Pemain Tanpa Bola di Tribun Penonton

DALAM SEBUAH pertandingan sepakbola, kita menyaksikan 22 pemain terbagi dalam 2 kesebelasan yang saling beradu skill di lapangan bola. Tujuan mereka selama pertandingan adalah mencetak gol ke gawang lawan. 11 pemain melawan 11 pemain di sisi lapangan yang berbeda. Pertandingan sepakbola akan indah manakala dilangsungkan dalam suasana yang sportif.

Dari 22 pemain yang berada di lapangan, masing-masing telah ditentukan perannya. Ada yang menjadi penjaga gawang, ada yang menjadi pemain bertahan, ada yang bermain di lini tengah, dan ada yang berposisi sebagai penyerang. Pembagian peran itu berdasarkan kemampuan individu masing-masing pemain. Begitu juga dalam penentuan ekskutor tendangan bebas, sepak pojok dan tendangan pinalti. Setiap pelatih telah menentukan siapa-siapa saja dari 11 pemain yang ia turunkan di lapangan untuk menjadi eksekutor.

Dari masing-masing kesebelasan itu, ketika pertandingan berlangsung ada yang juga harus bergerak tanpa bola. Pemain ini adalah pemain yang berusaha membongkar pertahanan lawan dengan cara membuka ruang bagi pemain lain untuk masuk ke sektor pertahanan lawan. Bahkan bisa jadi, ia sendiri yang kemudian mencetak gol ke gawang lawan, karena pergerakan tanpa bola yang ia lakukan berhasil membuka ruang dan menciptakan ruang bagi dirinya di wilayah pertahanan lawan, begitu ia mendapatkan bola liar, sepakan terukurnya akan mampu mengoyak jala gawang lawan. Dan untuk menjadi pemain yang mampu membuka ruang serta menciptakan ruang dalam sebuah pertandingan sepakbola tidaklah mudah. Dibutuhkan kecerdasan serta intuisi yang baik untuk memerankan posisi tersebut. Dan tidak banyak di dunia sepakbola hari ini yang mampu memerankan peran tersebut.

Lain hal dengan Demokrasi di Indonesia hari ini. Ada banyak sekali “Pemain tanpa bola” yang bergerak, berlari kesana kemari, membuka ruang, menciptakan peluang, membongkar pertahanan tim lawan yang sayangnya seringkali merusak irama permainan di kesebelasan kita sendiri, sehingga tidak jarang justru gawang kita yang kebobolan melalui skema permainan yang sangat aneh dan tidak masuk akal. Kebijakan-kebijakan Pemerintah yang diambil tidak berdasarkan atas kebutuhan, apalagi atas dasar kepentingan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Beberapa tahun terakhir, berbagai komoditas bahan makanan pokok harus diimpor dari luar negeri. Mulai dari Kedelai, Gula, dan akhir-akhir ini kita dikejutkan dengan adanya impor Beras dan sedang direncanakan impor Garam. Apa yang terjadi dengan Indonesia hari ini sebenarnya? Apakah orang-orang terbaik yang ditunjuk sebagai penentu kebijakan di Indonesia saat ini sudah kehilangan daya cengkram untuk memutuskan keputusan yang berpihak kepada rakyat? Atau para tokoh terbaik ini sudah kalah langkah dan strategi dari para “pemain tanpa bola” yang sebenarnya mereka juga mengetahui siapa-siapa pemain itu. Atau jangan-jangan mereka justru para “Pemain tanpa bola” itu sendiri. Lhadalah!!

Para “pemain tanpa bola” memang sudah ada sejak dulu, mereka seringkali memanfaatkan penguasa untuk memuluskan keinginannya. Bahkan, para “pemain tanpa bola” ini memegang lisensi “Surat Izin Berkuasa” bagi siapapun saja yang ingin menjadi Penguasa di Negeri ini. Siapapun saja yang mendapatan restu dari para “Pemain tanpa bola” ini, maka dalam pesta demokrasi lima tahunan hampir dipastikan memenangkan pertarungan mengalahkan kandidat yang lainnya.

Maka benarlah adanya, jika dulu di era Soeharto kita hanya melihat satu public enemy yang semua orang membencinya, semua orang menginginkan ia segera turun dari kursi kekuasaannya. Meskipun dulu sudah ada “Pemain tanpa bola”, tetapi jumlahnya masih bisa dihitung dan tidak memiliki ruang gerak yang sangat bebas. Mereka masih harus tunduk dan patuh dengan rezim yang berkuasa saat itu, meskipun pada akhirnya tetap saja mereka ini yang mendapat keuntungan yang berlipat dari sebuah kebijakan yang diambil oleh penguasa.

Sementara tantangan kita hari ini semakin berlapis. Selain harus menghadapi “Pemain tanpa bola” yang semakin banyak jumlahnya, dengan manuver pergerakan yang tidak bisa kita prediksi, kita juga menghadapi “soeharto” yang jumlahnya semakin bertambah. Mereka ini yang hari-hari ini bahkan lebih rakus dari Soeharto yang sebenarnya. Ada banyak “soeharto” hari ini yang menduduki posisi penting di wilayah kekuasaan Pemerintah, yang juga bekerjasama dengan para “Pemain tanpa bola” yang wilayahnya tidak hanya di dalam lapangan tetapi juga ada banyak dari mereka yang berada di luar lapangan.

Jika dahulu Nabi Ibrahim berhadapan dengan berhala-berhala yang dibuat oleh Raja Namrud, hari ini kita kebingungan, bukan hanya tidak mampu mengidentifikasi dimana letak berhala itu, tetapi kita juga kebingungan, berhala yang mana yang hendak kita hancurkan. Jika dulu Rasululah saw menghadapi Abu Jahal dan Abu Lahab, itu jelas siapa orangnya dan apa pelanggarannya. Sehingga jelas juga pasal hukum yang akan dikenakan untuk menghukum. Hari ini, kita kebingungan mengidentifikasi mana “Abu Jahal” dan mana “Abu Lahab”, karena seringkali mereka juga berkostum Abu Bakar yang bijaksana, lain hari bahkan ia bisa sangat cerdas seperti Ali Bin Abi Thalib. Bahkan terkadang mereka juga bertopeng Abu Nawas yang sangat cerdik nan jenaka.

Pertandingan semakin sulit untuk diprediksi akan bagaimana akhirnya. Strategi pelatih yang sebelumnya diinstruksikan di ruang ganti pemain, bisa berubah drastis bahkan sejak peluit pertandingan dibunyikan oleh wasit pemimpin pertandingan. Yang lebih lucu lagi, terkadang wasit pertandingan juga ikut menendang bola dan memasukkan bola, ke gawang manapun yang ia kehendaki. Bahkan tidak jarang, pemain penyerang kesebelasan kita sendiri dengan bangga mencetak gol bunuh diri ke gawang kita. Absurd!

Sementara, ada “Pemain tanpa bola” yang hanya duduk di tribun penonton, mengamati jalannya pertandingan, dan dia adalah orang yang memegang hak penuh atas jalannya pertandingan di lapangan. Bahkan mungkin juga duduk bersebelahan dengan kita dan turut bersorak ketika gol tercipta, juga meneriakkan yek-yel menyemangati pemain yang sedang berlari-lari di lapangan. Jika di tengah pertandingan ada hal yang ingin ia rubah regulasinya, bukan hal yang sulit ia lakukan meskipun ia duduk di tribun penonton, cukup dengan beberapa kode isyarat saja berupa senyuman, kedipan mata atau lambaian tangan, jalannya pertandingan bisa berubah seketika. Maka tidak heran ketika Mbah Geyol ditanya oleh Pakde Kodam terkait pendapatnya tentang Indonesia, Mbah Geyol menjawab; Wallahu a’lam bisshawwab.