NAJWA MENANTI SHOIKHAH

DI SEBUAH forum ada orang yang menuduh saya mengerti Bahasa Arab, sehingga bertanya: “Apa Bahasa Arabnya Medsos?”

Karena tuduhannya ngawur, maka saya merasa berhak untuk menjawab ngawur juga: “Najwa”.

Tentu saja semua orang tertawa, dengan sebab masing-masing, yang berbeda denga asal-usul jawaban saya. Untung di samping saya ada orang desa saya yang dipilih oleh Kerajaan Saudi Arabia menjadi satu dari Sembilan anggota Majlis Umana Bahasa Arab Dunia. 6 dari Negara-Negara Timur Tengah, 1 dari Afrika, 1 Eropa, lha orang dusun saya Menturo Jombang ini ditunjuk mewakili Asia — meskipun dia tak pernah sekolah di Negara-Negara yang berbahasa Arab.

Dia segera menolong keadaan. “Kalau kontekstual dan asosiatif, bisa saja Najwa dipakai untuk memaksudkan Medsos”, katanya.

Ada firman yang bunyinya seakan-akan Tuhan menjawab pertanyaan tentang medsos, hoax, ujaran kebencian, lempar batu sembunyi tangan dst: “Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia”.

Kata “Najwa” dipakai untuk “bisikan-bisikan”. Tidak meledak-ledak, tidak gaduh, tidak berisik, jari-jari manusia secara lembut nutul-nutul layar telepon genggamnya, tapi bisa menghasilkan booming informasi, viral kasus, atau ledakan-ledakan komunikasi yang memenuhi permukaan bumi.

Medsos membuka pintu lebar-lebar untuk bisa digunakan sebagai sarana terror intelektual, politis, emosional. Medsos adalah mega-loudspeaker dari budaya rasan-rasan, yang rentang efeknya berjuta kali lipat. Orang bisa “membunuh” siapa saja dan merasa aman dan lega karena relatif tersembunyi di “kegelapan”. Medsos bisa membuat penduduk Bumi cemas, was-was, bingung di “perempatan jalan silang antara kebenaran dan kebohongan”. Kata “was-was” juga dipakai Tuhan untuk konteks “membisik-bisikkan” ke hati manusia (“yuwaswisu fi shudurinnas”), yang pelakunya adalah Jin dan manusia sendiri. Mungkin Tuhan nyindir: kalau nyalahin setan jangan menuding keluar, tapi ke dalam dirimu masing-masing, sebab kalian sendirilah produsen Setan.

Medsos adalah sabana Peradaban baru yang belum ketemu tata nilai komunikasinya, sedang disimulasikan secara empirik garis-garis batas etikanya, disusun pelan-pelan secara dinamis dan penuh kegaduhan prosentase manfaat dan mudaratnya. Tapi Majlis Ulama Agama apapun tidak mungkin mengharamkannya, karena ia hanya alat atau wadah. Yang salah adalah penggunanya. Manusianya.

Kalau orang membunuh tetangganya pakai pisau, jangan lantas bikin Perda melarang pisau. Kalau seseorang menafsirkan ujaran Agama, filosofi atau kata-kata mutiara, lantas memutuskan nge-bom Mall, jangan salahkan bomnya atau Agamanya. Pak Hakim jangan masukkan Abu Nawas ke penjara karena membawa pisau ke mana-mana, sehingga dikhawatirkan akan membunuh orang. Nanti Abu Nawas menerima vonis itu dengan syarat masuk bui bersama Pak Hakim, karena Pak Hakim ke mana-mana bawa alat kelamin, dikhawatirkan akan memperkosa wanita.

Memang kita semua di abad 21 ini perlu mempelajari tanah, benih dan akar. Tidak hanya menikmati buah dari pohon. Perlu memperbanyak pembelajaran hakikat hidup, filosofi kewajiban dan hak, filsafat hukum, ushulul-fiqh. Kita sangat cerdas untuk mendirikan pagar-pagar, atau peka menolak pagar-pagar, sampai lupa kewajiban utama kita adalah berkebun. Sementara yang berkebun juga sangat menikmati buah-buah dan selalu bernafsu ingin memperluas kebunnya, sehingga bernaluri merobohkan pagar-pagar.

Medsos sudah merobohkan banyak pagar yang dikenal pada ranah dialektika sosial sebelumnya. Saya sendiri sering tertimpa pagar roboh: banyak tulisan dengan nama saya yang saya tak pernah menulisnya. Banyak video “sop buntut”, omongan saya dipotong-potong berdasarkan keperluannya untuk sensasi untuk adu domba saya melawan Iblis atau Malaikat. Pedagang sop buntut kalau berpapasan dengan Sapi, tidak menyembelihnya, melainkan memotong ekornya.

Pasti Tuhan sudah sejak awal penciptaan tahu bahwa manusia akan bikin Medsos. Maka Ia wanti-wanti, “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu Fasiqun membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya, dan itu menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”.

Kuncinya: fatabayyanu. Bertabayyunlah. Hahaha. Agak mustahil juga. Kalau dengan Medsos satu hari kita membaca seratus kalimat atau seribu kata, berapa waktu kita perlukan, berapa panjang proses rekonfirmasi, check and recheck, yang harus kita tempuh. Kalau infonya tentang serombongan anak muda menggantholkan clurit di leher anak muda lain yang sedang mengendarai motor, masih bisa terjangkau 5W1H-nya. Tapi siapa yang sanggup mentabayyuni berita tentang rapat-rapat Reklamasi, multi-tentakel Sembilan Naga, berapa jumlah ribu trilyun hutang yang harus ditanggung oleh rakyat tanpa rakyat tahu menahu asal usulnya. Apalagi kabar tentang motif politik, rekayasa di balik tindakan Pemerintah, atau hubungan antara massa demo dengan sejarah dan jaringan Ikhwanul Muslimun, Al-Qaedah, ISIS maupun “sumuk”.

Sebenarnya di Medsos orang hanya berteman, menikmati persahabatan, mengintensifkan persaudaraan, membangun lingkaran silaturahmi baru. Tetapi karena di dalam kehidupan global tidak ada sesuatu yang tidak terkait dengan apapun sesuatu yang lain, maka tiap saat “bisikan-bisikan” yang muncul tidak bisa serta merta kita tolak. Pada hakikatnya manusia selalu merasa bangga menjadi tahu tentang hal yang sebelumnya ia tidak tahu, dan “Najwa” menjanjikan kebanggaan semacam itu. Maka kita pun secara alamiah dan manusiawi cenderung membengkakkan volume kefasikan dari dialektika Najwa itu. Bahkan memperparah dan hampir menyempurnakannya.

Dari firman Tuhan itu, definisi Fasiq adalah inisiatif penyebaran informasi yang tidak didasarkan pada fakta obyektif dan niat baik kebersamaan sosial. Juga tanpa pertanggungjawaban, lempar batu sembunyi tangan. Hoax menjadi atmosfir primer, Najwa merajalela. Dan siapa saja bisa menunggangi Najwa, apa saja bisa dijadikan muatan Najwa. Segala tema kedengkian, kebencian, persaingan, permusuhan, bahkan keinginan diam-diam untuk menghancurkan dan memusnahkan, Najwa terbuka lebar untuk mentransformasikannya.

Bahkan Tuhan menginformasikan: terdapat semacam pertarungan antar berbagai kelompok untuk “menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang timbul dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran”.

Tentu saja sepertinya bagi Tuhan, Sang Maha Disainer Agung, sikap dan psikologisme egosentris seperti itu bukan bencana bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, asalkan tawaran solusi-Nya diaplikasikan: “Maka maafkanlah dan berlapang dadalah, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.

Tapi kita merasakan sendiri ke dalam maupun keluar diri, bahwa bangsa ini justru bergerak menjauh dari kemuliaan sikap “maafkanlah dan berlapang dadalah”. Api amarah dan akumulasi dendam sangat tidak bisa kita sembunyikan, sehingga Najwa sangat berisi kebencian, rasa permusuhan, sinisme, penghinaan dan berbagai macam bentuk ungkapan yang sangat merendahkan kemanusiaan, merendahkan teman sebangsa dan sesama manusia, sehingga menjadi rendah pula diri siapapun yang merendahkan saudaranya.

Bagi kebanyakan aktivis Medsos: tampaknya tidak nyata, bukan fakta, bahwa di sekitar kita berseliweran intel-intel, peneliti, “sky researcher”, para “Malaaikah” (tools of God’s authority), yang jumlahnya sangat lembut, saking banyaknya, dan sedemikian teliti dan akuratnya. Tatkala Tuhan share bahwa “Tidaklah mereka tahu bahwasanya Allah mengetahui rahasia dan bisikan mereka, dan bahwasanya Allah amat mengetahui segala yang ghaib”. Atau bahwa yang lempar batu sembunyi tangan, yang diam-diam merekayasa, yang menyusun tipudaya, tidaklah “gaib” bagi-Nya. “Apakah mereka mengira, bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka? Sebenarnya Kami mendengar, dan utusan-utusan (malaikat-malaikat) Kami selalu mencatat di sisi mereka”.

Tuhan dan Malaikat tidak berpengaruh besar pada bangsa Indonesia, terutama para aktivis Najwa. Sebab terbukti dari Jakarta semakin banyak di antara bangsa kita yang sudah menyembah tuhan-tuhannya sendiri, membela mati-matian nabi-nabinya sendiri. Sangat mudah muncul tokoh yang dituhankan dan dinabikan, hanya karena kekaguman sesaat, ketakjuban sepenggal atau keterpesonaan parsial dan temporal.

Saya lari tunggang langgang dari ranah itu. Saya excluded dari konstelasi itu. Saya ngumpet dari konstelasi itu. Saya ngeri melewati jalan Facebook, Twitter, Instagram dan lainnya. Dan karena saya “bukan faktor” maka sisa kekuatan saya tinggal doa. Dalam hati diam-diam saya menantikan pernyataan Tuhan pada firman sesudah “maafkanlah dan berlapang dadalah”, yakni “sampai Tuhan datang dengan perintah-Nya”. Apa gerangan itu?

Mereka tidak menunggu melainkan satu teriakan saja yang akan membinasakan mereka ketika mereka sedang bertengkar”. Juga “Maka sesungguhnya kebangkitan itu hanya dengan satu teriakan saja; mereka akan meIihatnya tiba-tiba”. Serta “Tidak adalah teriakan itu selain sekali teriakan saja, maka tiba-tiba mereka semua dikumpulkan kepada Kami”. Teriakan itu “Shoikhah”. Mungkin Baginda Isrofil tiup terompet, mungkin Azazil menggertak.

Yogya 24 Mei 2017.