NALURI TRANSAKSIONAL

Reportase Juguran Syafaat Agustus 2015

Tidak ada yang ditunggu oleh para penggiat selain mempersiapkan terselenggaranya Juguran Syafaat. Tidak seperti biasa, Juguran Syafaat yang biasanya terselenggara pada hari Sabtu minggu kedua atau sehari setelah Kenduri Cinta, kali itu jadwal dimajukan satu minggu dan harinya pun dipilih hari Jumat, malam Sabtu. Juguran Syafaat malam itu pertama kalinya dihadiri oleh Guru kita bersama, Muhammad Ainun Nadjib, atau biasa kita panggil Cak Nun.

Malam itu merupakan penyelenggaraan Juguran Syafaat yang ke-29 — publikasi pun meluas, para sedulur yang hadir berkali lipat dari biasanya. Tepat pukul 20.30. Ki Ageng Juguran menyuguhkan nomor-nomor pilihan. Dibuka dengan Tombo Ati, dilanjutkan selawat Annabi, Shalallahu Rabbuna, Shalallahu Ala Yasin dan La Ilahailallah.

Mengawali, Kukuh memandu bertilawah secara tartil terpimpin membacakan surat Ar Rahman. Dilanjutkan wirid Padhangmbulan dan Mawlan Siwallah. Atas nama Juguran Syafaat, Kukuh menyampaikan selamat hari raya sekaligus permohonan maaf atas kurang maksimalnya pelayanan Keluarga Juguran Syafaat selama setahun terakhir.

“Gagal itu kalau turnamen berakhir, yaitu pas mati. Selama masih punya babak berikutnya dalam hidup maka kita masih punya kesempatan memperbaiki kehidupan.”
Emha Ainun Nadjib , Juguran Syafaat (Agu, 2015)

NALURI ATAU AKAL?

Sebelum masuk tema, Fikry memperkenalkan kembali apa itu Juguran Syafaat dan Maiyah, bahwa dalam Maiyah yang terpenting bukan kehadiran fisik guru-guru kita, namun ketersambungan hati dan cara berpikir dengan mereka. “Salah satu tujuan kita hadir di forum maiyahan adalah belajar. Input-nya dari tidak tahu, berproses dengan sinau dan output-nya diharapkan menjadi pintar serta berpikir luas,” tukas Fikry.

Setelahnya, Kukuh mengantar diskusi ke tema Naluri Transaksional. Memotret kondisi pelayanan kesehatan yang ia rasa sangat transaksional, menurut Kukuh hal tesebut adalah bentuk degradasi kemanusiaan, dimana seharusnya pertolongan pasien menjadi prioritas tapi musti ada penjamin administrasi sebelum ada tindakan medis. Hal lain menyorot mental transaksional, pada tahun 70-an para aktivis teater berlatih serius tanpa tahu kapan pentas dan berapa bayarannya, namun seiring berjalannya waktu, kini orang malas berlatih kalau tidak tahu kapan pentasnya apalagi tidak tahu bayarannya berapa.

Kusworo menyambung, manusia dibekali Tuhan dengan 2 modal utama, yaitu insting dan akal. Insting adalah kemampuan bertahan hidup sedang akal adalah kemampuan mengolah atau daya kreatif. Pada perjalanannya manusia sekarang sampai pada tahap insting yang tidak lagi bertahan hidup, tapi masalah untung dan rugi. “Ukuran bertahan hidup sekarang sudah berbeda dengan dahulu. Dahulu orang cukup bertahan hidup dengan 3 piring nasi, sekarang harus punya mobil dan rumah luas supaya bisa dikatakan hidup. Ini bentuk dari degradasi nilai kemanusiaan,” jelasnya.

Titut Edi malam itu ikut mengingatkan agar kita tidak mengkhianati diri sendiri, baik asal usul daerah maupun bahasa. Dalam pandangannya, setia kepada diri yang sejati adalah kunci menuju Tuhan.

Ki Ageng Juguran sebagai sebuah kelompok musik, kemudian merespon diskusi dengan memainkan lagu berjudul Senandung Desa yang menceritakan suasana pedesaan yang kini hilang dan telah menjadi kenangan.

“Insting adalah kemampuan bertahan hidup, akal adalah kemampuan mengolah atau daya kreatif. Pada perjalanannya manusia sekarang sampai pada tahap insting yang tidak lagi bertahan hidup, tapi masalah untung dan rugi.”
Kusworo, Juguran Syafaat (Agu, 2015)

TRANSAKSIONAL DENGAN TUHAN

Tepat pukul 22:30 Cak Nun hadir di forum dan ikut duduk melingkar. Sebagai persembahan, Ki Ageng Juguran membawakan lagu Tanah Airku dan sebuah lagu khusus berjudul Untuk Simbah Guru.

Menyinggung tema, tak lama Cak Nun membuka paparannya dengan menyampaikan, “Kalau namanya transaksi itu tergantung dialektikanya. Kita sama Allah itu seolah-olah transaksi, tapi sebenarnya dibungkus oleh cinta yang membuat segalanya menjadi sangat relatif. Kamu membayar salat, terus diberi pahala sampai kemudahan mencari makan. Tapi itu tidak transaksi-transaksi amat sama Allah karena Allah akan membeli yang lebih mahal daripada yang kita perlukan.”

Cak Nun menyampaikan bahwa kalimat yang baik, manajemen yang baik, policy hingga government yang baik itu perumpamaannya seperti pohon yang baik. Dimana akarnya menghunjam ke bumi, daunnya menjulang ke langit. Semakin kekar pohonnya semakin dalam dan lebar pula akarnya.

Pada kesempatan malam itu, Cak Nun mengajak berpikir dengan menanyakan mengenai mana kalimat thoyibah yang pas dengan diri. Melalui simulasi, Cak Nun mengibaratkan representasi kalimat thoyibah dengan 5 orang yang srawung (red: bergaul) dengan kita, ada yang kerjanya ngalem-ngalem, dia mewakili Alhamdulillah. Ada yang mengakui kita, itu kalimat La ilahailallah. Ada yang selalu kagum maka dia Subhanallah dan ada yang takut-takut, selalu merasa bersalah maka dia Istighfar.

“Mana yang paling dekat dengan kita? Yang ngalem, yang ngakoni, yang ngagumi atau yang minta-minta maaf? Kira-kira Gusti Allah dekat dengan siapa? Kalau diakui dan dialem itu sudah pasti Tuhan juga seperti itu, tapi kalau dimintai maaf itu bukan urusan Tuhan, tapi urusannya di kita. Saya rasa, istighfar itu yang paling pas dengan diri kita sebagai manusia,” tutur Cak Nun.

Ditambahkan Cak Nun, “Tuhan memiliki asmaul husna, namun bukan berarti Tuhan adalah asmaul husna — itu bukan maha lagi namanya. Yang bisa dikenali ada 99 nama, selebihnya masih banyak. Sama seperti warna, ada bermacam warna yang bisa kita tangkap, tapi kita tidak bisa menyebutkan namanya satu persatu.”

Dalam setiap forumnya, Cak Nun selalu berpesan agar selalu proporsional dalam menilai orang, tidak melebih-lebihkan siapapun, baik syekh, kyai, ulama atau siapapun, karena dalam hidup kita yang utama itu adalah Allah dan Kanjeng Nabi. Termasuk menempatkan diri Cak Nun pada tempat yang tepat. “Mohon kita jangan salah menempatkan diri terhadap orang lain. Kita hanya bisa bertawakal sambil mencari ketepatan dalam hidup. Jangan salah patrap,” jelas Cak Nun.

“Orang tidak ditagih oleh Allah untuk berpanen, yang ditagih adalah kesungguhan kita dalam menanam, menyirami. Yang ditanya adalah daya juangmu, kesungguhanmu.”
Emha Ainun Nadjib , Juguran Syafaat (Agu, 2015)

Naluri Transaksional

MENJAGA PATRAP

Dalam kaitannya dengan tema Naluri Transaksional, Cak Nun kembali mengingatkan bahwasanya transaksi itu diperbolehkan, namun harus berhati-hati pada 4 hal, yaitu: agama, kebudayaan, kesehatan dan pendidikan.

“Dokter itu melayani kemanusiaan tapi tidak bisa tanpa menggunakan suntik, obat dan lain-lain. Benda-benda yang dipakai harus ditempuh secara transaksional. Jangan sampai dokter bertransaksi pada saat mengobati. Jadi yang tepat, pasien itu urunan untuk beli alat. Juga untuk jasa dokter yang harus kita hargai. Tapi dokternya sendiri tidak boleh punya niat mencari uang dengan mengarang-ngarang sakit dan obat,” Cak Nun memperjelas antara peran dokter sebagai pelayan kemanusiaan dan sebagai pelaku transaksi.

Toto Rahardjo yang malam itu ikut hadir, mencontohkan sebuah berita tentang pernyataan seorang bupati di Aceh yang mengatakan ‘wanita yang tidak berpakaian sesuai syariat layak diperkosa’ sebagai sebuah bentuk dari kiamat kemanusiaan. Menurut Toto Rahardjo, kiamat kemanusiaan ini berangkat dari pemahaman yang salah atas kata atau kalimat. Ia meminta Cak Nun untuk menjelaskan lebih tajam lagi perbedaan antara denotasi dan konotasi. Denotasi adalah hal-hal yang sifatnya pokok atau utama, sedangkan konotasi adalah tafsir atau terjemahan dari sebuah denotasi.

Dalam setiap forum, Cak Nun seringkali mengajak berpikir dengan analogi-analogi sederhana dan mudah dicerna. Cak Nun juga selalu menebarkan kegembiraan dengan melontarkan humor segar yang sarat makna di sela diskusinya.

Dalam penjelasannya mengenai denotasi dan konotasi, Cak Nun mengibaratkan Islam seperti ketela, sedangkan NU, Muhammadiyah, Suni, Syiah, MTA itu seperti getuk, timus, kripik dan lain sebagainya. “Jangan menilai getuk sebagai telo (red: ketela). Itu saja yang bikin kita bertengkar. Denotasinya itu Islam, dikonotasikan menjadi NU, Muhammadiyah, Sunni, Syiah. Jangan kemudian NU jadi agama, jangan Muhammadiyah jadi agama. Apalagi Maiyah, Maiyah itu harus tetap menjadi tepung, tidak boleh menjadi padat. Kalau tepung Maiyah ada yang menjadi getuk, tidak masalah, tapi itu bukan tepung Maiyah. Itu hanya manfaat dari Maiyah yang berubah menjadi getuk,” tegas Cak Nun.

“Semua penipu itu sopan. Semua yang memperdaya anda itu halus, pintar dan canggih. Ada yang langsung ke anda, ada yang lewat kaset, televisi dan video. Anda jangan terjebak, mana denotasi mana konotasi, anda harus mengerti ilmu yang tidak kelihatan yang letaknya di dalam,” sambung Cak Nun.

Kacau balaunya kebudayaan, politik dan sebagainya menurut Cak Nun terjadi karena tidak hati-hatinya kita dalam menjaga patrap, tidak meletakkan sesuatu pada tempatnya, meletakkan kaki menjadi kepala, meletakkan kepala menjadi kaki. Cak Nun mencontohkan penempatan sesuatu secara lebih tepat dengan mengatakan bahwa ide terbentuknya negara berasal dari kita (manusia) sedangkan pernikahan adalah ide Tuhan, “Mana yang akan lebih kita pilih, negara bubar atau keluarga bubar? Tentunya lebih mending negara bubar. Karena nanti pun di akhirat kita tidak ditanyai mengenai negara, politik, DPR, parpol dan lain-lain.”

Pada sesi berikutnya, salah satu sedulur merespon, ia kecewa dengan banyak persoalan yang tidak bisa ia atasi dan merasa hidupnya telah gagal. Cak Nun sampaikan bahwa hidup ibarat sebuah kompetisi, gagal tidaknya hidup itu baru bisa diketahui apabila sudah mencapai final, bukan pada babak penyisihan seperti yang dialaminya saat ini.

“Gagal itu kalau turnamen berakhir, yaitu pas mati. Selama masih punya babak berikutnya dalam hidup maka kita masih punya kesempatan memperbaiki kehidupan. Jangan sampai ada yang merasa gagal hidupnya. Kalau besok kita mati, sekarang itu belum gagal. Ketika kamu sudah mati dan kamu dalam keadaan gagal pun maka kita tidak bisa mengatakan gagal. Jadi sebenarnya tidak ada orang yang gagal,” jelas Cak Nun.

“Kita sama Allah itu seolah-olah transaksi, tapi sebenarnya dibungkus oleh cinta yang membuat segalanya menjadi sangat relatif.”
Emha Ainun Nadjib , Juguran Syafaat (Agu, 2015)

WAYANG DAN DALANGNYA

Para sedulur  kemudian diberi kesempatan menyampaikan pandangan, pendapat ataupun pertanyaan. Salah satu menanyakan tentang sikap terhadap pemimpin yang tidak mengetahui Islam secara utuh. Sedulur lainnya mengeluhkan dosa-dosa yang dirasanya begitu banyak dan merasa tidak mempunyai kemampuan untuk memperbaiki diri. Ada juga yang bertanya mengenai bagaimana bertransaksi dengan Gusti Allah, ibarat wayang maka bagaimana sikap terbaik kita terhadap dalang kita.

Cak Nun menjawab pertanyaan dengan sebuah landasan etis, “Jangan tidak menyiapkan apa-apa kalau mau jawaban. Tidak usah punya ilmu kalau tidak punya patrapnya. Mending menjadi orang bodoh, tapi tahu secara alamiah benar itu gimana, salah itu gimana, tahu itu gimana,“ Cak Nun melanjutkan, “Saya tidak percaya ada orang yang dosanya lebih besar daripada kebaikannya. Saya orang yang khusnudzan dan optimis. Kita mau mandi, mau tersenyum, mau ketemu orang adalah melakukan sunatullah. Sadar atau tidak, kita menjalani kehendak Allah sangat banyak dibandingkan melanggar ketentuan-Nya. Kalau kamu masih mau, memelihara kebersihanmu adalah menjalankan sunatullah-Nya.”

Proses aktivasi malaikat ditekankan oleh Cak Nun agar bisa membantu kita dalam kehidupan, hal itu agar kita terhindar dari potensi-potensi buruk dalam diri kita sendiri. “Orang tidak ditagih oleh Allah untuk berpanen, yang ditagih adalah kesungguhan kita dalam menanam, menyirami. Kita tidak diminta untuk menumbuhkan padi. Kita cuma bisa tandur, membersihkan rumput dan menunggu. Jadi, anda tidak ditanya “Indonesia kok tidak berubah?” Tidak berubah pun tidak masalah, kita tidak disalahkan. Yang ditanya adalah daya juangmu, kesungguhanmu. Yang penting anda sudah membuktikan bahwa anda sudah memperjuangkan sesuatu. Dalam konteks apapun,” tutur Cak Nun.

Setiap kita manusia mempunyai potensi menjadi khalifah. Menurut Cak Nun, kita bukanlah wayang seratus persen, kita masih punya hak untuk rekayasa, hak ijtihad, hingga hak menakdirkan. Meskipun tetap dibatasi oleh qadar Allah itu sendiri. Allah menakdirkan padi menjadi beras. Kita berhak mengubah beras menjadi nasi, tapi kita tidak punya hak mengubah beras menjadi jagung.

Terkait pemimpin yang tidak mengetahui Islam secara utuh, Cak Nun berpendapat bahwa yang seharusnya ditaati adalah Allah dan Rasul-Nya saja. Kalau ada dalil yang mengatakan kita harus mengikuti ulil amri maka kita harus cek betul tata bahasa, majas, sastra dan arti yang sebenarnya.

“Kalimat yang baik, manajemen yang baik, policy hingga government yang baik itu perumpamaannya seperti pohon yang baik. Dimana akarnya menghunjam ke bumi, daunnya menjulang ke langit. Semakin kekar pohonnya semakin dalam dan lebar pula akarnya.”
Emha Ainun Nadjib , Juguran Syafaat (Agu, 2015)

MENGEMBALIKAN DENOTASI DAN KONOTASI

Melewati tengah malam, Ki Ageng Juguran membawakan nomor lagu berjudul Kehidupan Yang Hilang. Pada kesempatan selanjutnya, Titut Edi dan Hadiwijaya mengapresiasi kehadiran Cak Nun di forum Juguran Syafaat. Hadiwijaya yang dikenal sebagai seniman lukis dari Banyumas, mengingatkan kembali sejarah Cak Nun pada era ’70 hingga ’80-an saat masih berproses di Malioboro.

Menegaskan posisi Maiyah sebagai majelis ilmu, Toto Rahardjo mengingatkan bahwa ada banyak hal yang sudah tidak lagi menghargai kemanusiaan dan martabat manusia, Maiyah mengurai banyak hal karena silang sengkarut itu semua berakar pada tidak tepatnya cara berpikir manusia.

Makna denotasi dari dakwah dan tabligh menurut Cak Nun juga mesti dikembalikan menjadi kata kerja, dimana dakwah itu milik semua orang. Kita boleh belajar kepada apapun karena semua berdakwah dan semua mubaligh. “Kalau melukis, anda harus bisa menggambar jari secara detil dulu baru lari ke aliran abstrak impresionis. Nah, dunia Islam sekarang diisi oleh pelukis-pelukis yang tidak (lebih dulu) menggambar jari secara detil, tapi sok mampu melukis aliran abstrak impresionis,” jelas beliau.

Dalam penjelasannya, Cak Nun meminta kita untuk bisa belajar setahap demi setahap. Belajar dari batu sebagai benda, tanaman sebagai benda yang tumbuh, hewan sebagai benda yang tumbuh dan bernafsu, baru belajar menjadi manusia. Hewan memiliki nafsu tapi tidak pernah rakus ketika makan, mereka makan secukupnya saja.

“Manusia itu ora tegaan, ada kasih sayang, toleransi, bebrayan. Jangan buru-buru beragama dulu. Setelah lulus menjadi manusia, baru kemudian menjadi khalifah pengelola bumi. Sekarang, orang menjadi khalifah tapi belum lulus menjadi manusia. Bahkan jadi hewan saja belum. Maka Maiyah mengumpulkan kita semua untuk menjadi pintar dan arif,” sambung Cak Nun.

Cak Nun juga mengajak para sedulur di Juguran Syafaat untuk membangun diri secara bersama tanpa tergantung pada satu kyai. Para sedulur diminta percaya bahwa Allah membimbing setiap saat. Cak Nun mengakhiri forum dengan suluk Simtuduror dan selawat Alfu Salam yang dibawakan bersama sedulur-sedulur yang hadir malam itu. Setelah doa penutup, para sedulur secara tertib bergantian menyalami Cak Nun. Tepat pukul 02.45 dini hari, forum Juguran Syafaat usai.