Rendah Hati Mensyukuri Nasib

BEBERAPA HARI yang lalu, caknun.com merilis Tajuk yang berjudul: KEPEMIMPINAN HIDUP WARGA NEGERI MAIYAH. Sebuah Tajuk yang khusus ditulis oleh Cak Nun untuk menjadi bekal Jamaah Maiyah yang sifatnya tidak hanya untuk jangka pendek memasuki tahun Politik 2018-2019. Tetapi juga lebih substansial, salah satunya untuk menjadi pijakan dalam penyusunan Piagam Maiyah yang sedang berlangsung.

Salah satu tujuan dari Piagam Maiyah adalah untuk menjadi pedoman hidup bagi Jamaah Maiyah di masa yang akan datang. Sebagai manusia, kita harus tetap menyadari bahwa kita hidup di dunia ini akan selalu membutuhkan orang lain dan akan selalu bersinggungan dengan orang lain. Selain itu, seringkali dalam menjalani kehidupan ini kita merasa sombong bahwa pencapaian prestasi atau kesuksesan yang kita rasakan adalah 100% hasil usaha kita sendiri. Sementara ketika kita mengalami kegagalan dalam sebuah proses, terkadang kita justru menyalahkan takdir Tuhan atas apa yang Dia kehendaki kepada kita. Hari ini kita hidup di zaman dimana manusia tidak mencari dirinya sendiri dan kehendak Tuhan, kita hidup dimana manusia mengutamakan hawa nafsunya dalam berlaku.

Di Maiyah, kita mengenal sebuah wacana apakah kita ini manusia wajib, manusia sunnah, manusia mubah atau halal, manusia makruh dan manusia haram. Manusia wajib adalah ia yang wajib ada, apapun situasi dan kondisi di lingkungan sekitarnya, ia wajib ada. Sementara manusia sunnah adalah jenis manusia yang ia sebaiknya ada juga boleh tidak ada. Kehadirannya bukan sebuah keharusan, sementara ketidakhadirannya juga bukan merupakan sebuah musibah. Namun ia memiliki sebuah privilege; sebaiknya dia ada.

Sementara manusia mubah atau halal adalah manusia yang tidak memiliki pengaruh apapun, ada atau tidaknya ia bukan sebuah kewajiban. Manusia makruh adalah manusia yang sebaiknya dia tidak ada di sebuah lingkungan, sementara manusia haram adalah manusia yang harus tidak ada di sebuah kelompok masyarakat. Harapan kita tentunya adalah jangan sampai kita menjadi manusia makruh apalagi manusia haram. Syukur kita adalah manusia halal, lebih baik lagi kita adalah manusia sunnah dan lebih mulia lagi kita adalah manusia wajib.

Bahkan terkadang, ketika tetangga atau saudara kita sedang mengalami kesulitan, belum tentu kita adalah manusia yang wajib ada untuk memberikan solusi. Justru bisa jadi kita adalah manusia yang haram untuk memberi solusi kepadanya, karena bisa jadi solusi yang kita berikan menambah masalah yang baru baginya. Sering pula kita terlalu percaya diri bahwa apa yang kita lakukan adalah dalam rangka memberikan solusi, dan kita tidak benar-benar memikirkan dan mempertimbangkan apakah solusi yang kita tawarkan adalah untuk maslahat atau justru menambah musibah.

Kita beriman kepada Qadla dan Qadarnya Allah, seperti yang tercantum dalam Rukun Iman yang 6 jumlahnya itu. Sementara, kita juga memiliki peluang untuk senantiasa berikhtiar dan berusaha dalam menjalani kehidupan kita di dunia ini. Sebagai seorang Khalifah, kita dibekali akal, fikiran, hati dan nafsu sehingga kita mengelola semuanya itu untuk kita jadikan media dalam proses perjuangan hidup di dunia.

Namun, kita sering lupa bahwa hawa nafsu kita sering kita jadikan pijakan utama dalam hidup ini. Kita lebih sering memuaskan nafsu kita daripada mempertimbangkan logika kita. Siapa yang tidak ingin hidup mulia, banyak harta, penuh kehormatan, popularitas serta kemewahan? Mayoritas manusia di dunia saat ini menginginkan kehidupan yang demikian.

Dalam skenario besar kehidupan di dunia ini, Allah pun telah menetapkan siapa yang memang menjadi manusia wajib, manusia sunnah, manusia halal, manusia makruh dan manusia haram. Juga dalam kondisi kelapangan harta. Ada manusia yang memang wajib menjadi kaya, ada manusia yang ia sunnah menjadi kaya, ada manusia yang halal menjadi kaya, ada manusia yang makruh menjadi kaya dan juga ada manusia yang haram menjadi kaya.

Kita sebagai manusia biasa memang tidak bisa mengidentifikasi apalagi menunjuk hidung bahwa si A adalah manusia yang wajib kaya dan si B adalah manusia yang haram untuk menjadi kaya. Hanya saja, kita diberikann anugerah berupa akal, sehingga kita bisa mengidentifikasi bahwa si A seharusnya memang adalah manusia yang wajib kaya dan si B adalah manusia yang haram untuk kaya. Tentu saja penilaian itu bukan untuk kemudian diumum-umumkan ke khalayak ramai, cukup menjadi hikmah bagi diri kita masing-masing, untuk menjadikan pelajaran berharga bagi kita atau setidaknya bagi keluarga dan orang-orang di sekitar kita.

Dari hal-hal sepele yang kita lihat, kita bisa menilai bahwa seseorang seharusnya tidak menjadi manusia yang kaya karena caranya mendapatkan harta menggunakan cara yang tidak benar, tidak baik dan tidak indah. Kita di Maiyah terbiasa mempertimbangkan apakah sebuah perilaku atau tindakan yang kita lakukan adalah peristiwa yang benar, baik dan indah. Tidak bisa kita hanya mengambil  keputusan bahwa sebuah tindakan yang kita ambil adalah tindakan yang benar. Kebenaran di Maiyah harus kita sinergikan dengan Kebaikan dan Keindahan.

Fakta sebuah kebenaran tidak serta merta kita ungkapkan kepada orang lain. Kita harus mengungkapkan sebuah kebenaran dalam bingkai kebaikan serta keindahan, sehingga output yang kita ciptakan adalah kemuliaan. Ketika ada tetangga kita yang kakinya pincang, apakah kita akan memanggilnya; Si Pincang? Tentu saja tidak. Pincangnya kaki tetangga kita itu adalah sebuah kebenaran, tetapi bukan berarti kebenaran itu kita umum-umumkan di depan umum.

Begitu juga ketika kita mengetahui misalnya tetangga kita menjadi orang yang kaya raya dan kita mengetahui bahwa ia mendapatkan hartanya itu dengan cara yang salah, korupsi misalnya. Apakah kita juga akan tega ketika kita bertemu dengannya di jalan, kemudian kita memanggilnya dengan sapaan; Maling atau Koruptor? Tentu tidak.

Kembali ke jenis manusia, terkadang kita tidak menyadari bahwa ada jarak antara ikhtiar kita dengan takdir Allah. Kita memang tidak mampu menghitung jarak tersebut, sayangnya kita juga tidak menyadari bahwa ada jarak tersebut. Belum tentu seluruh peristiwa yang kita alami hari ini adalah takdir Allah kepada kita. Tidak sepenuhnya yang kita alami adalah Takdir Allah untuk kita, tetapi juga sebaliknya bahwa tidak sepenuhnya yang kita dapatkan hari ini adalah 100% hasil ikhtiar kita.

Dengan metode berfikir seimbang, melatih diri terus menerus untuk menemukan presisi yang tepat dalam menjalani kehidupan ini, secara tidak sadar kita semakin terlatih untuk menentukan apakah langkah yang akan kita ambil adalah langkah yang tepat atau tidak. Apakah keputusan yang kita ambil adalah keputusan yang tepat atau tidak.

Alhamdulillah kita dipekernalkan dengan Maiyah. Kita bersyukur karena Allah menganugerahkan Maiyah kepada kita. Kita belajar begitu banyak ilmu di Maiyah. Dengan proses yang kita alami di Maiyah hari ini, kita bersama-sama menyadari bahwa ada banyak hal yang berlaku di kehidupan kita hari ini yang seharusnya tidak dilakukan oleh kebanyakan orang. Sementara yang seharusnya dilakukan justru ditinggalkan. Peradaban dunia hari ini dipenuhi oleh manusia-manusia yang sombong yang merasa bahwa segala perbuahan yang terjadi di dunia ini adalah murni atas kerja kerasnya, mengeliminir peran Allah didalamnya.

Benar bahwa kita sebagai manusia diberi hak untuk berusaha. Tetapi kita harus tetap menyadari bahwa Allah adalah Yang Maha Berkehendak. Innallaha laa yughoyyiru maa bi qoumin hatta yughoyyiru maa bi anfusihim. Meskipun kita diberi hak untuk berjuang, kita harus tetap memiliki kesadaran bahwa Allah jualah Yang Maha Berkehendak. Sebagai manusia biasa, kita tetap harus berikhitar mengusahakan yang terbaik bagi kita menurut Allah, tentu saja dalam pijakan yang kuat bahwa kita tidak meragukan keajaiban dan kasih sayang Allah untuk kita.