Mukadimah: SAKABA-KABA IN(S)TAN

 

MUKADIMAH JAMPARING ASIH April 2016

“MAIYAH BUKANLAH organisasi, melainkan organisme”. Hal tersebut yang selalu diingatkan oleh para Guru Maiyah. “Maiyah adalah organisme karena di dalamnya ada nyawa pertumbuhan, ada berbagai komponen yang berkait, dan terdapat proses-proses transformasi yang berlangsung melalui alur Dzat-Sifat-Isim-Jasad”, tulis Pak Toto Raharjo. Pun selayaknya organisme hidup yang membutuhkan air untuk keberlangsungan hidupnya, simpul-simpul Maiyah tentu membutuhkannya air untuk sumber kehidupan. Sumber air berupa mata air ilmu yang dapat terus direguk kesegarannya untuk menghapuskan dahaga hingga organisme-organisme Maiyah senantiasa dapat mengolah kebermanfaatannya di lingkungan tempatnya hidup dan berada. Meski di dalam Maiyah dibangun sebuah kesadaran bahwa ilmu atau petikan kearifan bisa kita dapatkan dari siapa saja, namun begitu adalah sebuah goresan sejarah bahwa Padhangmbulan merupakan sumber mata air Maiyah tertua yang keberadaannya melekat erat dengan perjalanan Simbah Guru, Emha Ainun Nadjib. Perjalanan Maiyahnya yang dipupuk dan ditanam tidak secara instan.

Ada baiknya pula, Jamparing Asih sebagai salah satu simpul termuda Maiyah untuk menengok kepada sang Induk. Atau semata mengabarkan petikan-petikan ilmu yang ditebarkan di sana, di Padhangmbulan. Seperti pada Padhangmbulan edisi April 2016, Simbah Emha Ainun Nadjib memaparkan mengenai skenario global dalam melemahkan manusia-manusia Indonesia. Tiga skenario utamanya adalah :

  1. Diputus hubungan antara kita dengan leluhur
  2. Kita dibuat tidak memercayai diri sendiri
  3. Diputus cinta kita dengan Rasulullah

Alangkah elok bila kita ikut merenunginya untuk menanyakan dalam diri masing-masing, apakah hal ini sudah benar-benar terjadi? Apakah kita menyadarinya? Ataukah secara tidak sadar, kita dibuat tidak merasa bahwa bangsa kita sedang digiring kepada ketidaksadaran tersebut?

Memahami permainan global adalah pengetahuan yang dapat membantu kita membaca peta kehidupan dengan lebih menyeluruh. Namun tak boleh terlupa bahwa sebagai bagian dari masyarakat, alangkah baiknya bila kita dapat membaca dan memerhatikan fenomena-fenomena lokal yang teramati di tempat kaki kita dipijak, yaitu Kota Bandung. Kota dimana aku, kamu, mereka, dan Jamparing Asih berada. Kota tempat kita berada.

Saat ini tampaknya Bandung sedang membangun citranya sebagai kota kreatif anak muda. Geliat pembangunan pun akan sangat terasa berbeda dengan belasan tahun, atau bahkan puluhan tahun ke belakang. Ditambah lagi dengan hampir menetasnya daerah pusat pengembangan teknologi dan informasi. Tidak lupa pula kini Bandung memperkenalkan identitas dirinya sebagai “Smart City”. Meskipun begitu, masyarakat Bandung pun tidak boleh terlupa bahwa Bandung merupakan warisan bumi Sunda. Dari seluruh kenyataan terkait demografi dan kemilau pembangunan itu, berapa besarkah yang mensinergikan pembangunannya dengan ruh, jiwa, dan kearifan tatar Sunda?

Bagaimanapun, masyarakat merupakan unsur yang tidak mungkin luput dari sebuah kota. Badan Pusat Statistik mengabarkan bahwa masyarakaat Bandung didominasi oleh anak-anak muda dimana secara demografi, lebih dari setengah jumlah penduduknya, yaitu lebih dari 60 % berada pada kelompok usia di bawah 40 tahun. Pun tidak sedikit dari anak-anak muda yang menetap di Bandung pun adalah warga pendatang. Dari sejumlah pendatang yang menjadi tamu di kota Bandung, bagaimanakah bentuk terima kasih yang telah diberikan untuk bumi Parahyangan tempatnya berpijak itu? Dari jutaan anak muda Sunda yang berada di Bandung, berapa persenkah dari mereka yang memahami sejarah nenek moyangnya di tatar Pasundan? Berapa banyak anak muda Sunda yang menyadari pentingnya menemukan dan merangkai kembali kepingan-kepingan kisah dan sejarah masa silam? Berapa banyak dari mereka yang memahami dan menghayati agungnya laku, pitutur, dan budaya kesundaan?

“Kade, tong kabawa ku sakaba-sakaba”, begitu ujar orang tua Sunda mewanti-wanti anaknya. Sakaba-kaba memiliki artian anu teu pugah-puguh atau sesuatu yang tidak jelas juntrungannya. Di tengah budaya kontemporer saat ini, Jamparing Asih menemukan adanya fenomena “serba instan” yang sebagai salah satu fenomena di masyarakat yang dapat mewakili kata ke-teu-puguh-an itu. Unsur instan kini banyak ditemukan menjadi haluan utama di segara kehidupan. Dari segi pembangunan, pembelajaran, kebudayaan, keberagamaan, pengumpulan pundi-pundi uang, pendidikan, dan cara berpikir pun sangat mudah ditemukan unsur ke-instan-an nya. Seolah dewasa ini manusia hidup untuk menjadi “masyarakat instan”, bukan “masyarakat intan”.

Dalam naskah drama Simbah Guru yang berjudul “Perahu Retak” terdapat sebuah bait “Orang batu jadi mutiara, karena cintaMu”. Pada Kenduri Cinta edisi Juni 2015, Simbah Guru menyatakan bahwa situasi zaman sekarang sangat memungkinkan orang untuk salah dalam memaknai sesuatu. Manusia kini banyak gagal dalam menempatkan dan memposisikan diri. Tidak bisa membedakan antara intan dengan batu, batu dijunjung-junjung sedang intan justru diinjak-injak. Tatanan sosial akan menjadi teu pagah-puguh apabila masyarakat tidak dapat membedakan mana manusia batu, mutiara, intan, tembaga. Manusia dapat diketahui kualitas keintanannya dari cahaya di dalam hatinya.

Dalam memaknai berharganya intan berlian sebagai sebuah output, kita tidak boleh melupakan proses penempaannya. Pada prosesnya, sang intan mengalami perjuangan panjang. Melewati silih berganti pergantian musim, panas dan dingin dia rasakan, tidak sedikit gesekan-gesekan bahkan hantaman-hantaman telah dia rasakan, intan tetap bertahan, karena dengan keteguhan yang dia miliki, maka gesekan-gesekan itu semakin menimbulkan Mahabbahnya terhadap Sang Pencipta, karena dia yakin Sang Pencipta lebih Maha Mengetahui ada apa dibalik semua itu, dia tetap bertahan hingga menjadi intan berlian yang begitu indah, seperti pohon yang yakin bahwa “Badai pasti berlalu”, dan “yang tersisa hanyalah pohon-pohon terkuat, dengan akar-akar terkuat”.

Dengan tanpa bertendensi untuk mendikotomikan atau membedakan keberadaan manusia, Jamparing Asih mengajak sedulur untuk bersama-sama mentafakuri fenomena di masyarakat yang dapat dimetaforkan menjadi kemanusiaan yang bersifat instan ataukah intan. Dimana sesuatu yang instan memiliki sifat mudah dibuat, sedangkan intan adalah sesuatu yang akan menjadi semakin bernilai dengan penyadaran akan proses. Bahwa proses pembentukan intan dijalani begitu berliku dan panjang.

Sebagai tempat untuk saling berbagi, berinteraksi, dan memahami selayaknya manusia, dengan segala kerendahan hati, Jamparing Asih mengundang sadulur sarerea untuk melingkar dan bermaiyah bersama dalam cinta dengan tema “Sakaba-kaba In(s)tan” pada hari Sabtu, 30 April 2016 yang akan dimulai pukul 17:00 WIB di Gedung RRI Bandung. ‎Semoga dengan lingkaran kecil di malam minggu ini, kita dapat saling mengetahui pentingnya duduk bersama, mendinginkan kepala, dan saling menyadari kekurangan yang dimiliki masing-masing diri. Agar intan-intan yang terpendam dalam setiap diri dapat sedikit demi sedikit terkikiskan dari pasir dan debu-debu untuk akhirnya dapat saling mendispersikan cahaya yang tertuju kepadanya. Dan ibarat seorang pendulang yang dengan istiqomah mencari intan di tumpukan kerikil, lumpur, dan bebatuan, semoga kita pun dapat berusaha untuk terus menemukan intan-intan yang terserak atau bahkan mungkin mungkin dibiarkan terserak oleh tatanan kehidupan yang ada di masyarakat saat ini.

Dihaturanan kasumpinganana.