Palestina

Dalam Empat Tahun Maiyah Re-Legi Malang

BARANGKALI SUDAH menjadi keharusan takdir bahwa Ramadhan kali ini, di momen Miladnya, Jamaah Maiyah Malang menerima tamu dari Palestina setelah pada Ramadhan tahun lalu Jamaah Maiyah Malang juga menerima tamu seorang Yahudi –yang kemudian menjadi mualaf. Seperti sudah jamak diketahui, Palestina, Israel dan Yahudi adalah isu paling besar sejak pertengahan terakhir Abad XX hingga entah kapan. Dua peristiwa tersebut menjadi unik. Sebab, sama-sama terjadi pada bulan Ramadhan dengan tahun yang berurutan.

Dua peristiwa unik tersebut bukan tidak mungkin saling terhubung satu sama lain, tanpa kita sadari. Dan tentu saja, tidak ada seorang pun yang mengatur atau merencanakan agar berlangsung begini atau begitu. Semua terjadi begitu saja. Mengalir bersama angin. Baru sehari kemudian, saya terpana menyadarinya.

Adakah pesan Allah dibalik kedua peristiwa tersebut?

Tubuhnya tinggi, sehat dan parasnya ganteng, tentu saja. Namanya Adnan –seperti nama surga. Adnan lahir dan besar di Ramallah, Tepi Barat. Bagian Palestina yang sedikit lebih bebas dibandingkan Gaza. Dia belajar Teknik Informatika dan menguasai bahasa Inggris dengan baik. Sepertinya, jika dia hidup di negara-negara damai, dia akan dengan mudah mendapatkan pekerjaan dan tentu saja: istri.

Tapi, apa lacur. Semua potensi yang dimiliki Adnan, dan juga ribuan pemuda Palestina, tidak akan ada artinya di Palestina. Anda boleh ahli dalam bidang apa pun. Bahkan dalam bidang yang sangat langka sekali pun. Tapi, jika negara Anda terus menerus dalam keadaan “perang”, siapa yang akan mempekerjakan Anda. Begitu kurang lebih obrolan kami di mobil sewaktu saya menjemputnya untuk berangkat ke Maiyahan.

“Apakah kamu kerasan di sini?”

“Kerasan. Sangat kerasan. Sayangnya saya hanya punya waktu sedikit lagi di Indonesia. Tapi, saya akan berusaha untuk kembali ke Indonesia. Kalau saja saya bisa mendapatkan istri orang Indonesia.”

Jeda.

“Tapi, begitu saya mendapatkan istri orang Indonesia, atau orang manapun di luar Palestina, begitu saya menikah, maka pada saat itu pula saya tidak akan pernah bisa kembali ke Palestina. Saya akan ditangkal untuk masuk.”

“Apalagi Indonesia masuk daftar tangkal untuk orang-orang yang akan masuk ke Palestina. Tentu saja, Israel yang menentukan semua itu.”

“Kalau saya di Indonesia, saya bisa menikah, saya bisa bekerja dan memanfaatkan waktu saya,” katanya masygul.

Saya merasakan getaran suaranya. Betapa frustasinya dia. Betapa nihilnya hidup di Palestina. Bahkan, seseorang tidak bisa memanfaatkan waktunya. Dengan keadaan seperti itulah, maka kematian yang syahid menjadi satu-satunya cita-cita yang mungkin.

“Saya sangat senang di sini. Ada banyak pohon, sawah, hutan, orang-orangnya, indah. Semuanya nampak indah. Apalagi, saya dengar orang Indonesia masuk Islam tanpa perang. Hanya dengan mendengar ayat-ayat Allah, Orang Indonesia sudah menerima Islam. Menurut saya, hanya orang-orang yang pintar yang bisa demikian: menerima Islam tanpa perang.”

“Menurut saya, tanpa Islam pun, orang Indonesia sudah memiliki akhlaq yang baik. Mereka saling menghormati, saling menghargai, berlaku sopan santun dan ramah tamah,” kekaguman tulus yang disampaikan di hadapan puluhan anak-anak muda Maiyah.

“Sebenarnya perang kami dengan Israel adalah perang agama. Tapi, mereka dengan kekuatan lobi Yahudi dan media internasional telah berhasil mengubah pandangan dunia bahwa itu bukan perang agama, melainkan perang Arab-Israel. Ternyata, itu belum cukup. Perang melawan Arab melibatkan banyak negara Arab, kendati Israel sangat kuat dan memiliki persenjataan canggih, mereka merasa terkepung. Maka, mereka pun kembali mereduksi perang agama itu hanya menjadi konflik antara Palestina dan Israel. Kami sendirian.”

“Jika ada roket dari Palestina yang membunuh orang Israel di jalanan misalnya. Atau di restoran. Mereka bilang kami membunuh warga sipil. Padahal, semua warga Israel adalah tentara. Bagaimana bisa kami membunuh warga sipil sedangkan semua warga Israel adalah tentara?”

Adnan nampak sangat antusias.

“Delapan puluh persen orang Palestina adalah muslim. Sisanya ada Nasrani dan Yahudi. Kami memang berdiri di atas tanah yang rawan. Yahudi berkeyakinan bahwa Palestina adalah tanah yang dijanjikan dan mereka harus menguasai Palestina seluruhnya. Orang Nasrani merasa bahwa Isa lahir disana dan juga kembali ke sana. Sementara kita orang Islam juga memiliki Al Aqsa.”

“Rumah saya sangat dekat dengan proyek pemukiman Israel. Ada proposal perundingan damai. Kami mengusulkan agar selama melakukan proses perundingan, proyek tersebut dihentikan dulu. Bukan untuk pergi, bukan untuk merobohkan dan meninggalkannya, tapi hanya berhenti. Hanya berhenti, itu saja. Obama juga bilang berhenti. Tapi, mereka tidak pernah berhenti. Mereka tetap melanjutkan proyek pembangunan. Bahkan seluruh dunia bilang berhenti, mereka tetap melanjutkan.”

Dia nampak emosional. Matanya menggerabak.

“Mereka terus memperluas wilayah yang diduduki. Mereka memiliki keyakinan bahwa kelak akan turun Nabi Terakhir orang Yahudi. Dan prasyarat untuk turunnya Nabi itu adalah: mereka harus menguasai seluruh wilayah Palestina. Jika seluruh wilayah Palestina telah dikuasai, maka mereka baru menganggap misinya tuntas dan bersiap menyambut kehadiran Nabi terakhir mereka.”

“Dulu pada masa Palestina masih berada di bawah kekuasaan Ottoman Turki, pernah ada seorang Yahudi yang mendatangi Sultan Hamid II. Dia menawarkan uang kepada Sultan dengan imbalan dia minta tanah Palestina. Sultan Hamid menjawab, Palestina bukan tanah saya. Palestina adalah tanah seluruh muslim di dunia. Kalau ingin meminta Palestina, silakan minta persetujuan kepada semua negara-negara muslim, dari yang paling besar hingga yang paling kecil.”

“Terasa aneh juga bahwa kami yang kecil dan tanpa persenjataan bisa bertahan sekian lama terus bertempur dan berjuang melawan Israel dengan segala fasilitas dan persenjataan yang kuat. Sejatinya, kami bisa kuat karena spirit agama. Spirit Islam.”

“Saya senang sekali berada di sini. Saya sungguh sangat menikmati program (Maiyahan) ini. Saya akan sampaikan kepada orang-orang di kampung halaman saya tentang malam ini. Bahwa ada banyak saudara-saudara kita yang mendukung perjuangan kita. Termasuk di Indonesia. Sebab, itu menjadi bara api semangat untuk kami terus berjuang.”

Ditulis berdasarkan obrolan dengan Adnan dengan narasi dan penyesuaian-penyesuaian dari penulis. Lihat juga Jewish is Old Islam and Islam is New Jewish.