Refleksi Berkah dan Kegembiraan Maiyah Kenduri Cinta 2015

15 tahun perjalanan Maiyah Kenduri Cinta hadir di ibukota Jakarta memposisikan dirinya sebagai laboratorium pembelajaran berbagai ilmu pengetahuan, melatih yang hadir untuk berpikir anti-mainstream, agar setiap individu memiliki wacana tersendiri yang orisinil, yang lahir dari dalam dirinya. Mencari apa yang benar, bukan siapa yang benar. Sebuah landasan pemikiran yang dikuatkan, sehingga tidak ada kesempatan untuk merasa benar sendiri, untuk menyalahkan orang lain, untuk menjustifikasi orang lain; benar atau salah.

Forum Maiyah Kenduri Cinta —telah terselenggara selama 15 tahun— menempatkan diri sebagai sebuah laboratorium pemikiran, pembelajaran dari berbagai ilmu pengetahuan, melatih cara-cara dan metode berpikir yang orisinil lahir dalam diri masing-masing. Mencari apa yang benar, bukan siapa yang benar. Sehingga tidak ada kesempatan untuk merasa benar sendiri, untuk menyalahkan orang lain, untuk menjustifikasi benar atau salah.

Cak Nun, sebagai guru utama di Maiyah tidak pernah berhenti menyampaikan ilmu-ilmu baru kepada jamaah Maiyah, butiran-butiran nilai yang disampaikan Cak Nun menjadi bekal bagi setiap hadirin, bahkan seringkali nilai-nilai yang disampaikan merupakan sebuah file yang baru, laksana buah yang segar yang baru dipetik dari pohonnya. Seperti yang disampaikan oleh Cak Nun di Kenduri Cinta edisi Januari 2015, terkait terminologi ‘cangkul’, ‘pedang’ dan ‘keris’. Terminologi ini mengajarkan kepada manusia untuk menentukan skala prioritas dalam hidupnya. Contoh yang paling nyata adalah bagaimana ketika seorang mahasiswa menyelesaikan tugas akhir kuliahnya sebelum diwisuda. Apakah tugas akhir tersebut akan dijadikan sebagai’cangkul’, ‘pedang’ dan ‘keris’ itu tergantung pada proses penyelesaiannya. Singkatnya, cangkul merupakan lambang ekonomi, pedang merupakan lambang kekuasaan dan keris merupakan lambang kewibawaan.


Pada bulan-bulan sebelumnya, sudah dibahas bahwa manusia berlomba-lomba untuk menjadi orang kaya. Seorang intelektual menggunakan segala daya dan upaya agar menjadi orang kaya. Orang yang memiliki kekuatan secara fisik berjuang juga agar menjadi orang kaya. Lebih parahnya lagi, sebagian manusia menggunakan kemampuan intelektualnya dalam bidang agama, ikut berlomba-lomba menjadi orang kaya. Mereka merasa enggan dan tidak puas menjadi orang yang baik dan alim, karena pada faktanya orang yang memiliki kekayaan begitu dihormati dan disanjung oleh banyak orang, bahkan penguasa lebih mudah ditaklukan oleh kekayaaan.

Fenomena itu mengakibatkan kegagalan manusia dalam menentukan mana mutiara dan mana bebatuan. Dalam sistem politik demokrasi suara setiap orang memiliki kadar sama, seorang doktor memiliki suara yang sama dengan seorang tukang becak, sehingga seseorang akan gagal menjadi pemimpin jika hanya didukung oleh 30 suara doktor, karena tetap kalah oleh seorang yang didukung oleh 50 tukang becak. Terminologi ‘mutiara’ dan ‘batu’ ini bisa juga hanya dipahami sebagai metafor, bahwa tukang becak belum tentu kualitasnya seperti batu dan seorang doktor dipastikan berkualitas mutiara. Dalam Islam dikenal sebuah istilah undhzur maa qoola, walaa tandhzur man qoola, perhatikan apa yang dibicarakan bukan siapa yang berbicara.

Rasulullah Muhammad SAW merupakan contoh nyata bagaimana seorang pedagang, yang dilahirkan dalam keadaan yatim, menjadi manusia pilihan untuk menjadi seorang Nabi yang diutus sebagai puncak dari kesempurnaan Allah. Beliau manusia biasa namun beliau mutiara diantara bebatuan. Kita kini begitu nyata gagal menemukan mana ‘batu’ dan mana ‘mutiara’.

“Banyak hal yang kita lakukan yang tidak kita minta, banyak hal yang kita alami yang tidak kita minta. Tetapi pengertian tentang permintaan yang harus kita perluas. Mungkin kesadaran anda tidak meminta, tetapi keseimbangan tubuh anda yang meminta.
”

Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Jan, 2015)

kcall1

Sosok Cak Nun merupakan guru utama di Maiyah merupakan sebuah fakta yang tidak terbantahkan, tetapi bukan berarti jika Cak Nun tidak hadir maka forum majelis ilmu Maiyah berjalan tanpa nilai dan ilmu. Dalam beberapa kesempatan Kenduri Cinta membuktikan bahwa meskipun Cak Nun tidak hadir, tetapi forum berjalan biasa dan tetap sarat nilai dan ilmu. Kenduri Cinta mampu mengolah sebuah forum diskusi yang berjalan dua arah, melibatkan jamaah yang hadir untuk ikut memberikan wacana, apapun dimensi ilmu dan pengetahuannya, semua memiliki kebebasan yang sama untuk berwacana dan semua juga memiliki kebebasan sama untuk setuju atau tidak setuju.

Rumah Maiyah, Kadipiro, sebagai pusat dari Maiyah bersama Isim Maiyah di tahun 2015 juga semakin intens mengawal jalannya forum-forum Maiyah di setiap kota yang ada, dengan memberi sebuah pijakan ilmu untuk kemudian dijadikan sebagai landasan berjalannya diskusi, seperti yang terjadi di Kenduri Cinta edisi Maret 2015, dimana Rumah Maiyah memberikan sebuah pijakan kepada simpul-simpul Maiyah untuk mengelaborasi kembali makna jihad dan syahid. Jika kita melihat ke bulan Maret 2015, Kenduri Cinta menyajikan sebuah forum diskusi yang sangat hidup, dimana narasumber dan audiens terlibat aktif saling melontarkan wacana satu sama lain, bahkan Cak Nun sendiri yang sebenarnya hadir sejak awal, memilih untuk duduk lesehan di area paling belakang melebur bersama jamaah menikmati jalannya forum dan baru naik ke panggung menjelang pukul 3 dinihari. Dan akhirnya, Cak Nun saat itu memungkasi forum Kenduri Cinta yang mengangkat tema Ateisme Agama dengan begitu banyak sekali nilai-nilai dan ilmu yang segar.

Penguatan organisme Maiyah di tahun 2015 ini menjadi salah satu tema besar pasca Silaturahmi Nasional (Silatnas) Penggiat Maiyah di penghujung tahun 2014 di Baturraden. Momentum pertemuan itu menjadi batu pijakan bagi setiap simpul untuk lebih fokus bergerak kedalam, yaitu merapatkan barisan. Meskipun demikian tetap tidak melupakan pergerakan keluar. Pada perjalanannya, beberapa simpul baru lahir sebagai tunas baru ditengah pohon-pohon yang sudah kuat. Juguran Syafaat, Maneges Qudroh, Maiyah Relegi, Maiyah Tunggal Karep, Waro’ Kaprawiran, Jamparing Asih, Maiyah Kanoman hingga Suluk Pesisiran merupakan tunas-tunas muda yang baru lahir, yang menyemai bukan dalam rangka menampakkan dan memamerkan kekuatan, melainkan untuk memperkuat satu sama lain, agar nilai-nilai Maiyah lebih luas tersalurkan.

“Orang Maiyah harus siap bahwa hidup ini tidak sama dengan apa yang kamu inginkan, tidak sama dengan apa yang kamu pikirkan, bahkan hidup ini bisa saja berlaku sebagaimana yang kamu benci.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Mar, 2015)

Kenduri Cinta, dalam perjalanan 15 tahun di tahun 2015 ini mampu menyajikan sebuah forum diskusi yang benar-benar dirasakan oleh setiap yang hadir menjadi sebuah oase kehidupan. Ketika setiap hari kita harus terbentur dengan kehidupan dunia yang makin tak menentu, Kenduri Cinta menyajikan laboratorium ilmu, menawarkan wacana dan pemikiran alternatif, mampu memompa kepercayaan diri untuk berani berdaulat mengambil keputusan.

Di tahun 2015, Gamelan KiaiKanjeng berkesempatan hadir di Kenduri Cinta, tentu saja bukan dalam rangka menyajikan pagelaran seni atau penampilan musik saja, melainkan sebagai salah satu kurikulum pembelajaran kehidupan yang merupakan salah satu sumur ilmu di Maiyah. Perjalanan Cak Nun dan KiaiKanjeng sudah lebih dari 20 tahun, melintasi berbagai daerah di Indonesia hingga lintas benua, tentu ada banyak nilai yang dapat ditimba dari mereka.

Sejarah perjalanan Maiyah tidak bisa dilepaskan dari KiaiKanjeng yang menjadi motor utama bagi Cak Nun untuk kembali menghidupkan tradisi shalawatan di Indonesia. Pasca reformasi, Cak Nun dengan dukungan Cak Dil dan Cak Yus, bersama Mini KiaiKanjeng berkeliling ke pelosok-pelosok Jakarta menghidupkan kembali tradisi sholawatan, hingga akhirnya dikenal saat itu kelompok HAMAS (Himpunan Masyarakat Shalawat). Dan perjalanan KiaiKanjeng pada hakikatnya, tidak pernah bisa dilepaskan dari dinamika kehidupan politik di Indonesia, sejak dari awal kemunculannya. Bahkan sejak lahirnya Karawitan Dinasti — yang merupakan cikal bakal Gamelan KiaiKanjeng, Cak Nun bersama Nevi Budianto, Joko Kamto dan beberapa seniman di Jogja saat itu mengekspresikan perlawanan terhadap rezim orde baru melalui pementasan musik puisi.

Dari KiaiKanjeng, kita belajar sangat banyak ilmu dan nilai-nilai kehidupan. Sebuah kelompok musik yang mayoritas pemain musiknya tidak memiliki latar belakang ilmu musik, tetapi mampu meramu sebuah notasi nadanya sendiri, sehingga KiaiKanjeng mampu memangku semua aliran musik yang ada di dunia untuk diaransemen ulang dan dibawakan dengan sangat apik. Gamelan KiaiKanjeng bersama Cak Nun adalah yang mempopulerkan kembali tembang Lir-Ilir dan Tombo Ati pada dekade 90-an. Perpaduan kualitas puisi karya Cak Nun dikolaborasikan dengan aransemen-aransemen Gamelan KiaiKanjeng yang dipimpin oleh Nevi Budianto menghasilkan nomor-nomor yang begitu khas, baik lagu, instrumen, musik puisi bahkan musikalisasi puisi.

“KiaiKanjeng melewati berbagai rezim. KiaiKanjeng melewati berbagai dinamika sosial, politik dan kebudayaan. Dan sampai detik ini KiaiKanjeng masih eksis. KiaiKanjeng fenomenal dan memiliki masa depan.”
Bambang Isti Nugroho, Kenduri Cinta (Mei, 2015)

kcall3

Tahun 2015 ini juga merupakan ‘aamu-l-huzni bagi jamaah Maiyah, sehingga secara khusus Padhangmbulan edisi Juni 2015 dikhususkan untuk mengenang beberapa sosok-sosok yang ikut berjuang di Maiyah. Mereka adalah yang oleh Allah sudah dinyatakan lulus dari kehidupan ini, yang sudah meninggalkan banyak sekali hikmah dan pembelajaran, sehingga Allah mencukupkan usia mereka di dunia. Dzikral Ahibba’, bukan dalam rangka berduka atas kepergian saudara-saudara kita, melainkan dalam rangka mengambil nilai-nilai yang pernah ditampakkan oleh mereka yang sudah tiada, mengejawantahkan nilai innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun, serta meyakini hikmah yaa ayyatuha-n-nafsu-l-muthmainnah irji’ii ilaa robbiki roodhliyatan mardhliyyah, fadkhulii fii ‘ibaadii, wadkhulii jannatii.

Kultur yang terbuka, egaliter, partisipatoris dan saling menghargai pendapat satu dan yang lain memang telah menjadi nuansa khas forum Maiyah, bukan hanya di Kenduri Cinta namun juga di banyak tempat dimana maiyahan berlangsung. Selama bertahun-tahun, Cak Nun menuntun bagaimana sebuah forum diskusi yang demokratis dan plural dapat terselenggara baik oleh masyarakat. Hal ini juga memberikan bukti bahwa masyarakat Indonesia pada dasarnya telah memiliki kedewasaan dalam menyerap nilai-nilai demokrasi, liberalisasi atau apapun yang datang dari luar tanpa mengabaikan kebersamaan dan kerukunan diantara mereka. Perjalanan maiyahan yang telah berlangsung selama 15 tahun terakhir, menjadi bahan baku yang mustinya tak habis-habis diekplorasi.

“Apa saja (yang didiskusikan) di Kenduri Cinta bersifat relatif kecuali Allah dan Rasulullah. Anda harus menemukan dan mencari sendiri kebenaran itu, sampai ia tumbuh secara murni dan otentik dari akal pikiran dan hati anda.”

Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Jun, 2015)

Hampir di setiap Jumat minggu kedua pada setiap bulannya, pelataran Taman Ismail Marzuki dihadiri oleh mereka yang begitu merasakan kerinduan terhadap Kenduri Cinta. Penggiat Kenduri Cinta yang meracik jalannya forum majelis ilmu ini pun mampu mengemas secara apik, anak-anak kelompok hadroh beberapa kali dihadirkan untuk tampil mengajak jamaah yang hadir bershalawat bersama, tidak jarang pula beberapa orang menampilkan karya puisinya untuk dibacakan, suguhan tari-tarian, teater, juga grup musik mulai dari yang akustik, full band hingga big band juga dihadirkan di Kenduri Cinta. Semaraknya forum Maiyah di Kenduri Cinta ini tentunya tidak lepas dari menggeliatnya para penggiat di forum-forum Maiyah di simpul yang lainnya.

Kenduri Cinta hadir dalam bentuk forum yang sangat cair, meskipun demikian Cak Nun selalu tegas dalam persoalan akidah. Di Maiyah, meskipun diskusi yang berjalan begitu cair, tetapi pada konteks tertentu pada hakikatnya merupakan padatan-padatan yang tidak bisa diganggu gugat. Di Maiyah, semua meyakini bahwa aqidah dengan bertauhid kepada Allah SWT merupakan sebuah hal yang mutlak. Begitu pula dengan persoalan syariat, bahwa apa yang sudah diajarkan oleh Rasulullah SAW melalui rukun islam merupakan sebuah prosedur yang sudah baku, yang tidak berhak bagi siapapun untuk merubahnya.

Penguatan benteng seperti inilah yang juga merupakan fondasi utama Maiyah, sehingga di setiap forum Maiyah, orang berdatangan tanpa harus memikirkan tentang keyakinan, bahkan gender. Di Maiyah, semua berkumpul tanpa adanya sekat pembatas, baik itu keyakinan, ideologi, suku, ras, usia bahkan jenis kelamin. Semua yang hadir menyadari bahwa mereka hadir di sebuah forum Maiyah sebagai manusia, sehingga semua merasa eman satu sama lain, semua merasa aman satu sama lain, dan semua merasakan kerinduan yang sama, sehingga mereka merasa ingin hadir kembali di forum tersebut di bulan selanjutnya.

Forum diskusi yang berjalan selepas isya’, dan seringkali berakhir menjelang subuh seakan tidak memberikan efek lelah secara fisik, seluruhnya duduk menekun berjam-jam menikmati kekhusyukan berdiskusi satu dengan yang lainnya. Kenduri Cinta yang dilaksanakan pada hari jum’at mungkin menjadi alasan tersendiri mengapa jama’ah yang hadir merasa betah, karena di hari sabtunya mereka memiliki waktu yang cukup untuk istirahat. Tetapi yang terjadi di Padhangmbulan, Mocopat Syafaat, BangbangWetan dan Gambang Syafaat menjadi keunikan tersendiri, karena forum-forum Maiyah tersebut dilaksanakan bukan berdasarkan hari, melainkan berdasarkan tanggal. Tetapi pada kenyataannya hal tersebut tidak mengurangi antusiasme jamaah untuk hadir.

“Kalau anda mencintai Maiyah, mari kawinkan kecintaan itu dengan kebenaran. Kalau anda mencintai kebenaran Maiyah, mari kita kawinkan kebenaran itu dengan kebaikan. Supaya kalau benar dan indah dan baik ini berjodoh, maka anda akan mendapatkan sesuatu yang lebih tinggi lagi yaitu kemuliaan.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Jul, 2015)

DSC_1578

Banyak sekali tudingan yang ditujukan kepada Cak Nun, bahwa apa yang dilakukan selama ini dengan berjalannya Majelis Ilmu Maiyah di berbagai kota merupakan dalam rangka mobilisasi massa dengan tujuan tertentu. Sebagian orang seakan tidak percaya bahwa kehadiran Maiyah ini merupakan salah satu bentuk pendidikan multidimensi ilmu pengetahuan yang sangat nyata. Semua yang hadir memiliki hak yang sama untuk berwacana, dan semua yang hadir memiliki hak yang sama untuk setuju atau menolak wacana yang ada. Karena semangat yang dibangun adalah mencari kebenaran, bukan siapa yang benar. Dan semua yang hadir terlatih untuk tidak berhenti mencari kebenaran, sehingga tidak ada celah untuk meligitimasi bahwa dirinya adalah yang paling benar.

Tidak semua dari kita yang saat ini ikut bergabung di Maiyah merasakan perjuangan pada tahap memunculkan dan memperkenalkan Maiyah kepada masyarakat luas. Sebuah forum yang begitu cair, tidak dijanjikan apa-apa, semua datang atas kemurnian dirinya masing-masing, sehingga semuanya mendapatkan nilai-nilai yang sangat mudah untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.

Bisa dikatakan, Maiyah merupakan sebuah forum yang disokong oleh para penggiat yang sangat menjunjung tinggi loyalitasnya. Para penggiat Maiyah di setiap simpul merasakan kegembiraannya dalam menjaga nilai-nilai Maiyah. Menikmati tahapan demi tahapan setiap proses, mulai dari mempersiapkan tema diskusi, menyiapkan tempat maiyahan, menggelar karpet, memasang tenda, backdrop, dan sound system, hingga proses dokumentasi dari berjalannya forum diskusi setiap bulannya merupakan sebuah pencapaian yang indah, bukan dalam rangka untuk dibangga-banggakan melainkan untuk tahaddus bi-n-ni’mah satu sama lain.

“Sesungguhnya inti dan energi Alquran sudah ada dalam dirimu. Seandainya tidak ada Islam asalkan manusia benar-benar menjadi manusia sejati, maka sesungguhnya tidak akan terjadi kerusakan-kerusakan di bumi ini.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Jan, 2015)

Maiyah secara luas melakukan proses yang sebenarnya bukan merupakan sebuah kewajiban untuk dilakukan oleh Maiyah; pendidikan agama, politik, kesehatan, sosial, budaya, ekonomi dan berbagai bidang ilmu pengetahuan selalu disajikan oleh forum-forum Majelis Ilmu Maiyah di setiap simpul. Sedekah Maiyah kepada Indonesia secara terus menerus, tanpa menuntut imbal balik dari Indonesia merupakan puncak kecintaan orang maiyah kepada Indonesia.

Bahkan, fenomena yang terlihat di setiap maiyahan bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng saat ini membuktikan bahwa begitu merindunya masyarakat akan sebuah kebersamaan dan kemesraan ditengah perpecahan yang ada saat ini. Cak Nun dan KiaiKanjeng menanamkan semangat kebersamaan dengan metode cinta segitiga, dimana Allah dan Rasulullah SAW selalu dihadirkan dan dilibatkan dalam kehidupan sehari-hari. Maiyah menanamkan kembali dan memperkuat bahwa semua yang ada di alam semesta ini sejatinya adalah remeh, kecuali Allah dan Rasulullah SAW.

Kegembiraan bershalawat, kegembiraan belajar bersama, kegembiraan memetik nilai-nilai kehidupan berpuncak pada sebuah cinta yang mendalam satu sama lain. Maiyah mampu menyatukan semua lapisan masyarakat, tanpa adanya sekat. Semua merasakan kerinduan yang sama satu sama lain, sehingga semua merasa eman hatinya untuk tidak hadir kembali di forum Maiyah setiap bulannya.
Salah satu keunikan Maiyah adalah tidak adanya sistem yang bersifat otoritatif, sehingga dengan aturan main seperti ini, Maiyah membebaskan kepada jamaahnya untuk menentukan pilihan-pilihan dalam pengambilan keputusan yang diambilnya. Cak Nun dan narasumber yang hadir tidak jarang memberikan contoh-contoh berdasarkan pengalaman yang sudah dialami, hal ini semata-mata dalam rangka memberikan satu metode agar setiap yang hadir memiliki wacana dan pengetahuan sebagai landasan pengambilan keputusan dalam hidupnya.

Dengan aturan main seperti ini, secara eksplisit Maiyah bahkan menanamkan kepada setiap individu yang hadir mengambil keputusan dalam kehidupan berdasarkan kemurnian dirinya sendiri, dalam segala hal. Bahkan untuk persoalan syariat sekalipun Cak Nun selalu menegaskan bahwa pilihan untuk melakukan sebuah laku syariat bukan berdasarkan sosok yang ditemui saat ini, melainkan atas dasar kedaulatan yang ada dalam diri masing-masing.

“Kebenaran sejati sesungguhnya adalah hak prerogatif Allah, sesungguhnya anda tidak akan mampu menemukan Allah, tetapi Allah yang akan menemui anda.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Nov, 2015)

kcall4

Di penghujung tahun 2015 ini, Cak Nun secara khusus memberikan tema yang sangat mendasar, tetapi bermuara pada sebuah perasaan yang sangat mendalam; Cinta. Allah yang menampilkan dirinya melalui sifat Ar Rahman dan Ar Rahiim, yang selalu kita baca setiap hari mengajarkan kita bahwa sejatinya segala kehidupan yang terjadi di alam semesta ini merupakan sebuah implementasi dari rasa cinta.

Surat Ali Imron ayat 31 menjadi landasan utama dalam memahami konteks cinta yang sangat luas. Di surat ini, Allah menyatakan bahwa apabila kita mencintai Allah, maka yang harus kita lakukan adalah mengikuti Rasulullah Muhammad SAW. Tentu saja mengikuti dalam arti yang sangat luas, bukan hanya memahami Rasulullah SAW dalam konteks syariat saja, melainkan juga mempelajari dan meneladai Rasulullah SAW secara thariqat, hakikat dan makrifat-nya. Karena yang terjadi selama ini, mayoritas dari kita hanya mempelajari Rasulullah SAW secara syariat saja.

Dari ayat tersebut, pada puncaknya Allah menyatakan bahwa apabila kita sudah mengikuti Rasulullah Muhammad SAW, maka Allah akan mencintai kita. Bahkan tidak berhenti disitu saja, Allah bahkan akan mengampuni dosa-dosa kita. Dari ayat ini, Allah mengajarkan kepada kita tentang cinta, bahwa apabila kita sudah mencapai titik puncak cinta, sudah beres hidup kita. Bukan hanya baldatun thoyyibatun saja yang kita capai, tetapi kita juga mampu menggapai rabbun ghaffur.

Tahun 2015 kita lalui bersama dengan Maiyah, mendapatkan limpahan nilai dan ilmu yang begitu banyaknya, menyadarkan diri kita bahwa sejatinya kita begitu remeh dihadapan Allah SWT. Rasanya sepanjang tahun 2015 pun kita masih belum mampu menguak bentangan ilmu dan pengetahuan-Nya. Semaksimal apapun kita memperbaiki diri kita, kita tetap menyadari bahwa kita tidak selalu berada di jalan yang benar, kita menyadari bahwa belum tentu kita tidak tersesat. Kita secara sadar, terus menerus mengucapkan kalimat ihdina-s-shiroto-l-mustaqiim. Dengan landasan ihdina-s-shiroto-l-mustaqiim ini, kita menyambut tahun yang baru dengan semangat kegembiraan yang baru, bersama-sama menjaga kesetiaan ini, untuk terus menanam dan menanam. Salam Maiyah.

Teks: Redaksi KenduriCinta – Fahmi Agustian
Foto: Agus Setiawan