Mukadimah: PENG-ABDI-AN TANPA PENG-AKU-AN

MUKADIMAH JAMPARING ASIH FEBRUARI 2016

“ABDI” ADALAH salah satu kata ganti dalam Bahasa Sunda untuk menyebut saya atau aku. Siapapun yang menjadi lawan bicara, urang Sunda selalu menyebut dirinya sebagai “abdi”, entah pejabatkah ia atau anak kecilkah ia, hatta kepada hewan dan tumbuhan, kita menyebut diri kita dengan abdi. Dalam bahasa Indonesia “abdi” bermakna pengabdian. Apakah memang sebenarnya ada hubungan keterikatan kata antara keduanya? Kalau memang saya adalah abdi, dan abdi berarti orang yang mengabdikan dirinya, maka kepada siapakah sang subyek harus mengabdi?

Dalam kehidupan kemasyarakatan, jamak ditemui kata pengabdian menghiasi kalimat atau sekedar istilah dari sebuah aktivitas. Teman-teman di kampus tentunya akan tahu dan bahkan wajib mengikuti Praktek Pengabdian Masyarakat, karena memang Tridarma Perguruan Tinggi mengisyaratkan itu, yaitu : Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian. Tetapi, bagaimanakah konsep pengabdian yang dimaksud oleh Tridarma tersebut? Apakah ilmu yang kita dapatkan di bangku sekolah benar-benar diniatkan agar memberikan manfaat bagi masyarakat, atau dengan ilmu kita malah memanfaatkan masyarakat?

Dalam dunia pemerintahan, kita juga mengenal istilah Abdi Negara, entah itu pegawai sipil, militer sampai para pemimpin negara, disebut dengan para abdi negara. Namun apakah yang sebenar-benarnya diabdikan? Dan apakah pengabdian kita sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh apa-apa yang dirumuskan dalam konsep kenegaraan? Apakah setiap pengabdian diri kita harus mendapatkan pengakuan dari institusi-institusi negara? Apakah sejatinya dimungkinkan adanya bentuk pengabdian dari diri dengan tidak mempertimbangkan ada-tidaknya pengakuan –meski nyatanya pengabdian-pengabdian yang dilakukan secara langsung terasa oleh khalayak ramai?

Dalam uraian khazanah Keislaman, Allah menegaskan bahwa manusia dan jin diciptakan tak lain kecuali sebagai dan menjadi hamba, makhluk yang mengabdikan diri kepada Tuannya. Namun sering kali kita temui, pengabdian kita ternyata berpamrih. Adakah pengabdian yang paling luhur selain pengabdian tanpa pamrih? Pengabdian yang dilakukan kerap kali memiliki unsur kesimpulan, sepertinya kita adalah hamba yang mengabdikan diri hanya untuk melambungkan keakuan sehingga posisi Tuhan lambat laun tersisihkan. Kalau memang fenomena ini benar terasa, apa sebenarnya yang menyebabkan perkara tersebut terjadi, dan mengapa manusia amat rentan terhadap kondisi dimana ia melihat diri sebagai subyek utama adalah pertanyaan-pertanyaan yang sepatutnya direfleksikan.

Untuk menciptakan sebuah diksursus dalam diri, seorang abdi selayaknya tak henti merefleksikan ulang posisi dan tingkat kemuliaan dirinya di hadapan Tuhannya. Merefleksikan dari hal-hal sesederhana seperti mana yang sesungguhnya lebih mulia, manusia ataukah burung? Burung tak pernah memfungsikan semua atribut yang melekat padanya untuk hal yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, sayap untuk terbang mencari maisyah, kaki tak mencengkram ranting sesuatu yang bukan miliknya, paruh tak pernah mematuk sesuatu yang bukan untuk dipatuk, dan seterusnya. Mungkin itulah kenapa dalam Kitab Suci Tuhan sampai memberitahu bahwa manusia berpotensi menjadi lebih rendah derajatnya dibanding hewan ternak.

KALAU KITA PERGI KE DESA, atau memperhatikan orang-orang yang dianggap kecil, para petani, pedagang keliling, nelayan kecil, perajin kebutuhan berbahan baku alam, kita akan menyadari betapa mereka setia kepada kehidupan, kepada Tuhan dan alam, membalik tanah, menandur, memupuk, mengoyos, membersihkan hama meski musim makin tak menentu, meski hasil tak dapat diharapkan tapi mereka setia karena tugas makhluk adalah bekerja memaksimalkan semua potensi yang melekat, masalah hasil itu hak prerogatifnya Allah. Pedagang keliling, memanggul dagangannya dengan payah, entah dimana pembeli akan menghampiri tapi kaki tetap melangkah meski puluhan kilometer harus ditempuh, meski hujan dan panas menguji. Para perajin, memotong, menganyam dan mengikat dengan cekatan, rapih dan indah, meski mungkin sesekali terpikir masih adakah yang akan membeli hasil mereka, meski produk handmade tetap dibeli dengan harga yang murah.

Di sisi lain, kebanyakan manusia saat ini bekerja untuk sekedar mencari pamrih, baik popularitas atau materi. Pengabdian kita hanya untuk diakui bahwa sang aku sebagai diri subyektif ada. Sedang bukankah seorang abdi yang di-ada-kan sudah sepantasnya hanya patuh kepada kehendak Tuannya? Bukankah adanya abdi justru untuk menegaskan bahwa Tuannya, Allah, itu ada? Di sisi lain, dalam konsep bertajalli, ke-aku-an seorang hamba sudah sepantasnya untuk terus dapat dikikis. “’Aku’ ada, maka Allah meniada”, begitulah kira-kira seorang sufi pernah berujar tentang ke-aku-an diri manusia.

Lantas, dimanakah posisi kita sebagai seorang ‘abdullah, makhluk yang dikaruniai segudang potensi plus fitur istimewa bernama akal. Apa yang menyebabkan kita lebih berpotensi menyerupai hewan ternak bahkan lebih rendah? Semua kesimpang-siuran ini mungkin telah lama berkecamuk di batin dan benak kita.

Sebagai sarana untuk mendengarkan isi hati yang ada, dengan segala kerendahan hati, Jamparing Asih mengundang sadulur sarerea untuk melingkar dan bermaiyah bersama dalam cinta dengan tema “Pang-abdi-an tanpa Peng-aku-an”, pada hari Sabtu, 27 Februari 2016 yang akan dimulai pukul 17:00 WIB di Auditorium RRI Bandung. ‎

 

Dihaturanan kasumpinganana.