUL sepuluh malam, KiaiKanjeng nampak sudah berada di sebelah panggung dan bersiap untuk naik. Setelah KiaiKanjeng naik ke atas panggung, menyusul kemudian Cak Nun bersama Mbak Via, Pak Franky Welirang, Pak Priyo dan Pak Herlan.

Cak Nun kemudian memperkenalkan Pak Franky yang merupakan sahabat Cak Nun sejak lama. Sementara Pak Priyo adalah sahabatnya Pak Franky. Sedangkan Pak Herlan adalah salah satu tim sukses dari Gubernur DKI Jakarta terpilih pada Pilkada beberapa bulan yang lalu. Sebelumnya, Pak Herlan memberi informasi kepada Cak Nun di tempat terpisah bahwa siang harinya telah terjadi pertemuan antara masing-masing Tim Sukses kandidat pada Pilkada DKI Jakarta yang lalu, pertemuan yang melahirkan sebuah wacana akan dilangsungkannya “Pernikahan Kebangsaan” untuk melupakan segala macam pertengkaran-pertengkaran dan perbedaan-perbedaan dalam Pilkada DKI Jakarta yang lalu.

“Pokoknya, kita sedang berada dalam keadaan yang luar biasa complicated dan ruwet. Tetapi, apapun saja keadaannya ada satu yang tidak pernah kita tinggalkan dan tidak pernah putus asa, yaitu menyatukan kembali hati ke-Indonesiaan kita”, lanjut Cak Nun. Cak Nun juga berharap bahwa “KUA” dari “Pernikahan Kebangsaan” yang sedang dimatangkan itu kelak adalah Kenduri Cinta. Dan, Cak Nun juga berpesan, bahwa jika kemudian wacana tersebut dapat terlaksana, bukan berarti sudah selesai persoalan bangsa ini, karena pasti akan muncul lagi permasalahan yang baru.

Untuk mengantarkan KiaiKanjeng sebelum memainkan nomor pertamanya, Cak Nun menjelaskan 14 sifat Allah yang tersirat pada Surat Al-Hasyr ayat 21, sebuah rumus dari Al-Quran tentang manajemen, “Manajemen tentang apapun itu, lakukanlah secara asmaul husna”, terang Cak Nun.

Cak Nun kemudian berpesan, “Kita perlu bertakabbur, bertakabur perlu dalam menghadapi masalah. Karena, dengan bertakabbur terhadap masalah, kita akan lebih besar dari masalah sehingga kita mampu mengatasinya”. Takabbur tidak boleh diobjekkan pada manusia, tapi harus ditujukan kepada masalah yang kita hadapi. Namun, sebelum bertakabbur, Cak Nun mengajak kita agar belajar menguak kegaiban, menguak misteri dibalik suatu problem atau ‘alimul ghoibi wa syahadah,  dan manusia meresonansikan sifat tersebut menjadi muta’allimul ghoibi wa syahadah, sehingga kita mampu menjadi manusia terlebih lagi pemimpin yang lebih baik.

“Jadi, nomor satu dalam hidup adalah mencari kemampuan ilmu pengetahuan dan determinasi untuk menguak kegaiban, menguak rahasia-rahasia”, lanjut Cak Nun.

“Pokoknya, kita sedang berada dalam keadaan yang luar biasa complicated dan ruwet. Tetapi, apapun saja keadaannya ada satu yang tidak pernah kita tinggalkan dan tidak pernah putus asa, yaitu menyatukan kembali hati ke-Indonesiaan kita”,
Emha Ainun Nadjib Kenduri Cinta (Juni, 2017)

CAK NUN menjelaskan bahwa “Wa Syahadah” adalah empirisme. Seharusnya, kita mengetahui sesuatu berdasarkan pengalaman, bukan hanya berdasarkan informasi. Salah satu kesalahan pendidikan anak-anak sekolah hari ini, mengenal binatang, kambing misalnya, dari buku. Mereka mengenal kambing tanpa terlebih dahulu bertemu dengan kambing secara langsung, sehingga banyak pengetahuan tentang kambing yang tidak mereka ketahui seutuhnya, mereka tidak mengetahui bau kotoran kambing, tidak mengetahui bulu kambing, karena hanya diperkenalkan melalui buku. “Setelah ‘alimul ghoibi wasahadah, baru lakukanlah Ar-rohman, membangun kasih sayang yang meluas, lalu Ar-rohim, yaitu kasih sayang yang mendalam”, pesan Cak Nun.

Bila kita mencintai orang lain atau apapun disekitar kita, cinta tersebut akan memantul kembali kepada kita, sehingga ketika anda mencintai diri kita sendiri itu sudah disertai oleh cinta sosial dalam diri kita, karena yang kita mulai adalah mencintai yang ada di luar diri kita. Jadi, terutama untuk menjadi seorang pemimpin, kita harus mampu mengaplikasikan Ar-rohman dan Ar-Rohim. Dengan kedua syarat tersebut, baru kemudian kita pantas menjadi seorang malik. Dan seorang yang malik, harus memiliki sifat quddus, yaitu suci dan teguh dengan pendiriannya. Pemimpin harus jujur, jangan bohong, jangan talbis. “Iya” katakan “Iya”, “Tidak” katakan “Tidak”, jangan pura-pura “Tidak” untuk memancing “Iya”.

Sehingga, bila telah quddus pemimpin pasti akan menciptakan keselamatan bersama; As-salam. Dan, bila telah membangun nuansa As-salam kita akan menjadi kepercayaan. Lalu, kita pun mampu mewujudkan keselamatan bersama, sehingga akan menjadi orang yang mu’min, yaitu orang yang dipercaya dan memiliki kepercayaan dari orang lain. Kepercayaan itulah yang harus kita pertahankan, sehingga anda menjadi pemimpin yang muhaimin, yang memelihara. Yang dipelihara adalah kepercayaan itu tadi, sehingga kita pun tidak menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan kepada kita.

Pemimpin yang muhaimin akan memiliki sifat aziz yaitu kekuatan sebagai seorang pemimpin. Jika kita sudah memiliki sifat aziz ini, tanpa kita mencalon-calonkan diri, tanpa kita menawar-nawarkan diri menjadi pemimpin, kita akan dipilih oleh masyarakat untuk menjadi pemimpin. Sifat aziz  ini lalu memunculkan sifat jabbar, kita akan memiliki kekuasaan, wewenang dan otoritas untuk melakukan sesuatu, disaat anda sudah tidak memimpin tapi jiwa pemimpin tetap dalam diri kita. Setelah sifat jabbar, kemudian menuju sifat mutakabbir, yakni disaat anda mampu mengatasi berbagai masalah dalam hidup anda dan masyarakat sekitar anda. “Politik Nasional hari ini tidak ada yang memikirkan hari ini, yang dipikirkan dan yang dinegosiasikan hari ini adalah 2019”, lanjut Cak Nun.

Kemudian Cak Nun memberi contoh, KiaiKanjeng selama ini mampu men-takabburi musik, KiaiKanjeng hingga hari ini berjalan di berbagai aliran musik, saling memadukan, meramu dan membentuk suatu jenis musik baru. Takabburnya KiaiKanjeng terhadap musik pun menghasilkan suatu instrumen dan aransemen musik, yang bahkan KiaiKanjeng sendiri tidak bisa menyebutkan dimana dirinya, berada di wilayah mana dalam dunia musik modern saat ini. Tetapi, aransemen yang dihasilkan KiaiKanjeng begitu harmonis dan indah. “Maka meskipun ini gamelan Jawa dasarnya, oleh KiaiKanjeng dieksplorasi sedemikian rupa supaya bisa memangku, menyapa dan mengakomodasi seluruh kemungkinan musikal di seluruh dunia, sehingga dia mencoba mentakabburi segala macam unsur musik. Sehingga, bagi KiaiKanjeng resikonya adalah tidak memiliki kejelasan identitas”, lanjut Cak Nun.

KiaiKanjeng kemudian membawakan sebuah nomor awal, yaitu sebuah nomor sholawat yang baru saja diaransemen beberapa hari sebelum Kenduri Cinta. Sebuah aransemen yang terinspirasi dari Fatimah bin Barokah dari Tanzania, seorang Legenda musik Folklore di Tanzania, aransemen tersebut merupakan salah satu bentuk apresiasi terhadap musik Timur Tengah. Cak Nun juga mempersilahkan Mbak Via membawakan sebuah nomor yang juga merupakan salah satu bentuk apresiasi terhadap salah satu musisi legendaris dari Lebanon, Majdah Rumi. Sebuah lagu berjudul Kalimah, lagu tersebut dimodifikasi dan di aransemen ulang oleh KiaiKanjeng dan dinyanyikan dengan perpaduan lirik bahasa Inggris dan Arab. Irama musik KiaiKanjeng pada dua nomor awal ini begitu meriah.

GENERASI-GENERASI KENDURI CINTA

SETELAH PENAMPILAN pertama KiaiKanjeng, Cak Nun meminta Pak Franky Welirang untuk turut menyampaikan beberapa pesan bagi jamaah Kenduri Cinta yang sedang merayakan 17 Tahun perjalanannya. Pak Franky sendiri juga merupakan salah satu saksi perjalanan Kenduri Cinta sejak awal, dan rutin hadir di Kenduri Cinta sebagai jamaah.

“Pertama-tama, saya kira kita semua mengucapkan kepada kita sendiri selamat ulang tahun yang ke-17 Kenduri Cinta. Tujuh belas tahun, saya termasuk yang mengikuti dari awal di sini, dan pada saat itu banyak yang meragukan apakah Kenduri Cinta akan berlangsung terus. Tetapi, kepercayaan diri kawan-kawan yang mengurus Kenduri Cinta hingga hari ini mampu mengantarkan hingga 17 tahun, dengan silih bergantinya generasi”, Pak Franky mengawali.

“Dalam Kenduri Cinta kita mengaji, mengaji kehidupan kita, mengenai kehidupan nyata kita bersama-sama, disini kita dibawa untuk memandirikan diri kita dalam kehidupan, dan seharusnya kita mampu mengandalkan diri kita sendiri dalam kehidupan kita. Kemandirian inilah yang juga mengantarkan Kenduri Cinta mampu berlangsung hingga 17 tahun. Dan, kita berkumpul semuanya disini, dari berbagai daerah, karena kita cinta Indonesia. Sekali lagi, selamat untuk KC sudah mencapai 17 tahun, dan saya kira KC akan ada selamanya”, pungkas Pak Franky.

Merespon apa yang disampaikan oleh Pak Franky, Cak Nun bercerita bahwa malam sebelumnya di Yogyakarta bersama anak-anak Maiyah belajar tentang Bhinneka Tunggal Ika. Cak Nun menjelaskan bahwa kata Bhinneka berasal dari Bahasa Sansakerta (Bhinna dan Ika), sementara Tunggal dan Ika berasal dari bahasa Jawa Kuno.

Jika ditelusuri lebih jauh lagi, Bhinna merupakan sebuah kata yang berasal dari bahasa Arab Kuno yang artinya Bangunan. Bhinneka berarti macam-macam bangunan. Ada bangunan nilai, bangunan ideologi, bangunan etnik, pluralitas dan lain sebagainya. Tunggal adalah kesepakatan menjadi satu dalam keberagaman. Tetapi, kesalahan pemahaman gramatikalnya ada pada kata Ika yang diartikan satu, padahal itu salah, satu itu bukan Ika tapi Eka. Ika berasal dari bahasa jawa, iku, itu atau menunjuk sesuatu.

Sejalan dengan penjelasan itu, Cak Nun menyebutkan beberapa kata yang kita kenal hari ini yang merupakan serapan dari Bahasa Al-Qur’an; Rakyat (ro’iyah), Masyarakat (musyarokah), Ummat, Wakil (tawakkal), Adil, Hikmah dan lain sebagainya.

“Dalam Kenduri Cinta kita mengaji, mengaji kehidupan kita, mengenai kehidupan nyata kita bersama-sama, disini kita dibawa untuk memandirikan diri kita dalam kehidupan, dan seharusnya kita mampu mengandalkan diri kita sendiri dalam kehidupan kita. Kemandirian inilah yang juga mengantarkan Kenduri Cinta mampu berlangsung hingga 17 tahun. Dan, kita berkumpul semuanya disini, dari berbagai daerah, karena kita cinta Indonesia. Sekali lagi, selamat untuk KC sudah mencapai 17 tahun, dan saya kira KC akan ada selamanya,”
Franky Welirang, Kenduri Cinta (Juni, 2017)

SELANJUTNYA, untuk mengantarkan lagu “Garuda Sepi” yang akan dibawakan oleh Mbak Via, Cak Nun bercerita tentang kisah Garuda, yang kemudian ditulis dalam seri tulisan Ramadhan oleh Cak Nun di website caknun.com, yaitu dalam tulisan yang berjudul “Garuda Menebus Ibu Pertiwi”. Sebuah cerita mitos tentang Garuda, yang ditulis dengan tata bahasa lembut oleh Cak Nun.

“Jamaah Maiyah ialah generasi baru masa depan Indonesia, mereka duduk bermaiyah berjam-jam karena cinta, cinta dalam gelembung terbesar yaitu cinta pada Allah SWT,” ungkap Cak Nun seperti yang sering disampaikan dalam megungkap rasa syukur atas kehadiran para jamaah. Dengan kembali mentadabburi surat Al Maidah ayat 54, Cak Nun menjelaskan bahwa yang diperjuangkan oleh Maiyah adalah melahirkan generasi yang baru, yang Allah mencintainya dan mereka mencintai Allah.

Cak Nun kemudian menambahkan, bahwa jamaah Maiyah juga merupakan orang yang senantiasa sayang pada sesamanya, tidak tegaan pada orang yang tidak sependapat dan menentang dirinya, bukan sebaliknya. Oleh karenanya, Maiyah akan selalu mampu menciptakan kedamaian karena sifatnya yang mampu memahami dan mengayomi apapun yang bertentangan dan tidak bersepahaman dengan dirinya. Dengan merefleksikan 2 sifat generasi baru yang disebutkan oleh Allah pada Surat Al Maidah ayat 54; adzillatin ‘ala-l-mu’miniin  dan ‘aizzatin ‘ala-l-kaafirin; bersikap lemah lembut kepada orang yang beriman dan bersikap tidak tegaan hati kepada orang yang kafir. Lalu, Mbak Via pun membawakan nomor “Garuda Sepi” diiringi musik KiaiKanjeng.

“Ini rupanya rasanya Kenduri Cinta, sudahlah Kenduri begitu enak dilengkapi dengan Cinta pula. Tujuh belas tahun sudah Kenduri Cinta disajikan oleh Cak Nun bersama teman-teman di sini. Selamat ulang tahun yang ke-17, selalau bahagia dan sukses!”, Pak Priyo mengawali paparannya dengan menugucapkan selamat ulang tahun untuk Kenduri Cinta.

Pak Priyo menyampaikan apresiasi yang tinggi terkait niat luhur wacana diwujudkannya “Pernikahan Kebangsaan”. Karena, menurut Pak Priyo, wacana tersebut sangat diperlukan dan begitu penting untuk segera diwujudkan dalam kaitannya mengayomi dan mengkaribkan kembali dua kubu yang sempat panas beberapa bulan lalu dalam Pilgub DKI Jakarta. Setidak-tidaknya, Pak Priyo berharap hasil dari “Pernikahan Kebangsaan” itu bisa memberi pengaruh yang baik hingga 2019 nanti.

Sependapat dengan Cak Nun, Pak Priyo menyampaikan bahwa sudah semestinya seorang yang Islamis adalah seorang yang Pancasilais. Karena, sila pertama dalam Pancasila adalah sila yang menyatakan Tauhid, yang kemudian berproses pada sila-sila selanjutnya dengan tujuan akhir sila yang kelima yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Visi “Pernikahan Kebangsaan” tersebut diungkapkan Pak Priyo dengan harapan membawa 2019 nanti kepada suasana yang damai tanpa keributan. Prinsipnya, pemimpin terpilih yang baru pada 2019 nanti akan mengayomi dan melanjutkan program-program pemimpin sebelumnya, karena mungkin sudah cocok program-programnya. “Pada 2019 nanti kita harapkan tidak akan ada keributan seperti yang terjadi di Pilkada Jakarta lalu. Tetapi, yang ada ialah Kenduri Demokrasi”, ungkap Pak Priyo semangat.

“Indonesia ini Negara yang satu langkah di depan Globalisasi. Hanya Indonesia yang punya ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Hanya Indonesia yang memiliki kesadaran Khalifah. Khalifah itu dua langkah di depan Globalisasi”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Juni, 2017)

PANCASILA DALAM SEPAKBOLA

“SEBENARNYA, MAIYAH sudah memiliki konsep dan gagasan mengenai Negara, Kebangsaan, Pemerintahan dan seterusnya”, lanjut Cak Nun sembari menjelaskan sedikit tentang konsep Pancasila yang dipahami di Maiyah. Sila kelima ialah produk atau goal-nya jika dalam permainan sepakbola. Sila Keempat ialah kesebelasannya dimana sistem yang berlaku di dalamnya adalah Permusyawaratan dan Perwakilan. Sementara itu, sila ketiga ialah official manager atau pelatihnya yang membangun kesebelasannya, di dalam Sila Ketiga itulah partai politik, tokoh masyarakat, kaum cerdik cendekia, negarawan maupun para Ulama, merekalah yang menentukan siapa-siapa yang masuk dalam “kesebelasan” Indonesia yang dipandang mampu untuk mencapai Sila Kelima. Sedangkan Sila Kedua ialah proses pendidikan yang kemudian menghasilkan Sila Ketiga, mereka-mereka yang tergabung dalam Sila Ketiga merupakan hasil dari pembangunan secara universal Kemanusiaan yang adil dan beradab. Dan, Sila Pertama merupakan fondasi utama yaitu Ketuhanan.

Cak Nun mengingatkan, tekanannya atau poin utama dari Sila Kelima bukanlah kesejahteraan sosial, melainkan Keadilan. Tidak masalah tidak kaya, asalkan semua juga merasakan hal yang sama. Tidak masalah makan hanya sedikit, asalkan semuanya bareng-bareng menikmati makanan yang seadanya itu. Di tengah-tengah Cak Nun menjelaskan Pancasila dalam pandangan Maiyah, Syeikh Nursamad Kamba terlihat naik dan turut bergabung.

Cak Nun juga mengulas kembali bagaimana Maiyah memandang konsep Negara dan Pemerintah yang seharusnya berbeda. Sudah sejak lama Maiyah memahami bahwa Negara dan Pemerintah harus memiliki posisi yang berbeda. Ibaratnya, Negara adalah Rumah besar milik Rakyat, yang kemudian Rakyat membayar Pemerintah untuk mengurus Rumah besar yang bernama Negara itu. Sementara hari ini Negara dalam penerapannya disamakan posisinya dengan Pemerintahan, padahal terdapat perbedaan besar diantara keduanya.

Kesalahan dalam memposisikan Negara dan Pemerintah ini membawa dampak terhadap carut marutnya sistem kenegaraan, dimana yang seharusnya menjadi hak keputusan Negara diambil dengan klaim bahwa itu hak keputusan Pemerintah. Rakyat pun merugi karena kesalahan konsep yang berlaku ini. Gajah Mada tidak mungkin membikin Sumpah Palapa kecuali atas izin legitimasi dari Hayam Wuruk, begitu juga Hayam Wuruk tidak mungkin menyusun dan mengucapkan Sumpah Palapa karena dia bukan Perdana Menterinya. Begitulah yang seharusnya berlaku.

TNI, Kepolisian, KPK dan lain sebagainya adalah alat Negara. Sementara Menteri bersama Presiden adalah Staf yang bekerja untuk mengurusi Negara. Sehingga, siapapun yang menjabat staf pemerintahan, ia terikat dengan Negara. Namun, yang terjadi hari ini tidak demikian, setiap rezim berganti maka peraturan pun akan berubah. Negara tidak benar-benar memiliki kekuasaan penuh di hadapan Pemerintah.

“Indonesia ini Negara yang satu langkah di depan Globalisasi. Hanya Indonesia yang punya ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Hanya Indonesia yang memiliki kesadaran Khalifah. Khalifah itu dua langkah di depan Globalisasi”, Cak Nun kemudian mengulas beberapa pointer-pointer yang sudah dijabarkan dalam beberapa seri tulisan tentang Pancasila selama Bulan Ramadhan lalu.

Cak Nun juga menjabarkan tentang 6 kesadaran manusia; yaitu Kesadaran Benda, Kesadaran Tumbuhan, Kesadaran Hewan, Kesadaran Manusia, Kesadaran Abdullah (Hamba Allah) dan puncaknya adalah Kesadaran Khalifatullah. “Masalahnya temen-temen Hizbut Tahrir mau menerapkan Pohon Khilafah ini di tanah Globalisasi, maka tidak akan tumbuh. Karena, dunia belum mengenal Khalifah”, Cak Nun menyinggung sedikit isu tentang Khilafah yang sempat ramai akhir-akhir ini. Menurut Cak Nun, teman-teman Hizbut Tahrir memiliki niat yang baik untuk menerapkan Khilafah di Indonesia, tetapi mereka terlalu teburu-buru.

Berkaca dari 6 Kesadaran yang dijelaskan sebelumnya, Cak Nun berpandangan bahwa dunia hari ini masih berada dalam tahap menuju Kesadaran Manusia (Insan), sementara Khilafah baru akan mampu diaplikasikan manakala dunia sudah mencapai Kesadaran Khilafah. Lebih jauh lagi, Cak Nun menjelaskan bahwa Kesadaran Indonesia sebagai Negara adalah Kesadaran Ibu. Secara sifat, meskipun dijajah seperti apapun seorang Ibu tetap akan kuat dan tangguh, dan jangan harap bahwa Ibu akan kalah meskipun dijajah berkali-kali oleh Penjajah. Tetapi, yang pasti, Cak Nun menyampaikan dengan penuh keyakinan bahwa Indonesia itu perkasa. Indonesia sebagai ibu, Ibu pertiwi, layaknya seorang ibu ia kerap kali mengalah dan mengayomi anak-anaknya. Itulah sebabnya Indonesia berada di atas Negara-negara lain.

Cak Nun mengibaratkan bahwa bila Indonesia mengembargo dunia, dunia akan kelaparan dan dunia akan bersedih hatinya, tapi bila dunia mengembargo Indonesia, Indonesia akan senang hatinya karena tugasnya sebagai ibu akan berkurang. Jadi Indonesia itu tidak bisa dimatikan.

Hari ini banyak orang salah sangka dengan Indonesia, juga terhadap Islam. Banyak orang menyangka bahwa Islam sama dengan FPI, NU, Muhammadiyah dan lain sebagainya. Sejatinya Islam tidak sama dengan mereka. NU, Muhammadiyah, FPI, HTI dan yang lain sebagainya hanyalah bagian dari gambaran perilaku Islam. Islam yang begitu besar tidak mungkin mampu ditampilkan seutuhnya oleh NU, Muhammadiyah, FPI, HTI dan lain sebagainya. Sesama elemen bangsa seharusnya tidak mudah meremehkan, tidak mudah bersikap under estimated terhadap seseorang, juga agar tidak mudah kagum, sehingga mudah me’nabi’kan seseorang, dengan dipuja-puja setengah mati.

Cak Nun kemudian mengajak Jamaah untuk mengenang kembali salah satu sosok seniman yang dulu juga aktif di Kenduri Cinta, Mbah Surip. KiaiKanjeng dengan aransmen barunya tampil membawakan nomor yang melejitkan nama Mbah Surip, ‘Tak Gendong’. Lagu yang dulu sering dibawakan oleh Mbah Surip di Kenduri Cinta, jauh sebelum terkenal di dunia musik.

Mbah Surip adalah sosok yang rajin menghibur Jamaah Kenduri Cinta hampir setiap bulannya. Hampir 5 tahun kebersamaan antara Mbah Surip dengan Jamaah Maiyah saat itu, bukan hanya di Kenduri Cinta, bahkan Mbah Surip juga hadir di Mocopat Syafaat dan di beberapa Maiyahan bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng di berbagai kota.

“Kalau anda Khalifatullah, itu artinya anda berjalan di belakangnya Allah. Tidak secara fisik, melainkan secara nilai di dalam menentukan sangkan paran atau asal-usul dan tujuan hidup anda” 
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Juni, 2017)

MEMANDANG INDONESIA DARI TRIBUN KHUSUS

SETELAH BERNOSTALGIA dengan Mbah Surip, Cak Nun kembali mengajak Jamaah memasuki ruang ilmu yang lain. Seperti sebelumnya, Cak Nun menjelaskan Pancasila dengan terminologi Sepakbola, begitu juga kemudian Cak Nun menggambarkan bahwa jika Indonesia hari ini digambarkan dalam sebuah pertandingan Sepakbola, yang sebenarnya memiliki kekuasaan penuh atas pertandingan di lapangan bukanlah para pemain sepakbola yang sedang bertanding di lapangan, melainkan ada beberapa orang yang duduk di tribun khusus yang berkuasa penuh atas pertandingan.

Dan, kita semua tertipu, kita mengira beberapa pemain dari kesebelasan tuan rumah benar-benar sedang berjuang untuk mencetak gol ke gawang tim lawan, ternyata justru dia turut membantu terciptanya gol di gawang kesebelasannya sendiri. Bahkan, lebih parah dari itu, ‘sepakbola’ yang sedang dijalani oleh Indonesia hari ini gawangnya tidak hanya 2, bisa 5, 6, 7 bahkan lebih banyak lagi, bisa bertambah bisa berkurang, tergantung keputusan para tokoh-tokoh intelektual yang berada di tribun khusus itu tadi. Maka jangan kaget kalau tiba-tiba wasitnya juga ikut menendang bola dan mencetak gol. “Jadi anda jangan mudah percaya dengan informasi dan isu-isu yang beredar hari ini, terutama yang muncul dari media sosial”, Cak Nun mengingatkan.

Cak Nun menggambarkan bahwa media sosial hari ini adalah peradaban manusia gunung. Maksudnya adalah bahwa peperangan yang dilakukan oleh masyarakat gunung adalah dengan cara melempar dari kejauhan, tanpa diketahui siapa yang melempar. Dan, media sosial hari ini seperti itu, ada pihak yang menyerang orang lain melalui akun-akun anonim di Media Sosial yang tidak diketahui siapa sebenarnya dientitasnya. Hal itu pula yang dulu dialami oleh Majapahit dan Demak ketika melakukan perdagangan rempah-rempah menggunakan Kapal Laut. Kapal-kapal mereka tidak diperkuat dengan persenjataan, sehingga kemudian Portugis merampok mereka. Bahkan, ketika kesadaran mengamankan kapal-kapal tersebut muncul dengan diperkuat beberapa pasukan militer yang turut serta dalam rombongan kapal, ternyata Portugis menyerang dengan menembakan peluru dari meriam-meriam yang sudah mereka persiapkan. Begitu juga yang tejadi di Hiroshima dan Nagasaki, rakyat di dua kota tersebut tidak mengetahui siapa yang menjatuhkan bom atom yang meluluhlantakkan kota mereka.

Indonesia memiliki berbagai kemungkinan yang tidak pasti, siapapun bisa menjadi kawan dan lawan, sehingga sulit untuk mempercayai orang lain bila caranya seperti ini. Berita-berita yang beredar di media sosial bagaikan batu yang dilemparkan mengenai kepala kita, melalui media massa, medsos dan sebagainya, tanpa kita mengetahui siapa yang melempar batu tersebut.

Berita-berita yang tidak jelas ini menggambarkan kepengecutan dari pelempar berita yang tidak berani bertanggung jawab atas kebenaran berita yang disampaikan. Media sosial hari ini adalah gambaran dari sikap pengecut, dimana mereka yang berlindung dibalik akun-akun media sosial tidak berani untuk bertatap muka, bermuwajahah secara langsung, saling berhadapan satu sama lain di dunia nyata.

“Jadi kalau anda terlalu menikmati peradaban Media Sosial hari ini, anda akan terseret ke dalam peradaban ‘gunung’ yang anda tidak berhadap-hadapan dengan musuh yang membawa pedang, anda hanya berani melemparkan batu dari kejauhan”, tegas Cak Nun mengingatkan Jamaah.

Cak Nun juga mengajak Jamaah untuk bernostalgia dengan sahabat lama KiaiKanjeng; Cat Steven yang kemudian dikenal dengan nama Yusuf Islam. Seorang musisi handal asal Inggris yang kemudian mengenal Islam, hanya saja Islam yang sampai kepadanya adalah Islam “Mekkah” yang hanya berbasis pada teologi semata. Sehingga kemudian hampir sepanjang 19 tahun setelah ia mengenal Islam, ia berhenti bermain music. Hingga akhirnya dalam sebuah kesempatan Yusuf Islam bertemu dengan Cak Nun dan KiaiKanjeng di Eropa. Cak Nun menjelaskan bahwa musik bukanlah sebuah hal yang haram dalam Islam. Halal atau haramnya sesuatu tergantung pada ruang dan waktu. Jika kita bermain musik di dalam Masjid, apalagi ada orang yang sedang sholat jamaah di dalam Masjid, maka itu haram hukumnya. Setelah pertemuan dan penjelasan Cak Nun saat itu, Yusuf Islam kembali bermain musik hingga hari ini, bahkan sedang menggelar konser di beberapa Negara.

Di Indonesia, pada saat momentum membangkitkan kembali semangat rakyat Aceh pasca Tsunami tahun 2004 silam, Yusuf Islam datang dan tampil bersama KiaiKanjeng di Jakarta. Selanjutnya, Mbak Via bersama Donny, salah satu Vokalis KiaiKanjeng kemudian berduet dengan iringan musik KiaiKanjeng membawakan lagu yang berjudul “Wild World”, salah satu karya legendaris Cat Steven.

Menyinggung kembali tentang polarisasi yang berkembang di masyarakat, dimana terjadi dikotomi antara Pancasila dan Islam, Cak Nun menjelaskan bahwa baik Pancasila maupun Islam akan mampu bersinergi satu sama lain. Orang yang setia terhadap Pancasila akan menghasilkan output berupa toleran terhadap sesama manusia, menghormati manusia yang lainnya. Begitu juga dengan orang Islam, jika Islam benar-benar mengalir dalam dirinya, maka ia juga akan lemah lembut kepada sesama manusia, memiliki sikap rendah hati satu sama lain, tidak merasa sombong apalagi merasa paling benar sendiri di hdapan orang lain. Tidak masalah dalam diri kita yang nomor satu itu yang mana; Islam, Indonesia, NU, Muhammadiyah, FPI, HTI atau yang manapun saja asalkan hasilnya adalah bersama-sama merawat tanah air dan semua amanah Tuhan Yang Maha Esa ini di lingkup bersama.

“Kalau anda Khalifatullah, itu artinya anda berjalan di belakangnya Allah. Tidak secara fisik, melainkan secara nilai di dalam menentukan sangkan paran atau asal-usul dan tujuan hidup anda”, lanjut Cak Nun menjelaskan kembali penjabaran tentang 4 “aku” dalam tulisan “Bangsa Mainan” yang dirilis beberapa hari sebelum Kenduri Cinta kali ini.

“Jadi, anda tidak bisa mengarah ke tempat lain kecuali ngikutin Allah itu sendiri, akan sampai ke rumah-Nya kembali. Anda berputar untuk sampai ke rumah sejati anda, yaitu rumah Allah Swt”, lanjut Cak Nun. Maka, yang ditekankan oleh Cak Nun adalah agar kita tidak terjebak dalam label-label yang belakangan marak diperbincangkan. Khilafah, tanpa harus meneriakkan sebagai Negara Khilafah, sebenarnya Indonesia dengan Pancasilanya sangat memiliki modal yang cukup untuk menjadi Negara Khilafah. Karena, fondasi utama dalam Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi, sangat logis bahwa Pancasila juga merupakan salah satu output dari Islam di Indonesia atas dasar kesadaran Tauhid pada Sila Pertama itu.

Sangat mudah bagi Allah jika ingin menjadikan seluruh umat manusia di dunia ini beriman kepada-Nya. Tetapi, bukan itu kehendak Allah Swt. Allah begitu demokratis membebaskan manusia untuk percaya kepada-Nya atau mengingkari-Nya, manusia memilih pilihannya dengan pengetahuan segala batas dan resiko atas pilihannya itu sendiri. Allah tidak sedikitpun merasa laba jika seluruh umat manusia beriman kepada-Nya, begitu juga sebaliknya, Allah tidak rugi sedikitpun seandainya seluruh umat manusia ingkar kepada-Nya. Maka yang diperjuangkan di Maiyah adalah bagaimana caranya kita “melamar” dan diterima menjadi kekasih Allah, sehingga apabila kita disakiti, maka Allah yang turun tangan langsung. Sebab, Allah merasakan sakit hati yang sama ketika kekasih-Nya disakiti. Dengan kesadaran inilah, Cak Nun mengingatkan bahwa sejatinya kita yang membutuhkan Allah, bukan Allah yang membutuhkan kita.

“Bagi saya, Kesehatan itu lebih nikmat daripada makanan. Ngerti ya maksudnya?”, tanya Cak Nun kepada jamaah. Maksudnya adalah jika kita makan, yang harus kita rasakan yang paling utama adalah rasa kesehatan dalam diri kita bukan enaknya makanan yang kita makanan. Sepahit apapun jamu yang kita minum, itu sehat sesunggguhnya, itu lebih nikmat dari makanan yang semanis apapun di dunia ini.

“Kenikmatan tidak terletak di dalam dendam dan permusuhan, tetapi kenikmatan terletak di dalam permaafan dan kearfifan” 
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Juni, 2017)

CAK NUN pun mengungkapkan mengapa beliau selama Bulan Ramadhan ini menulis banyak tulisan yang disebar setiap menjelang sahur. Baginya, akhir-akhir ini banyak sekali beban alam semesta, permasalahan Indonesia yang menimpa di ubun-ubun, banyak beban pikiran terkait itu semua yang harus ditanggung dalam pikirannya. Dan, semua keluh kesahnya banyak disampaikan dalam tulisan-tulisan yang banyak sekali akhir-akhir ini. Semua tulisan itu mengalir di tengah padatnya jadwal Maiyahan dan di tengah kewajibannya sebagai kepala rumah tangga. Semua tulisan itu ia tulis dalam rangka memahami penderitaan yang dialami oleh Bangsa Indonesia saat ini. Tetapi, yang tetap menghibur adalah seberat apapun masalah yang menimpa bangsa Indonesia toh mereka tetap tangguh dan bahagia. “Jadi orang Indonesia itu, menderita kayak apapun dia adalah alang-alang yang tidak bisa mati, dia adalah rumput yang sudah mendapatkan air Amerta, sehingga dia tidak pernah mati, sehingga saya tidak mungkin pesimis terhadap Bangsa Indonesia, apapun yang terjadi di Indonesia saya tetap optimis terhadap masa depan Bangsa Indonesia”, tegas Cak Nun membesarkan hati jamaah.

Pak Herlan kemudian diberi kesempatan oleh Cak Nun untuk menyampaikan beberapa hal terkait inisiatif “Pernikahan Kebangsaan” yang di awal sempat disinggung oleh Cak Nun. Pak Herlan berharap bahwa Cak Nun yang kelak menjadi Penghulu dari “Pernikahan Kebangsaan” yang sedang digagas ini. Tidak lain dan tidak bukan, gagasan tersebut terkait dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi selama Pilkada DKI Jakarta beberapa bulan lalu yang masih terus saja menyisakan konflik horizontal hingga hari ini.

Cukup parah pertengkaran-pertengkaran yang terjadi akibat perbedaan pandangan politik selama Pilkada DKI Jakarta tersebut. sehingga ide dan gagasan “Pernikahan Kebangsaan” ini tidak lain dan tidak bukan agar bangsa ini tidak mengingat-ingat lagi perselisihan tempo hari, kita semua bersaudara, Indonesia milik kita bersama, berbeda pandangan politik itu biasa, tetapi jangan sampai perbedaan pandangan politik memecah belah persatuan bangsa. Pak Herlan mengungkapkan harapannya terkait “Pernikahan Kebangsaan” ini. Ia berharap, pada akhirnya akan megakrabkan kembali golongan-golongan yang bertengkar sebelumnya, dan yang akan menikahkan ialah Cak Nun di Kenduri Cinta.

Cak Nun kemudian bercerita tentang kedatangan Anies Baswedan ke rumahnya di Jogja pada Kamis malam sebelum Kenduri Cinta. Malam itu Anies Baswedan meminta wirid-wirid khusus kepada Cak Nun, dan Cak Nun memenuhinya, menyampaikan beberapa wirid, baik yang default maupun custom. “Alangkah indah seandainya Anies datang malam itu bersama Ahok”, Cak Nun mengungkapkan harapannya selaras dengan ide “Pernikahan Kebangsaan” tadi.

Seharusnya kita tidak boleh membenci siapapun, karena semua adalah ciptaan Allah. Bahwa dalam kehidupan ini kita tidak setuju dengan perilaku seseorang atau fenomena yang terjadi di sekitar kita, bukankah itu hal yang biasa terjadi sehari-hari dalam hidup kita? Justru, lebih banyak hal yang tidak kita setujui dalam hidup ini daripada yang kita setujui. Karena, setuju atau tidak setuju merupakan hal yang relatif dalam hidup. Bagi kita, suatu hal tidak kita setujui, tetapi bagi orang lain ada yang menyetujuinya. Hidup ini membutuhkan ruang yang luas dalam diri untuk menampung itu semua, baik yang kita setuji maupun yang tidak kita setujui.

Satu pesan yang disampaikan oleh Cak Nun kepada Anies Baswedan malam itu adalah bahwa saat ini Anies berada pada momentum yang sangat tepat dan terbaik, karena menjadi “Direktur Perusahaan” yang utama di Indonesia, yaitu DKI Jakarta. Jika ada salah langkah akan berakibat sangat panjang, tetapi sebaliknya jika kebijakan-kebijakan yang diambil juga tepat sesuai dengan kebutuhan dan proporsinya, akan melahirkan resonansi yang baik ke depan.

Berkaitan dengan “Pernikahan Kebangsaan” Cak Nun berharap di media sosial berhenti saling menghina. Cak Nun sendiri sudah banyak dihina dan “dibunuh” profilnya dalam media sosial, tapi toh Cak Nun tidak marah, bahkan memaafkan, bahkan menyayangi siapapun yang melakukannya. “Kenikmatan tidak terletak di dalam dendam dan permusuhan, tetapi kenikmatan terletak di dalam permaafan dan kearfifan”, lanjut Cak Nun.

Setelah Cak Nun mengajak jamaah berkelana memasuki ruang-ruang ilmu yang cukup padat, Mbak Via bersama KiaiKanjeng kembali menampilkan sebuah nomor berjudul “Kelahiran”, yang kemudian disusul Donny dengan nomor “One More Night”, sebuah karya Maroon Five yang diaransemen ulang dengan apik oleh KiaiKanjeng serta dipadukan dengan beberapa lagu dolanan anak-anak jaman dahulu, lalu dilengkapi dengan Imam Fatawi yang membawakan nomor “Beban Kasih Asmara”. Nomor-nomor itu ditampilkan lewat tengah malam, menghangatkan suasana keakaraban 17 Tahun Kenduri Cinta. Semua bergembira, semua berbahagia, semua bersyukur mengalami proses 17 Tahun perjalanan Kenduri Cinta. Seluruh nomor-nomor yang dipersembahkan oleh KiaiKanjeng malam itu adalah kado hadiah ulang tahun bagi Kenduri Cinta.

Filsosofi musik KiaiKanjeng dijelaskan oleh Cak Nun, bahwa sebenarnya dalam rangka mengupayakan mewujudkan bahwa seluruh aransemen musik di dunia itu adalah sebuah kesatuan, bukan hanya Nasionalisme tetapi juga Universalisme. Maka, yang diutamakan di Maiyah adalah penerimaan terhadap semua kemungkinan, bukan penolakan terhadap semua kemungkinan. Karena, salah satu dimensi Tauhid adalah penyatuan, dan perjuangan untuk penyatuan itu adalah yang dilihat oleh Allah Swt.

“Maka meskipun ini gamelan Jawa dasarnya, oleh KiaiKanjeng dieksplorasi sedemikian rupa supaya bisa memangku, menyapa dan mengakomodasi seluruh kemungkinan musikal di seluruh dunia, sehingga dia mencoba mentakabburi segala macam unsur musik. Sehingga, bagi KiaiKanjeng resikonya adalah tidak memiliki kejelasan identitas” 
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Juni, 2017)

SETELAH PERSEMBAHAN nomor-nomor itu Cak Nun mengajak Redaktur Maiyah, Helmi Mustofa dan Jamal Jufri, turut bergabung di panggung. Cak Nun juga mengajak Syahid Ibrahim, salah satu inisiator Kenduri Cinta 17 tahun yang lalu. Hadir pula malam itu Reiza, seorang Pilot sebuah maskapai penerbangan Internasional yang saat ini tinggal di Malaysia, juga Andre Dwi yang merupakan sosok yang tidak asing lagi di Kenduri Cinta.

“Dari sekian tulisan yang sudah dipersembahkan oleh Cak Nun untuk Jamaah Maiyah, bahwa di luar persoalan politik, kebangsaan dan berbagai persoalan yang dihadapi oleh Indonesia satu hal yang penting adalah bahwa manusianya itu sendiri yang perlu dibenahi, karena manusianya itu yang bermasalah”, Helmi mengawali paparannya. Kecenderungan manusia hari ini, ketika meyakini sebuah kebenaran, maka ia kemudian memposisikan orang lain yang tidak sependapat dengan kebenaran yang ia yakini itu dalam posisi yang salah. Yang terjadi adalah, manusia memaksakan manusia yang lain untuk juga meyakini kebenaran yang ia yakini, padahal sewajarnya setiap manusia berhak mencari dan menemukan kebenaran versinya masing-masing, tugas manusia hanyalah meyakininya tanpa harus memaksakan untuk diyakini oleh orang lain. Lebih jauh dari itu, konsep Silmi yang akhir-akhir ini disampaikan berkali-kali oleh Cak Fuad dan Cak Nun di Maiyahan adalah bahwa kita melakukan sesuatu, mencari kebenaran dalam Islam, bahkan hingga menjalani proses menuju kesejatian dengan cara semampu-mampu kita. Karena, kita tidak dituntut untuk sampai ke tujuan akhir, yang dituntut kepada kita adalah proses perjuangan dan perjalanannya ketika menuju garis akhir itu. Karena kebenaran yang sejati hanyalah milik Allah Swt.

Jamal Jufri kemudian menambahkan bahwa salah satu pangkal perpecahan Bangsa Indonesia hari ini adalah Sekularisme yang semakin menjadi. Bagaimana akhir-akhir ini wacana-wacana tentang pemisahan antara Agama dengan Negara kembali muncul, bagaimana wacana-wacana dikotomi antara Akhirat dan Dunia yang berbeda juga kembali muncul. Padahal, dalam Islam kita mengenal konsep Innalillahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Bahwa kita berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Tidak ada jalan lain bagi kita untuk tidak kembali kepada Allah. Jamal juga menyampaikan beberapa resume dari apa yang sudah disampaikan oleh Cak Nun melalui beberapa tulisan salaam Bulan Ramadhan ini, dimana salah satunya adalah menyinggung tentang Pancasila dan NKRI yang sebenaranya berada dalam satu bingkai yang sama dengan Khilafah.

MENUJU PERADABAN ABDULLAH

CAK NUN kemudian melengkapi penjelasan yang disampaikan oleh Redaktur Maiyah sebelumnya, bahwa memang saat ini kita baru sampai peradaban Manusia belum pada peradaban Abdullah apalagi Khalifatullah, Cak Nun menyebut era Globalisasi hari ini adalah era Peradaban Manusia dalam siklus 6 hari proses evolusi yang dirancang oleh Allah. Sekarang dunia baru sampai peradaban manusia dengan cara berpikir menggunakan akal dan nafsu. Cak Nun berpandangan bahwa proses penciptaan alam semesta selama 6 hari juga dapat dipahami sebagai proses evolusi kesadaran manusia dalam 6 tahap seperti yang sudah dijelaskan di awal oleh Cak Nun, yaitu Benda, Tumbuhan, Hewan, Manusia, Abdullah dan Khalifatullah.

Dalam pemahaman Cak Nun, pada proses evolusi 6 tahap itu manusia menjadi sentral. Ketika ia menyadari bahwa dirinya adalah manusia, ia sadar bahwa dalam dirinya tidak hanya terdapat hawa nafsu semata, tetapi juga ia memiliki akal yang harus didayagunakan. Islam sudah mengenal konsep hingga Khalifatullah (Khilafah), sayangnya manusia hari ini baru mampu menjejaki pada evolusi tahap keempat saja, itu pun tidak sempurna karena yang paling dominan dalam diri manusia hari ini adalah hawa nafsunya.

Akibatnya, peradaban manusia hari ini salah satu outputnya adalah Demokrasi, juga melahirkan Hak Asasi Manusia, atau juga dikenal juga dengan istilah human right. Ketika manusia mengelola sumber daya alam yang ada, mereka tidak mengenal proses yang dilakukan oleh nenek moyang dahulu, melakukan ritual-ritual untuk meminta izin bahwa kekayaan alam yang ada akan dikelola oleh mereka.

Beberapa suku-suku di pedalaman di Indonesia saat ini masih mengenal istilah-istilah ritual seperti Ruwatan. Mereka menyadari bahwa alam juga memiliki hak, bukan hanya manusia saja yang memiliki hak. Salah satu kebudayaan di Jawa adalah beberapa benda juga hewan diberi nama seperti halnya manusia. Itu bukan dalam rangka mistis atau syirik, tetapi dalam rangka menghormati bahwa ada makhluk lain yang juga hidup di dunia, yang diciptakan oleh Allah dan juga memiliki hak yang sama dengan manusia, jika kita berbicara tentang Hak Asasi.

Lahirnya Sekularisme adalah akibat dari peradaban manusia yang belum mengenal Tuhan dengan sebenar-benarnya pengetahuan. Kita melihat sebenarnya ketika Negara-negara yang dianggap maju mampu membangun infrastruktur, mewujudkan kesejateraan sosial bagi rakyatnya, tetapi mereka belum mencapai peradaban Abdullah. Cara berfikir dengan menganggap mereka lebih maju dari kita itu yang salah. Bahwa, ketika seseorang mengolah tanah liat menjadi batu bata, kemudian digunakan untuk membangun rumah, itu merupakan perilaku khalifah. Begitu juga ketika orang mengolah kapas menjadi benang, kemudian diolah lagi menjadi kain, baju dan seterusnya adalah peristiwa Islam. Sehingga, yang dilakukan oleh Negara-negara maju terhadap pembangunan infrastruktur dan pencapaian kesejahteraan rakyat mereka sesungguhnya yang mereka lakukan adalah Islamisasi Negara mereka, hanya saja mereka tidak memiliki legalitas resmi bahwa mereka adalah Islam.

Sementara orang Islam sendiri masih berkutat dalam wilayah Syari’ah. Pada sebuah terminologi dakwah dalam Islam, bahwa yang diperintahkan oleh Allah terlebih dahulu adalah Ud’u ilaa sabiili robbika, yang digunakan oleh Allah adalah istilah Sabiil, bukan Syarii’, bukan Thoriq, apalagi Shirot. Disini Cak Nun berpandangan bahwa untuk mulai memperkenalkan Islam kepada orang lain hendaknya kita memahami tahapan-tahapan yang secara perlahan, tidak langsung menggunakan istilah Syari’ah.

Terminologi yang sama juga berlaku sesuai dengan tadabbur Surat An-Naas. Bahwa tahapan-tahapannya adalah Robbun, Maalikun, Ilaahun. Yang seharusnya dilakukan pertama kali adalah konsep Rububiyah, kasih sayang, rendah hati, lapang dada, menerima semua dan merangkul semua. Sementara yang terjadi hari ini, baik dalam kehidupan beragama maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang lebih dahulu dilakukan adalah konsep Mulukiyah, bahkan Ilahiyah. Yang diutamakan adalah menampilkan wajah kekuasaan dan kekuatan yang dimilikinya, bukan sikap kasih sayang dan rendah hati untuk sesama manusia.

“Kalau saya tidak bisa menggunakan konsep Sekularisme. Karena saya tidak mungkin memisahkan diri saya dari Allah. Detak jantungku saja 100% disetel oleh Allah dan kelak akan dihentikan oleh Allah. Sekularisme itu lahir dari peradaban yang mengenal manusia sebagai tuhan, manusia sebagai yang paling penting dalam kehidupan”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Juni, 2017)

MENYINGGUNG SOAL Sekularisme, adalah akibat dari pemahaman bahwa Agama adalah bikinan manusia, padahal sesungguhnya Agama merupakan bikinan Allah. Tidak mungkin sebenarnya memisahkan agama seperti dalam pemahaman Sekularisme, kemanakah kita akan membuang Tuhan sedang secara naluriah kita membutuhkan Tuhan. Sekularisme lahir dari sebuah peradaban yang menganggap bahwa manusia adalah yang paling penting dalam kehidupan ini. Salah satu akibatnya adalah penggunaan istilah-istilah yang tidak pada tempatnya, seperti misalnya “religi”. Jika maksudnya adalah untuk memberi label yang ada di dunia, maka yang digunakan adalah “religius”, sementara jika yang dimaksud adalah Down to Top, maka istilah yang digunakan adalah “religiusitas”. Sementara yang datangnya Top to Down, atau yang datangnya dari Allah disebut sebagai “religion”.

“Kalau saya tidak bisa menggunakan konsep Sekularisme. Karena saya tidak mungkin memisahkan diri saya dari Allah. Detak jantungku saja 100% disetel oleh Allah dan kelak akan dihentikan oleh Allah. Sekularisme itu lahir dari peradaban yang mengenal manusia sebagai tuhan, manusia sebagai yang paling penting dalam kehidupan”, lanjut Cak Nun dalam menjelaskan bahwa kesadaran manusia hari ini belum sampai pada tahap kesadaran Abdullah.

Lebih lanjut Cak Nun menegaskan bahwa ia bukan dalam rangka tidak setuju dengan konsep Khilafah, karena konsep Khilafah yang dipahami oleh Cak Nun adalah konsep dari puncak evolusi peradaban manusia yang sudah dijabarkan di awal tadi. Sementara, manusia hari ini memerlukan setidaknya 2 tahap peradaban lagi sebelum mencapai puncak peradaban Khilafah, yaitu Peradaban Abdullah dan Peradaban Khalifah. Karena, satu-satunya pilihan manusia adalah Khalifah.

“Saya bukan dalam rangka memusuhi Sekularisme, saya hanya tidak tega kepada anda kok tidak menemukan Tuhan. Kamu pikir detak jantungmu itu karya siapa? Kok kamu bisa membuang Tuhan dari hidupmu”, Cak Nun melanjutkan. Bahkan, Pancasila yang menjadi ideologi NKRI hari ini merupakan salah satu produk dari Agama, sehingga sangat tidak mungkin Negara dipisahkan dari Agama. Lebih jauh Cak Nun menekankan bahwa Pernikahan antara laki-laki dengan perempuan merupakan konsep Agama, inisiatif Allah.

Secara perlahan, Cak Nun menjelaskan bahwa Bangsa Indonesia sejatinya sudah mencapai pada puncak peradaban Khilafah, hanya saja situasi dan kondisi yang ada saat ini di dunia secara umum baru mencapai peradaban Insaniyah (Evolusi tahap ke-empat). Maka, yang ditawarkan oleh Cak Nun adalah agar kita tidak terburu-buru untuk memaksakan Khilafah.

Seperti yang disebutkan oleh Allah, bahwa yang harus kita lakukan adalah Ud’u ilaa sabiili robbika bil hikmah. Karena, tugas manusia sejatinya adalah menyampaikan, bukan memaksakan keyakinan yang diyakini agar juga diyakini oleh orang lain. Allah sendiri yang memperingatkan manusia Inaka la tahdi man ahbabta walakinnallaha yahdi man yasyaa’. Manusia tidak akan pernah bisa memberi hidayah kepada manusia lainnya, sekalipun yang ia cintai, karena hanya Allah yang memiliki hak untuk memberikan hidayah kepada siapapun yang Dia kehendaki.

Cak Nun menjelaskan bahwa Indonesia sudah lebih maju dari Negara lain karena memiliki konsep Tauhid dalam Pancasila. Ketuhanan Yang Maha Esa, dalam pandangan Cak Nun merupakan modal yang sangat bagus bagi Indonesia untuk menuju kesadaran Abdullah. Tetapi, sayang pada aplikasinya Indonesia tidak benar-benar menerapkan konsep Tauhid ini.

Ketika akan mengelola Tambang dan Mineral yang ada di alam Indonesia misalnya, Pemerintah tidak pernah benar-benar meminta izin kepada Allah terkait ide untuk mengelolanya. Banyak masyarakat di desa-desa yang masih mentradisikan ruwatan, yang sebenarnya ini bukan dalam rangka klenik atau syirik. Masyarakat di pedesaan memahami bahwa tanah, air, udara dan alam sekitarnya adalah makhluk Allah, sehingga mereka juga harus disapa, harus disayangi, harus dimesrai.

Begitulah konsep Silmi yang dimaksudkan oleh Cak Nun berdasarkan Tadabbur yang dilakukannya. Menurut Cak Nun, pasti ada maksud tersembunyi mengapa Allah memerintahkan kepada kita dengan ayat Udkhulu fi-s-silmi kaffah. Istilah yang digunakan adalah Silmi, bukan Islam. Cak Nun memahami bahwa Silmi itu adalah perilaku, proses, perjuangan kita semampu kita untuk ber-Islam. Karena setiap manusia pasti akan menemukan caranya masing-masing dalam menuju Allah.

Syeikh Nursamad Kamba kemudian dipersilahkan oleh Cak Nun untuk menyampaikan beberapa pesan tambahan untuk Kenduri Cinta malam itu. Di awal, Syeikh Nursamad Kamba mengucapkan selamat ulang tahun ke-17 untuk Kenduri Cinta, sekaligus mengucapkan apresiasi yang tinggi kepada Penggiat Kenduri Cinta sejak awal munculnya Kenduri Cinta hingga hari ini, yang terus menerus istiqomah merawat Kenduri Cinta agar tetap terlaksana setiap bulannya.

“Saya mengikuti ceramah-ceramah Cak Nun di Maiyahan, bahkan beberapa kali saya diajak Cak Nun untuk turut serta Maiyahan di beberapa kota di Jawa Timur. Justru yang saya rasakan di Maiyah adalah Islam diperkenalkan seperti yang dimaksudkan oleh Rasulullah Saw”
Muhammad Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (Juni, 2017)

RUWAIBIDHOH SEBELUM HARI KEHANCURAN

SYEIKH NURSAMAD KAMBA bercerita bahwa selama Bulan Ramadhan kali ini ia membaca Biografi Ibnu Arabi. Satu hal yang beliau ambil hikmah dari buku tersebut, beliau merefleksikan bahwa seluruh laku hidup Ibnu Arabi terkandung dalam diri Maulana Muhammad Ainun Nadjib atau yang kita kenal sebagai Cak Nun. Syeikh Nursamad Kamba memang begitu takdzim kepada Cak Nun, sehingga beliau memiliki panggilan khusus kepada Cak Nun, yaitu Maulana Muhammad Ainun Nadjib. Syeikh Nursamad juga teringat bagaimana orang Mandar menganggap bahwa Cak Nun adalah re-inkarnasi dari Imam Lappeo, seorang Ulama besar di Mandar.

“Saya mengikuti ceramah-ceramah Cak Nun di Maiyahan, bahkan beberapa kali saya diajak Cak Nun untuk turut serta Maiyahan di beberapa kota di Jawa Timur. Justru yang saya rasakan di Maiyah adalah Islam diperkenalkan seperti yang dimaksudkan oleh Rasulullah Saw”, Syeikh Nursamad melengkapi testimoninya terhadap Maiyah.

Bagaimana Cak Nun memperkenalkan Islam melalui Maiyah disebut oleh Syeikh Nursamad sebagai representasi Islam yang sesuai dengan Islam yang dimaksudkan oleh Rasulullah Saw. Syeikh Nursamad Kamba merupakan pakar Tasawuf yang tentu saja memiliki banyak referensi kitab-kitab tentang Islam. Pengalamannya ketika membaca kitab-kitab yang ada saat ini, Islam seakan-akan justru menjauh dari Islam yang diperkenalkan oleh Rasulullah Saw dahulu kala. Ia sangat bersyukur karena dipertemukan dengan Maiyah, karena beliau merasakan bahwa seperti inilah di Maiyah seharusnya Islam diperkenalkan kepada masyarakat luas.

Membahas tema Kenduri Cinta kali ini, Ruwaibidhoh, Syeikh Nursamad Kamba sampai menyempatkan untuk membuka sebuah Kamus Bahasa Arab. Dari kamus tersebut ia menemukan fakta bahwa Ruwaibidhoh adalah kata yang berdiri sendiri, tidak ada tasrifnya dalam Ilmu Shorof. Ruwaibidhoh sendiri ialah orang yang tidak tahu apa-apa tapi sok tahu.

Dalam salah satu hadist Rasulullah Saw, Syeikh Nursamad Kamba menjelaskan bahwa munculanya manusia-manusia yang memiliki sifat Ruwaibidhoh ini merupakan salah satu tanda hari kehancuran, Kiamat. Setidaknya, ada 3 ciri Ruwaibidhoh dalam Al Qur’an yang tersirat dalam Surat Al Kahfi.

Syeikh Nursamad Kamba menjelaskan, sifat yang pertama adalah bahwa mereka ini penglihatannya tertutup, baik penglihatan mata, hati, akal, maupun batin mereka. Mereka bisa memandang tapi tidak melihat. Yang kedua adalah mereka tidak bisa mendengarkan dan tidak kuasa mendengarkan karena pendengaran mereka tertutup. Yang ketiga, mereka merasa bahwa yang dilakukannya adalah baik namun sesungguhnya itu sesuatu yang sia-sia. Lalu siapa yang menjamin anda sendiri bukan ruwaibhidoh?

Cak Nun mengajarkan kita untuk menemukan jalannya, dengan membebaskan diri kita dari hasrat ego serta meniadakan kepentingan dari dalam diri kita. Ruwaibidhoh dapat hilang bila ada hidayah dari Allah. Dan, hidayah sendiri diterima manusia dalam berbagai tingkat, rendah sampai tinggi. Syeikh Nursamad lalu menggambarkan bahwa hidayah Allah itu seperti pancaran sinar matahari ke bumi, sinarnya merata, tidak ada yang kurang tidak ada yang lebih. Hanya saja ada bagian dari bumi yang mendapat sinar sedikit, karena ada penghalangnya. Penghalangnya bisa jadi awan, bisa jadi juga karena letak geografis yang membagi zona waktu di bumi. Tetapi, pada dasarnya matahari memancarkan sinarnya itu seutuhnya sama. Maka, salah satu obat Ruwaibidhoh adalah menjalani proses panjang untuk menerima Hidayah Allah, dengan cara dirinya juga meningkatkan kualitas dalam dirinya, mulai mau mendengarkan orang lain, mau menerima pendapat orang lain, sehingga kerendah hatian dalam dirinya kembali muncul. Secara khusus, Syeikh Nursamad menjelaskan bahwa dengan kita mengikuti Maiyahan ini, kita mendapat banyak sekali pintu-pintu hidayah Allah melalui ilmu-ilmu yang disampaikan oleh Cak Nun.

“Filsosofi musik KiaiKanjeng sebenarnya dalam rangka mengupayakan dan mewujudkan bahwa seluruh aransemen musik di dunia itu adalah sebuah kesatuan, bukan hanya Nasionalisme tetapi juga Universalisme”,
Emha Ainun Nadjib Kenduri Cinta (Juni, 2017)

“RUWAIBIDHOH ITU juga bisa terjadi karena perbedaan tahap evolusi (dalam diri) nya”, Cak Nun menyambung paparan Syeikh Nursamad Kamba. Gambaran sederhanyanya, apabila kita berbicara dengan Kambing, maka Kambing yang akan menjadi Ruwaibidhoh. Karena, evolusi Kambing baru sampai pada tahap Evolusi ketiga, Hewan. Begitu juga dengan manusia sekarang yang sudah dianugerahi oleh Allah mencapai evolusi tahap keenam, Khalifatullah, maka jika berbicara tentang Khilafah kepada manusia yang masih berada pada evolusi tahap keempat, Peradaban Insan, maka manusia yang masih berada pada peradaban Insan itulah yang akan menjadi Ruwaibidhoh, mereka tidak akan faham tentang konsep Khilafah. Cak Nun menekankan bahwa Allah menawarkan konsep; A’izzah ‘ala-l-kaafiriin. Kita memang harus memiliki sifat tidak tega kepada mereka yang belum faham, kita harus menyadari bahwa memang belum waktunya Pohon Khilafah itu ditanam di tanah Indonesia hari ini.

Cak Nun kemudian menerangkan bahwa jamaah Maiyah ini ialah orang-orang yang merdeka terhadap ilmu, terbuka hijabnya, lebih terang pandangannya. Fenomena masyarakat hari ini, ketika mempelajari Ilmu Allah yang tercakup dalam Islam, di hadapan mereka terdapat banyak hijab sehingga mereka akan sangat eksklusif, mencibir orang yang menyampaikan ilmu kepada mereka, karena tidak sesuai dengan informasi yang sudah mereka terima terlebih dahulu. Ibaratnya, apabila seseorang ingin didengar suaranya, ingin disimak paparannya, maka ia harus menjadi orang besar terlebih dahulu, memiliki karya tulis yang banyak dan dilegitimasi sebagai karya ilmiah, terkenal di media massa dan media sosial, baru kemudian suaranya akan didengarkan oleh banyak orang, terutama yang memiliki pandangan yang sama.

Cak Nun menegaskan bahwa posisi manusia setelah Allah dan Rasulullah Saw itu sama di hadapan hidayah Allah. Mungkin jam terbangnya berbeda, pengalaman hidupnya berbeda, pencarian ilmu terhadap kebenaran Allah berbeda, tetapi ketika Allah menurunkan hidayah-Nya, maka posisi kita semua sama. Maka, Jamaah Maiyah adalah manusia yang sangat merdeka terhadap ilmu. “Kalau Allah memberi hidayah kepadamu, tidak ada yang bisa menghalangi hidayah Allah kepadamu”, tegas Cak Nun.

Kebahagiaan 17 Tahun Kenduri Cinta malam itu terasa lebih lengkap, setelah paparan-paparan ilmu dari Cak Nun dan Syeikh Nursamad Kamba, Mbak Via malam itu mendapat informasi bahwa putrinya, Hayya, yang sedang mengikuti Olimpiade Internasional di New York mewakili sekolahnya, mendapatkan medali Perak dalam lomba menulis dalam Olimpiade Internasional tersebut.

AAMIIN YAA ROBBAL ‘ALAAMIIN

SELANJUTNYA, Cak Nun meminta Reiza untuk juga menyampaikan sedikit testimoninya selama persentuhannya dengan Maiyah hingga hari ini. Perkenalan Reiza dengan Kenduri Cinta dan juga Maiyah tentunya sudah terjadi sejak 10 tahun lalu, bahkan lebih.

Awalnya, ia menemukan salah satu buku karya Cak Nun, hingga akhirnya ia merasa cocok dengan tulisan-tulisan Cak Nun. Yang dilakukannya kemudian adalah, hampir setiap terbang menuju sebuah Negara, ia mampir ke toko buku untuk mencari buku-buku karya Cak Nun. Bahkan, beberapa penerbit ia hubungi untuk menanyakan apakah cetakan dari buku Cak Nun masih ada atau tidak. Hingga akhirnya, ia menemukan nama penerbit Zaituna yang berada di Jogja. Kemudian, setelah menghubungi pihak penerbit yang pada saat itu ternyata adalah Cak Zakki, adik dari Cak Nun, sampailah Reiza ke Kadipiro dan ia mendapatkan beberapa buku-buku karya Cak Nun di Kadipiro. Singkat cerita, akhirnya Reiza juga mengetahui bahwa di Jakarta ada Kenduri Cinta.

“Di Maiyah, Cak Nun mengajak kita untuk terus menerus merefleksikan diri ke dalam hidup kita, salah satu efeknya adalah kita bersikap kalem. Hawa atau ritme hidup kita jadi slowing down. Yang tadinya detakan jantung kita tinggi, begitu membaca tulisan Cak Nun, mendengar rekaman audio maupun video, atau hadir langsung di Maiyahan seperti ini, secara langsung berubah menjadi kalem. Cak Nun selalu bilang bahwa kita harus lebih mengenal diri kita sendiri”, ungkap Reiza.

Reiza mengungkapkan, bahwa ia sering mengalami hal-hal yang di luar nalar dalam dunia penerbangan yang ia jalani. Reiza bercerita, bahwa setiap akan melakukan penerbangan maka ada banyak sekali persiapan yang harus dilakukan oleh pihak Maskapai penerbangan, mulai dari laik atau tidaknya pesawat untuk terbang, bahan bakarnya, kemudian cuaca di destinasi penerbangan itu sendiri, juga tentunya persiapan fisik dari Pilot beserta crew penerbangan itu sendiri. Satu hal yang Reiza ambil dari Maiyah adalah, seringkali ketika ia menghadapi cuaca yang dianggap oleh kebanyakan orang itu buruk, ia teringat apa yang pernah disampaikan oleh Cak Nun, bahwa buruk atau tidaknya sebuah fenomena itu tergantung pada sikap kita. Misalkan hujan deras turun di sebuah bandara, jika kita menganggap sebagai cuaca buruk, maka menurut Reiza aura buruk itu akan memantul ke dalam diri kita. Padahal, turunnya hujan di suatu tempat tidak ada hubungannya dengan baik atau buruk, karena itu merupakan salah satu rahmat Allah.

“Sebisa mungkin reaksi pertama saya ketika mengetahui informasi cuaca di destinasi penerbangan saya adalah reaksi yang positif”, tutur Reiza yang terus bercerita bahwa sejauh ini tidak pernah menganggap cuaca itu jelek atau buruk, apapun cuacanya. Sehingga, yang sering ia lakukan ketika hendak menerbangkan pesawat adalah ia ‘sok akrab’ dengan Allah. Dalam hati Reiza biasa bergumam, Ya Allah, saya terbang kesana niatnya baik, maka saya berharap agar dimudahkan penerbangan saya ini.

Seringkali Reiza mengalami, hujan turun di sebuah Bandara sebelum pesawatnya mendarat dan ketika ia mendaratkan pesawat hujan sudah reda, atau juga terjadi ketika ia sudah mendarat di sebuah bandara yang sebelumnya dikabarkan hujan turun, justru hujan baru turun setelah ia memarkir pesawat di bandara tersebut. Banyak hal yang sebelumnya kita anggap masuk akal, tetapi pada akhirnya karena ilmu yang kita dapat di Maiyah, akhirnya menganggap hal-hal tersebut merupakan hal yang masuk akal.

Di Maiyah Reiza mendapatkan konsep untuk mampu menenangkan hati sehingga mampu menyikapi dengan tenang berbagai persoalan yang dihadapi. Salah satu kesan Reiza setiap membaca buku-buku Cak Nun, bahkan yang buku tahun 70-an sekalipun, selalu merasa kontekstual. Seakan-akan Cak Nun baru menulis tulisan dalam buku tersebut hari ini, padahal buku itu sudah diterbitkan 30 tahun yang lalu, bahkan lebih.

“Di Maiyah, Cak Nun mengajak kita untuk terus menerus merefleksikan diri ke dalam hidup kita, salah satu efeknya adalah kita bersikap kalem. Hawa atau ritme hidup kita jadi slowing down. Yang tadinya detakan jantung kita tinggi, begitu membaca tulisan Cak Nun, mendengar rekaman audio maupun video, atau hadir langsung di Maiyahan seperti ini, secara langsung berubah menjadi kalem. Cak Nun selalu bilang bahwa kita harus lebih mengenal diri kita sendiri”,
Reiza Kenduri Cinta (Juni, 2017)

DARI ANDRE DWI, ada 2 poin yang setidaknya diambil, jika di tempat lain kita mengenal Trimurti, Trinitas hingga Trias Politika, maka di Maiyah ia mengambil salah satu judul puisi Cak Nun, Tiga Kota, yang kemudian juga mensinergikannya dengan Segitiga Cinta. Nilai-nilai inilah yang menurut Andre adalah ilmu yang sangat otentik dan orisinal dari Cak Nun.

Perkenalan Andre sendiri dengan Cak Nun jsutru tidak berawal dari buku, diakuinya ia sangat jarang membaca buku-buku Cak Nun. Di awal-awal perkenalannya dengan Maiyah, Andre sering singgah di Menturo, di rumah Cak Nun, dan cukup akrab dengan Ibunda Cak Nun disana. Nilai-nilai yang ia dapatkan di Maiyah, kemudian ia bawa di tempat kerja untuk diformulasikan dalam beberapa kebijakan-kebijakan yang diambil di tempat ia bekerja.

Kemudian, Syahid Ibrahim bercerita bahwa ia sejak SMP kelas 2 sudah berkenalan dengan Cak Nun melalui buku-buku yang ia koleksi. Ia mencari dari buku-buku Cak Nun, dan saat itu dengan sudut pandang Cak Nun ia dianggapnya memiliki pemikiran yang aneh, karena ketika masih SMP sudah memiliki pandangan tentang hidup yang berbeda dari orang kebanyakan di sekitarnya. Hingga akhirnya pada tahun 2000, ketika ia kuliah, berkesempatan bertemu dengan Cak Nun dan menginisiasi lahirnya Kenduri Cinta yang awalnya hanya ingin agar forum seperti PadhangmBulan juga hadir di Jakarta.

Karena, yang dibahas di Kenduri Cinta oleh Cak Nun adalah metodologi berfikir. “Saya ini kalau bersama Cak Nun yang timbul adalah rasa romantisme. Pernah suatu waktu saya memiliki kesempatan berdua dengan Cak Nun, saya memohon kepada beliau untuk memanggil dengan panggilan Bapak”, ungkap Syahid.

“Sekarang kita bergembira, kita sudah halal dan thoyyib untuk bergembira, karena kita sudah bertafakkur, setor kepada Allah kesungguhan hati kita, dan Allah akan mengembalikan kepada anda berupa cahaya, rizki, ketentraman dan kenyamanan bersama siapapun yang ada dalam kehidupan anda. Sekarang kita puncaki dengan Mas Beben dan KiaiKanjeng”, Cak Nun lalu mengantarkan Beben Jazz berkolaborasi dengan KiaiKanjeng.

Beben bersama beberapa anak didiknya kemudian berkolaborasi dengan KiaiKanjeng membawakan nomor; “Knockin On Heavens Door” milik Gun’s N’ Roses dan “Bento” karya Iwan Fals. Dua nomor yang diaransemen secara langsung di panggung Kenduri Cinta dinihari itu. Kolaborasi musik baik dari Beben Jazz maupun KiaiKanjeng begitu apik meskipun aransemen yang ditampilkan adalah aransemen dadakan.

Tidak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 3 pagi, tentu tidak mungkin Kenduri Cinta diteruskan hingga jam 4 karena di Bulan Ramadhan harus melakukan sahur. Cak Nun memuncaki Kenduri Cinta malam itu dengan memimpin do’a bersama dan secara seremonial Mbak Via menyerahkan sepiring nasi kuning kepada salah seorang Jamaah Kenduri Cinta. Semoga kegembiraan 17 tahun Kenduri Cinta tidak ingin berhenti, tetapi terus berlangsung hingga seterusnya. Aamiin Ya Robbal ‘alamiin.