Postimisme Rakaat Panjang

Ada bagian dari Indonesia yang sedang memasuki senja dan siap tenggelam dalam di kegelapan malam, ada yang sedang memancarkan matahari baru di fajar hari.

Ada bagian dari Indonesia gegap gempita memuncaki kehancuran, ada bagian lain dari Indonesia yang tak kentara sedang menata kebangkitan.

Ada bagian dari Indonesia yang sedang riuh-rendah menyempurnakan kepalsuan, ada bagian lain dari Indonesia yang tersembunyi dari pemberitaan sedang merintis kesejatian.

Ada bagian dari Indonesia yang habis-habisan menyebarkan sihir, takhayul dan halusinasi, ada bagian lain dari Indonesia yang menaburkan kasunyatan kebenaran.

Ada bagian dari Indonesia yang mati-matian menyebarkan kecemasan, kesedihan dan pertengkaran, ada bagian lain dari Indonesia yang berkelana menyemarakkan persaudaraan, kesatuan dan kegembiraan.

Ada bagian dari Indonesia yang melemparkan sebagian bangsanya ke masa silam, ada bagian lain dari Indonesia yang merintis pembuatan fondasi dan batu bata masa depan.

Di bagian fajar hari itulah saya hadir.

Yangon, 11 Oktober 2014

Emha Ainun Nadjib

 

SEBUAH TULISAN berjudul U-19, Senja dan Fajar yang ditulis oleh Cak Nun saat menemani Timnas U-19  dalam sebuah turnamen internasional yang membawa nama bangsa di ajang Piala AFF U-19 tahun 2014 silam, masih sangat relevan dengan kondisi sosial bangsa kita saat ini. Meskipun tidak meraih juara, namun perjuangan Tim asuhan Coach Indra Sjafri sangat membanggakan Bangsa Indonesia. Evan Dimas dkk. sudah bangkit kala itu disaat kondisi persepakbolaan Nasional sedang mengalami keterpurukan. Optimisme muncul untuk mendobrak pesimisme, kebuntuan keadaan persepakbolaan Nasional.

Pada nuansa yang sama namun berbeda dimensi, hari ini anak-anak Bangsa Indonesia dengan medan perangnya masing-masing juga sedang berjuang, dalam konteks rakaat panjang. Pada kehidupan sehari-hari mereka melawan gempuran dan serangan melalui berbagai media yang terus menerus berusaha menghancurkan Bangsa Indonesia. Anak-anak  Bangsa Indonesia ini mandiri menempa diri, menemukan jati diri ditengah intimidasi globalisasi. Anak-anak Bangsa ini tetap istiqomah dengan perjuangan panjangnya meskipun lingkungan sekitarnya selalu menawarkan proses instan dan proses yang premature.

Medan perang-panjang antara yang sedang menghancurkan dan membangun Bangsa Indonesia sebenarnya sudah tergelar sejak awal lahirnya Bangsa Indonesia. Nasionalisme yang telah mampu menyambung cita-cita Bangsa-bangsa di Nusantara, menjadi latar belakang didirikannya bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rangkaian itu bukanlah sebuah perjalanan mulus tanpa rintangan. Berkali-kali usaha mengadu antar elemen Bangsa terjadi, isu disintegrasi-pun kerap bermunculan. Pergantian periode pemerintahan selalu saja diwarnai dengan kegaduhan politik dan keamanan. Sementara neo kolonialisasi besutan kapitalisme global telah berhasil bercokol di sendi-sendi strategis negara. Dari dalam mereka menggerogoti kedaulatan ekonomi, kedaulatan politik, kedaulatan budaya, kedaulatan pendidikan, hingga kedaulatan beragama.

Tentu perjuangan menegakkan kedaulatan di tengah kondisi masyarakat yang apatis terhadap kedaulatan-nasional akan terasa berat apabila dilaksanakan secara perseorangan. Ibaratnya, skill individu yang prima sekalipun tidak akan cukup tanpa adanya kerjasama Tim. Pada hal ini permainan kehidupan memiliki pola kemiripan dengan pertandingan sepakbola.

Persoalannya lawan main dalam usaha menegakkan kedaulatan ditengah masyarakat berbangsa dan bernegara tidaklah mudah dalam mendefinisikan siapa-siapa yang sedang menjadi lawan main kita. Bisa jadi yang pada pagi hari nampak sebagai teman seperjuangan, siangnya mulai menampakkan geliat pengkhianatan, dan pada sore hari mungkin saja sudah menjadi lawan. Sebuah perencanaan usaha-usaha pergerakan yang tertata rapi sekalipun belum karuan dapat berhasil meraih tujuan, apalagi jika usaha-usaha tersebut dilaksanakan secara sembrono, asal bergerak dan yang penting perubahan terjadi.

Karenanya sejak hampir setahun silam, Januari 2016 Wirid Wabal (Tahlukah 2016) mulai dipraktekkan oleh Jamaah Maiyah setiap mengawali acara-acara rutin setiap bulan pada tiap-tiap simpul di berbagai wilayah Nusantara maupun mancanegara. Wirid Wabal tidak lain sebagai bentuk kepasrahan total atas segala usaha dan perencanaan yang maksimal dalam berjuang menegakkan kedaulatan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa. Wirid Wabal menjadi sebuah penegasan bahwa Allah SWT yang utama pada setiap pergerakan, sementara kita sebatas berusaha melaksanakan peran dalam permainan kehidupan ini sebaik-baiknya. Kita sebatas berusaha berlatih untuk menggiring, mengoper dan menerima bola, melatih ketahanan diri dalam sebuah permainan panjang kehidupan.

Begitu pula Kenduri Cinta yang rutin diselenggarakan di Ibukota Negara, pada bulan Januari 2016 mengangkat tema “Gerbang Wabal” sebagai pembuka sebuah rangkaian wirid dan doa sepanjang 2016 ini, terus rutin dibacakan untuk mengawali setiap forum bulanan. Sejak diperkenalkan dan dipratekkan, Doa Tahlukah dan Wirid Wabal ini menjadi bekal bagi Jamaah Maiyah dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Dengan inisitif pribadi dan atau secara bersama-sama Jamaah Maiyah melaksanakan prosesi Wabal secara sukarela, membacakannya pada moment-moment tertentu manakala terasa perlu dibawakan. Meskipun prosesi ini semata berdasarkan kebersediaan, namun demikian intensitasnya akhir-akhir ini meningkat.

Merangkai nilai merajut makna, menegakkan cinta menuju Indonesia Mulia. Merupakan proses panjang perjuangan Kenduri Cinta sebagai sebuah komunitas yang  sudah 16 tahun rutin setiap bulan menyelenggarakan forum diskusi bebas terbuka dalam usaha menegakkan kedaulatan dan cinta di tengah masyarakat Ibukota. Dengan menyaksikan kondisi Indonesia saat ini, jelas bahwa perjuangan Kenduri Cinta masih belum tuntas. Disaat kesadaran masyarakat mulai tumbuh mendapati kedaulatan bangsa yang semakin rapuh, disaat ketakutan dan ancaman-ancaman oleh beberapa pihak yang berkepentingan didengung-dengungkan, Kenduri Cinta sebagaimana Jamaah Maiyah akan tidak merasa bosan untuk terus berusaha bersedekah kepada Indonesia dengan menumbuhkan kedaulatan, menanam kebaikan dan berbagi kegembiraan dimanapun dan kapanpun, dalam keluarga, dalam lingkungan bertetangga, di dalam lingkungan kerja, di tengah masyarakat, bangsa dan negara.