RAKAAT PANJANG

REPORTASE KENDURI CINTA November 2016

SEJAK SIANG hujan cukup deras mengguyur Jakarta. Hingga menjelang maghrib belum ada tanda-tanda hujan mereda. Beberapa penggiat Kenduri Cinta sudah berada di Plaza Taman Ismail Marzuki. sebagian menyiapkan level. Sebagian yang lain memasang backdrop di sisi belakang tenda, sound system juga mulai dipersiapkan.

Adzan maghrib berkumandang. Hujan mereda. Para penggiat Kenduri Cinta beranjak menunaikan sholat maghrib di Masjid sekitar Taman Ismail Marzuki.

Ba’da maghrib masih turun rintik gerimis. Beberapa karpet mulai digelar. Sebagian jamaah terlihat mulai berdatangan. Warung angkringan di pojok sisi utara sejenak kemudian penuh. Mereka yang datang lebih awal menikmati dulu kudapan ringan nasi kucing, tempe goreng, segelas jahe susu atau teh manis. Jakarta terasa sedikit dingin.

Rakaat Panjang. Itulah tema yang diangkat oleh Kenduri Cinta bulan ini. Landasan memilih tema ini tidak jauh dari esai Cak Nun yang dirilis pada 8 November 2016, yaitu Ummat Islam Indonesia Dijadikan Gelandangan di Negerinya Sendiri. Salah satu poin yang ditegaskan dalam esai tersebut adalah perjuangan umat Islam di Indonesia tidak akan hanya berhenti pada gerakan massa 4 November 2016 lalu.

Kenduri Cinta, sebagai salah satu bagian dari Organisme Maiyah, menyadari bahwa Maiyah merupakan perjuangan dengan nafas panjang, dengan stamina yang mesti tangguh, perhitungan yang mesti lengkap, tidak bersumbu pendek, memiliki strategi komprehensif, dengan presisi skala prioritas dan berlandaskan cinta serta kesetiaan kepada Allah dan Rasulullah SAW. Dan, itulah pesan yang sesungguhnya hendak disampaikan kepada Jamaah Maiyah melalui tema malam ini.

SIKLUS

LEPAS PUKUL DELAPAN, Jamaah yang sudah hadir diajak untuk merapat ke barisan depan, sementara beberapa penggiat berada di panggung untuk memulai forum dengan mengajak Jamaah bersama-sama membaca Wirid Wabal (Tahlukah 2016), yang sebelumnya diawali dengan membaca surat Al Ikhlas, Al Falaq, An Naas dan Ayat Kursi. Setelah Wirid Wabal, Sigit Haryanto memoderasi prolog didampingi oleh Adi Pudjo, Donny Kurniawan dan Fahmi Agustian.

Sigit melandasi diskusi sesi prolog dengan perumpamaan bahwa Rakaat Panjang ibaratnya seperti sebuah pertandingan sepakbola. Dalam 90 menit pertandingan, seorang pemain sepakbola akan mengatur ritme tubuhnya, kapan harus berlari, kapan harus melakukan sprint, kapan harus mengambil jeda dan serterusnya. Lain lagi jika seorang pemain sepakbola mengikuti sebuah turnamen atau kompetisi, yang artinya membutuhkan waktu lebih cepat untuk melakukan recovery tubuh, karena durasi sebuah turnamen atau kompetisi biasanya akan berlangsung dalam waktu kurang lebih satu bulan, dan seandainya sebuah tim lolos hingga ke babak final maka jumlah pertandingan yang dijalani akan cukup banyak. Untuk itulah para pemain membutuhkan konsentrasi tinggi pada saat mengatur ritme agar tenaganya tidak terkuras habis, sekaligus juga melakukan pemulihan dalam waktu yang singkat.

Adi Pudjo menarik benang merah dari tema Kenduri Cinta kali ini dengan isu yang sedang bergulir di masyarakat. Adi mengajak jamaah untuk tidak ikut terpancing dalam konflik perdebatan antara pro dan kontra dalam isu tersebut. Seperti yang sebelumnya sudah dijelaskan oleh Cak Nun dalam esai tanggal 8 November 2016 itu, Adi kembali menggaris bawahi bahwa perjuangan yang dilakukan oleh umat Islam adalah perjuangan yang panjang, yang tidak akan berhenti pada 4 November 2016.

“Istilah Rakaat kita kenal dalam ritual shalat, dalam satu rakaat dimulai dari takbir, kemudian ruku’, dan dua kali sujud yang dilengkapi dengan bacaan-bacaan sesuai yang sudah diajarkan oleh Rasulullah SAW”, lanjut Adi Pudjo.

“Gampangnya, satu rakaat dalam ibadah shalat adalah satu siklus atau sebuah perjalanan yang tidak terputus. Lantas kenapa harus Rakaat Panjang?” Adi pun menambahkan bahwa dalam kehidupan, kita tidak pernah tahu kapan akan menemui garis akhir dari perjalanan. Kita tidak menyadari bahwa setiap detik, setiap menit hingga setiap jam yang kita jalani merupakan bagian dari siklus kehidupan kita.

“Istilah rakaat ini hanya bisa kita temui dalam ritual sholat”, Donny mengawali paparannya. Merefleksikan dari rakaat, Donny memiliki pandangan bahwa siklus kehidupan manusia jika direpresentasikan dengan rakaat, maka akhir dari siklus kehidupan manusia adalah salam, selamat. Dan, jika ditarik lebih ke belakang lagi, dalam ritual shalat, setiap umat muslim diwajibkan untuk terlebih dahulu bersuci melalui wudhlu. Sangat mungkin sekali terjadi, batalnya sholat seseorang lebih disebabkan karena wudhlu yang tidak sempurna, yang tidak sesuai dengan apa yang disyariatkan.

“Istilah Rakaat kita kenal dalam ritual Shalat, dalam satu rakaat dimulai dari takbir, kemudian ruku’, dan dua kali sujud yang dilengkapi dengan bacaan-bacaan sesuai yang sudah diajarkan oleh Rasulullah SAW”
Adi Pudjo, Kenduri Cinta (November, 2016)

FAHMI AGUSTIAN kemudian ikut urun paparan, bahwa apa yang terjadi di Indonesia hari-hari ini sangat erat kaitannya dengan peristiwa 4 November 2016. Turunnya massa ke jalan dengan jumlah yang cukup besar merupakan satu bukti nyata bahwa umat Islam di Indonesia khususnya masih sangat mungkin dipersatukan. Bahkan, yang turun ke jalan saat itu juga tidak hanya berasal dari kalangan Islam saja, melainkan ada beberapa perwakilan dari umat Agama lain yang memiliki rasa persatuan terhadap Indonesia. Mereka menyadari bahwa persatuan adalah hal mutlak yang dibutuhkan apabila Indonesia ingin berubah menjadi lebih baik.

Fahmi mencoba merefleksikan peristiwa 4 November 2016 dengan tema Kenduri Cinta kali ini yang berpijak dari esai Cak Nun tanggal 8 November 2016. Apakah 4 November 2016 merupakan takbiratul ihram dari Rakaat Panjang yang akan dijalani oleh umat Islam di Indonesia? Atau, jangan-jangan 4 November 2016 merupakan salam penutup dari Rakaat Panjang yang sedang dijalani oleh Indonesia? Atau, yang lebih ekstrim lagi, jangan-jangan justru setelah 4 November 2016, Rakaat Panjang yang sedang dilalui oleh Indonesia justru mengalami kegagalan, alias batal.

Batalnya Rakaat Panjang itu bisa akibat dari banyak sebab. Niat yang salah, wudhlu yang tidak sempurna, najis yang mengotori, dan masih banyak lagi insiden atau peristiwa yang bisa saja mengakibatkan batalnya Rakaat Panjang yang sedang dijalani ini.

Mengambil pelajaran dari ibadah Haji, Fahmi menjelaskan bahwa Haji merupakan sebuah ritual yang sangat membutuhkan stamina tinggi dan fokus yang juga stabil. Ritual-ritual selama Haji membutuhkan kesiapan mental dan kebugaran fisik yang baik. Mulai dari Thawaf, Sa’i, Wukuf hingga ritual melempar jumroh membutuhkan konsentrasi yang baik dari setiap pelaku Ibadah Haji. Dalam ritual Sa’i misalnya, ada sekian jarak yang mana setiap muslim harus berlari lebih cepat, dan kemudian ada sekian jarak yang juga harus berlari lebih lambat. Ini merupakan pelajaran manajemen, dimana akhirnya kita memahami bahwa dalam sekian putaran sa’I kita harus mampu mengatur ritme berlari kaki kita sehingga mampu menyelesaikan ritual tersebut.

Kembali ke persoalan yang dihadapi oleh Indonesia, Fahmi menggambarkan bahwa memang sudah sejak lama Islam tidak diharapkan kejayaannya di sini. Ada serangkaian peristiwa yang menjadi legitimasi bahwa Islam tidak boleh mencapai kembali puncak kejayaannya, bahkan bukan hanya di Indonesia, tetapi di Dunia.

Jika kita melihat konstelasi politik secara global, Arab Spring merupakan salah satu upaya dalam rangka mendiskreditkan Islam di dunia. Bagaimana negara-negara di Timur Tengah hancur akibat ledakkan dari konflik internal. Di Indonesia sendiri, ada beberapa indikasi yang sangat kentara dimana indikasi-indikasi tersebut pada akhirnya bermuara pada skenario dipecahnya umat Islam di Indonesia, yang pada akhirnya mereka tidak  menyadari bahwa ada grand design yang memang bertujuan bukan hanya untuk menghancurkan ukhuwah Islamiyah di Indonesia, tetapi juga dalam rangka merampok kekayaan alam Indonesia.

Isu-isu internal dalam Islam yang seringkali digunakan untuk membenturkan umat Islam sendiri antara lain adalah perdebatan tentang bid’ah, syirik, sunni-syi’ah, liberal, sekuler dan masih banyak lagi yang digunakan oleh komplotan Internasional dalam membuat umat Islam di Indonesia sibuk sendiri untuk berbenturan satu sama lain. Sementara itu, dalam waktu yang bersamaan, umat Islam di Indonesia tidak menyadari bahwa kekayaan alam yang seharusnya dikelola dengan baik, sehingga kelak bisa diwariskan kepada generasi selanjutnya, saat ini justru secara perlahan-lahan sedang dirampok oleh bangsa lain.

Salah satu isu yang sering digunakan untuk menyudutkan Islam di Indonesia adalah isu terorisme. Seringkali dalam pemberitaan ledakan bom, penggrebekan sarang teroris dan sebagainya, sudah hampir bisa dipastikan bahwa muaranya adalah menyudutkan Islam. Dan, fenomena ini bahkan secara masif berlangsung sejak terjadinya peristiwa penghancuran menara kembar WTC di Amerika pada 11 September 2001 silam. Sesudahnya, beberapa negara di Timur Tengah dihancurkan melalui perang saudara, dan di beberapa negara lain, termasuk Indonesia, cara yang dilakukan untuk memecah belah umat Islam di Indonesia adalah melalui ghazwul fikr alias perang pemikiran. Dan, perang pemikiran ini berlangsung di semua lini masyarakat di Indonesia.

“Hari-hari ini kita seringkali dihadapkan dengan pertanyaan yang konyol. Lebih baik mana pemimpin muslim tetapi korup atau pemimpin non muslim tetapi tidak korup”, lanjut Fahmi. Pernyataan ini merupakan pertanyaan yang semestinya tidak dilontarkan kepada umat Islam di Indonesia. Seakan-akan Islam di Indonesia tidak mampu melahirkan pemimpin muslim yang jujur dan adil, bersih dari korupsi, mengayomi, mengasihi dan menyayangi rakyat. Padahal, yang terjadi adalah sistem demokrasi yang berlaku di Indonesia sendiri yang tidak mendukung lahirnya pemimpin muslim yang jujur dan adil, tidak korupsi, baik budi pekertinya, mulia akhlaknya, mengasihi dan menyayangi rakyatnya dan lain sebagainya. Kita sendiri melihat bagaimana seorang Warga Negara Indonesia yang memiliki keinginan untuk mencalonkan dirinya sebagai Pemimpin Daerah bahkan Presiden sekalipun di Indonesia, maka ia diharuskan memiliki modal materi dan dukungan politik yang tidak sedikit. Sedangkan umat Islam di Indonesia hari ini sangat lemah di kedua hal tersebut. Maka, pada akhirnya kita melihat bahwa orang-orang yang memberanikan diri mencalonkan dirinya menjadi Pemimpin adalah orang-orang yang memiliki modal uang besar dan mereka yang mampu melakukan lobi kepada partai politik agar mau mengusung dirinya menjadi salah satu kontestan dalam sebuah Pemilihan Kepala Daerah. Dan, sudah bukan rahasia lagi, bahwa lobi politik hari ini tidaklah gratis.

Maka, sangat tidak masuk akal jika ada ungkapan bahwa umat Islam atau Partai Politik Islam di Indonesia tidak mampu melahirkan pemimpin muslim yang berkualitas baik. Sebab, persoalan utamanya adalah sistem demokrasi di Indonesia yang tidak mendukung akan lahirnya pemimpin muslim yang berkualitas itu.

Fahmi lalu menarik benang merah Rakaat Panjang ke dalam internal Maiyah sendiri. Fahmi menjelaskan bahwa Maiyah merupakan perjuangan dengan nafas panjang, yang membutuhkan stamina yang tangguh, penuh perhitungan, strategi yang menyeluruh dengan berlandaskan cinta segitiga: Allah, Rasulullah dan Manusia. Maka, ada beberapa pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya dijawab oleh Jamaah Maiyah sendiri.

Fahmi lantas memberi dua pertanyaan mendasar kepada jamaah. Pertama, bagaimana Maiyah nantinya paska Cak Nun? Kedua, pernahkah kita melakukan simulasi bahwa diri kita adalah Cak Nun?

Jika melihat situasi dan kondisi Indonesia hari ini, kira-kira jika diri kita adalah Cak Nun, apa yang akan kita lakukan? Sehingga, Maiyah hari ini yang sudah kita jalani sekian tahun, Kenduri Cinta sendiri sudah 16 tahun, apakah merupakan bagian takbir, ruku’, sujud atau mungkin salam dari sebuah Rakaat Panjang di Maiyah ini.

Dari Fahmi, Ali Arrida bersama Tri Mulyana kemudian mengajak jamaah untuk bershalawat bersama.

PENABUH GENDERANG

MELANDASI DISKUSI sesi pertama, Tri Mulayana menekankan bahwa dalam sholat, hal yang juga tidak kalah pentingnya adalah tentang wudhlu. Sudah sepantasnya kita juga mempertanyakan, jangan-jangan prosesi wudhlu kita masih belum sempurna, sehingga kemudian mengakibatkan rakaat-rakaat dalam sholat kita juga tidak sempurna. Ali Hasbullah kemudian memberi landasan, bahwa sholawatan yang dihidupkan kembali oleh Cak Nun bersama KiaiKanjeng pasca Reformasi 1998 merupakan salah satu perjuangan dalam rangka memperbanyak kekasih Allah. Sholawatan adalah tradisi untuk mengungkapkan rasa cinta kepada Rasulullah SAW, dan metode ini digunakan oleh Cak Nun bersama KiaiKanjeng untuk terjun ke daerah-daerah pelosok saat itu. Kita semua mengetahui bagaimana pasca Soeharto lengser keadaan bangsa begitu tidak kondusif, baik secara mental, spiritual maupun finansial. Maka Cak Nun menyadari bahwa tidak ada lagi tawar menawar bahwa tradisi sholawatan harus kembali dihidupkan di Indonesia. Ali Hasbullah lalu menambahkan, dengan Maiyah, Cak Nun bertujuan memperbanyak jumlah kekasih Allah merupakan satu konklusi dari persoalan yang dihadapi oleh manusia hari ini, yang hanya bisa diperbaiki dengan bantuan Allah SWT. Manusia secanggih apapun, seunggul apapun tidak akan mampu memperbaiki kerusakan-kerusakan dan problem-problem yang dihadapi oleh manusia saat ini. “Orang Maiyah menyadari bahwa kita lahir sendiri dan nanti akan mati sendiri. tetapi, dalam kehidupan kita harus bersama-sama untuk menciptakan kemaslahatan bersama. Dan, Maiyah inilah salah satu pilihan bagi Orang Maiyah untuk mencapai tujuan itu”, pungkas Ali.

Satu pertanyaan yang dilontarkan oleh salah seorang jamaah terkait mengapa Maiyah tidak terlibat langsung dalam gerakan 4 November 2016. Seakan-akan, Maiyah tidak ikut memukul genderang ketika umat Islam bergerak turun ke jalan.

Tri Mulyana lalu menjelaskan, bahwa perjuangan Maiyah adalah perjuangan panjang, dengan nafas panjang, dan jika yang dipertanyakan adalah kenapa Maiyah tidak ikut serta pada 4 November 2016 silam, jawabnya adalah Maiyah sudah memukul genderang sejak lama. Kita semua mengetahui bagaimana PadhangmBulan sudah berusia 23 tahun, Mocopat Syafaat dan Gambang Syafaat sudah 17 tahun berlangsung, sementara Kenduri Cinta sendiri sudah 16 tahun. Sehingga, sangat tidak relevan jika kemudian ada anggapan bahwa Maiyah tidak ikut berjuang.

Di Maiyah yang dipertahankan adalah keistiqomahan memegang nilai-nilai kehidupan. Di Maiyah sendiri, yang terbangun sejak awal adalah tradisi untuk mempertanyakan sesuatu yang didapatkan. Dalam Maiyah, ilmu yang didapat tidak serta merta diklaim sebagai kebenaran yang harus diakui oleh semua orang, tetapi semangat untuk selalu mempertanyakan kebenaran itulah yang terbangun sejak awal, sehingga Orang Maiyah tidak akan kaget jika di kemudian hari kebenaran yang didapat hari ini sangat berbeda dengan kebenaran yang didapat esok hari.

Lalu, bagaimana dengan Rakaat Panjang yang dimaksud di Kenduri Cinta, apakah bersifat pribadi personal atau general secara umum?

Tri Mulyana menjelaskan bahwa jawabannya akan sangat bergantung pada bagaimana sudut pandang kita masing-masing dalam memahami dan merespon situasi persoalan yang dihadapi hari ini. Sangat mungkin tiap-tiap personal memiliki Rakaat Panjangnya masing-masing, tetapi juga tidak menutup kemungkinan bahwa secara kolektif Rakaat Panjang juga merupakan ikhtiar perjuangan bersama seluruh elemen masyarakat Indonesia hari ini. Bahkan, selama 16 tahun Kenduri Cinta berproses hingga hari ini adalah dalam rangka pengayaan tepung sehingga setiap individu di Maiyah dan Kenduri Cinta sendiri khususnya akan mampu menyublim ke dalam dirinya masing-masing, untuk menemukan dirinya sendiri.

“Maiyah merupakan perjuangan dengan nafas panjang, yang membutuhkan stamina yang tangguh, penuh perhitungan, strategi yang menyeluruh dengan berlandaskan cinta segitiga: Allah, Rasulullah dan Manusia.”
Fahmi Agustian, Kenduri Cinta (November, 2016)

ALI HASBULLAH selanjutnya memaparkan bahwa jika dibandingkan dengan umat-umat sebelum Nabi Muhammad SAW, maka kemaksiatan, dosa dan kesalahan yang dilakukan oleh manusia saat ini justru berlipat-lipat prosentasenya dibandingkan dengan umat terdahulu. Jika umat terdahulu mendapatkan ganjaran langsung dari Allah SWT atas kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan, lain halnya dengan apa yang terjadi hari ini. Banyak orang beranggapan bahwa tidak dihukumnya manusia saat ini secara langsung atas kesalahan yang diperbuatnya merupakan salah satu kelebihan dari umat Nabi Muhammad SAW. Tetapi, hampir tidak ada yang berani mempertanyakan bahwa jangan-jangan karena hari ini tidak ada kekasih Allah yang tersakiti hatinya, sehingga menjadi alasan kuat bagi Allah untuk menimpakan adzab kepada umat manusia atas semua kesalahan yang dilakukannya.

Di Maiyah, kita semua belajar bahwa meskipun semua manusia kufur kepada Allah, maka Allah tidak akan merasa rugi. Juga sebaliknya, andaikata seluruh umat manusia taat kepada Allah, maka Allah juga tidak merasa laba.

Bahwa yang dimaksud dari Rakaat Panjang ini juga bisa ditarik benang merah dari gerakan massa 4 November 2016 silam. Ali mencontohkan bahwa dalam ibadah mahdhloh sekalipun terdapat dimensi sosial yang harus difahami, begitu juga dengan gerakan massa 4 November 2016. Ali menggambarkan bagaimana Rasulullah SAW menganjurkan Sholat berjamaah kepada para sahabat dan umat Islam, dimana dalam dimensi sosial akan terlihat bahwa dengan sholat berjamaah di mushola atau masjid, maka akan semakin mempererat ukhuwah antar umat Islam sendiri, begitu juga dengan anjuran untuk merapatkan shaf ketika sholat berjamaah. Ali berpendapat bahwa titik beratnya adalah agar setiap umat Islam saling mengenal satu sama lain, saling akrab satu sama lain, sehingga semakin kecil perbedaan yang muncul antara satu dengan yang lainnya.

Rakaat Panjang Maiyah sendiri sudah dimulai sejak 23 tahun lalu, tepatnya ketika Majelis Ilmu PadhangmBulan di Jombang lahir. Dan, sekian tahun kemudian, lahirlah Mocopat Syafaat di Yogyakarta, Gambang Syafaat di Semarang, kemudian Kenduri Cinta di Jakarta, BangbangWetan di Surabaya dan hingga kini muncul simpul-simpul Maiyah di beberapa daerah yang tidak lain tujuannya meneguhkan perjuangan panjang Maiyah itu sendiri.

Dalam sebuah pasukan, tidak bisa semuanya menjadi infantri, karena ada yang bertugas sebagai kavaleri dan ada juga yang menjadi artileri. Kesemuanya harus berkesinambungan dalam satu komando. Hal ini yang seharusnya menjadi pemikiran bersama.

Kita melihat aksi massa pada 4 November 2016 sebagai satu gambaran bahwa umat Islam di Indonesia bisa bersatu, dan sangat mungkin kemudian ada legitimasi bahwa hanya sebanyak itu saja kekuatan umat Islam di Indonesia. Padahal, ada jauh lebih banyak lagi umat Islam di Indonesia yang belum ikut bergerak. Maka, Ali berpendapat bahwa 4 November 2016 bisa saja merupakan bagian awal Rakaat-Rakaat panjang selanjutnya. Karena, memang yang dihadapi oleh umat Islam di Indonesia hari ini bukan hanya persoalan deIslamisasi saja, tetapi juga perampokan besar-besaran kekayaan Bangsa yang seharusnya menjadi warisan bagi generasi selanjutnya, kesenjangan sosial yang semakin meningkat, tingkat pelayanan negara kepada rakyat yang semakin menurun dan sekian persoalan bangsa lainnya yang sudah seharusnya membuat umat Islam di Indonesia semakin menguatkan ukhuwah agar dalam waktu yang tidak lama lagi benar-benar terwujud ummatan wahidah. Jelas sudah, persoalan besar yang dihadapi oleh umat Islam di Indonesia hari ini bermuara pada dua hal: Penguasaan besar-besaran terhadap NKRI dan deIslamisasi di Indonesia.

Seiring suasana yang semakin hangat, cuaca semakin cerah, jamaah juga semakin banyak dan secara mandiri mengatur posisi duduknya masing-masing. Tidak sedikit yang tetap berdiri untuk bisa tetap menikmati suasana forum.

Luqman Baehaqi kemudian membacakan beberapa resume diskusi sesi pertama sebagai landasan menuju diskusi puncak. Sebagai jeda, Luqman mempersilahkan Dinda dan Fajar untuk membawakan secara akustik beberapa lagu.

Lewat pukul sebelas malam Cak Nun bersama Kiai Muzammil serta Pakde Mus bergabung bersama jamaah Kenduri Cinta.

“Faktanya, apa yang kita alami hari ini merupakan produk dari proses kemalasan manusia dalam berfikir lebih komprehensif, produk dari kesempitan dalam berfikir serta dangkalnya kecintaan kita kepada Allah dan Rasulullah SAW.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (November, 2016)

MEDAN TEMBAK

“KALAU DISEBUT fikiranmu harus meluas dan hatimu harus mendalam itu peristiwanya bagaimana? Apakah fikiranmu berada dalam keluasan dan hatimu berada dalam kedalaman, ataukah kedalaman yang berada dalam hatimu dan keluasan berada dalam fikiranmu, mana yang benar?”

Cak Nun mengawali sesi dengan membangun logika berfikir. Secara lebih sederhana, Cak Nun lalu melempar lagi pertanyaan dalam variabel yang sama. “Anda masuk Islam atau Islam masuk ke dalam diri anda?”, lanjut Cak Nun sembari mengurai bahwa kata-kata itu sangat relatif. Dan, hari-hari ini, persoalan kata-kata di Indonesia bisa digunakan untuk memenjarakan seseorang dan juga sebaliknya, bisa digunakan untuk membebaskan seseorang.

“Jadi jangan bikin medan perang yang sasaran tembaknya relatif, anda harus melihat gambaran besarnya. Jangan penjajahan besar ditutupi oleh sasaran tembak yang kecil”, Cak Nun melanjutkan. Faktanya, apa yang kita alami hari ini merupakan produk dari proses kemalasan manusia dalam berfikir lebih komprehensif, produk dari kesempitan dalam berfikir serta dangkalnya kecintaan kita kepada Allah dan Rasulullah SAW. “Manusia itu makrokosmos atau mikrokosmos?”, Cak Nun kembali melempar pertanyaannya. Jika kita berfikir secara materi, maka manusia adalah mikrokosmos, tetapi jika kita berfikir secara ruhani, maka kita akan mendapati bahwa manusia adalah makrokosmos. Karena semua yang ada di alam semesta ini ada pada diri manusia, sementara yang ada di dalam diri manusia ini belum tentu ada di alam semesta. Maka, di dalam Al Qur’an disebutkan  bahwa manusia adalah khalifah.

“Pada mulanya dan pada akhirnya adalah cinta. Kalau proses individu, proses rumah tangga, proses bermasyarakat, proses bernegara dan berbangsa, tidak berpangkal pada cinta dan tidak berujung pada cinta, dia pasti gagal”, lanjut Cak Nun. Dan, itu pula yang dilakukan oleh Allah ketika menciptakan alam semesta ini yang diawali dengan terciptanya Nur Muhammad. Karena proses bercinta tidak bisa dilakukan secara mandiri, harus ada objek yang dicintai, sehingga kemudian ia juga akan dicintai.

Setelah mendasari beberapa hal, Cak Nun kemudian membangun suasana diskusi dengan metode tanya jawab dengan Kiai Muzammil.

Berawal dari pertanyaan apakah Cahaya yang paling agung yang diciptakan oleh Allah, yaitu Nur Muhammad, Cak Nun bertanya kepada Kiai Muzammil tentang arti kata Muhammad secara harfiah; Jawabnya, “Muhammad adalah yang selalu dipuji”.

Cak Nun melanjutkan pertanyaannya; “Siapa yang memuji Muhammad dan siapa yang memberi nama Muhammad?”, Kiai Muzammil menjawab lagi, “Allah SWT”.

“Apa perbedaan antara Nur Muhammad dengan Muhammad bin Abdullah?”.

Kiai Muzammil kemudian menjelaskan bahwa Nur Muhammad merupakan sebuah cahaya yang belum mewujud ke dalam wujud fisik, sementara Muhammad bin Abdullah merupakan wujud cahaya tadi yang dipersempit dalam bentuk fisik manusia.

Cak Nun lalu menjelaskan pertanyaan-pertanyaan ini dilempar dalam rangka menjawab tentang apakah kedalaman atau keluasan yang masuk kedalam diri kita atau kita yang masuk ke dalam keduanya itu tadi.

“Allah tidak pernah mengatakan bahwa Dia menciptakan cahaya, melainkan Allah mengatakan bahwa Dirinya adalah cahaya; Allahu nuuru-s-samaawati wa-l-awrdhli, meskipun cahaya yang kita rasakan ini hanyalah berupa sedikit cipratan dari Yang Maha Cahaya itu tadi”, lanjut Cak Nun.

Hingga hari ini, yang dirayakan oleh umat Islam adalah Maulid Muhammad bin Abdullah, sementara belum pernah ada yang memiliki inisiatif untuk merayakan Maulidu Nur Muhammad. Cak Nun menyampaikan bahwa Maulid Nur Muhammad sudah lama dirancang dan disusun konsepnya di Maiyah.

“Singkat kata, Cahayanya Allah kemudian menciptakan putaran seperti halnya sifat utama dan prinsip dasar sunatullah; putaran”, lanjut Cak Nun. Dari putaran demi putaran tersebut, kemudian Nur Muhammad terlibat dalam pemadatan-pemadatan dari semua cahaya yang tercipta pada penciptaan awal sebelumnya, hingga kemudian muncul galaksi, planet, tata surya dan lain sebagainya seperti yang kita kenal hari ini. Cak Nun kemudian meminta Kiai Muzammil untuk membacakan Hadits Sahih yang menjelaskan bahwa Nur Muhammad adalah penciptaan yang pertama yang diciptakan oleh Allah SWT.

Diriwayatkan bahwa pada suatu hari Jabir Al Anshory bertanya kepada Rasulullah SAW tentang makhluk pertama yang diciptakan oleh Allah, kemudian Rasulullah SAW menjawab; Wahai Jabir, sesungguhnya penciptaan yang pertama kali adalah Nur Muhammad SAW.

Cak Nun lalu menjelaskan bahwa yang mengalami evolusi pun bukan hanya penciptaan yang bersifat material saja, bahkan Kitab Allah yang sejatinya bersifat ruhaniah juga mengalami evolusi. Kita semua mengetahui bahwa Nabi Adam ketika diciptakan tidak dibekali dengan Kitab Allah, maka yang dimaksudkan oleh Allah di dalam Al Qur’an bahwa Adam mengajarkan Al Asma’ itu bukanlah tentang kata-kata benda, melainkan berupa fenomenologi seperti; cuaca, situasi, kondisi, konflik, konstelasi, bahwa kelak akan ada pertumpahan darah, ada kebencian, ada kedengkian, ada perdamaian, ada kemakmuran, ada keadilan dan lain sebagainya. Sedangkan kata-kata merupakan hasil dari kesepakatan tiap-tiap manusia itu sendiri. Nabi Adam AS bahkan diajarkan tentang perpecahan dan pertikaian melalui peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh anaknya sendiri (Habil dan Qabil). Dan, hingga pada sekian era kemudian, Nabi Ibrahim AS dibekali Kitab Zabur, Nabi Musa AS dibekali Kitab Taurat, Nabi Isa AS dibekali Kitab Injil dan Nabi Muhammad SAW dibekali Kitab Al Qur’an.

Beberapa kali dalam Maiyahan, Cak Nun menggambarkan evolusi Kitab Allah ini seperti evolusi buah kelapa. Kitab Taurat ini diibaratkan seperti bluluk yang dalam proses buah kelapa merupakan cikal bakal buah yang masih sangat mentah. Kemudian Zabur diibaratkan seperti cengkir yaitu buah kelapa yang sudah semakin padat, namun belum menjadi buah yang sempurna sama sekali. Injil diibaratkan seperti degan, yaitu buah kelapa yang masih muda, yang meskipun sudah bisa dimanfaatkan tetapi bukan manfaat yang utama yang bisa diambil, hanya airnya saja dan buah kelapa yang masih muda. Lalu Al Qur’an yang diibaratkan oleh Cak Nun sebagai buah yang sempurna, dengan konstruksi yang lebih sempurna, semua unsur yang ada di dalamnya sudah lengkap, serabut yang sudah kuat, batok kelapa yang juga sudah keras, buahnya pun sudah sangat tebal dan padat, sehingga bisa dimanfaatkan untuk dijadikan santan kelapa.

“Hidup itu begitu luasnya, begitu banyak kemungkinannnya, anda jangan statis, jangan berdiri di satu tempat dengan pandangan yang kaku dan jumud, anda harus berthawaf setiap saat, meskipun pada saat tertentu anda harus memukul maka anda akan memukul, pada saat anda teriak anda akan teriak, tetapi dalam struktur yang tetap; thawaf ilmu pengetahuan, thawaf ruhani dan thawaf cinta”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (November, 2016)

DALAM PEMAHAMAN yang lain, buah kelapa yang sudah matang secara utuh ini menjadi buah yang penuh manfaat bagi makhluk yang lain seutuhnya, tanpa terkecuali, mulai dari serabut kelapa, batok kelapa hingga daging buahnya itu sendiri. Bahkan, hingga ampas parutan kelapa sekalipun masih bisa dimanfaatkan. Dari pemahaman ini, bisa difahami bahwa bluluk, cengkir, degan dan kelapa merupakan satu bentuk. Bahwa, kelapa merupakan bentuk sempurna dari bluluk, cengkir dan degan yang merupakan proses evolusi sebelumnya. Begitu juga dengan Al Qur’an yang merupakan penyempurnaan dari Kitab-Kitab Allah sebelumnya.

Tetapi, pada faktanya, hari ini kita justru mendapati bahwa “kelapa” terpecah belah menjadi banyak sekali bagian. Kita melihat bagaimana Islam hari ini terpecah belah dalam berbagai madzhab, golongan, kelompok, yang kesemuanya merasa bahwa dirinya adalah yang paling benar, padahal mereka semua seharusnya menyadari merupakan satu bagian dalam Al Qur’an yang sudah disempurnakan oleh Allah SWT.

Cak Nun menjelaskan bahwa yang juga harus berevolusi adalah akal manusia, sehingga hari ini kita melihat begitu pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan yang ada di sekitar kita. Ada banyak sekali contoh yang bisa kita lihat; listrik, mesin, internet, dan lain sebagainya merupakan hasil dari evolusi ilmu pengetahuan yang merupakan proses evolusi akal manusia itu sendiri. “Anda juga harus berevolusi. Anda sudah memiliki kelapa (Al Qur’an) kok anda ndak mau berevolusi?”, Cak Nun melanjutkan dan menekankan bahwa seharusnya umat Islam hari ini memiliki fondasi pemikiran yang lebih jangkep karena sudah dibekali dengan Al Qur’an, karena itu merupakan Kitab Allah yang paling sempurna dari kitab-kitab sebelumnya.

“Jadi kita sudah anatomistik berfikirnya, sudah mengerti tidak mempersempit medan perang, bahwa masalahnya bukan hanya Surat Al Maidah 51, bahwa masalahnya adalah penggusuran, reklamasi, kebrutalan cara memimpin dan yang lainnya. Jangan dipersempit, karena medan perangnya sangat luas. Ini masalah penjajahan yang besar-besaran, ini masalah rakyat Indonesia, bukan hanya masalah umat Islam, ini masalah kedaulatan seluruh rakyat, bangsa, dan seluruh nenek moyang serta anak cucu kita. Sebab, kita memiliki amanah bahwa harus aman ini negara sampai anak cucu kita. Maka, tariklah semuanya untuk berpartisipasi mempertahankan kedaulatan kita”.

Cak Nun menekankan bahwa medan perjuangan yang seharusnya dimasuki oleh seluruh elemen bangsa Indonesia bukanlah medan perang yang sempit. Bahwa, penjajahan yang sangat nyata sudah berada di depan mata. Semua elemen harus bangkit dan dirangkul untuk berjuang bersama atas nama kedaulatan Bangsa dan Negara demi masa depan Indonesia.

“Makanya yang harus kita lakukan bukan hanya tafsir, tetapi juga melakukan tadabbur”, Cak Nun melanjutkan sembari mengulang kembali pentingnya Tadabbur Al Qur’an. Karena tafsir sendiri pada akhirnya justru melahirkan perpecahan-perpecahan satu sama lain dalam umat Islam, karena yang diunggulkan adalah perasaan merasa paling benar sendiri satu sama lain. Cak Nun kemudian meminta Kiai Muzammil untuk menjelaskan perbedaan antara Tafsir dengan Tadabbur.

“Di Al Qur’an itu perintahnya adalah tadabbur, tidak ada perintah untuk tafsir. Sementara dalam Ilmu Tafsir sendiri ada dua aliran; tafsir bi-l-ma’tsur dan tafsir bi-l-ma’quul.”

Kiai Muzammil menjelaskan bahwa Kitab-Kitab Tafsir yang kita kenal hari ini merupakan bentuk dari Tafsir Bi-l-Ma’tsur; Tafsir Al Misbah, Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir dan lain sebagainya. Sementara itu, ada juga bentuk Tafsir Bi-l-Ma’quul, yaitu Tafsir yang menggunakan logika, penalaran dan pemikiran manusia. Menurut Kiai Muzammil, yang dimaksud dengan Tafsir adalah proses ijtihad dalam rangka memperjelas apa yang dimaksud oleh Allah SWT di dalam Al Qur’an. Sedangkan Tadabbur adalah sebuah ijtihad dalam rangka mencoba mencari nilai-nilai Al Qur’an dibalik lipatan-lipatan ayat dan spektrum yang ada didalam Al Qur’an, yang mana nilai-nilai tersebut dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, itulah Tadabbur. Dan, Tadabbur inilah yang sebenarnya diperintahkan oleh Allah di dalam Al Qur’an. Ada banyak ayat yang menegaskan hal tersebut, bahwa yang diperintahkan oleh Allah adalah melakukan Tadabbur terhadap Al Qur’an.

Cak Nun melengkapi penjelasan Kiai Muzammil, bahwa dalam Tadabbur tetap diperlukan Tafsir, tetapi Tafsir itu harus masuk dalam proses Tadabbur. Secara gampangnya Cak Nun menggambarkan proses keluarnya feses dari tubuh manusia melalui dubur, jika makanan yang dikonsumsi itu adalah makanan yang sehat, maka proses metabolisme tubuh juga akan berfungsi, hingga kemudian organ pencernaan akan mengolah asupan makanan yang masuk untuk diambil manfaatnya oleh tubuh, dan kemudian feses akan dikeluarkan oleh dubur dalam bentuk yang normal. Dalam proses ini akan terbukti, apabila makanan yang dimasukkan adalah makanan yang tidak sehat, maka proses pencernaan tidak akan berjalan normal dan feses yang dikeluarkan oleh dubur juga tidak akan normal. Begitulah seharusnya dalam ijtihad Tafsir dan Tadabbur.

“Di Maiyah, yang ada adalah menawarkan wacana dan memberikan informasi bahwa ada banyak sekali nilai-nilai kehidupan yang sudah ditinggalkan oleh manusia, yang justru semakin membuat manusia itu sendiri menjadi lebih jauh dari dirinya sendiri.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (November, 2016)

LEBIH GAMPANGNYA lagi, Tadabbur itu jenis dan bentuk ijtihadnya bisa bermacam-macam, ada yang menggunakan metode hafalan, ada yang menggunakan metode khataman, ada yang menghafal hanya 1-2 surat, ada yang menggunakan 1-2 ayat sebagai pegangan hidup, ada banyak sekali metode yang bisa digunakan untuk mentadabburi Al Qur’an, tetapi output dari Tadabbur itu sendiri adalah kebaikan, itulah goal dari Tadabbur itu sendiri. Syarat utama dari Tadabbur adalah bahwa hasilnya harus menjadikan manusia lebih baik dari sebelumnya. Di tengah penjelasan Tadabbur ini, Syeikh Nursamad Kamba turut bergabung bersama Cak Nun dan Kiai Muzammil di Kenduri Cinta.

Sementara itu, di lain pihak tradisi Tafsir saat ini lebih sering melahirkan perdebatan dan perpecahan antar umat Islam sendiri. Seperti halnya yang sering terjadi dalam perbedaan penetapan 1 Ramadhan dan 1 Syawwal yang masih saja sering terjadi di Indonesia, dimana antar organisasi masyarakat Islam tidak berada dalam satu barisan ketika menetapkannya. Kenapa tidak saja memilih untuk duduk bersama dari setiap perwakilan ormas-ormas Islam tersebut, setidaknya satu tahun sekali untuk membahas hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan umat Islam secara luas? Kenapa tidak menggunakan pilihan wa amruhum syuuro bainahum untuk menyelesaikan persoalan tersebut?

Sembari menjelaskan hal-hal yang bersifat khilafiyah tadi, Cak Nun memberikan analogi perbedaan antara ulama yang diangkat sebagai ulama oleh umatnya sendiri dan ulama yang diangkat sebagai ulama oleh pemerintah dan para pemilik modal di televisi. Ulama yang dilantik sebagai ulama oleh pemilik modal seperti bunga yang ditanam di pot bunga, sementara ulama yang benar-benar lahir dari masyarakat adalah seperti bunga atau rumput yang tumbuh di tanah, ia tumbuh secara alami, sehingga lebih memahami persoalan umatnya sendiri, ia seperti tumbuhan yang tumbuh secara alami di atas tanah. Tidak seperti bunga yang ditanam di pot bunga, ia bisa menjadi indah karena disokong oleh pemilik pot bunga, ia menjadi indah sebagai hiasan setelah dihias sedemikian rupa, setelah digantung di dalam pot-pot bunga, tetapi ia tidak mengenal betul asal muasalnya.

“Saya tidak akan nabuh kentongan di Maiyah. (Maiyah) ini bukan NU, bukan Muhammadiyah, bukan FPI, ini bukan Organisasi. Tidak ada garis komando, tidak ada dawuh dari saya. Saya nggak akan perintah anda apa-apa. Kita bukan organisasi dan bukan struktur keumatan yang ada garis komandonya. Saya kan sudah bilang; Anda ambil keputusan masing-masing. Saya Cuma njlentrehno, gini ini lho hidup ini”, lanjut Cak Nun.

Cak Nun menegaskan bahwa Maiyah bukanlah Organisasi yang memiliki struktur kepengurusan dan garis komando. Orang Maiyah memiliki kebebasan untuk memutuskan pilihan yang diambilnya masing-masing, dan mereka bertanggung jawab penuh atas pilihannya itu. Di Maiyah, yang ada adalah menawarkan wacana dan memberikan informasi bahwa ada banyak sekali nilai-nilai kehidupan yang sudah ditinggalkan oleh manusia, yang justru semakin membuat manusia itu sendiri menjadi lebih jauh dari dirinya sendiri.

“Kalau memang kita mau membangun sebuah organisasi, ayo yang serius. Bikin negara, negara yang beneran. Bikin pemerintah, pemerintah yang beneran. Kalau memang sholat, sholat. Kalau mau wudhlu, ya wudhlu. Jangan tayammum terus”. Cak Nun menambahkan penjelasan bahwa selama ini Indonesia tidak ada bedanya dengan negara yang berjalan dalam sistem darurat layaknya orang bertayamum, yang merupakan sebuah prosedur darurat ketika melakukan thaharoh.

“Kalau ada seorang Pejabat yang dilantik dengan mengucapkan Sumpah Jabatan ketika dilantik tetapi pada prakteknya saat ia mengemban Jabatan tersebut melanggar Sumpah Jabatannya sendiri, jika dianalogikan dalam sholat, apakah bisa dikatakan pejabat tersebut batal sholatnya atau tidak?”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (November, 2016)

JIKA ADA pejabat yang melanggar Sumpah Jabatannya apakah ia juga bisa dikatakan menghina Al Qur’an yang menjadi Kitab landasan pada saat ia disumpah? Apabila ia menghina dan menistakan Al Qur’an karena ia melanggar Sumpah Jabatannya sendiri, apakah itu tidak berarti bahwa ia menghina Pancasila, Rakyat, Negara dan Allah SWT? Kenapa, kita tidak memperluas medan perang?

Cak Nun kemudian menggambarkan bahwa sebuah perjuangan yang panjang dan berat membutuhkan kerjasama dari seluruh elemen yang ada. Dengan sebuah amsal, ketika seorang petarung akan memukul lawannya, maka seluruh organ dalam tubuhnya bekerjasama satu sama lain, sehingga melahirkan sebuah pukulan yang kuat. Ketika ia memutuskan untuk melakukan sebuah pukulan, maka kedua kakinya akan berpijak sebagai kuda-kuda untuk menopang badannya, sementara aliran darah dipacu oleh jantung, yang pada saat bersamaan paru-parunya mengatur pernapasan, sementara otot-otot dalam tubuhnya memusatkan kekuatan pada otot lengan dan tangan  yang akan digunakan untuk memukul, dan pada saat yang bersamaan pula aliran darah dialirkan menuju otak agar ia dapat berfikir jernih, sehingga mampu menghitung momentum untuk melepaskan pukulan yang tepat sasaran kepada lawannya.

Dari amsal tersebut, Cak Nun menjelaskan bahwa dalam sebuah peperangan tidak semua yang berjuang harus terlihat di medan perang. Saat ini, hampir semua orang hanya melihat pihak-pihak yang muncul di media massa, baik cetak maupun elektronik. Sebagian yang lain hanya melihat mereka yang tampil di media sosial. Padahal, justru ada banyak sekali pasukan yang belum terlihat dan tidak terpublikasi oleh media massa, yang bisa jadi jumlah kekuatannya berlipat ganda daripada yang saat ini terlihat di media massa. Maka, Maiyah ini ada di bagian mana sebenarnya?

Saat ini hampir setiap malam Maiyah terus berlangsung di beberapa daerah di Indonesia, mulai dari yang skalanya kecil hingga besar. Jika diibaratkan seperti tubuh manusia, kira-kira Maiyah ada di bagian mana? Jantungkah? Darah yang mengalirkah? Ototkah? Silahkan Orang Maiyah menerjemahkan Maiyah ada dimana. Orang Maiyah harus faham, bahwa tidak semua orang harus berlaku sebagai kepalan tangan yang berfungsi untuk memukul.

“Kalau diibaratkan Umat Islam adalah sebuah badan, gerakan 4 November kemarin itu adalah kepalan tangan, dan sebagian umat Islam yang lain ada yang berlaku sebagai jantung, aliran darah dan lain sebagainya, maka yang menjadi pemimpin badan itu adalah hati dan fikiran. Sekarang saya tanya, yang memimpin umat Islam di Indonesia ini siapa? Fikirannya siapa? Otaknya siapa? Hatinya siapa? Kalau tangan mengepal, yang memerintah (untuk mengepalkan tangan) siapa?

Cak Nun melemparkan pertanyaan kepada jamaah bahwa sudah seharusnya umat Islam di Indonesia memiliki pemimpin yang mampu menyatukan. “Harus ada apa tidak Kepemimpinan Islam di Indonesia itu? Maka, kita mesti membayangkan agar seluruh pemimpin organisasi Islam di Indonesia duduk bersama, supaya jelas Kepemimpinannya”. Cak Nun terus menegaskan bahwa urgensi ummatan wahidah bagi umat Islam di Indonesia sudah pada taraf yang sangat diperlukan.

Merespon salah satu isu yang sedang berkembang di masyarakat saat ini terkait Al Maidah ayat 51, Cak Nun mengajak jamaah Kenduri Cinta untuk berfikir lebih jernih. Umpamanya, pelaku kesalahan pengucapan tentang Al Maidah ayat 51 di Kepulauan Seribu itu memiliki kesalahan lain, dan kesalahan lain itu merupakan kesalahan yang lebih besar, kenapa kesalahan yang lebih besar tidak mampu menyatukan umat Islam untuk bergerak, tetapi justru hanya dengan kesalahan yang lebih kecil justru bisa mengumpulkan umat Islam untuk turun ke jalan pada 4 November 2016 silam?

Siapa yang menciptakan momentum peristiwa di Kepulauan Seribu itu, terkait Al Maidah 51? Apakah jika ada peristiwa sama yang terulang kembali, juga mampu menjadi trigger untuk mengumpulkan umat Islam sebanyak 4 November silam?

Itulah yang dinamakan momentum. Itulah yang dinamakan trigger. Dan, trigger tersebut tidak bisa dengan mudah diciptakan kembali.

Selanjutnya Cak Nun memberikan sebuah permisalan lain. Dimana ada seorang anak yang nakal nggak karu-karuan, suatu ketika saat ia bersepeda, ia terpeleset dan kehilangan keseimbangan, sepedanya pun menyenggol sebuah gerobak bakso. Akibatnya, panci milik penjual bakso itu tumpah mengeluarkan seluruh isinya. Lantas, si Penjual Bakso memukuli anak tersebut atas kesalahan yang sebenarnya tidak begitu parah karena ia terpeleset ketika bersepeda. Akan tetapi, masyarakat sekitar kemudian mengiyakan hukuman pemukulan yang dilakukan oleh Penjual Bakso tersebut, karena masyarakat sudah memiliki atmosfer yang seragam bahwa anak tersebut adalah anak yang nakal dan sangat pantas diberi pelajaran. Selain nakal, anak itu juga temabhok mulutnya.

“Begitu luasnya kemungkinan dalam kehidupan. Jangan difikir saya bisa berdiri untuk memukul siapapun. Saya hanya menjelaskan kepada anda. Kalau anda tahu hati saya, anda pasti tahu apa yang sebenarnya ingin saya omongkan. Tapi, saya harus menjelaskan kepada anda, begitu banyak labirin-labirin, dimensi-dimensi dan probabilitas dalam kehidupan manusia. Anda jangan terjebak secara statis di dalam satu petak. Itulah sebabnya awal dari pembicaran kita tadi adalah masukkanlah keluasan ke dalam fikiranmu dan masukkanlah kedalaman ke dalam hatimu. Hatimu harus bisa dimasuki oleh tujuh lautan. Fikiranmu harus mampu memuat seluruh sampah di muka bumi ini, dan kamu tidak boleh lelah karena itu. Kamu tidak lelah. Karena, laa tanfudzuuna illa bishulton. Selalu saya sarankan untuk mengucapkan; Laa haula walaa quwwata walaa shultoona illa billahi ‘alliyil adzhiim. Karena Allah menawarkan fenomena shulton ini sebagai kekuatan ekstra pada manusia”, pungkas Cak Nun yang kemudian mempersilahkan Syeikh Nursamad Kamba untuk turut urun pemaparan.

“Allah tidak pernah mengatakan bahwa Dia menciptakan cahaya, melainkan Allah mengatakan bahwa Dirinya adalah cahaya; Allahu nuuru-s-samaawati wa-l-awrdhli, meskipun cahaya yang kita rasakan ini hanyalah berupa sedikit cipratan dari Yang Maha Cahaya itu tadi.”,
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (November, 2016)

EGO MENAFSIR

SYEIKH NURSAMAD KAMBA menjelaskan bahwa setidaknya ada 3 hal yang sangat prinsip untuk diajarkan; transformasi nilai dan ilmu, kembali kepada kesejatian diri, dan pemaknaan hidup dalam Maiyah. Syeikh Nursamad menjelaskan, bahwa secara tidak langsung Orang Maiyah mendapatkan transformasi nilai dan ilmu kehidupan di Maiyah. Ada banyak sekali nilai-nilai kehidupan yang sudah ditinggalkan oleh manusia tetapi dihidupkan kembali oleh Cak Nun di Maiyah.

Orang Maiyah juga secara tidak langsung mendapat arahan untuk kembali menemukan kesejatian dirinya masing-masing. Di tengah masyarakat yang semakin meninggalkan dirinya sendiri, Maiyah memberikan wacana agar manusia kembali menjadi dirinya sendiri.

Tadabbur itu ada syarat bagi anda yakni setelah mencintai Al Qur’an anda menjadi lebih baik, kalau setelah tadabbur anda tidak menjadi lebih baik maka anda tidak melakukan tadabbur. Jadi, kalau tadabbur, anda diikat dengan rumusan untuk menjadi lebih baik. Menjadi lebih baik ini bisa diperluas menjadi lebih luas fikirannya, lebih arif hatinya, lebih mendalam cintanya, lebih santun dalam hubungan sosialnya dan lain sebagainya, sementara tafsir tidak mempersyarati yang demikian. Karena, tafsir ada dalam wilayah akademis. Pemahaman tentang tadabburan inilah yang juga mendasari bran yang akhir-akhir ini dibawa oleh Cak Nun bersama KiaiKanjeng.

Dari pemaparan yang lugas oleh Syeikh Nursamad, Cak Nun lalu memberi landasan kepada Sudjiwo Tedjo yang juga turut hadir di Kenduri Cinta kali ini. Cak Nun bercerita beberapa waktu yang lalu bersama KiaiKanjeng diundang di sebuah Masjid di Solo yang diberi nama Masjid Wisanggeni. Di Masjid tersebut terdapat sebuah tulisan dalam huruf arab Wasii’un Ghoniyyun, yang secara harfiah memiliki arti Meluas dalam Kekayaan. Dan, untuk merefleksikan satu tokoh dalam dunia pewayangan, Wisanggeni, salah satu ksatria yang memang dalam perang besar Bharatayudha tidak turun gelanggang karena dilarang oleh Dewa untuk ikut berperang. Sementara itu, terdapat satu tokoh yang mampu merayu Wisanggeni untuk ikut turut serta berperang yaitu Panembahan Semar, salah satu tokoh pewayangan yang dianggap sebagai Punokawan. Cak Nun pun menjelaskan bahwa saat ini Indonesia sudah tidak punya lagi Panembahan, sudah tidak ada lagi Punokawan, sudah tidak memiliki Pusaka. Sedangkan Orang Maiyah adalah orang yang Wasii’un Ghoniyyun. Orang Maiyah sudah memiliki kesiapan yang lebih jangkep untuk mewariskan sesuatu kepada generasi setelahnya.

Sudjiwo Tedjo kemudian melengkapi seklumit pemaparan Cak Nun tentang Wisanggeni, bahwa benar adanya Wisanggeni adalah salah satu tokoh pewayangan yang sangat sakti. Dan, selain Wisanggeni ada dua tokoh lain yang memang tidak diperbolehkan untuk mengikuti Perang Bharatayudha, yaitu Baladewa dan Antareja. Selain itu, Tedjo kemudian bertanya sedikit kepada Cak Nun, mengapa seringkali ada ayat-ayat Al Qur’an yang tidak selaras dengan ilmu musikal yang ia pelajari, seringkali Sudjiwo Tedjo menemui irama pada ayat-ayat Al Qur’an terkesan kurang beberapa nada, sehingga tidak pas jika diaplikasikan dalam Ilmu Musik. Cak Nun menegaskan, bahwa untuk masuk ke dalam Al Qur’an manusia harus membebaskan dirinya dari ilmu pengetahuan akademis yang ada di sekolah, karena justru akan membuat manusia itu sendiri terjebak di dalam Al Qur’an dan salah memahami, termasuk dari ilmu musik yang menjadi pijakan bertanyanya Tedjo.

“Orang tidak boleh menafsirkan Al Qur’an kalau dia masih dikuasai oleh hasrat-hasrat diri pribadi yang penuh ego kepentingan pribadi atau golongan. Orang harus meniadakan dirinya sendiri sebelum menafsirkan Al Qur’an”,
Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (November, 2016)

KARENA, AL QUR’AN memang tidak memiliki rumusan yang saklek seperti Ilmu Akademis. Di Al Qur’an apabila kita ingin belajar tentang sapi tidak kemudian kita hanya membaca Surat Al Baqoroh. Dan, meski Nabi Musa AS yang disebut cukup banyak di dalam Al Qur’an, justru tidak ada nama Surat Musa di dalam Al Qur’an. Cak Nun memberi satu landasan bahwa manusia memiliki hak dan kewajiban untuk mencari kebenaran yang terkandung dari dalam Al Qur’an itu sendiri, meskipun pada hakikatnya yang mengetahu kebenaran itu secara pasti adalah Allah SWT. Manusia memiliki hak untuk melakukan tafsir terhadap Al Qur’an, tetapi jangan lupa bahwa kewajibannya kemudian adalah mengelola hal-hal yang positif dan negatif menjadi cahaya.

Cak Nun kemudian memberikan kesempatan kepada Pakde Mus untuk ikut serta memberikan materi di Kenduri Cinta kali ini. Pakde Mus mengawali pemaparannya dengan membacakan salah satu ayat dalam Al Qur’an; Yaa ayyuhalladziina aamanuu-s-ta’inuu bi-s-shobri wa-s-sholati, innallaha ma’a-s-shobiriin. Dalam ayat tersebut, Allah memerintahkan kepada orang yang beriman untuk menjadikan sabar dan sholat sebagai penolongnya, karena Allah sendiri yang juga berjanji akan membersama orang-orang yang sabar.

Pakde Mus menjelaskan bahwa kekasih Allah itu tidak banyak yang diperlihatkan kepada manusia, tetapi para kekasih Allah itu bisa dirasakan dengan perasaan batiniyah semata. Mereka adalah yang memberikan informasi kepada Ummat manusia tanpa pamrih materi, dan para kekasih Allah itu hanya bisa diketahui oleh orang-orang tertentu yang sudah mendapatkan manfaat darinya. Pakde Mus juga menekankan bahwa Al Qur’an adalah hikmah bagi siapapun, dan semua makhluk diterima oleh Al Qur’an, bahkan hanya mendengarpun diterima, apalagi jika membaca Al Qur’an. Pakde Mus kemudian mengajak jamaah untuk membaca Al Fatihah bersama-sama demi kebaikan Ibukota Indonesia yang saat ini sedang menanggung persoalan besar.

Dari apa yang disampaikan oleh Pakde Mus, Cak Nun menambahkan, dalam sebuah diskusi kecil dengan Sabrang ia bertanya terkait banyaknya orang yang mempertanyakan sikap Cak Nun dalam menyikapi kasus Ahok yang akhir-akhir ini cukup menyita perhatian banyak tokoh di Indonesia. Cak Nun sendiri menyatakan bahwa semua tokoh yang muncul di permukaan akhir-akhir ini dianggapnya sebagai anak beliau sendiri. Cak Nun bertanya kepada Sabrang, apakah sikap seperti itu salah?

Cak Nun kemudian mengajak jamaah untuk mengingat kembali apa yang disampaikan di Kenduri Cinta bulan lalu, bahwa suatu saat Ahok akan berfikir dan bertanya kepada dirinya sendiri tentang hal yang seharusnya tidak ia katakan dan ia akan menyesali tentang hal yang seharusnya ia lakukan tetapi tidak dilakukannya. Cak Nun menegaskan bahwa apa yang sedang dihadapi oleh Indonesia hari ini bukanlah hanya tentang Ahok saja. Tetapi, ada grand design yang lebih besar dari itu. Ini bukan tentang anti Cina, ini adalah persoalan tentang penjajahan besar terhadap kedaulatan bangsa dan negara Indonesia, maka jangan hanya ditutupi oleh persoalan rasis yang kelihatannya sepele. Cak Nun mengajak seluruh jamaah untuk melakukan tafakkur, tahqiiq, Cek dan Ricek terhadap seluruh informasi yang didapatkan yang terkait dengan Indonesia hari ini. Karena, pada dasarnya tidak ada yang mampu menolong Indonesia selain Allah SWT.

“Ada 3 hal yang sangat prinsip untuk diajarkan; transformasi nilai dan ilmu, kembali kepada kesejatian diri, dan pemaknaan hidup dalam Maiyah.”,
Nursamad Kamba, Kenduri Cinta (November, 2016)

“SAYA SANGAT mengandalkan Allah untuk menciptakan adegan-adegan lagi di Indonesia”, Cak Nun melanjutkan uraian sembari kembali menjelaskan bahwa apa yang terjadi pada 4 November 2016 silam merupakan buah dari satu pemantik kesalahan seseorang yang jika dibandingkan dengan kesalahan-kesalahan lain yang diperbuatnya tidak begitu fatal sebenarnya, tetapi justru kesalahan tersebut menjadi trigger yang sangat kuat untuk menggerakkan massa turun ke jalan. Tetapi, kita harus menyadari bahwa kita sebagai manusia tidak akan mampu menciptakan trigger yang serupa, hanya Allah yang mampu menciptakan trigger tersebut.

Sudjiwo Tedjo kemudian bercerita tentang dinamika pewayangan yang menurutnya justru membuahkan satu kesimpulan bahwa tidak ada benar dan salah didalam kehidupan. Bahkan, keberadaan Dursasana sekalipun adalah salah satu media tempat kita untuk belajar. Cak Nun kemudian menjelaskan ketidakmengertian Tedjo.

Pada awalnya, Allah hanya menciptakan entitas positif, hingga kemudian Iblis ditugaskan untuk menjadi panglima dari entitas negatif atas usulannya sendiri akibat melihat tidak dinamisnya kehidupan makhluk yang diciptakan oleh Allah. Tidak ada pergolakan. Tidak ada persoalan. Semua serba positif.

Sejalan dengan itu, kemudian Allah menciptakan Adam, dan berbagai adegan pun terjadi. Salah satu adegan itu adalah ketika Iblis tidak mau bersujud menyembah Adam. Dan, sampai pada satu episode, Iblis harus membuktikan salah satu ayat Allah yang menjadikan manusia sebagai khalifah di Bumi, sementara itu Adam setelah diciptakan berada di Surga. Dan, Iblis pun berhasil membujuk Adam untuk melakukan sebuah kesalahan yang akhirnya membuahkan hukuman yaitu diusir dari surga dan diturunkan ke bumi.

Dalam dinamika kehidupan, memang harus ada adegan-adegan seperti itu. Dan sejak saat itu Allah menciptakan dialektika positif dan negatif dalam kehidupan. Tetapi, persoalannya adalah manusia seringkali hanya berdiri pada satu sisi: positif atau negatif, sehingga ketika sisi yang lain dianggap sebagai sisi yang berlawanan dengan dirinya. Semua merasa berada dalam posisi yang positif, sembari menganggap orang lain yang berlawanan dengan dirinya berada pada posisi negatif.

Cak Nun kemudian bercerita, pada suatu hari ketika Cak Nun dan beberapa sahabatnya mementasakan sebuah Drama Teater yang berjudul “Geger Wong Ngoyak Macan”, yang rencananya akan dipentaskan di 3 Kota. Drama tersebut dibuat dalam rangka memberi informasi kepada masyarakat luas bahwa dalam waktu dekat akan ada peristiwa penembakan terhadap preman-preman di Yogyakarta, yang saat itu dikenal dengan istilah Petrus (penembak misterius).

Di tengah-tengah rentetan pementasan 3 kota tersebut, ada 2 orang pemeran yang terlibat konflik pribadi dan membuahkan pertengkaran yang sepertinya mustahil didamaikan. Padahal, kedua orang ini akan beradu akting pada satu segmen yang sama dalam drama tersebut. Persis ketika Cak Nun kehabisan akal untuk merukunkan keduanya, mereka justru didamaikan oleh Allah dalam adegan pertemuan di sebuah lokalisasi. Dari peristiwa ini, tentu tidak serta merta kita melegitimasi bahwa lokalisasi adalah tempat yang baik untuk mendamaikan dua orang yang bertengkar, melainkan bahwa momentum terjadinya perdamaian bisa saja terjadi di sebuah tempat yang tidak kita sangka sebelumnya. Sama halnya dengan fakta bahwa sebuah kebenaran belum tentu akan menjadi benar jika diletakkan pada momentum yang salah. Sebab, kebenaran akan menjadi sebuah kebenaran apabila ia diletakkan pada momentumnya yang tepat.

Selanjutnya  Cak Nun menceritakan pula adegan lain dari seseorang yang memiliki banyak uang, tetapi ia tidak memiliki istri, sehingga ia kebingungan dan menggunakan uangnya itu di pelacuran. Pada suatu malam ia mendapati wanita yang ia bayar untuk tidur bersama dirinya justru sedang melakukan sholat tahajud. Lelaki itu pun bertanya kepada wanita yang menjadi pelacur tadi, karena merasa aneh melihat ada seorang pelacur yang di tengah malam bangun melaksanakan sholat tahajud. Wanita tersebut menuturkan bahwa ia terpaksa melacur karena ayahnya terlilit hutang yang sangat banyak, dan ia harus mencari uang sebanyak mungkin dalam waktu singkat untuk melunasi hutang ayahnya itu. Singkat cerita, lelaki itu kemudian melakukan perjanjian dengan pelacur tadi untuk mencarikan uang agar hutang ayah pelacur tadi segera dilunasi, dan sebagai kompensasinya adalah janji dari wanita itu untuk tidak jadi pelacur lagi, demikian pula si laki-laki itu pun berjanji terhadap dirinya untuk tidak melacur lagi.

 

“Ya Allah taburkanlah cintaMu kepada Indonesia, taburkanlah aura resonansi dari kasih sayangmu kepada Indonesia, Engkau yang menciptakan adegan-adegan itu sehingga mereka semua akan berada di dalam Ridhlo-Mu, sehiingga mereka semua berada di dalam Hidayah-Mu, Engkau yang menggerak-gerakkan hati manusia”,
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (November, 2016)

CAK NUN kemudian melempar pertanyaan kepada jamaah; Apakah anda perlu melacur dulu untuk menolong orang? Tentu tidak. Tetapi, hidup memang berlaku dengan dialektika yang tidak kita sangka-sangka, kita tidak selalu bisa menggunakan teori yang sejalan dengan fikiran kita untuk menerka-nerka kemungkinan-kemungkinan dalam kehidupan kita.

Kalau memang harus bertarung antara kakak dan adik yang sama-sama menjadi panglima, maka bertarunglah. Siapa yang masuk surga dan siapa yang masuk neraka akan ditentukan oleh Allah kelak. Semua densitas positif dan negatif akan batal pada waktunya jika berhadapan dengan kehendak Allah.

“Ya Allah taburkanlah cintaMu kepada Indonesia, taburkanlah aura resonansi dari kasih sayangmu kepada Indonesia, Engkau yang menciptakan adegan-adegan itu sehingga mereka semua akan berada di dalam Ridhlo-Mu, sehiingga mereka semua berada di dalam Hidayah-Mu, Engkau yang menggerak-gerakkan hati manusia”. Cak Nun lantas memungkasi uraiannya dengan permohonan kepada Allah SWT.

Untuk memberi jeda bagi Kiai Muzammil sebelum memaparkan puncak dari sesi akhir Kenduri Cinta malam ini, Fajar dan Dinda tampil mengajak semua jamaah untuk melantunkan medley Syiir Abu Nawas dan Tombo Ati. Secara khusus, Dinda meminta untuk berduet bersama Cak Nun.

“Tadi ada pertanyaan dari Sudjiwo Tedjo bahwa mengapa diperlukan Al Qur’an apabila orang tua dan leluhur terdahulu sudah memahami nilai-nilai kehidupan?”, Kiai Muzammil merespon pertanyaan dari Sudjiwo Tedjo sebelumnya, yang mempertanyakan mengapa masih diperlukan Al Qur’an sementara para leluhur manusia sudah memahami bagaimana cara hidup yang baik dan benar.

Kiai Muzammil pun menjelaskan, Al Quran dibutuhkan karena setiap generasi manusia memiliki kualitas yang berbeda. Justru, dengan diturunkannya Al Qur’an, itulah sebagai bukti Maha Pemurahnya Allah kepada manusia.

Kiai Muzammil lantas menjelaskan jenis-jenis manusia yang pernah juga disampaikan oleh Cak Nun di beberapa forum; 1. Manusia Cinta, 2. Manusia Akhlaq dan 3. Manusia Hukum. Dan, secara spontan, Cak Nun kemudian menambahkan bahwa ada lagi jenis manusia yang lebih rendah dari ketiga jenis tadi, yaitu manusia yang berjuang hanya karena menang atau kalah, bukan karena benar atau salah.

“Kita belum menjadikan Al Qur’an sebagai obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman”, tutur Kiai Muzammil.

Dalam penjelasannya, Kiai Muzammil menyertakan pula bahwa pada tahapan belajar manusia itu ada Tadris, Ta’lim, dan Ta’rif. Tetapi, selama ini yang umum di Masyarakat hanya berlaku pada level Ta’lim saja. Metode Tadris, hanya diaplikasikan pada tingkat ketika seorang anak belajar di sekolah, inilah mengapa di Indonesia sekolah dikenal dengan istilah Madrasah. Padahal, seharusnya juga ada Majelis Ta’rif, sehingga tingkat pembelajaran dan transformasi ilmu menghasilkan manusia yang arif, yang tidak hanya bisa menyalahkan, tetapi justru menjadikan manusia menjadi orang yang membetulkan yang salah. Cak Nun pun langsung melengkapi penjelasan tersebut dengan adanya tingkatan yang lebih tinggi lagi dari Ta’rif, yaitu Ta’dib.

Ta’dib merupakan sebuah metode pembelajaran yang melengkapi posisi manusia sebagai khalifah di Bumi. Jika hanya berhenti pada proses Ta’rif, maka manusia hanya akan berhenti pada level insan saja.

Seperti malam-malam Kenduri Cinta sebelumnya, waktu selalu serasa kurang panjang untuk menerima luapan ilmu dan pengetahuan. Menjelang pukul empat dinihari, Cak Nun mengajak semua jamaah berdiri, dan malam diakhiri dengan lantunan Adzan dan do’a yang dipimpin oleh Syeikh Nursamad Kamba.