Mukadimah: TRAUMA KAPITIS — Hilang Personalitas, Gagap Identitas

Prolog BangbangWetan Oktober 2015

IMG-20151028-WA0011

Dua kata ini, Trauma Kapitis, digunakan di dunia medis sebagai istilah untuk menggambarkan kondisi luka akibat benturan atau trauma yang menimpa area kepala. Secara patologis, efek yang ditimbulkan bisa berakibat neurologis (berkenaan dengan syaraf) atau psikiatris (kejiwaan). Gangguan terhadap sistem syaraf mengakibatkan gangguan gerak/kelumpuhan, gangguan bicara maupun keseimbangan. Sedangkan akibatnya terhadap kondisi kejiwaan, adalah munculnya gangguan mood, deperesi hingga psikotik yang mengarah pada gejala-gejala schyzophrenia (gangguan jiwa).

Namun kita tidak sedang berada dalam satu sesi perkuliahan atau seminar yang berhubungan dengan dunia kedokteran. Sehingga akan lebih baik bila istilah itu mari kita terjemahkan ke dalam keakraban dialek Suroboyoan sebagai Pecah Ndase. Dengan segala akibat yang ditimbulkannya, kita asumsikan sama, pada kesempatan BbW Oktober ini kita tambahkan dua manifestasi empiris yang menyertainya: hilangnya personalitas dan kegagapan indentitas. Ada baiknya bila penyebab dari trauma itu kita lengkapi dengan sekian banyak hal yang menyangkut bukan hanya benturan secara fisik dan materi. Namun juga berkenaan dengan situasi eksternal yang niscaya menjadi keseharian kita akhir-akhir ini.

Setiap dari kita, mengutip Sabrang (Sabrang Mowo Damar Panuluh atau Noe Letto), memiliki empat lapisan kepribadian yaitu intelektual, identitas, personalitas dan diri sejati. Dalam penugasan kita sebagai khalifah di bumi, kita telah memiliki perjanjian agung dengan Sang Khalik untuk wa mahyahya, wa mamaati lillaahi robbil alaamin. Bersamaan dengan itu, sebagai piranti dasar yang bisa kita gunakan dalam menjalankan mandat, kita dibekali dengan satu set personalitas yang tidak bisa kita ubah atau assembling. Personalitas adalah talenta atau gawan bayi yang mau tidak mau, suka tidak suka, melekat pada diri kita. Dalam kenyataannya, setelah mengetahui betapa luasnya dunia, beragamnya kawan atau lawan main yang kita hadapi serta serbaneka persoalan yang kita temui, kita ciptakan identitas-identitas dengan harapan akan meningkatkan kemampuan kita menyelesaikan itu semua.

Sejalan dengan semakin bertambahnya umur bumi sebagai sebuah planet, sebagai satu bentuk makhluk, kita menyaksikan semakin banyak, rumit, dan absurdnya persoalan yang dimunculkannya. Mengambil contoh sederhana dalam aktivitas rutin kita saja terlihat bagaimana daya beli cenderung stagnan bahkan terdepresiasi, sementara harga barang terus naik seperti tak pernah mau berhenti.

Godaan informasi melalui media apapun menjadikan kita tergiur untuk memiliki dan mencicipi kebutuhan dalam skala kesekian (yang sebenarnya hanyalah satu bentuk keinginan) pada saat mana kebutuhan pokok belum benar-benar bisa kita tuntaskan. Di bidang lain, posisi sebagai masyarakat biasa menjadikan kita korban yang tak pernah sadar untuk kembali menjadi korban dari mekanisme perniagaan yang oleh para petinggi negeri disebut sebagai proses wajar sebuah negara dan pemerintahan.

Sekian banyak contoh lain bisa kita tambahkan. Misalnya, dengan kekecewaan atas ucapan, tindakan dan perilaku mereka yang seharusnya menjadi panutan. Semakin merosotnya penghargaan atas jerih payah kita, materi maupun non materi, yang diberikan oleh lembaga-lembaga dimana kita berharap kepadanya. Tidak terbuktinya teori-teori yang kita dapatkan dan gunakan untuk mengatasi segala persoalan dari urusan mendidik anak hingga tata kelola negara.

Ditengah kekusutan situasi itu, dengan maksud menyesuaikan diri dan menemukan solusi, kita terus mengolah gambaran identitas kita. Alih-alih mendapatkan jawaban atas permasalahan yang ada, perlahan namun pasti kita justru semakin kehilangan lapisan yang lebih dalam pada diri kita, personalitas. Gejala yang bisa kita lihat adalah, semakin maraknya umat seagama yang saling mengafirkan, tren pemikiran bahwa pemberian adalah tiket terbaik untuk mendapatkan apa yang kita minta bahkan surga, peralihan frontal sikap dari mereka yang sebelumnya sangat puritan menjadi sangat oportunis ketika memperoleh kursi atau jabatan serta beratus contoh nyata lainnya.

Pertanyaannya adalah, apakah kita akan berdiam diri dan menunggu tangan Sang Maha Penyembuh datang dan mengobati luka di kepala yang mempengaruhi secara signifikan fungsi luhur kita? Atau, kita memilih untuk berpura-pura tidak ada persoalan menyangkut diri dan lingkungan kita karena kondisi ini adalah penyakit massal yang karenanya adalah tidak mungkin bagi kita untuk menghindar darinya?