Mukadimah: SERIBUTA SERITULI

MUKADIMAH KENDURI CINTA oktober 2016

KETIKA BAYI lahir dari rahim seorang ibu, kosakata yang Allah anugerahkan hanya tangisan. Seiring berjalannya waktu, bayi belajar untuk tersenyum, tertawa, berkata-kata dan berteriak untuk mengungkapkan ekspresi-nya agar dipahami oleh orang di sekitarnya. Melalui komunikasi, orang-orang mengajari-nya untuk berbicara, memperkenalkan kata-kata sederhana supaya diucapkan oleh si bayi. Semakin beranjak dewasa, bayi tumbuh dan berkembang mengalami interaksi dengan lingkungan. Seiring dengan itu kosakata-pengetahuannya bertambah dan koreksi pemaknaan yang masih keliru-keliru terus dilakukan. Kemampuan untuk memaknai dan menyikapi-pun semakin presisi dan fasih dari sebelumnya.

Wa ‘allama adaama-l-asmaa’a kullaha, tsumma ‘arodhohum ‘ala-l-malaaikati fa qoola anbiuunii bi asmaai haaulaai inkuntum shoodiqiin. Dalam ayat tersebut Allah menjelaskan bahwa Adam adalah pihak yang diberi mandat untuk mengajarkan kepada malaikat nama-nama benda. Kita tidak mengetahui secara pasti bagaimana Adam mengajarkan kata-kata atau nama-nama benda itu kepada para malaikat. Kita juga tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk meneliti bagaimana sebenarnya kata-kata yang kita ucapkan hari ini adalah hasil dari kesepakatan orang-orang terdahulu jauh sebelum kita lahir. Atau bahkan, sekian ratus kata-kata yang baru saja kita dengar beberapa bulan terakhir ini secara otomatis menjadi kesepakatan bersama menjadi kosakata yang baru.

Dalam DAUR edisi 14, secara gamblang Cak Nun menjelaskan bahwa kita memiliki masalah yang besar dan serius dengan kata. Ya, kata. Serangkaian huruf yang tersusun atas huruf vokal dan konsonan yang kita ucapkan sehari-hari ternyata justru merupakan sumber permasalahan yang kita hadapi hari ini. Kata-kata itu ada yang lahir atas kreativitas manusia itu sendiri, ada yang muncul hasil dari kesepakatan bersama, ada yang diajarkan oleh Nabi dan Rasul dan tentu saja ada yang langsung berasal dari Allah.

Satu kata dipadukan dengan kata-kata yang lain kemudian menghasilkan pemahaman yang baru, menghasilkan pengetahuan yang baru. Dalam pergaulan kita sehari-hari, pada saat kita menggunakan kata “aku” dan “kamu” ada nuansa yang berbeda jika dibandingkan dengan pada saat kita menggunakan kata “saya” dan “anda”, misalnya, bahkan nuansa yang lebih berbeda lagi juga akan dirasakan ketika kita menggunakan kata “aku” dan “engkau” dalam sebuah percakapan dengan orang lain, baik secara langsung tatap-muka atau hanya melalui tulisan. Dalam tulisan DAUR edisi 14 itu, Cak Nun menjelaskan bahwa penggunaan kata “aku” dan “engkau” sebenarnya bukanlah sebuah eksklusifitas, pergaulan yang kita alami selama ini yang kemudian mengakibatkan penggunaan kata “aku” dan “engkau” merupakan kata yang eksklusif padahal sebenarnya tidak.

Penggunaan kata-kata dengan pemaknaan yang keliru di berbagai jenis media publikasi sebenarnya merupakan sebuah ancaman yang sangat serius terhadap komunikasi manusia itu sendiri. Ditengah ancaman yang sangat serius ini, anak-anak muda diserbu oleh kata-kata baru yang masuk kedalam alam fikiran mereka melalui apa yang mereka lihat setiap hari, melalui apa yang mereka dengar dan apa yang mereka rasakan sehari-hari. Fenomena anak-anak muda yang saat ini lebih merasa akrab dengan bahasa gaul mereka dalam pergaulan sehari-hari diantara mereka secara tidak sadar turut menyumbang ancaman serius terhadap masa depan mereka.

Kegagalan dalam pemaknaan kata-kata berakibat fatal pada kesalahan dalam penggunaan kata-kata itu sendiri. Hari-hari ini, kita tidak hanya melihat orang-orang yang tidak lulus sekolah melakukan kesalahan dalam pengucapan kata-kata, bahkan lebih parah dari itu, kaum inetelektual, para ulama, para cerdik cendekia, hingga pejabat negara melakukan kesalahan yang sama; kegagalan memaknai kata. Yang kemudian berakibat pada kesalahan penggunaan kata.

Dalam konteks agama, banyak sekali masyarakat kita yang belum sepenuhnya memahami apa itu muslim, kafir, bid’ah, syirik, khurafat, mukjizat, wahyu, karomah, ma’unah, fadhillah dan lain sebagainya. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita hari ini menghadapi persoalan yang serius dalam pemaknaan kata Negara, Pemerintah, Demokrasi, Pemimpin, Presiden, Pembangunan, Partai, Parlemen, Pegawai, Pejabat, Hukum, Moral dan masih banyak lagi ketidakpastian makna dari kata-kata yang bertaburan yang kita baca, yang kita dengar, yang kita lihat setiap hari.

Penglihatan dan pendengaran kita dibuat melenceng jauh dari makna yang terlihat dan terdengar. Belenggu yang selama ini mengekang leher tanpa disadari sudah dianggap sebagai kalung perhiasan. Arak-arakan kendaraan kreditan yang pontang-panting perlu setor tiap bulan digunakan perayaan kemerdekaan tahunan. Smartphone produk kecanggihan teknologi yang seolah-olah dapat kita genggam, justru seringkali memenjarakan perhatian kita, menjauhkan pendengaran dan penglihatan dari orang-orang yang berada berdekatan di sekeliling kita. Katanya investasi tapi yang terjadi invasi ekonomi. Manipulasi pelaporan pajak berjamaah yang jelas-jelas merugikan negara triliunan rupiah justru diberi fasilitas oleh pemerintah. Mati-matian medali emas diperebutkan, sementara ber-ton-ton emas dibiarkan dijarah. Kewajiban Negara terhadap Rakyat di-telikung oleh pemerintah dengan kata-kata. Kenduri Cinta edisi Oktober mengangkat tema: SERIBUTA SERITULI, kita melingkar bersama, menajamkan rasa dan pikiran, mengolah nilai menjadi kemuliaan dan mengutuhkan persaudaraan.