Pemimpin, Pemerintah, dan Pengusaha

BARATAYUDA SEPERTINYA akan terus berulang walau ada yang setia berusaha meredam. Perang saudara ini akan terjadi karena tak sedikit yang terus mengipas-ipasi, memprovokasi bahkan merancang. Perang saudara jelas bukan cita-cita peradaban, lebih sebagai kecelakaan zaman. Sitiuasi tidak pasti yang mana kawan dan lawan, tak tentu pelaku ataupun korban. Naluri menghabisi lawan dalam peperangan lebih mirip hewan ketimbang nurani kemanusiaan. Entahlah apa yang mesti dilakukan manakala kita berada di tengah pusaran perang, peran yang mana mesti digerakkan? atau cukupkah kita hanya diam, menyaksikan zaman yang berulang.

Sang Prabu Salya bagaikan orang-orangan sawah yang tertancap ditumpukan jerami. Compang-camping pakaiannya, mukanya pucat, terasa dingin tak menunjukan ekspresi apapun. Tewasnya Basukarno dihadapi dengan larutan perasaan antara kelegaan, kesedihan, penyesalan dan samarnya dendam harapan. Meskipun pada hari itu Panji Senopati dipasrahkan padanya untuk memipin bala Kurawa, tetapi itu diterima dengan setengah hati. Sangat beralasan karena pasukan Kurawa semakin menurun semangat perangnya.

“Kemarin aku mampu mengemudikan kereta supaya bergerak dalam kendaliku. Tapi pagi ini sekedar menggerakkan lengan saja terasa berat. Apalah menjadi Senopati jika pasukannya tak peduli.” Spekulasi nampak jelas dengan diangkatnya Prabu Salya menjadi senopati perang hari itu. Duryudana serampangan, kalap dalam menyusun strategi sepeninggal Basukarno. Salya menangkap gelagat itu dan menerima tugas dari sang menantu dengan setengah hati. “Hmm… Duryudana, engkau hanya bocah yang tak tahu diri Kurupati. Tak sadar sedang diperalat oleh Sangkuni yang hanya mementingkan keuntungan diri sendiri.” gumam Salya dalam hati malam sebelumnya, sesaat setelah menerima Panji Senopati.

Sebuah jabatan yang dijabat sekedar sebagai simbolis nampak jelas ketika si pemegang jabatan tidak memiliki kekuasaan untuk memberikan perintah kepada bawahannya. Pasukan Kurawa yang semakin melemah secara jumlah dan semangat, nyaris tidak lagi memiliki harapan untuk dapat memenangkan peperangan. Kewibawaan Prabu Salya tidak cukup kuat untuk memompa daya juang Bala Kurawa. Namun dengan akal bulus Sangkuni, Salya dipojokan untuk bersedia menjabat Senopati perang kala itu.

Dari kejauhan kibaran bendera musuh dan panji-panji perang pasukan Pandawa terasa sangat mengagumkan. Meskipun sang Senopati Salya tidak merasa gentar, namun apa gunanya jika tidak didukung oleh pasukan. Salya merasakan itu manakala sudut matanya melirik tak ada reaksi dari pasukan di belakangnya setelah kuda yang ditungganginya melangkah. Terpaksa dia menghentikan langkah maju kudanya untuk menunggu reaksi pasukan. Tetap hening. Tombak, pedang, panah yang berada digenggaman bala pasukan hanya dipegang sekenanya. Sementara mentari semakin naik beranjak menyambut sangkakala tanda mulai perang berbunyi.

Sadar tak didukung pasukan yang memadai, Salya segera memacu kudanya setelah bunyi tanda perang dimulai. Setengah jarak dari pasukan lawan yang bergerak serempak, Salya melompat turun dari kudanya. Langsung menekuk kaki dan menghujamkan lututnya ke bumi. Sikap gerak janggal dipertontonkan, Salya bersiap melepas ajian pamungkas. Langit pagi seketika gelap oleh mega-mega mendung yang tak sewajarnya. Dari hadapan Salya melesat sesosok makhluk mungil yang menyeringai dengan tatapan mata yang mengerikan. Berlari secepat anak panah yang terlepas dari busur ke arah pasukan lawan. Sepintas wujud makhluk itu nampak lucu menggelikan, namun detik berikutnya keadaan sangat menyeramkan.

Dari arah lawan, Arjuna melihat kelebatan benda aneh ke arah pasukannya. Tidak mau mengambil resiko, segera dibidiknya makhluk itu dengan anak panah. Tepat sasaran, namun yang terjadi tidak seperti yang diharapkan. Bukanya menghentikan Siluman kerdil itu, namun malah menduplikasi makhluk itu menjadi dua dan tetap meluncur dengan kecepatan sama kearahnya.

Pasukan panah segera menghadang serbuan Siluman kerdil itu dengan menjadikanya sebagai target bidikan. Tetapi setiap kali anak panah menyentuh makhluk itu, malah menjadikan semakin banyak, dari satu menjadi dua, empat, delapan, enambelas dan seterusnya. Hingga sampai ditengah pasukan panah, jumlahnya sudah menyamai ribuan jumlah pasukan panah bahkan terus bertambah. Setiap terjadi benturan melipatkan jumlahnya. Pasukan Pandawa mulai porak poranda. Ribuan siluman kerdil yang sudah berada ditengah mereka leluasa menggigit dan mencabik lawan. Sebaliknya tidak jarang anak panah, sabetan pedang dan tusukan tombak yang dilepaskan pasukan Pandawa malah mengenai temannya.

Tanpa meminta konfirmasi Arjuna, Sri Bathara Kresna segera memutar balik arah kereta. Keadan ini mesti segera diatasi. Arjuna yang masih belum dapat mengidetifikasi lawan kebingungan, emosinya yang meluap tertahan oleh keputusan tak terduga sang sais kereta. Sembari masih terus berusaha membidikan anak panah dari busurnya. Arjuna tak habis pikir terhadap serangan makhluk-makhluk ini. Sementara jauh di sisi kanan pasukan, Bima beserta pasukannya mulai nampak kuwalahan menghadapi serangan ribuan makluk-makhluk kerdil itu yang tang mempan senjata. “Iblis laknat, siluman jenis apa ini.” Bima semakin geram. Dibanting, diinjak, ditendang, bukannya berkurang malah semakin bertambah. Melihat pasukan Pandawa melemah, bala kurawa mulai muncul semangat untuk maju menyerang.

Yudistira yang sedari tadi berada di barisan belakang pasukan langsung memacu keretanya setelah melihat kereta Sri Bathara Kresna dari kejauhan bergerak menghampiri. “Darmakusuma…..Bagaspati, lepaskan Bagaspati.” Mendengar permintaan Sri Bathara, Yudistira langsung paham dengan situasi yang dihadapi pasukan di barisan depan. Arjuna sedikit heran melihat Yudistira yang begitu sigap memacu kereta kearah lawan. Yudistira yang biasanya tidak suka dengan peperangan, waktu itu justru bersegera maju kearah pasukan lawan. Begitulah pola komunikasi antar orang yang saling percaya dan mencintai. Tanpa banyak tanya dan sanggahan, namun saling memahami kondisi dan saling sigap untuk melengkapi.

Setibanya ditengah pasukan yang mulai porak poranda, Yudistira menghentikan kereta, mengambil sebuah anak panah lantas sedikit menusukan ketelunjuk kanannya. Setetes darah putih dijatuhkan ke tanah memancarkan seberkas cahaya yang sangat terang namun tak menyilaukan, seketika muncul sosok Bagaspati, Raja siluman putih. “Hrrr, sembah sujud hamba duhai Darmakusuma.” Kemunculan Bagaspati langsung menjadi perhatian pasukan yang sedang berperang. Bahkan dari sudut terjauh padang Kurusetra sosok Bagaspati terlihat jelas. Ratusan ribu siluman kerdil yang semula beringas, seketika termangu dengan kehadiran raja Siluman.

“Wahai Bagaspati, tak perlu engkau begitu menghamba padaku. Kalau bukan karena Prabu Salya melepas Candabirawa, sebenarnya aku sungkan untuk mengganggu istirahatmu.” Senyum Yudistira sangat menentramkan meski ditengah perang. Bagi Bagaspati yang sedang bersimpuh dihadapan tuannya, langsung mengerti apa yang sedang dibutuhkan oleh pemimpin yang dicintai meski tanpa diminta. “Mohon diri Pepundenku” Bagaspati langsung beranjak untuk menghampiri Prabu Salya yang masih berdiri tegap di kejauhan. Seperti sebuah magnet yang digerakan di tebaran pasir bijih besi, Bagaspati diserbu oleh ratusan ribu Candabirawa dari berbagai penjuru Kurusetra. Bukan dalam rangka penyerangan, namun lebih seperti anak-anak ayam yang berlarian karena dipanggil induknya. Ya, Candabirawa tidak lain adalah anak-anak keturunan dari Bagaspati dari sebuah kejadian proses regenerasi cara-cara siluman yang ganjil.

Bagaspati dengan paras yang menyeramkan tetap tersenyum dan terus melangkah mengarah ke Prabu Salya. Candabirawa yang riang berlarian menghampiri seketika melebur ke tubuh Bagaspati setiap bersentuhan. Dengan beragam tingkah polah lucu siluman-siluman kerdil di sekitarnya, Bagaspati sesekali tertawa hingga kemudian berhenti melangkah tepat di hadapan Prabu Salya. Candabirawa terakhir yang tersisa melompat ke pundak kiri Bagaspati. Sembari memampangkan ekspresi wajah mengejek ke arah Prabu Salya, lantas lenyap begitu saja untuk melebur ke tubuh Bagaspati. Di hadapan Bagaspati, Prabu Salya merasakan beban hidupnya menjadi teramat ringan. Nama besar dan jabatan diabaikan di akhir riwayatnya.

Perang Baratayuda masih akan terus berlangsung, berulang dan berpindah-pindah panggung. Setiap adegan boleh jadi nampak terpisah namun saling sambung. Cerita wayang seperti bayang-bayang dari kehidupan masyarakat. Dapat dijadikan pelajaran kehidupan bagi yang bersedia belajar gerak peradaban. Pemerintahan Kurawa di Astina hancur dikarenakan masing-masing bala Kurawa mementingkan keuntungan dirinya sendiri. Pemerintah yang semestinya bersifat Kesatria lantas terjungkal untuk berlaku Sudra. Pembangunan kemegahan bangunan-bangunan di Astina berdiri diatas ketidakadilan sosial. Gerbang perang saudara sangat memungkinkan, jika masyarakat terus dibiarkan untuk saling bertentangan, bertengkar dan terombang-ambing dalam arus persoalan-persoalan yang semakin menjauh dari kemanusiaan. Cerah sejarah dapat terwujud jika gerak zaman menjadi pelajaran, namun akan sangat suram jika terus diulang.