Mukadimah: REJEKI RASA

Mukadimah Juguran Syafaat Juni 2015

rejeki rasa

Rejeki adalah sesuatu yang dapat kita nikmati. Sekedar sesuap nasi sekalipun kalau dalam perjalanan beberapa sentimeter menjelang mulut kita ditakdirkan tumpah karena ada kucing melompat, maka sesuap nasi itu bukan rejeki kita. Sesederhana itukah? Iya. Yang membuat tidak sederhana adalah karena kita terlalu nggugu dengan apa yang ekonomi modern diktekan kepada kita.

Dalam prinsip ekonomi modern, berapa saja rasanya kurang sehingga apa saja menjadi halal dijual. Entah itu dibutuhkan oleh orang yang kita juali atau hanya dibuat-buat agar seolah-olah butuh. Pendidikan, kebudayaan hingga agama ikut-ikut dijual. Belum cukup juga semua itu, “kekhawatiran”-pun dijual juga. Jadilah orang sibuk tiada henti menumpuk harta, menambah tabungan, menanam investasi, mengikuti berganda-ganda asuransi demi meredam kekhawatiran atas masa depannya.

Padahal masa depan itu “nanti” adanya. Seperti sesuap nasi yang belum sampai di mulut, potensialitasnya akan benar-benar sampai di mulut dan tidak itu adanya di “nanti”. Maka bisa yang sebetulnya orang-orang itu sibuk tiada henti dalam rangka menjemput rejeki atau sedang terbius oleh angan-angan rejeki yang ia bangun sendiri? Saking sibuknya, sampai-sampai tak sempat merasakan yang saat ini bisa dirasakan sebagai rejeki. Rejeki bisa merasakan manis, asam, asin, gurih, renyah, segar, bugar, bergairah, padang jingglang, tentram, sepoi-sepoi, happy, loving & care.

Kalau merasakan rejeki yang nyata-nyata riil saat ini bisa dirasakan saja tidak sempat. Lantas mana sempat kita berpikir dan bertafakur, darimana asal-usul rejeki itu datang. Maka yang terjadi, komat-kamit mulut bermunajat minta rejeki tapi apa yang kita angan-angankan tentang gambaran rejeki tak kunjung datang. Sama seperti orang komat-kamit ngedumel hape-nya tidak dapat sinyal tapi dirinya tapi hapenya dibiarkan non-aktif. Atau ia tidak berpindah dari zona blank-spot. Sinyal tetap nihil.

Sinyal hape ada sumbernya, minimal saat mencarinya kita mendekat-dekat ke BTS. Kalau rasa manis, rasa tentram, rasa cinta, tidakkah kita mencari BTS dari sumber rasa-rasa itu? Bagaimana sistem transmisi rasa-rasa itu, sehingga semua terlihat demikian alami tanpa rekayasa.