Ramadlan Tak Kunjung Puasa

BEBERAPA HARI kedepan bulan yang konon selalu dirindukan ini akan segera meninggalkan kita semua. Jargon-jargon yang semula bernuansa penyambutan pun mulai bergeser menjadi perpisahaan, berbagai seremoni disiapkan sedemikan rupa dalam rangka menyemarakan bulan yang ditunggu-tunggu oleh mayoritas masyarakat Indonesia, menjadikan bulan ini spesial dibandingkan dengan sebelas bulan lainnya. Berbagai acara dan kegiatan khusus diselenggarakan selama bulan ini. Televisi dan berbagai media massa mempersiapkan tayangan-tayangan untuk memeriahkan suasana Ramadlan. Sinetron Ramadlan, Tausiah Ramadlan, bahkan doa-doa khusus dikemas menjadi sountrack Ramadlan disiapkan untuk diputar pada waktu sahur dan berbuka. Iklan-iklan dirancang sedemikian rupa bertemakan Ramadlan. Kemeriahan Ramadlan dipenuhi dengan berbagai hidangan dan sajian-sajian yang jauh-jauh hari sudah dipersiapkan untuk menjadikan Ramadlan sebagai pasar komoditas agama. Ramadlan justru ditunggu untuk dijadikan bulan pelampiasaan lapar dan dahaga atas kebutuhan jasmani maupun rohani.

Padahal Ramadlan adalah bulan peragian, bulan pendidikan, berpuasa dalam arti sesungguhnya, bulan yang semestinya berdampak positif bagi kehidupan-sosial dikarenakan masing-masing individu sedang berusaha mengendalikan nafsunya, menahan diri dari tindakan berlebih-lebihan khususnya yang bersifat konsumstif. Selama satu bulan masing-masing individu berlatih untuk mengendalikan diri, mengurangi tuntutatan-tuntutan yang bersifat duniawi, dan menambah kuwantitas dan kuwalitas kemurnian ibadah yang besifat ruhani. Semestinya ketika setiap muslim di Indonesia yang mayoritas ini memaknai bulan Ramadlan sebagai bulan pendidikan dan latihan, maka akan berpengaruh terhadap kehidupan sosial-masyarakat, sehingga dapat terhindar dari jebakan-jebakan konsumerisme. Namun sepertinya yang terjadi justru sebaliknya.

Memang, suasana berbeda sangat terasa selama bulan Ramadlan pada masyarakat Indonesia, khususnya suasana lingkungan perkantoran di Daerah Khusus Ibukota. Suasana alim tidak hanya terasa di lingkungan Masjid, namun di lingkungan kerja dan angkutan umum terasa perbedaannya. Karyawati yang biasa berpakaian terbuka mendadak mengenakan jilbab. Jamaah shalat dluhur dan ashar dilingkungan kantor yang biasanya sepi mendadak shaft-shaftnya penuh. Dan pada jam berangkat dan pulang kantor tidak jarang dijumpai orang-orang yang sedang khusuk membaca ayat-ayat Quran disela berdesakan sesama penumpang KRL maupun angkutan umum lainnya. Suasana ini umum terjadi selama ramadlan saja.

Di lingkungan kampung, perumahan, rusun maupun apartemen, Masjid-masjid dipenuhi jamaah taraweh pada awal-awal ramadlan dan i’tikaf akan semakin ramai pada akhir-akhir Ramadlan. Orang-orang yang i’tikaf di masjid-masjid mengharapkan mendapatkan Lailatul Qadar pada malam-malam ganjil. Tadarus dibacakan sepanjang malam menggunakan pengeras suara dari corong-corong masjid. Ada yang tadarus-live ada yang berupa rekaman, ada yang merdu ada yang seadanya. Namun karena bersahutan, saling berdekatan dan sama-sama keras sehingga terjadi distorsi suara. Kontinuitas suasana semarak selama bulan Ramadlan di masing-masing lingkungan segera akan menurun intensitasnya pada hari-hari akhir menjelang lebaran dikarenakan mayoritas warga akan pulang ke kampung halamannya.

Momentum Ramadlan ini juga sangat potensial untuk memetakan kondisi sosial-politik warga Jakarta bagi mereka yang berkepentingan. Interaksi sosial antar-warga Jakarta yang tinggal di kampung, perumahan, rusun atau apartemen dapat dipetakan melalui kegiatan-kegiatan seperti buka-puasa bersama antar warga. Reaksi Rukun Tetangga dan Rukun Warga dalam menyikapi isu-isu lokal/nasional terkait penyelanggaraan kegiatan-kegiatan Ramadlan juga sangat potensial untuk digunakan sebagai studi kasus dalam memetakan peta-perpolitikan warga masyarakat Jakarta.  Dan pemetaan yang paling sederhana pada mudik lebaran, ini dapat digunakan untuk memetakan warga pendatang dan warga asli Jakarta. Disamping itu, kegiatan-kegiatan Ramadlan juga sangat potensial bagi para politisi untuk mengakselerasikan manufer-manufer politiknya.

Lebih luas yang menjadi ironi pada masyarakat kita, adalah kebutuhan keluarga yang justru bertambah drastis pada bulan puasa. Anggaran belanja keluarga untuk memenuhi kebutuhan sandang dan pangan meningkat. Kenaikan harga pada bulan ini menjadi kelaziman yang sebenarnya tidak lazim. Dari tahun ke tahun ramadlan terus menjadi rutinitas tahunan masyarakat yang tidak kunjung mendapati hakikatnya sebagai bulan pendidikan dan latihan pengendalian diri untuk menjalani kehidupan di sebelas bulan berikutnya. Masalah nasional ini seolah tidak menjadi perhatian dan luput dari pembahasan tokoh-tokoh Nasional. Bahkan persolan ini justru nampak dipelihara untuk kepentingan-kepentingan para kapitalis yang tidak segan-segan menjadikan agama sebagai komoditi dagangannya.