“NABI DHOLIM”

reportase kenduri cinta FEBRUARI 2019

Menjelang akhir minggu kedua bulan Februari 2019, forum maiyahan Kenduri Cinta kembali digelar. Para penggiat komunitas mengangkat Nabi Dholim sebagai tema forum bulanan yang diselenggarakan setiap bulannya sejak hampir 20 tahun itu. Menjelang Magrib, persiapan acara telah selesai dikerjakan. Latar panggung telah terpasang, karpet tergelar, tata suara juga tuntas rapi tertata. Jamaah mulai berdatangan. Sebagian duduk di alas terpal yang telah disediakan, sebagian lagi tampak berbincang-bincang sembari menikmati suasana akhir minggu di jantung ibukota. Mereka saling menyapa. Forum Kenduri Cinta rupanya juga menjadi ajang silaturahmi antar jamaah setelah sebulan menjalani rutinitas.

Forum diawali dengan lantunan wirid dan sholawat. Para penggiat duduk sejajar berhadapan dengan jamaah. Mereka lantas memandu sesi pembuka dengan menggelar diskusi atas tema. Tri Mulyana, Adi Pudjo, Amien Subhan, dan Pramono Abadi tampil mewakili para penggiat. Bergantian mereka sampaikan sudut pandang masing-masing. Sesekali jamaah ikut menimpali. Forum ini memang seperti mimbar bebas. Setiap orang yang hadir bebas berpendapat, menjadi narasumber atau hanya sekadar duduk menikmati jalannya diskusi.

Pramono mengawali dengan mengangkat kisah Nabi Yunus AS, terutama ucapan beliau, yaitu: Laa ilaaha illa anta subhaanaka inni kuntu mina-dzholimin (red: Tidak ada Tuhan yang sebenarnya disembah melainkan Engkau. Sesungguhnya aku adalah dari orang yang dholim). Dalam pandangan Pramono, kalimat pengakuan kesalahan diri yang diutarakan oleh Nabi Yunus AS merupakan bentuk keteladanan. Seorang nabi seperti Nabi Yunus AS saja berani mengaku bahwa dirinya berbuat salah atau dholim, sementara kita justru enggan mengakui kesalahan, merasa diri selalu benar. Pramono juga menyoroti tentang derasnya arus informasi melalui internet yang pada sisi tertentu membuat kita merasa diri paling benar.

Amien Subhan mengambil sudut pandang berbeda. Amien yang banyak memerhatikan dunia pewayangan itu menjelaskan bahwa seorang dalang tidak boleh melanggar patrap pewayangan. Cerita yang dibawakan boleh saja diimprovisasi sedemikian rupa, namun pesan utama tetap harus tersampaikan. Jika dalang gagal menyampaikan pesan maka bisa dikatakan dalang itu berbuat dholim.

Penggiat lainnya, Adi Pudjo, coba mengajak jamaah untuk introspeksi, mengambil jeda pada hiruk-pikuk dunia, serta melakukan perenungan-perenungan yang lebih mendalam. Hal itu diperlukan agar kita tak semakin terperosok pada fanatisme yang buta. Pramono ikut mengamini. Proses perenungan itu bentuknya bermacam-macam. Pramono mengaku ia melakukan aktivitas mendaki gunung untuk menjalankan perenungan itu. Metode lain bisa dengan membaca buku, dzikir, berpetualang melakukan perjalanan atau sekadar touring berkendara.

Setelah diskusi, moderator membuat jeda dengan menampilkan penampilan kesenian. Palupi membacakan puisi, disambung dengan Raras bersama Ranu tampil membawakan musik akustik. Donny, vokalis KiaiKanjeng malam itu tampak hadir, Raras lantas mengajak Donny untuk duet bersamanya membawakan lagu We’re In Heaven dan More Than Words. Setelahnya, Tri Mulyana bersama Fahmi Agustian tampil ke depan untuk memandu diskusi sesi berikutnya.

Pramono kembali diberi waktu untuk mengawali diskusi. Informasi-informasi, menurutnya, pasti akan ada resistensi. Seperti halnya saat Rasulullah SAW membawa misi dakwah, muncul resisten dari masyarakat setempat karena masyarakat sudah memiliki referensi pada keyakinan dan kepercayaan sebelumnya. Merespon itu, Ali berpendapat, “Kita harus selalu berpijak pada relativitas kebenaran, bahwa kebenaran yang kita yakini bukan kebenaran mutlak,” ia melanjutkan, “Salah satu ciri orang baik adalah bahwa dirinya selalu merasa bahwa dirinya masih kurang baik.” Sikap seperti itu telah dicontohkan oleh para nabi dan rasul, dimana yang selalu kita tanamkan adalah tetap merasa ‘semoga apa yang kita lakukan diterima oleh Allah Swt’. “Posisi kebenaran kita itu sangat relatif, jangan pernah merasa bahwa diri kita itu pasti benar,” tambah Ali.

“Salah satu ciri orang baik adalah bahwa dirinya selalu merasa bahwa dirinya masih kurang baik.”
Ali Hasbullah, Kenduri Cinta (Februari, 2019)

Menjelang malam, forum tampak makin ramai. Beberapa penggiat komunitas-komunitas Maiyah dari luar Jakarta juga tampak hadir. Salah satunya Risky Dwi Rahmawan, penggiat Juguran Syafaat yang juga menjadi salah satu koordinator simpul Maiyah. Risky malam itu ikut berbagi pandangan. Menurutnya, kelemahan masyarakat Indonesia adalah minder pada potensi dirinya. Hal itu yang membedakan dengan masyarakat di negara-negara Barat dimana sikap yang mereka tunjukkan adalah percaya diri yang tinggi. Persoalan bahwa itu salah atau benar, urusan belakang, yang pertama berani tampil dulu. Sementara bangsa kita selalu merasa inferior terhadap bangsa lain. Hal inilah yang menurut Risky menjadi penyebab mengapa potensi generasi muda Indonesia tidak maksimal.

Risky juga ceritakan kegiatan-kegiatan para penggiat simpul Maiyah di berbagai daerah yang terus menerus menggiatkan penelitian-penelitian, meski lingkupnya kecil. Namun, sekecil apapun penelitian itu dilaksanakan dengan serius. Keunikan dan keragaman simpul Maiyah di berbagai daerah merupakan peluang bagaimana anak-anak muda Maiyah mampu mengaktualisasikan dirinya. Setidaknya, dengan adanya laboratorium-laboratorium ilmu di setiap simpul Maiyah ini nantinya akan melahirkan generasi-generasi baru yang tinggi rasa percaya dirinya, tak mudah minder dalam menyikapi perkembangan peradaban.

“Salah satu hal langka yang tidak dimiliki oleh kita adalah enggan mengakui kesalahan,” Fahmi turut kemukakan pendapatnya, “Bukan sama sekali tidak ada, tetapi mengakui kesalahan kini menjadi sesuatu yang langka.” Fahmi berpendapat, polarisasi terjadi karena sikap masyarakat yang menolak semua informasi yang tidak sesuai dengan pendapatnya. Jangankan menerima pendapat orang lain, kesempatan orang lain untuk mengutarakan pendapat juga tak diberikan. Kecenderungan itu juga terjadi dalam sikap keberpihakan sikap politik. Semua persoalan dan isu-isu selalu disambungkan dengan politik elektoral. Menjadi makin tidak sehat karena opini yang dibangun adalah kecenderungan menggiring publik untuk setuju dengan pendapatnya. Fahmi menanyakan, lantas bagaimana kita akan menemukan kebenaran sejati, jika menjadi pijakan adalah kebenaran orang banyak.

“Kalau nabi, ia mendapat fasilitas nubuwah. Jika rasul, ia memiliki fasilitas risalah. Sementara wali, dianugerahi walayah. Sementara kita sebagai manusia biasa, kita dititipi khilafah,” ucap Fahmi sambil menambahkan bahwa pada strata kualitas makhluk Allah, manusia akan selalu dibekali anugerah-anugerah untuk didayagunakan, belum lagi jika berbicara tentang wahyu, karomah, ilham dan sebagainya. Manusia masih berdebat tentang hidayah, mempersoalkan bahwa ada yang belum menerima hidayah sehingga masih melakukan perbuatan buruk. Padahal, menurut Fahmi, yang seharusnya menjadi fokus adalah bagaimana kita mampu mengakses hidayah dari Allah. Ibarat perangkat komputer, manusia itu sendiri yang seharusnya melakukan upgrading dalam dirinya sehingga mampu mengakses hidayah yang setiap harinya diturunkan oleh Allah. “Maiyahan melakukan sinau bareng untuk melatih keseimbangan berpikir, melatih keluasan diri, agar mampu menerima pendapat orang lain,” ucap Fahmi.

Merespon pertanyaan dari jamaah, “Apakah manusia boleh membicarakan Tuhan?” Fahmi menjawab bahwa manusia tidak akan mampu sampai pada titik dimana dia membicarakan apalagi menerka Tuhan, bahkan membayangkan saja manusia tidak akan mampu. Tuhan sendiri lah yang memberi informasi tentang diri-Nya kepada manusia melalui berbagai media. Pramono menambahkan, sebelum Allah menurunkan wahyu berupa kitab suci, Allah terlebih dahulu menganugerahkan akal untuk kemudian didayagunakan untuk memahami Alquran. Namun demikian, manusia tidak akan pernah mampu mendefinisikan wujud dzat Allah itu sendiri. Manusia mungkin bisa mengimajinasikan, tetapi seperti apa dzat Allah bukanlah seperti yang diimajinasikan oleh manusia.

Diskusi menghangat. Sesi diskusi lalu diberi jeda dengan penampilan musik dari Duo Bimantoro yang dilanjutkan dengan duet antara Krist bersama Donny KiaiKanjeng.

“Maiyahan melakukan sinau bareng untuk melatih keseimbangan berpikir, melatih keluasan diri, agar mampu menerima pendapat orang lain.”
Fahmi Agustian, Kenduri Cinta (Februari, 2019)

Setelah penampilan musik dalam memberi nuansa kultural lebih kuat, forum kembali membuka sesi diskusi. Cak Nun juga telah tampak hadir di kerumunan jamaah. Fahmi lantas mempersilakan Cak Nun dan Sabrang untuk bergabung ke forum. “Malam ini saya sangat berbahagia karena setelah sekian lama, malam ini saya hadir di Kenduri Cinta bersama orang yang sangat saya cintai, Novia Sanganingrum Saptarea Kolopaking,” ucap Cak Nun membuka diskusi sembari mengungkapkan kebahagiaannya karena malam itu Ibu Via turut hadir menemani.

Cak Nun lalu mengajak jamaah menyelami tema melalui refleksi ke dalam diri. “Saya ingin minta maaf. Ini sangat serius. Saya khawatir sejumlah hal terjadi, dan nanti saya merugikan anda. Pertama, saya khawatir kalau doa-doa saya kepada anda tidak dikabulkan oleh Allah. Mudah-mudahan tidak terjadi, dan terkabul karena anda meminta (kepada Allah), bukan karena saya yang memberi doa. Kedua, saya khawatir saya tidak bisa memenuhi harapan anda, di dalam hal apapun saja. Saya khawatir saya tidak melakukan apa yang seharusnya saya lakukan dan saya melakukan apa yang seharusnya tidak saya lakukan,” ucap Cak Nun.

Tidak mudah menemukan tokoh utama dalam sebuah majelis ilmu yang justru memiliki kekhawatiran seperti yang diungkapkan Cak Nun. Cak Nun seringkali tegas menyampaikan di forum-forum maiyahan, “Jangan ikuti saya!”

“Saya khawatir anda salah sangka kepada saya. Saya khawatir anda itu ngikut saya. Padahal anda punya diri anda masing-masing dengan sejarah dan kedaulatan anda masing-masing yang tidak sama dengan saya. Sehingga, jika anda menjadi penganut saya, saya khawatir itu akan mencelakakan. Saya khawatir kalau anda terlalu melihat saya, terlalu ngikut saya, nanti anda nasibnya kaya saya,” Cak Nun mengingatkan kepada jamaah agar tidak mengkultuskan sosoknya.

“Saya bertemu dengan jamaah Maiyah yang bermacam-macam profesi, dan saya mendoakan anda semua nikmat dengan hidup anda masing-masing dan tidak diganggu oleh bayangan yang tidak-tidak,” Cak Nun mengantar jamaah memasuki diskusi. Cak Nun menyebut dirinya sebagai generasi old zaman now. Maksudnya adalah ia merasa dirinya sebagai generasi lama yang hidup di zaman now, sehingga ada banyak hal yang lahir di era generasi milenial yang Cak Nun sendiri merasa tidak kompatibel dengan itu semua. Maka ia meminta Sabrang menjelaskan hal-hal demikian.

“Saya berpesan, apapun yang saya omongkan jangan ditelan mentah-mentah dan jangan diikuti begitu saja. Anda harus menjadikan informasi yang masuk ke dalam diri anda untuk menjadi milik anda yang diramu dengan keadaan anda, kemudian anda ambil keputusan dengan kedaulatan anda masing-masing dengan penuh keutuhan dan keseimbangan, sehingga anda tidak jadi pengikut saya tetapi anda menjadi pengikut dari keyakinan anda yang lahir dari pikiran anda sendiri,” lanjut Cak Nun.

“Yang tidak bisa saya berikan adalah pelajaran-pelajaran manajemen, enterpreneurship, kewirausahaan, pemasaran, marketing. Saya tidak bisa mengajarkan itu. Saya tidak bisa memasarkan wajah saya sebagaimana para Caleg memasarkan wajah-wajah mereka. Saya tidak bisa memasarkan eksistensi saya,” ungkap Cak Nun yang malam itu juga mengapresiasi peran sentral Ibu Via dalam kehidupannya.

Mengantar diskusi, Cak Nun jelaskan istilah komunikasi dalam bahasa yang lebih mudah dipahami yaitu jalinan. Jalinan adalah persambungan, maka dalam bahasa Arab disebut sebagai silah yang kemudian dikenal luas dengan istilah silaturahmi. Silaturahmi adalah persambungan yang penuh kasih sayang, sesuatu yang kita upayakan bersama di Maiyah, sebuah jalinan yang penuh cinta dan kasih sayang, penuh kemesraan, sehingga melahirkan kegembiraan.

“Silaturahmi adalah persambungan yang penuh kasih sayang, sesuatu yang kita upayakan bersama di Maiyah.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Februari, 2019)

Melanjutkan paparannya tentang esensi silah yang kemudian dikenal luas dengan istilah silaturahmi, Cak Nun menjelaskan, seperti halnya seni beladiri pencak silat yang ada awalnya dinamakan pencak, hingga para wali datang berdakwah di nusantara, pencak kemudian disebut dengan pencak silat, terbangunlah suasana silaturahmi pada kegiatan pencak silat. Dua pendekar berduel bukan dalam rangka menang dan kalah, melainkan dalam rangka silaturahmi.

Cak Nun juga mengupas lagu Gundul-gundul Pacul yang dibawakan Bimantoro pada sesi sebelumnya yang mengandung nilai-nilai filosofi kepemimpinan, bahwa seorang pemimpin hendaknya jangan menjadi anak kecil yang gembelengan, cengengesan, sehingga tidak utuh memikirkan nasib rakyatnya. Memandang berbagai fenomena, Cak Nun mengibaratkan dengan peradaban bangkai dimana kita hidup didalamnya. Pandangan itu juga dapat kita simak pada essai terakhirnya berjudul Kewaspadaan ke Dalam (Di Dunia Belatung). Cak Nun mengingatkan, pola komunikasi yang terjadi saat ini tidak menyehatkan kita. Kita menjadi semakin terbiasa bergembira saat melihat orang lain susah. Terlebih lagi dalam suasana politik, semua aspek kehidupan dibicarakan namun muaranya hanya dalam rangka membicarakan politik elektoral.

“Satu-satunya fokus utama Pilpres adalah bagaimana caranya agar kandidat lawan hancur. Itulah kepribadian belatung,” tegas Cak Nun. “Kita hidup di era yang penuh dengan ketidakjelasan, dimana kita tidak mampu menentukan mana baik mana buruk, mana hina mana mulia. Oleh karena itu saya mengingatkan anda untuk tidak meletakkan saya sebagai salah satu ketidakjelasan zaman ini. Anda harus berani mengkritisi saya, anda harus waspada kepada saya,” Cak Nun melanjutkan, “Saya ingatkan bahwa yang penting bukan yang saya omongkan, melainkan kemampuan anda dalam mengelola apa yang sampai kepada anda menjadi sebuah manfaat baru, menjadi sebuah kreativitas baru bagi kehidupan yang lebih baik.”

Cak Nun mengingatkan, hidayah Allah tidak lah terbatas ruang dan waktu. Kelemahan kita adalah tidak mampu membaca firman-firman Allah yang tidak diwahyukan dalam bentuk ayat Alquran. Kita sering menganggap bahwa firman Allah hanya sebatas ayat-ayat Alquran saja. Padahal Allah sendiri menyampaikan: Qul, lau kaana-l-bahru midaadan likalimaati robbi lanafida-l-bahru qobla an tanfada kalimaatu robbii walau ji’naa bimitslihi madadaan. Katakanlah wahai Muhammad, seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula). (red: Al Kahfi:109)

Cak Nun mengajak  kita untuk terus melatih kepekaan dalam diri, sehingga mampu mengakses hidayah dari Allah yang datangnya setiap saat, tidak terbatas ruang dan waktu. Asmaul-husna sendiri menurut Cak Nun tidak mutlak menggambarkan sifat-sifat Allah, karena hanya berjumlah 99. Allah sendiri sudah pasti infinity, tidak dapat dihitung jumlah sifat-sifatnya. 99 asmaul-husna hanya kelengkapan secara administratif agar kita lebih mudah mengenal Allah.

Menjelang tengah malam, Cak Nun mempersilakan Sabrang untuk berbagi pandangannya. Sabrang mengawali, “Kita sering mengatakan ‘mencari sesuatu yang nyata’, kalimat ‘nyata’ itu kan nggak gampang dijelaskan dan didefinisikan. Nyata itu apa sih? Apakah sesuatu yang nyata itu harus kita lihat? Perasaan cemburu misal, itu nyata, tetapi apa kita bisa melihat cemburu? Yang bisa kita lihat adalah ekspresi cemburu. Begitu juga jatuh cinta, kita tidak bisa melihat wujud jatuh cinta, yang bisa kita lihat adalah ekspresi orang yang sedang jatuh cinta. Nyata adalah sesuatu yang membuat kita merespon kepada suatu keadaan, sehingga kita berbuat terhadap sesuatu yang nyata itu tadi.”

“Yang penting bukan yang saya omongkan, melainkan kemampuan anda dalam mengelola apa yang sampai kepada anda menjadi manfaat baru, menjadi kreativitas baru bagi kehidupan yang lebih baik.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Februari, 2019)

Melanjutkan dari definisi nyata yang sebelumnya, Sabrang membaginya menjadi dua, fakta dan makna; ada kenyataan berupa fakta dan ada kenyataan berupa makna. Menurut Sabrang, fakta adalah kenyataan yang bisa kita pegang wujudnya, bisa kita sentuh bentuknya. Berbeda dengan makna yang tidak bisa kita sentuh dengan indera, “Jadi ketika kita hidup di dunia, ada dua hal yang selalu berinteraksi: fakta dan makna.”

Dijelaskan Sabrang, bahkan peristiwa masa lalu yang secara fakta tidak mungkin bisa kita ubah, akan berbeda jika kita maknai hari ini. Ia contohkan, ketika sepasang manusia sedang kasmaran, fakta yang terjadi adalah kemesraan pasangan yang sedang berpacaran. Nonton bareng, membelikan barang, nraktir makan, jalan berdua adalah masa-masa yang sangat indah. Itulah faktanya. Pada kemudian hari, mereka harus berpisah, fakta mereka jalan berdua akan dimaknai menjadi sesuatu yang menyedihkan, bahkan dianggap sebagai peristiwa kebodohan pada hari ini. Faktanya sama, namun maknanya berubah.

Beberapa waktu lalu, sempat viral pembicaraan tentang ‘kitab suci fiksi’. Sabrang berpandangan bahwa kita tidak akan mampu melihat fakta yang sebenarnya tentang ayat-ayat dalam kitab suci, karena pemaknaan kita pada setiap membacanya akan selalu berbeda, menyesuaikan dengan situasi dan kondisi saat kita memaknainya. Sudah pasti, hal pertama, karena kita tidak bisa melakukan verifikasi ke masa lalu ketika ayat-ayat itu diturunkan, “Alquran tidak mempresentasikan dirinya sebagai fakta, saya sendiri melihat bahwa dia mempresentasikan makna, dan makna tidak bisa kamu katakan sebagai fiksi, karena itu hak setiap orang.”

Hal itu juga yang membuat sains lebih berkembang di Barat, karena menurut Sabrang yang dicari oleh orang Barat adalah fakta. Orang-orang Barat mempelajari tentang kecepatan cahaya, tentang jarak bumi dengan matahari, dan sebagainya, karena yang dicari adalah fakta. Sementara orang Timur tidak memedulikan itu semua. Perjalanan orang Timur adalah perjalanan yang sifatnya ke dalam dirinya, yang dicari adalah apakah matahari dan cahaya itu bermanfaat bagi dirinya dan juga manusia yang lainnya atau tidak. Naluri dasar orang Timur adalah mencari manfaat dari setiap fakta yang ia temui, mencari makna, tidak hanya berhenti pada fakta, bahkan bisa ia tidak mementingkan fakta, karena yang paling utama adalah pemaknaan dari setiap peristiwa.

Satu contoh, cerita Mahabarata yang bagi orang Barat tidak relevan karena dalam manuskrip sejarah tidak ada detail-detail fakta mengenai berapa jumlah pasukan, berapa jumlah kuda yang digunakan berperang, seperti apa strategi perangnya, dan lain-lain. Namun, hal itu tak dipemasalahkan oleh orang Timur, sebab pendekatan orang Timur dalam menuliskan sejarah Mahabarata adalah pendekatan yang mendetail pada situasi pergolakan batin tokoh-tokohnya, karena yang diutamakan adalah pemaknaan peristiwa, bukan fakta peristiwa. Hal yang berbeda dengan sejarah yang ditulis oleh Barat dimana yang didetail adalah fakta-fakta materi yang dituliskan. Itulah yang membedakan antara orang Barat dengan orang Timur.

“Kalau kita berbicara fakta, ayat Alquran tidak pernah berubah sampai kapan pun. Tetapi secara makna, ayat-ayat Alquran akan terus berkembang, setiap saat. Apa yang kita baca hari ini akan berbeda maknanya ketika kita baca di kemudian hari. Dan itulah yang menumbuhkan manusia, karena kita selalu mencari makna, bukan mencari fakta,” Sabrang lalu melengkapi, “Sepemahaman saya, kenyataan adalah pemaknaan kita terhadap fakta, bukan fakta itu sendiri yang nyata.” Sabrang menyebut bahwa antara makna dengan fakta akan selalu looping, berkesinambungan, yang lebih dekat dengan nyata adalah makna, tetapi yang memicu makna adalah fakta.

“Kita hidup di dunia, ada dua hal yang selalu berinteraksi: fakta dan makna. Makna dengan fakta akan selalu looping, berkesinambungan, yang lebih dekat dengan nyata adalah makna, tetapi yang memicu makna adalah fakta.”
Sabrang MDP, Kenduri Cinta (Februari, 2019)

Melanjutkan paparannya, Sabrang mengatakan bahwa kesadaran manusia adalah proses perputaran makna dan fakta. Antara makna dengan fakta keduanya penting, tetapi yang bisa tumbuh adalah makna. Fakta hanya akan bisa diaktualisasikan dalam bentuk berbeda, tetapi makna akan berkembang dan lebih dekat dengan nyata, karena pemaknaaan terhadap fakta itu memiliki pengaruh yang besar dalam hidup manusia.

“Pilihlah sesuatu yang lebih memberimu makna, bukan yang lebih menguntungkan, bukan yang lebih membahagiakan, bukan yang lebih mengenakkan. Tapi pilihlah yang lebih bermakna pada dirimu, karena yang menumbuhkanmu adalah makna, bukan kebahagiaan, bukan kesenangan, bukan kegembiraan,” jelasnya.

Sabrang lantas menceritakan sebuah penelitian tentang evolusi monyet. Secara struktur tubuh monyet mirip manusia, tetapi pertanyaan berikutnya, mengapa manusia mampu berevolusi jauh lebih maju daripada monyet. Pada sebuah penelitian ditemukan jawaban bahwa hal itu terjadi karena cara manusia dalam memilih pasangannya. Berbeda dengan cara monyet memilih pasangannya yang tidak melalui proses pertimbangan yang rumit, manusia memilih pasangan yang terbaik untuknya. Satu-satunya cara agar monyet betina tidak dikawini bebas oleh monyet lain adalah pasangan monyet itu sendiri, yaitu monyet jantan. Jika monyet jantan acuh, maka monyet betina akan dikawini oleh monyet jantan yang lain.

Sementara manusia, seorang perempuan akan memilih pasangan hidupnya dengan berbagai pertimbangan yang kompleks. Ia akan memilih pasangan berdasarkan kualifikasi terbaik dari society dimana dia bergaul. Itulah sebab mengapa evolusi manusia lebih berkembang dibandingkan monyet, karena dalam meneruskan generasi, manusia memilih pasangan yang terbaik, sementara monyet hanya memilih hanya untuk melahirkan keturunan baru.

Sabrang menyambungkan kajian penelitian itu dengan fenomena politik di Indonesia, dimana masih banyak masyarakat yang memilih pemimpinnya dengan konsep yang seadanya, bukan berdasar kualitas atau pertimbangan-pertimbangan terbaik lainnya. Sebab lain yang mendasari itu, mungkin karena masyarakat tidak memiliki akses mendalam dalam mengenal sosok-sosok calon pemimpin yang akan dipilihnya. Media dan parameter-parameter banyak didapat hanya melalui media sosial dan media massa. Akses informasi didapat hanya melalui internet, tidak benar-benar bersentuhan dengan calon-calon pemimpin.

Cak Nun ikut menambahkan. Menurut Cak Nun, dalam sub hirarki pemilihan pasangan yang dijelaskan Sabrang sebelumnya telah dikenal dalam konsep khasanah Jawa dengan konsep sandang, pangan, dan papan. Dari tiga hirarki itu sudah bisa dijadikan contoh bagaimana manusia mencari pasangan. Ada yang memilih, ndak peduli meskipun rumah dan mobil dibeli dari hasil hutang yang penting kelihatan kaya raya, atau ada juga yang lebih mementingkan itu meskipun penampilannya sederhana tetapi meyakinkan bahwa dia akan berjuang memabangun keluarga yang harmonis. Budaya dan mentalitas bangsa Indonesia masih lebih menomorsatukan penampilan daripada martabat. Konsep yang diberlakukan menjadi terbalik: papan, pangan, baru kemudian sandang. Konsep penjagaan martabat menjadi pertimbangan terakhir, karena yang diutamakan adalah konsep papan, yaitu penampilan materi dari apa yang kita punya.

Malam itu, Sabrang menceritakan bagaiman ia menghadapi cibiran-cibiran masyarakat mengenai Maiyah. Banyak orang menganggap Maiyah cuma menyampaikan wacana tanpa aktualisasi nyata. Sabrang lalu bercerita lagi tentang monyet, dimana struktur jari-jari monyet itu berbeda dengan manusia. Meski jumlahnya sama, lima jari, tetapi secara fungsi monyet tidak bisa menggunakan jari-jarinya seperti manusia. Jempol pada jari manusia memiliki fungsi yang lebih detail daripada jempol pada monyet. Monyet tidak bisa menempelkan jempolnya dengan jari-jari lainnya di tangan yang sama. Berbeda dengan manusia. Manusia dengan jempolnya mampu menghasilkan kreativitas yang luar biasa. Seorang pelukis yang memegang kuas akan mampu menghasilkan lukisan yang indah dan presisi.

“Pilihlah sesuatu yang lebih memberimu makna, yang menumbuhkanmu, bukan yang lebih menguntungkan, membahagiakan atau mengenakkan.”
Sabrang MDP, Kenduri Cinta (Februari, 2019)

Malam itu, Sabrang juga menyoroti sejarah Islam, dimana hal yang banyak diingat oleh umat adalah bagaimana pasukan-pasukan Islam menaklukan Jazirah Arab dengan kekuatan perang. Sangat jarang yang mengingat bahwa yang dilakukan oleh Rasulullah Saw adalah menyentuh manusianya. Rasululah Saw tidak menggunakan kekuatan untuk menaklukan manusia, namun menyentuh sisi manusianya melalui perilakunya, melalui teladan, dengan pendekatan-pendekatan persuasif.

Sabrang meningatkan bahwa manusia sangat bisa memanfaatkan jari-jarinya untuk melakukan perubahan. Medan paling mudah adalah bagaimana manusia saat ini sangat familiar dengan gadget. Melalui jari-jarinya dan akses internet, manusia mampu menjelajah kemana pun ia mau. Hal yang tak disadari kemudian adalah bagaimana dengan jari-jari itu ia dapat melakukan perubahan. Berkembangnya fake news, hate speech, hoax hari ini juga berasal dari jari-jari manusia. Sabrang melihat ada celah bagaimana agar masyarakat memanfaatkan jari-jarinya untuk digunakan melahirkan perubahan.

Maka itu, Sabrang menginisiasi lahirnya aplikasi Pantau Bersama. Melalui aplikasi itu, Sabrang menghadirkan cara memilih pemimpin dengan konsep yang baru. Tanpa harus melihat siapa kandidatnya, pengguna baru aplikasi Pantau Bersama diberikan rangkaian visi dan misi yang sesuai dengan preferensi pandangan politiknya. Dari pilihan yang ia tentukan, akan terlihat kecenderungan kandidat mana yang sesuai dengan naluri alaminya. Masyarakat selama ini diperlihatkan sosok kandidatnya dulu, melalui aplikasi Pantau Bersama Sabrang menghadirkan konsep bagaimana mengggiring publik untuk memilih kandidat berdasarkan visi dan misi serta pandangan untuk kemudian dicocokkan dengan kandidat sesuai dengannya.

“Yang diperjuangkan oleh Maiyah adalah memperbaiki kualitas pemimpin, bukan mengurusi siapa yang menang atau siapa yang kalah,” Sabrang melanjutkan. Menurut Sabrang, jika kita melihat 40-60 tahun ke belakang, kekuatan tangan selalu menjadi alat untuk melakukan perubahan. Hari ini kita memiliki kesempatan untuk menggunakan kemampuan presisi jari-jari kita untuk melakukan perubahan. Pengembangan aplikasi juga didasarkan dari pada nilai-nilai Maiyah, bahwa di Maiyah tidak mungkin ada penggiringan publik untuk memlih 01 atau 02 dalam Pilpres, kemudian terbiasa dilatih untuk berpikir, sehingga memilih pilihan berdasarkan rasionalitasnya dalam berpikir, maka aplikasi Pantau Bersama dibuat Sabrang dengan pijakan-pijakan itu.

Sabrang terus mengupayakan pengembangan aplikasi dengan mengajak serta masyarakat dan para kandidat, mengusahakan bagaimana pertanyaan-pertanyaan yang murni keluar dari para pengguna dapat disalurkan kepada tim sukses dari masing-masing kandidat untuk kemudian direspon.

Aplikasi Pantau Bersama ini juga menjawab cibiran orang-orang yang masih menganggap Maiyah hanya memunculkan wacana-wacana tanpa aktualisasi. Sabrang tidak mengukur kesuksesan jumlah user atau unduhan, tetapi setidaknya ia membuktikan bahwa Maiyah juga mampu menghadirkan alat untuk membantu masyarakat dalam menentukan pilihan politiknya dengan cara-cara yang lebih baik.

Pada kesempatan berikutnya, Cak Nun mengajak jamaah untuk terus bersyukur. Kesadaran utama di Maiyah adalah tidak membawa Maiyah sebagai sebuah organisasi pergerakan yang menggunakan kekuatan genggaman tangan untuk melakukan perubahan. Maiyah melakukan berbagai cara agar presisi dalam mengedepankan rasa cinta dan kasih sayang. Hal ini disadari Cak Nun, membuat mengapa pergerakan Maiyah menjadi awet, dan semakin banyak orang dari berbagai lapis generasi yang datang untuk sinau bareng. Hal yang harus terus disyukuri.

“Yang diperjuangkan oleh Maiyah adalah memperbaiki kualitas pemimpin, bukan mengurusi siapa yang menang atau siapa yang kalah.”
Sabrang MDP, Kenduri Cinta (Februari, 2019)

Menjelang pukul dua dinihari, hujan turun deras. Jamaah mengatur posisi duduknya, sebagian merapat ke panggung. Ibu-ibu dan anak-anak didahulukan untuk naik ke panggung. Sementara yang lain ada yang berteduh di teras-teras gedung, ada juga yang mengubah fungsi terpal menjadi payung.

Sembari jamaah mengatur posisi, Krist dan Donny KiaiKanjeng kembali tampil membawakan musik. Turunnya hujan, tak membuat para jamaah lantas bubar. Mereka mengkondisikan diri sedemikian rupa agar tetap nyaman berada di forum. Penampilan musik Donny dan Krist turut menghangatkan.

Cak Nun mengajak jamaah untuk diskusi lebih rapat. Cak Nun menjelaskan asal-usul dipilihnya tema Nabi Dholim. Ada dua literatur dalam Alquran yang menegaskan pengakuan nabi bahwa dirinya berlaku dholim. Pertama, Nabi Adam AS ketika mengucapkan doa Robbanaa dhzolamna anfusanaa wa in lam taghfirlanaa latarhamnaa lanakuunannaa min-l-khosiriin. Kedua, ketika Nabi Yunus AS mengucap Laa ilaaha illa anta subhaanaka innii kuntu mina-dzholimiin. Dari dua doa tersebut, apakah kita bisa menyimpulkan bahwa Nabi Adam AS dan Nabi Yunus AS adalah orang yang dholim? Tentu tidak. Yang dimaksudkan dari doa yang diucapkan oleh Nabi Adam AS dan Nabi Yunus AS adalah dalam rangka pengakuan diri bahwa masih banyak perilaku dalam diri yang salah, sehingga diperlukan sebuah pengakuan agar diampuni oleh Allah. Sekaligus, dalam rangka mengajarkan kepada umat manusia untuk menyadari bahwa dalam diri ini masih banyak terdapat kekurangan.

Hal sama juga diajarkan Rasulullah SAW, setiap kita salat, dalam doa iftitah kita mengucapkan sebuah ikrar yang menyatakan bahwa salat kita, nyawa kita, badan kita, hidup kita, dan mati kita adalah ditujukan untuk Allah. Pengakuan ini merupakan proses peneguhan diri kepada Allah. Cak Nun memaksudkan bahwa pijakan kita di dunia adalah di-semoga-kan. Setiap ikrar diucapkan dalam rangka semoga kita termasuk dalam golongan orang-orang muslim, dan semoga kelak kita mendapat rida Allah, serta dirahmati Allah di hari akhir nanti. Karena dalam hidup ini, manusia belum dinyatakan lulus. Lulus atau tidaknya menjadi muslim adalah nanti di hari akhir, ketika yaumul hisab, disitulah kita akan menemukan fakta apakah kita termasuk orang msulim atau bukan.

Cak Nun mengajak jamaah mensimulasikan, ketika kita hidup bertetangga dengan banyak orang, yang mungkin dari mereka ada yang berbeda keyakinan agama dengan kita, kemudian ada istilah muslim dan kafir. Apakah kita tega memanggil orang yang tidak muslim dengan panggilan kafir? Apakah dalam pergaulan sehari-hari kita akan dengan mudah menggunakan kata kafir untuk menyapa orang lain yang tidak beragama Islam? Mungkin ada kasus dimana dua sahabat yang berbeda keyakinan, karena sudah saking akrabnya mereka dengan santai menggunakan sapaan kafir diantara keduanya. Namun, jika kepada orang yang baru ditemui, tentu tidak mungkin kita akan memanggilnya dengan sapaan kafir.

Yang dimaksud Cak Nun adalah bahwa kafir atau muslim merupakan kondisi dan situasi, sebuah kata yang tidak bisa berdiri sendiri. Dan dalam pergaulan sehari-hari, meskipun kita mendapati fakta seseorang tidak meyakini Islam sebagai agama keyakinannya, ada pertimbangan akhlak yang menjadikan kita tidak menyapanya dengan sapaan kafir. Meski berdasarkan informasi seseorang itu adalah orang kafir, tidak serta merta kita menyapanya dengan panggilan, “Hey, Kafir!”

“Yang dimaksud kafir atau muslim, itu kuantitatif atau kualitatif?” Cak Nun bertanya, dan dijawab serentak, “Kualitatif!” Kafir atau muslim sifatnya dinamis, dan kafirnya seseorang atau muslimnya seseorang bukanlah identitas, melainkan perilakunya. Maka tidak mungkin kata kafir menjadi kata yang diobral-obral, apalagi menjadi sapaan sebagai panggilan kepada seseorang, karena kafir atau muslim berlangsung secara dinamis berdasarkan perilaku seseorang. “Mungkin nggak, orang secara identitas mengaku dirinya muslim tetapi perilakunya kafir?” tanya Cak Nun.

“Belajar jadi manusia terlebih dahulu, tidak menyakiti hati orang lain, tidak menghina orang lain, saling mengamankan orang lain, supaya kita menjadi muslim.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Februari, 2019)

Melanjutkan diskusi, Cak Nun menyampaikan bahwa pertimbangan utama yang digunakan untuk menyebut orang lain kafir itu bukan pertimbangan akademis, melainkan pertimbangan kemanusiaan. Kita sebagai manusia musti merasa tidak tega menyebut orang lain kafir, meskipun secara fakta ia kafir berdasarkan informasi akademis yang kita miliki. Tetapi, sebagai manusia kita memiliki nilai-nlai luhur yang membatasi kita sehingga kita menahan diri untuk mengungkapkan kata kafir kepada orang lain.

Rasulullah Saw sebelum diangkat sebagai Nabi, dia sudah lulus sebagai manusia, sehingga ia mendapat julukan Al Amin, orang yang dipercaya. Julukan ini bukan sembarang julukan, karena siapapun saja yang berada di sekitar Muhammad bin Abdullah saat itu, akan terjamin keamanannya, baik nyawa, martabat dan juga hartanya. “Sekafir-kafirnya anda, saya tidak akan memanggil anda dengan sapaan Kafir. Semuslim-muslimnya anda, saya posisinya adalah mendoakan anda semoga anda kelak tergolong dalam golongan orang-orang yang muslim,” lanjut Cak Nun.

Cak Nun mengajak jamaah untuk mentadabburi Surat Al Kafiruun. Dalam kehidupan manusia yang sangat dinamis, sangat mungkin kita sebagai manusia mengalami pergeseran presisi sehingga menjauh dari shiroto-l-mustaqiim, maka menurut Cak Nun surat Al Kafiruun adalah media pengembaraan ke dalam diri, agar kita semakin waspada terhadap dinamisnya hidup ini. Sangat mungkin dalam sehari-hari kita berlaku kafir. Maka Nabi Adam AS dan Nabi Yunus AS mengajarkan sebuah doa yang sangat dalam maknanya untuk berani mengakui kesalahan.

“Ayo belajar jadi manusia terlebih dahulu, tidak menyakiti hati orang lain, tidak menghina orang lain, saling mengamankan orang lain, supaya kita menjadi muslim,” ajak Cak Nun. Memang sebaiknya kita mempelajari Rasululah Saw melalui perilakunya sehari-hari, bukan melalui ilmu fikih. Karena dengan belajar kepada Rasulullah Saw secara kepribadian, kita akan mendapati nilai-nilai luhur dalam diri Rasulullah Saw. Sementara dalam budaya pergaulan masyarakat sangat mudah melegitimasi orang lain sebagai kafir, musyrik, dan sebagainya yang salah satu akibatnya adalah menyakiti hati orang lain. Padahal hanya Allah Swt yang paling berhak memberi legitimasi bahwa seseorang itu muslim atau kafir.

Ada hadits Rasulullah Saw: Al Islamu ya’luu walaa yu’laa ‘alaihi. Islam itu tinggi, dan tidak bisa ditinggii oleh yang lain. Namun banyak orang yang salah memahami hadits ini, sehingga memiliki kecenderungan psikologis bahwa jika sudah menjadi orang Islam maka menjadi orang yang tinggi, kemudian merendah-rendahkan orang yang bukan Islam. Padahal Islam bukan identitas, Islam bukan benda. Bahwa manusia, kadar keislamannya sangat dinamis, dan masing-masing manusia tidak bisa mengukurnya.

“Kita tidak akan mampu memahami Alquran sebagaimana Alquran itu sendiri. Kita hanya mampu memahami Alquran sejauh pemahaman kita sendiri,” Cak Nun melanjutkan. Tema Nabi Dholim lebih khusus ditujukan agar kita semua memiliki rasa rendah hati kepada orang lain, sehingga kita tetap memiliki rasa toleransi kepada sesama manusia dalam hubungan sosial masyarakat sehari-hari. Semoga dengan tema ini juga menjadikan kita manusia yang penuh dengan keseimbangan dalam berpikir, berlaku, dan juga dalam mengambil keputusan. “Lebih baik kita sibuk mencari kekufuran dalam diri sendiri daripada sibuk mencari kekufuran orang lain. Itulah kebijaksanaan yang kita ambil di Kenduri Cinta,” tegas Cak Nun.

“Lebih baik kita sibuk mencari kekufuran dalam diri sendiri daripada sibuk mencari kekufuran orang lain.”
Emha Ainun Nadjib, Kenduri Cinta (Februari, 2019)

Nabi Adam AS dan Nabi Yunus AS juga telah memberikan teladannya. Mengajarkan kita bahwa seorang nabi pun memilik sportivitas untuk mengakui kesalahan-kesalahan. Dari semua pengembaraan diskusi malam itu, Cak Nun menekankan bahwa ada banyak hal dalam hidup ini yang sifatnya pengembaraan dalam ranah pribadi, sehingga tidak etis jika kemudian pengembaraan itu diungkapkan kepada orang lain, apalagi di ranah publik. Seperti simulasi pengucapan kata kafir tadi. Belum lagi jika kita berbicara tentang hukum Islam, mana wajib, mana sunnah, mana halal, mana haram, mana makruh. Secara realita tidak mudah kita mengklasifikasikannya, ada situasi dimana sesuatu yang awalnya haram, karena satu kondisi tertentu menjadi wajib. Hukum Islam sangat mungkin berlaku secara kontekstual.

Bahkan, urusan sesama manusia bukan urusan ibadah. Syahadat yang diikrarkan oleh setiap orang pertanggungjawabannya bukan kepada sesama manusia, melainkan kepada Allah. Dengan sesama manusia, urusannya adalah akhlak, perilaku baik, tidak menyakiti hati orang lain, tidak menghina martabat orang lain. “Tidak semua kehidupan berlaku berdasarkan keyakinan kita,” pungkas Cak Nun. Di tengah hujan yang masih deras, Kenduri Cinta diakhiri. Cak Nun mengajak seluruh jamaah untuk berdiri, indal qiyam. Cak Nun kemudian memimpin doa bersama memuncaki Kenduri Cinta edisi Februari 2019.