Ngaji bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng, Maulid Nabi Muhammad SAW

Catatan Ngaji bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng Dalam Rangka Maulid Nabi Muhammad SAW – Majenang, 24 Desember 2015

‎Dalam rangka maiyahan di Taman Kota Majenang pada tanggal 24 Desember 2015, rombongan Cak Nun dan KiaiKanjeng bergerak dari Rumah Maiyah di Kadipiro pukul 03:00 WIB menuju Majenang. Masuk Banyumas pukul 09:00 WIB, rombongan singgah sejenak menyambung silaturahmi dengan Ahmad Tohari di Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas. Novelis nasional, sahabat Cak Nun sejak dulu itu menyambut dengan gembira kedatangan rombongan KiaiKanjeng.

Beberapa saat menikmati teh dan tempe mendoan, Cak Nun kemudian diajak Pak Ahmad Tohari mengunjungi Pondok Pesantren Al-Falah tak jauh dari rumah beliau. Pesantren ini diasuh oleh Kyai Ahmad Sobri, adik kandung Pak Ahmad Tohari. Ternyata pesantren sedang ada acara haul dan Cak Nun diminta memberikan ular-ular.

Dalam waktu yang sangat terbatas, karena harus segera melanjutkan perjalanan, Cak Nun mengajak hadirin untuk memurnikan dan mengosongkan jarak antara kita, Kanjeng Nabi dan Allah SWT. Jangan ada siapa-siapa, termasuk ustaz di televisi. Paling jauh ada Kyai Ahmad Sobri untuk membantu belajar ittiba‘ bagi warga dan masyarakat pesantren.

Karena terbatasnya waktu, Cak Nun dan rombongan pun segera melanjutkan kembali perjalanan. Dan tiba di Majenang pukul 13:40 WIB. Di teras kamar tempat transit Cak Nun dan KiaiKanjeng,‎ Cak Nun menerima teman-teman panitia, Komunitas Santri Majenang, berbincang-bincang dan menyerap informasi dari mereka seputar ‘pembangunan’ manusia Majenang. Selain komunitas santri, Cak Nun juga kedatangan dua orang penggemar batu akik. Batu yang sudah diambil Cak Nun hendak dibayar dia benar-benar tidak mau. Dia hanya minta didoakan oleh Cak Nun. Lalu Cak Nun mengajak berdoa bersama. Selain itu, Cak Nun juga dapat kenang-kenangan berupa tongkat dari Pak Tatang (ayahnya salah seorang JM Malang). Terakhir beberapa staf Bupati Cilacap menghadap Cak Nun untuk melaporkan persiapan acara nanti malam.

Menjelang Magrib Cak Nun tiba di rumah Bupati Cilacap Tatto Suwartom Pamuji yang kebetulan asli kelahiran Majenang untuk beramah tamah dan salat Maghrib bersama. Melihat suasana di rumah Pak Bupati yang bersanding dengan perbukitan, ada kolam ikan yang luas, angin semilir dan sebuah masjid di komplek, Cak Nun menggoda, “Kayanya kalau seperti sudah nggak perlu ke surga hehe.” Sementara itu, KiaiKanjeng juga segera menyusul ke lokasi setelah selesai check sound.

Usai salat Maghrib berjamaah, Pak Bupati sebelumnya meminta Cak Nun menjadi imam, dengan rendah hati Cak Nun mengatakan, “Aku nggak tau ngimami atau khotbah Jumat, kecuali terpaksa kalau di luar negeri.” Pak Bupati dan para staf lantas memahami bahwa wilayah Cak Nun bukan pada kepemimpinan formal, melainkan di wilayah yang justru lebih dalam lagi.

Setelah makan malam, Cak Nun dan Pak Bupati bersama KiaiKanjeng bersama tokoh masyarakat mengadakan briefing untuk acara. Pak Bupati menyampaikan terima kasih, mimpinya menghadirkan Cak Nun KiaiKanjeng akhirnya terlaksana. Pak Bupati bercerita latar belakang keluarganya, mengutarakan latar belakang acara Maulid Nabi dan peresmian taman kota. Secara khusus Pak Bupati ingin nanti membawakan Tombo Ati ala Cilacapan dan kontan segera terjadi pembahasan dengan KiaiKanjeng termasuk kemudian keseluruhan lagu-lagu yang bisa dibawakan untuk kegembiraan bersama. Pak Bupati tadi juga buka rahasia, “Pak pimpinan DPRD, kenapa saya bisa menjawab pertanyaan orang-orang, saya buka ya, karena saya selalu baca buku-buku Cak Nun. Jadi referensi saya adalah Cak Nun. Aslinya saya nggak bisa apa-apa….” Briefing diakhiri dengan doa yang dipimpin Mas Islamiyanto.

“Saya ke sini bukan untuk menceramahi anda, melainkan mau negeske (menegaskan) bahwa hidup harus istiqamah. Takwa itu sejatinya adalah madep mantep kepada Allah SWT.”
Emha Ainun Nadjib, Majenang (Des, 2015)

Tak lama berselang, acara Ngaji Bareng Ramane Bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng Dalam Rangka Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dan Peresmian Taman Kota Majenang dimulai. Sedari isya, masyarakat Majenang telah memenuhi lokasi yang berada di jalan yang baru selasai dicor di depan wajah depan Taman Kota Majenang. Panggung KiaiKanjeng berada di atas jalan ini sekitar dua ratus meter dari tulisan Taman Majenang.

Untuk menuju lokasi pun, Pak Bupati minta agar Cak Nun berkenan bersama berangkat dari rumahnya. Sangat tawadhu dan penuh hormat, tiba di lokasi beliau duduk berdua, dan terlihat sangat intensif berbincang-bincang. Saat naik ke panggung dan pemotongan pita peresmian, lagi-lagi juga minta didampingi Cak Nun dan dimohon  pula untuk mendoakan peresmian tersebut.

Antusiasme Pak Bupati juga terlihat dari keinginannya untuk menyanyikan Tombo Ati, terutama dalam bahasa Cilacapan diiringi KiaiKanjeng. Sambutan yang disampaikannya pun jauh dari formal, karena malah diawali dengan nyanyi Tombo Ati tadi, baru kemudian menyampaikan beberapa poin ringkas, dan menyatakan peresmian. Saat itu pula Cak Nun dengan penuh senyum mengikuti mengalirnya kolaborasi antara Pak Bupati dan KiaiKanjeng sekaligus mengajak para vokalis untuk lebih nyambungkan hati kepada para jamaah, yang sebagian besar adalah para santri.

Sangat ragam elemen masyarakat yang hadir pada perhelatan yang sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat Majenang malam itu. Pak Bupati beserta jajarannya, tokoh-tokoh masyarakat, anak-anak muda para santri, Banser, IPSI, juga tentu masyarkat luas. Tak memenuhi jalan yang memanjang di depan panggung, melainkan sampai di area taman itu sendiri. Tampak para bapak-bapak polisi dan Polwan juga ikut ngaji pada kesempatan malam ini.

“Takwa itu sejatinya adalah madep mantep kepada Allah SWT.”
Emha Ainun Nadjib, Majenang (Des, 2015)

Bersyukur bahwa hari ini adalah Maulid Nabi. Bahwa di dalam Tombo Ati ada perintah moco Qur’an sak maknana dan di dalam Alquran ada orientasi pembangunan ‘baldatun thayyibatun wa robbun ghofur‘, Pak Bupati mengajak warganya untuk menjadikan Cilacap sebagai kabupaten yang ‘robbun ghofur’ dan tetap bisa menjaga keharmonisan sebagai harmonisnya KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan. Warga juga disulut semangatnya untuk tidak hanya nonton dan komen saja, tetapi ayo bekerja keras membangun desa, membangun Cilacap.

Merespons apa yang disampaikan Pak Bupati, Cak Nun menegaskan agar kita semua bangga dengan mbangun ndesa. Bahkan dimensi kebanggan tersebut harus dibuktikan dengan penguasaan atas sejarah dan khasanah kematangan peradaban kita. Para santri kalau bisa mengerti leluhur-leluhurnya hingga delapan belas tingkat ke atas. Tak hanya memahami putaran hari dari Ahad hingga Sabtu, tetapi juga petungan Jawa Pon Wage, dan seterusnya supaya jangkep atau lengkap diri kita.

Kemudian, dalam suasana yang sangat enak terbentuk sejak awal, Cak Nun mengundang salah satu santri menjawab pertanyaan mengapa kita perlu bershalawat. Salah seorang santri berpartisipasi maju dan mencoba menjawab. Dari jawaban itu, Cak Nun mengingatkan kunci prinsip di dalam bershalawat. ialah karena dengan dekat kepada Kanjeng Nabi, kita punya modal kepantasan untuk dikabulkan doa kita, karena Allah tresno kepada Kanjeng Nabi. Hidup menjadi lebih mudah kalau kita mencintai Allah dan mencintai kekasih Allah yaitu Kanjeng Nabi Muhammad. Bahwa hubungan kita dengan Allah yang pertama dan yang utama adalah hubungan cinta, dan di dalam hubungan cinta itu otomatis syariat pasti dijalankan. Cinta itu pula muatan khusyuk.

Cak Nun juga merangsang para santri untuk jernis memahami siapa sesungguhnya santri itu. Hakikatnya setiap orang bisa menjadi santri, asalkan memperjuangkan tegaknya takwa kepada Allah dalam semua seginya. “Saya ke sini bukan untuk menceramahi anda, melainkan saya mau negeske (menegaskan) bahwa hidup itu harus istiqamah. Maka takwa itu sejatinya adalah madep mantep kepada Allah SWT,” tegas Cak Nun setelah menjelaskan struktur fikih, moral (akhlak), dan takwa (cinta).

majenang1

Untuk melemaskan hati, meningkatkan kedekatan batin, dan memperdalam cinta, Cak Nun mengajak shalawatan bersama-sama. Usai Syi’ir Tanpo Waton, para jamaah melantunkan Shalawat Nariyah diiringi KiaiKanjeng, sebuah shalawat yang sangat populer sebagai puji-pujian di surau-surau tapi sekaligus dahsyat sebagai doa. Semua jamaah mengikuti dengan khusyuk. Mereka sangat intens dan tak beranjak mengikuti maiyahan bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng. Majenang adalah masyarakat yang merupakan ‘titik silang’ dari pelbagai arah budaya: Sunda dan Jawa dengan beberapa variannya. Di dalam buminya terdapat situs gunung yang sangat besar. Potensi alamnya juga luar biasa.

Antusiasme masyarakatnya pada kemajuan kehidupan juga menggelora, seperti terlihat saat ini. Tak hanya jamaah yang duduk lesehan di depan panggung, hadirin yang berdiri-berdiri di depan toko-toko di samping panggung juga sangat banyak, dan dari wajahnya terpancar aura bahwa mereka sangat menikmati keindahan dan memetik ilmu dalam pertemuan malam ini.

Hanya kematangan dan keluasan Maiyah seperti ditunjukkan oleh Cak Nun untuk mampu mengolah semua potensi yang ada di depan panggung. Salah satunya, anak-anak diajak naik. Bahkan Cak Nun turun panggung melangkah ke area jamaah untuk menjemput anak-anak agar mau naik bersama ke panggung. Sekitar sepuluhan anak. Masing-masing ditanya dan diajak ngobrol sama Cak Nun. Ada yang nangis karena masih takut dan grogi. Tetapi sesudah beberapa sentuhan, anak ini kemudian sangat lantang menyanyikan Gundul-Gundul Pacul. Melalui keakraban dan pengasuhan pada anak-anak ini, Pak Bupati juga aktif terlibat membantu dan merasakan bagaimana hakikat pendidikan (bukan mencekoki anak), bagaimana mengelola sumber daya manusia, dan bagaimana mengenali watak generasi-generasi penerus.

“Mereka perlu diajak untuk memiliki ekspresi atau kehadiran diri di hadapan orang lain dengan baik. Agar kelak ketika menjadi pemimpin, dia punya kehadiran-kehadiran yang baik.” Interaksi dengan anak-anak tadi adalah bentuk bahwa pendidikan bukan lewat kata-kata, melainkan lewat praktik langsung dengan roso dan pengalaman. Anak-anak juga dilatih untuk mampu berembug dan mengambil keputusan. Hal yang sangat sinkron dengan cita-cita Pak Bupati agar Cilacap melahirkan generasi-generasi masa depan yang baik.

Cak Nun juga mengingatkan bahwa sejatinya Allah-lah yang mendidik langsung bayi dan anak-anak, sehingga kita harus melakukan segala sesuatu yang segaris dengan kehendak Allah dalam mendidik atau membentuk potensi dan aktualisasi diri sang anak, dan bukan menjauhkannya dari kehendak Allah atas diri sang anak.

majenang2

Sampai saat ini, selepas Pak Bupati sedikit menginformasikan bahwa Cilacap pernah menjadi kabupaten paling buruk di Jawah Tengah dalam hal infrastruktur jalan, kini pembangunan jalan-jalan sudah merata di hampir semua desa di kabupaten Cilacap, bahkan rencananya, pada tahun-tahun ke depan akan dibangun jalan tol Jogja-Cilacap dan Tegal-Cilacap.

Ketika ditanya acara diteruskan atau tidak, semua serempak menjawab terus. Meski demikian Cak Nun mempersilakan jika ada ibu-ibu atau siapapun yang harus pulang duluan. Jamaah semakin manteng ke depan. Mereka diajak khusyuk, berdoa hatinya memohon kepada Allah untuk diberikan kemudahan dan hal-hal terbaik dalam hal diri, keluarga dan masyarakat serta Indonesia. Sebelumnya, Cak Nun mengingatkan, bahwa Maulid Nabi yang kita peringati ini adalah mengingat kelahiran Muhammad bin Abdullah, tetapi hendaknya selalu diingat bahwa Kanjeng Nabi sendiri sudah dilahirkan sebelum segala yang ada diciptakan oleh Allah. Dialah Nur Muhammad.

‎Rangkaian shalawat dilantunkan Cak Nun dalam kesakralan dan kekhusyukan. Para jamaah mengikutinya dengan sungguh-sungguh dan hikmat. Terlihat di antara ada yg berdiri dan tangannya seperti sedang salat dan kedua matanya terpejam. Yang lain ada yang duduk, dan kepalanya tertunduk di atas kedua kakinya. Semuanya masuk ke dalam diri, meresapi kandungan-kandungan doa melalui shalawatan yang dibawakan KiaiKanjeng. Nomor-nomor yang dibawakan dalam hal ini adalah shalawat seperti Shalatun minallah wa alfa salam, Ya Robbi shalli ‘ala Muhammad (simthuth duror), dan Sidnan Nabi.

Secara logika, Maiyah membutuhkan energi yang amat besar untuk dapat melayani tugas ‘menemani’ masyarakat, seperti malam itu, dengan dimensi-dimensinya yang sangat beragam dari aspirasi dan problematika masyarakat. Sesuatu yang dilakukan oleh pemimpin politik atau orang-orang yang telah dibayar untuk melayani dan mensejahterakan masyarakat. Tetapi energi besar itu terus mengalir. Maiyahan terus berjalan. Jika dituruti permintaan-permintaan yang ada, niscaya tak ada waktu buat istirahat. Uniknya, maiyahan tidak membawa orang kecuali kepada kemurnian dan kesungguhan.

Seperti saat dialog yang sebelumnya dibuka oleh Cak Nun. Salah seorang penanya melontarkan harapan mengenali maksimalisasi sarana di Taman Majenang, dia menyampaikannya dengan suara terbata dan tertahan, seakan menahan tangis. Hal yang menunjukkan ketulusan yang dikandungnya. Ketulusan lain juga tampak pada keotentikan bahasa lokal yang disampaikan penanya yang lain. Dalam caranya yang unik, maiyahan menjembatani warga berkomunikasi dengan Pak Bupati. Pak Bupati pun telah menjawab dengan baik. Khusus mengenai taman kota, Cak Nun menambahkan agar yang menjadi subjek utama adalah masyarakat. Pak Bupati sudah menyediakan fasilitas, masyarakat tinggal meneruskan dengan program-program yang baik dan kreatif.

‎Pukul 24 lebih sedikit, para jamaah diminta berdiri, bersama melantunkan shalawat ‘indal qiyam, dan berdoa bersama. Acara diakhiri tetapi energi cinta tak terbendung, jamaah merangsek meminta jabat tangan. Aliran cinta dalam jabat tangan, peluk, cium tangan, dan ekspresi-ekspresi lain dengan Cak Nun seperti biasa berlangsung dengan kekhusyukan dan kemurnian para jamaah.

Teks: Red Progress/Helmi Mustofa