Nasionalisme Sebagai Teknologi Pengaturan
Nasionalisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pada pokoknya berarti semangat kebangsaan [i]. ‘Bangsa’ menjadi satu kata penting yang berusaha disandingkan KBBI pada istilah nasionalisme. Saya setuju bahwa istilah ‘nation’ tak sepadan dengan ‘bangsa’. Masyarakat Sunda misalnya, mengenali istilah ‘bangsa’ yang berarti ‘ras, keluarga, tribal’ atau bahkan ‘keturunan keluarga terhormat’ hingga sekira tahun 1862 (Rigg. 1862: 33). Bangsa berakar dari kata Sanskrit “wangsa” (misalnya yang kita kenali sekarang sebagai wangsa Sanjaya; wangsa Syailendra; wangsa Rajasa dsb) sehingga tak sama dengan ‘nation’.
Nasionalisme punya sejarahnya sendiri. Ia tidak ‘turun dari langit’, melainkan sesuatu yang ditemu-ciptakan. Lebih jauh, nasionalisme adalah efek kolonialisme, diserap dari penjajah dan berkembang di Hindia Belanda pada awal abad 20. Ada beberapa konsekuensi ketika saya menyepakati bahwa nasionalisme adalah salah satu efek kolonialisme.
Pertama, wacana nasionalisme tak melulu soal ‘nasionalisme Indonesia’. Pasalnya ketika nasionalisme mulai didiskusikan di Hindia Belanda, ‘Indonesia’ belum lahir. Bahkan kala itu, ‘nasionalisme’—istilah Inggris—masih dikenali lewat istilah Belanda yaitu: Nationaliteitsgevoel yang diterjemahkan sebagai ‘cinta bangsa’. Tanah Hindia Belanda yang berbeda-beda mungkin memunculkan fragmentasi wacana nasionalisme. Sayangnya, saya jarang menemui tulisan mengenai ‘nasionalisme pra-Indonesia’ ini tanpa dihakimi sebagai hal yang bersifat ‘kedaerahan’, ‘etnosentrisme’ dsb. Dalam hal ini, saya akan berusaha lebih banyak membicarakan wacana ‘nasionalisme pra-Indonesia’ yang terjadi di Sunda awal abad 20.
Kedua, ketika Nationaliteitsgevoel mulai dibicarakan di Hindia Belanda, ada ‘perbedaan’ antara cara berpikir masyarakat terjajah Hindia dengan cara berpikir penjajah [ii]. Hanya dengan pengakuan ‘perbedaan epistemik’ tersebut, kita dapat melihat bagaimana Nationaliteitsgevoel yangmerupakan perwujudan ‘western ratio’ “…membungkam segala bentuk representasi masyarakat lain untuk menampilkan dirinya sebagai dirinya, kehidupannya, kebutuhannya, dan untuk memaknai berdasar bahasa mereka sendiri” (Foucault, 1970: 378) [iii]. Nasionalisme adalah wujud pengetahuan/kuasa penjajah dalam mengatasi cara berpikir masyarakat terjajah.
Jika nasionalisme adalah produk western ratio yang akhirnya menjadi cara berpikir masyarakat terjajah, nasionalisme kita barangkali merujuk pada logika yang sepenuhnya modern dan asing, sekalipun ia diklaim berakar dari sejarah dan tradisi masyarakat terjajah sendiri, sekalipun ia diterjemahkan dengan istilah kuno Nusantara: ‘kebangsaan’. Ketimbang mendefinisikan nasionalisme sebagai ‘semangat kebangsaan’, saya menganggapnya sebagai teknologi sosial yang secara efektif berfungsi mengatur masyarakat atau dalam bahasa Foucauldian: sebuah upaya governmentality. Masalahnya, bagaimana operasi teknologi bernama nasionalisme tersebut? Apa yang berusaha diatur penjajah kala itu?
Operasi Pertama : Membentuk Kedirian Mengaburkan Pem-Belanda-an
Awal abad 20 di Hindia Belanda adalah masa yang terobsesi pada kemajuan. Jika kita membaca Papaes Nonoman, organ Paguyuban Pasundan yang terbit berbahasa Sunda, dari tahun 1914 hingga 1919 kita akan melihat betapa banyaknya istilah ‘kemadjoean’ di tiap edisi. Semua orang diajak untuk ‘menjadi maju’ dan kelompok yang disebut jaman itu sebagai ‘kaoem moeda’. Begitupun yang barangkali terjadi di daerah Hindia Belanda lainnya.
Tetapi apa yang disebut kemajuan kala itu pada praktiknya adalah ‘menjadi Belanda/Eropa’. Pem-Belanda-an itu utamanya terjadi ketika sekolah didirikan sejak pertengahan abad 19, dan buku-buku percetakan diterbitkan. Saat itu hal-hal ‘yang lama’ tergantikan dengan hal yang baru, dalam arti berbau Eropa/Belanda. Misalnya saja ‘sekolah’ dianggap lebih hebat ketimbang ‘pesantren’ (‘Hal ngoeroes boedak (Opvoeding)’ Papaes Nonoman nomor 8, Tahun 1916). Dokter, dikatakan “…sabodo-bodona oge geus tangtoe loewih kanjahona ti batan noe doekoen..” (sebodoh-bodohnya ia, sudah tentu lebih tahu ketimbang dukun) (”Kawarasan Badan”, Papaes Nonoman nomor 10, tahun 2, 31 Oktober 1915).
Pendeknya, dalam dua dekade awal abad dua puluh ini, pribumi Sunda—juga di tempat lainnya—tak malu menyebut Belanda atau Eropa sebagai pusat kemajuan [iv]. Hal ini mungkin berbeda dengan catatan Hilmar Farid atas ‘nasionalisme Indonesia’ di tahun 1938. Farid (1994; 34) mengatakan ‘pengaruh kompeni Eropa’ berusaha dihilangkan orang-orang ‘Indonesia’ pada Kongres Bahasa Indonesia 1938 di Medan.
Satu hal penting dari peran Nationaliteitsgevoel dalam proses pembelandaan ini ia secara efektif turut mengaburkan proses ‘pembelandaan’. Tindak ‘menjadi maju’ yang berarti ‘menjadi Belanda’ melalui sekolah misalnya tidak dianggap meniru bangsa lain, sepanjang dilakukan demi ‘cinta bangsa’ dan ‘cinta tanah air’ (Nationaliteitsgevoel-Vaderlandsliefde).
“Bagaimana akalnya supaya kita bisa maju, (apakah dengan) cara orang lain? Orang lain sama saja umatnya Tuhan… Kenapa bangsa lain seperti bangsa Eropa, Amerika, Jepang dst terlihat sangat meninggalkan kita dalam hal kemajuan?… Kalau kita meniru cara orang lain yang sudah maju, mungkin kekayaan kita bisa sama, atau bahkan lebih… Kalau satu bangsa sudah punya dua perkara, yaitu; 1) Nationaliteitsgevoel; cinta ke bangsa sendiri), dan; 2) Vaderlandsliefde; cinta ke tanah air sendiri, maka dia bisa maju…. Kangdjeng Gouvernement sudah sangat berusaha menuntun kepada hal-hal (menyangkut) kemajuan bangsa kita. Buktinya sekolah-sekolah sekarang diperbanyak”. [v](“Pamanggihna Anoe Ngarang”, Papaes Nonoman nomor 3, tahun 1, 13 Maret1914)
Nationaliteitsgevoel dan Vaderlandsliefde adalah istilah asing bagi orang Sunda, tapi pribumi Sunda menggunakan istilah itu untuk membaca dirinya sendiri, sehingga Sunda tampil sebagai nationaliteit yang harus mempunyai Nationaliteitsgevoel. Nasionalisme dengan demikian sekaligus juga membentuk kedirian pribumi. Dengan kedirian itu, alih-alih menyuguhkan ‘pem-belanda-an’ sebagai ‘menjadi Belanda’, kedirian ini menampilkan tindak ‘menjadi Belanda’ itu sebagai ‘usaha menjadi Sunda’.
Pem-belanda-an akhirnya berhasil dengan mulus. Sekolah tak lagi dianggap ‘kafir’ seperti yang terjadi ketika sekolah dikenalkan di Hindia Belanda pada pertengahan abad 19 melainkan dilihat sebagai praktik Nationaliteitsgevoel, wujud rasa cinta bangsa. Meski sekolah pada praktiknya, dalam kacamata penjajah, semata-mata hanya untuk penyediaan tenaga administratif yang murah meriah (lihat Moriyama, 2003; 92).
Operasi Kedua; Mengatur Wilayah, Mengikis Pola Kekuasaan Lama
Ketika wacana Nationaliteitsgevoel itu mengemuka, di kalangan Sunda muncul diskusi dominan perbedaan antara ‘bangsa Sunda’ dengan ‘bangsa Jawa’ [vi]. Bahasa menjadi pembeda yang penting bagi dua bangsa tersebut. Dalam hal ini, Mikihiro Moriyama (2003) dengan sangat baik menerangkan bagaimana bahasa Sunda, yang diinisiasi pemerintah kolonial sejak abad 19, menjadi identitas Sunda yang berbeda dengan Jawa. Namun, menurut saya, masalah sebenarnya bukanlah semata bahasa, melainkan ‘pengaturan wilayah’, sebuah ‘spatial ordering’ di Pulau Jawa. Bahasa, sebagai sistem penandaan yang melekat pada tubuh penutur, pada akhirnya menunjuk pada tanah-wilayah penuturnya. Istilah Vaderlandsliefde (cinta tanah air) yang merupakan bagian dari semangat Nationaliteitsgevoel akhirnya mendapatkan tempatnya.
Dalam konteks Sunda, ‘tanah air’ bangsa Sunda ditemu-ciptakan ketika ‘bahasa Priangan’ ditentukan sebagai dialek utama seluruh wilayah Sunda melalui Reglement sakola art. 6 stbl. 1893 No. 125. Menurut aturan itu, bahasa pribumi yang harus diajarkan adalah bahasa yang paling bersih, misalnya bahasa Sunda adalah bahasa Sunda Bandung (“Basa Soenda Mana Anoe Koedoe Dipake” PN No.8. Tahun 2, 31 Agustus 1915). Apa yang penting kemudian, tentu saja, bukan saja menentukan bahasa mana yang paling murni, tetapi dimana saja bahasa itu akan digunakan. Bahasa Sunda dipraktekkan pada wilayah Banten, Betawi, Priangan dan Cirebon sesuai dengan aturan Belanda. Apakah keempat daerah itu dipahami oleh bangsa Sunda sebagai ‘wilayah Sunda’?
Meski sudah terdapat istilah ‘bangsa Sunda’ —yang dimengerti sebagai ‘nationaliteit’— masih banyak orang Sunda yang menganggap dirinya terikat pada Susuhunan Solo, Raja Jawa, seperti yang ditulis Soeradiwidjaja dalam “Sadjarah Pasoendan” (Papaes Nonoman No.5 Th. 1 1 Juli 1914). “Banyak orang di kampung-kampung, apalagi yang tua-tua, yang berpunya, masih merasa diperintah oleh Susuhunan Solo…,” [vii]. ‘Identitas’ orang Sunda saat itu tidak selalu dimengerti berdasar atas wilayah (dimana wilayah berbeda kultural dengan wilayah lainnya) melainkan berdasar ikatan patrimonial kuno yaitu; raja (barangkali ikatan pada raja ini justru malah tepat jika disebut sebagai ‘bangsa’).
Pun tidak semua orang Sunda merasa bahwa seluruh bagian barat pulau Jawa adalah Sunda. Ketika bahasa priangan disepakati sebagai dialek utama di wilayah Sunda, seseorang bernama Djajadisastra memprotes keabsahan keputusan tersebut. Protesnya sederhana saja, tapi penting dalam konteks penentuan wilayah Sunda sebagai bangsa (nationaliteit). Menurut Djajadisastra; Serang, yang masuk wilayah Banten, bukan wilayah Sunda sehingga aneh ketika dijadikan tempat penentuan bahasa Sunda.;
Tidak terkira senangnya, tahu di Papaes Nonoman No 3 edisi 31/3-’15 ada keputusan mengenai dialek utama bahasa Sunda. Seperti yang terlihat dalam keputusan itu, tidak terkira tujuannya, malah cita-cita saya juga adalah begitu, …tapi hati saya masih punya rasa tidak sreg saja, sebabnya masalah kecil, rasa-rasanya tempat keputusan itu tidak tepat. Kan Serang mah bukan tanah Sunda![viii] (“Kikintoen ti Pagoenoengan; Hoofdialect Basa Sunda”, Papaes Nonoman No. 4, Tahun 2, 30 April 1915)
Namun gagasan Djajadisastra ini tak disambut. Atas dasar ‘kecintaan pada bangsa’, Banten dan Cirebon—juga Betawi, dianggap wilayah Sunda sehinga masyarakat daerah itu juga harus belajar bahasa Sunda:
Mungkin orang Banten dan Cirebon bilang, “Beu..kalau begitu mah sulit, sebab saya harus diajar lagi berbahasa Sunda, padahal saya juga Sunda; kalau mau diajar mah diajar bahasa Belanda saja.” Saya bilang, “Siapa-siapa saja yang mencintai bangsa kudu mencintai bahasanya.” Lagipula menurut peribahasa Melayu juga “bahasa itu menunjukkan bangsa” [ix]. (“Basa Soenda Mana Anoe Koedoe Dipake”, Papaes Nonoman No.8. Tahun 2, 31 Agustus 1915)
Identitas seseorang melalui tubuh (dimana bersarang bahasa) kini dilengkapi dengan hal material di hadapannya yakni wilayah atau ‘tanah air’. Hal demikian muncul menjadi ‘pesaing’—dan lambat laun mengikis, cara identifikasi era patrimonial di mana subjek didefinisikan atas diri raja.
Identitas berdasar wilayah ini adalah hal baru di Nusantara, sebab tanah—bahkan mungkin dunia—sebelumnya adalah milik penguasa. Masyarakat Asia Tenggara umumnya menganut sistem Mandala/Galactic Polity, di mana wilayah bukanlah identitas seseorang karena wilayah bukanlah ukuran kekuasaan (lihat Geldern.1963; Marr & Millner. 1986: 68; Onghokham 2002: 235). Konstruk ini barangkali disebut Lombard sebagai ‘wawasan kosmologis’, sebagai lawan dari ‘pengetahuan geografis’ (lihat Lombard, 2000 (1990).(Vol 2): 205-242).
Akhirnya
Partha Chatterjee pernah menulis bahwa nasionalisme India ‘yang Hindu’ itu tak pernah berjejak dari konsep religius milik nenek moyang orang-orang India. Nasionalisme India “…sepenuhnya adalah ide moderen, dirasionalkan dan menyejarah”, sehingga sama sekali tidak dapat dan tidak perlu didefinisikan dengan kriteria religius apapun (Chatterjee. 1993; 110). Catterjee menunjuk penjajah Inggris-lah yang mengenalkan mode sejarah baru sehingga narasi Islam juga Kristen terpinggirkan dalam sejarah nasionalisme India.
Hal sama barangkali terjadi di Indonesia ketika perbincangan nasionalisme muncul pertama kalinya. Sebagaimana yang saya kisahkan, nasionalisme di Sunda yang dikenali sebagai ‘semangat kebangsaan’ pada dasarnya adalah modern, ditemu-ciptakan dalam sejarah, dan barangkali tak pernah mampu menggapai Sunda yang ‘asali’. Bahasa Sunda yang otentik misalnya ditemukan oleh kolonial. Wilayah Sunda yang selalu didefinisikan sebagai ‘Pulau Jawa bagian Barat’ juga turut didefinisikan oleh kolonial. Demikian juga barangkali yang mungkin terjadi di beberapa daerah lain. Jawa misalnya juga berusaha dikonstruksi oleh kolonial. John Pemberton (2000) menunjuk kolonial sebagai penemu ‘Jawa’ yang otentik—dan Orde Baru terus melengkapi dan memulihkan wacana tersebut.
Nasionalisme sejak ia dilahirkan adalah teknologi modern yang ditanam di dalam tubuh untuk pengaturan. Dalam kasus Sunda, melalui Staatsblaad tahun 1925 nomor 378, daerah tersebut kemudian ditetapkan sebagai Provincie van West Java atau propinsi Jawa Barat sebagai propinsi yang pertama di Hindia Belanda sebagai kelanjutan dari undang-undang desentralisasi Hindia Belanda pada 1903. (lihat Erawan et all, 2003: 78-79). Nasionalisme, yang memunculkan Sunda sebagai sebuah kedirian dan sebagai teritori suatu bangsa, pada akhirnya memuluskan aturan tersebut. Foucault benar. Kuasa efektif bukan ketika ia melarang, melainkan memfasilitasi atau bahkan memproduksi.
Saya tidak sedang berusaha menolak nasionalisme sekarang, lalu mengajukan masa kerajaan dan atau ‘nasionalisme pra-Indonesia’ yang kini kita kenali sebagai ‘etnis’. Saya juga tidak dalam posisi percaya pada ‘internasionalisme’ yang didengungkan ISIS belakangan. Seperti rejim kolonial yang diuntungkan ketika pribumi mulai meyakini ‘nasionalisme’, bisa jadi dalam semua jenis pembentukan kedirian (subjektivasi) dan pembentukan kewilayaan (teritorialisasi) berdiri musuh lama kita: kapitalisme.
Tinjauan Pustaka :
Chatterjee, P. (1993). The nation and its fragments: Colonial and postcolonial histories. Princeton, N.J: Princeton University Press.
Erawan, Memed et all. 2000. Paguyuban Pasundan; Kiprah dan Perjuangannya dari Zaman ke Zaman (1914-2000).Bandung. Pengurus Besar Paguyuban Pasundan
Farid, Hilmar. 1994. “Menemukan Bangsa, Mencipta Bahasa; Bahasa, Politik, dan Nasionalisme Indonesia”. Jurnal Kalam Edisi 3. Jakarta; Yayasan Kalam & Pustaka Utama Graffiti
Foucault, M. (1970). The order of things: An archaeology of the human sciences : Transl. from the French. London: Tavistock.
Heine-Geldern, Robert. Conceptions of State and Kingship In Southeast Asia; Revised version of an Article published in The Far Eastern Quarterly Vol.2 pp 15-30 November 1942. 2nd Printing. (1963). Southeast Asia Program, Department of Asian Studies Cornell University, Ithaca, New York
Lombard, D. (1996). Nusa Jawa: Silang budaya, kajian sejarah terpadu. 3 Volume Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Marr, David G & Millner, AC. 1986. Southeast Asia In the 9th to 14th Centuries. ISAS Singapore & RSPS Australian National University.
Moriyama, Mikihiro. (2003). Semangat Baru : Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesusastraan Sunda Abad 19. Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia
Onghokham, (2002). Dari soal priyayi sampai Nyi Blorong: Refleksi historis nusantara. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Pemberton, John (2000). Jawa : On The Subject of Java. Yogyakarta: Matabangsa
Rigg, J. (1862). A dictionary of the Sunda language of Java. Batavia: Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen
Artikel Koran :
-
“Pamanggihna Anoe Ngarang”, Papaes Nonoman nomor 3, tahun 1, 13 Maret1914
-
“Sadjarah Pasoendan”,Papaes Nonoman No.5 Th. 1 1 Juli 1914
-
“Kawarasan Badan”, Papaes Nonoman nomor 10, tahun 2, 31 Oktober 1915
-
“Basa Soenda Mana Anoe Koedoe Dipake”, Papaes Nonoman No.8. Tahun 2, 31 Agustus 1915
-
“Kikintoen ti Pagoenoengan; Hoofdialect Basa Sunda”,Papaes Nonoman No. 4, Tahun 2, 30 April 1915
-
“Hal ngoeroes boedak (Opvoeding)”, Papaes Nonoman nomor 8, Tahun 1916
-
“Politiek Priboemi Pasoendan”, Sora Pasoendan No.11-12, Tahun 5, November-Desember 1918
-
“Toekomstbeelden (Kolebatna Pikahareupeun)”, Pasoendan, No. 8 Tahun 6, Senin 7 April 1919
Catatan :
[i] Nasionalisme menurut KBBI adalah “paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; sifat kenasionalan; kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yg secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu; semangat kebangsaan”.
[ii] Martin Suryajaya mungkin menyebutnya sebagai ‘perbedaan epistemologis’, ketika ia mencurigai bias kolonial pada gagasan Marx tentang ‘masyarakat asiatik’: “Ambillah contoh tulisan Marx tentang ‘masyarakat Asiatik.’ Ketika ia hendak merumuskan modus produksi Asiatik dan berbicara tentang Hindia Belanda, Marx menggunakan sumber rujukan buku Thomas Stamford Raffles, History of Java, sebuah buku yang rincian empirisnya tidak akurat karena dipengaruhi oleh bias epistemologi kolonial. Karenanya, ajaran spesifik Marx tentang masyarakat Asiatik belum tentu dapat diandalkan” (lihat “Marxisme dan Propaganda”http://indoprogress.com/2014/03/marxisme-dan-propaganda/ )
[iii] “…avoids the representations that men in any civilization may give themselves of themselves, of their life, of their need, of the significations laid down in their language…”
[iv] Selain Eropa, Jepang sempat muncul sebagai negara tempat belajar kemajuan bangsa Sunda. Wacana ini sempat mengemuka di tahun 1917 hingga 1918 di surat kabar Papaes Nonoman. Namun kemudian berhenti dengan kesimpulan bahwa Jepang tak layak dijadikan sumber belajar kemajuan.
[v]….koemaha atoeh akalna, seopaja oerang bisa madjoe teh, tjara batoer? Toer eta teh saroea bae pada umat pangeran…naha atoeh ari bangsa sedjen mah, saperti bangsa Eropa, Amerika, Djepang (japan) dst katjida pisan ninggalkeunana oerang tina kamadjoean teh…lamoen oerang noeroetan tjara batoer noe geus maradjo, meureun kakajaan oerang teh bisa saroea, entong leuwih teh….Lamoen 1 bangsa geus ngabogaan ieu doea perkara, nja eta; 1) Nationaliteitsgevoel (njaah ka bangsa sorangan), djeung 2) Vaderlandslife (njaah ka tanah sorangan) kakara oerang bisa madjoe… Kangdjeng Gouvernement katjida pisan ajeuna noengtoenna tina hal kamadjoean ka bangsa oerang, boektina sakola2 dina waktoe ieu katjida pisan dilobaanana
[vi] Masalah ini meruncing di akhir tahun 1918, utamanya setelah Volksraad (Dewan Rakyat Hindia Belanda) berdiri. Misalnya dalam artikel ’Politiek Priboemi Pasoendan’ (Sora Pasoendan No.11-12, Tahun 5, November-Desember 1918) terang menyebutkan jika “Oerang Soenda teh sanes bangsa Djawa,…Goepernemen teh koedoe ngarti jen bangsa Djawa noe dina Volksraad henteu tiasa dianggep bangsa Soenda (orang Sunda bukan bangsa Jawa,…Gupernemen harus mengerti jika bangsa Jawa yang ada di Voolksraad tidak bisa dianggap bangsa Sunda) ”. Ungkapan politik dari Boedi Oetomo dan Sarekat Islam; ‘Java Behoort Aan Java’, bagi orang Sunda bukanlah berarti ‘Jawa untuk Orang Jawa’ tetapi ‘Djawa untuk Djawa, Pasoendan untuk orang Sunda ’ (“Toekomstbeelden (Kolebatna Pikahareupeun)” Pasoendan, No. 8 Tahun 6, Senin 7 April 1919).
[vii] Pirang-pirang djelema di pilemboeran, komo bangsa kolot-kolot mah, anoe oemambon, oemakoe, boga, masih keneh diparentah koe Soesoenan Solo.
[viii] Teu kinten bae bingahna, wireh dina P. Nonoman No. 3 kaping 31/3-’15 aja poetoesan perkawis Hoofddialect basa Soenda. Sakoemaha noe kaoengelkeun dina poetoesan tea, teu kinten bae panoedjoena, malah dina tjita-tjita abdi oge nja kitoe pisan….ari hate bet gadoeh raos ham-ham keneh bae; doepi margina saeutik pisan, eta bet asa “soelaja eta tempat poetoesan teh”. Kapan Serang mah sanes tanah Soenda!
[ix] …tjeuk oerang Banten djeung Tjirebon meureun : “Beu, lamoen kitoe mah soesah, sabab kaoela koedoe diadjar deui basa Soenda, padahal kaoela oge Soenda: rek daek diajar mah anggoer diadjar basa Walanda bae”. Tjeuk kaoela :”saha-saha noe njaah ka bangsa koedoe njaah kana basana”. Geuning tjek paribasa Malajoe oge: “bahasa itoe menoendjoekkan bangsa