Pendidikan Buruh Nasional

PERJUANGAN BURUH tidak selesai dengan penetapan 1 Mei menjadi hari libur nasional. Justru dengan adanya May Day is A Holiday, latarbelakang gerakan peringatan 1 Mei menjadi hari sucinya buruh internasional di Indonesia perlu diteliti. Perjuangan suci setiap hari yang dilakukan oleh buruh nasional semestinya tidak dikerdilkan dengan sebatas peringatan serimonial tahunan.

Kedaulatan buruh di negeri ini memang sedang dikeroposi oleh pihak-pihak yang tidak menghendaki buruh menjadi bagian dari masyarakat yang berdaulat. Kapitalisme global menghendaki buruh supaya sebatas menuntut hak-hak minimalnya ketimbang menaikan martabat buruh dengan penghargaan atas pekerjaannya. Pemodal-jahat mengkondisikan supaya pekerja bersedia sukarela menyerahkan tali kekang yang mengikat lehernya kepada pengusaha, dan sesekali menghibur mereka dengan hari libur nasional.

Buruh tidak hanya mereka yang mendapatkan upah (gaji) dari pekerjaan kasar yang mengandalkan otot saja, mereka yang mengandalkan keterampilan dan pikiran dalam bekerja namun digaji juga termasuk buruh. Buruh adalah para pekerja, tenaga kerja, karyawan, pegawai dan termasuk pemerintah (red, petugas negara). Petugas negara hakekatnya buruh yang digaji oleh Rakyat untuk mengurusi pekerjaan negaranya rakyat. Termasuk Walikota, Bupati, Gubernur, Menteri dan Presiden adalah petugas negara lima tahunan buruhnya rakyat. Namun ketika rakyat dilumpuhkan dan petugas negara tergadai kedaulatanya, ini berakibat kondisi buruh, masyarakat, bangsa dan negara dapat dengan mudah dipermainkan dan dikendalikan oleh pengusaha-nakal, parpol-palsu dan pemodal-jahat. Kedaulatan Nasional terkatung-katung pada kendali Globalisasi Internasional.

Jebakan konsumerisme sangat berdaya menjebak masyarakat Indonesia termasuk buruh dan petani kedalam kemakmuran semu yang membodohi kehidupannya. Buruh dan petani ditenggelamkan dalam kebutuhan-kebutuhan yang sebenarnya tidak diperlukan. Kemudahan hutang kredit itu-ini  dijadikan sebagai umpan supaya masyarakat bergembira memasuki perangkap yang pada kemudian hari memborgol mereka dengan tagihan-tagihan bulanan. Konsekuensinya buruh akan berusaha menuntut upah yang lebih dan pada kondisi akut petani akan nekat berusaha beralih peruntungan usaha lain dan berhenti bertani. Jangka panjangnya pengusaha akan merasa terbebani dengan upah tinggi, PHK mungkin terjadi dan bisa jadi industri gulung tikar. Sementara dengan semakin banyaknya petani yang alih profesi pasti akan mengurangi kapasitas produksi nasional dan ketersediaan bahan pangan lokal. Selanjutnya lagi-lagi datang giliran sorak-sorai kemenangan produk-produk impor akan kita saksikan.

Arah perjuangan buruh nasional jelas tidak dapat disama-ratakan dengan perjuangan Buruh Internasional. Perjuangan buruh nasional merupakan manifestasi dari pekerjaan suci sehari-hari dari seorang pekerja dalam mendistribusikan Rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa untuk hak-hak anggota keluarga yang menjadi kewajibanya supaya menjadi berkah bersama. Perjuangan buruh nasional adalah perjuangan yang adil dan beradab, bukan sekedar perlawanan serampangan yang mengabaikan pemberadaban. Peran buruh nasional tidak sekedar perjuangan untuk kaumnya sendiri namun juga untuk persatuan bangsa dan negara Indonesia. Buruh mewakili dirinya sebagai Rakyat yang berdaulat dalam setiap permusyawaratan berdasarkan hikmat kebijaksanaan. Arah tujuan perjuangan buruh nasional adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Setiap hari bagi perjuangan buruh nasional dapat dijadikan sebagai hari raya. Buruh nasional dari yang pekerjaannya kasar hingga Presiden sebagai TKI 1 seharusnya menjadikan hari-harinya sebagai hari buruh nasional jika mengikuti arah tujuan perjuangan Nasionalnya. Dan arah perjuangan buruh nasional ini akan dapat terwujud apabila pendidikan nasional kembali menggunakan warisan yang diberikan oleh perintis pendidikan di Indonesia. Cak Nun pada kesempatan yang lalu menyampaikan bahwa bangsa Indonesia akan segera bangkit dari keterpurukanya jika pendidikan nasional Republik Indonesia mengambil kembali apa yang dahulu diberikan Ki Hajar Dewantoro, “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani.[AS]