Mukadimah: “NABI DHOLIM”

ADAKAH DIRI KITA ini tidak tersesat? Pernahkah kita merenungi, apakah langkah kaki kita, lambaian tangan kita, mata kita, telinga kita, mulut kita, hingga akal pikiran kita menjalani sebuah desain serta konsep yang sesuai dengan apa yang sudah dirancang oleh Dia Yang Maha Menciptakan?
 
Adakah kita pernah menyadari ketersesatan kita di dunia? Apakah ketika kita menyadari ketersesatan itu, kemudian kita berani mengambil langkah radikal untuk berhijrah mina-dzulumaati ilaa-n-nuur, dari kegelapan menuju cahaya, dari ketersesatan menuju jalan yang benar? Ataukah diam-diam meskipun kita menyadari kita tersesat, kita lebih mengandalkan kemurahan hati Allah agar kelak mengampuni kita?
 
Maukah kita menyadari bersama-sama bahwa diri kita ini pun sebenarnya belum lulus menjadi manusia? Manusia yang sejati adalah manusia yang tidak memerlukan aturan-aturan hukum untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan perilaku yang buruk. Manusia yang sejati tidak membutuhkan ayat-ayat Al Qur’an, apalagi pasal-pasal hukum dalam Undang-undang hukum pidana, perdata atau apapun saja untuk memahami bahwa mencuri itu perbuatan yang tidak baik. Manusia yang sejati menemukan kesejatian hidup bahwa tugas utama hidup di dunia adalah berbuat baik kepada sesama makhluk ciptaan Tuhan.
 
Tapi memang Allah pun memiliki andil dalam menciptakan manusia yang dibekali sifat ketergesa-gesaan. Manusia memang memiliki naluri untuk melampiaskan nafsunya. Meskipun manusia dibekali akal pikiran dan juga hati nurani, namun seringkali manusia lalai, sehingga ia tidak mampu menguasai nafsu dalam dirinya. Ketergesa-gesaan manusia memang merupakan sifat yang sengaja dibekali oleh Allah. Khuliqo-l-insaana min ‘ajal.
 
Maka tidak mengherankan sebenarnya jika kemudian banyak manusia yang tersesat, toh Allah pun selalu membekali ayat Ihdina-s-shiroto-l-mustaqiim yang hampir selalu dibaca ketika sholat. Bekal yang utuh dan juga kontan, tidak hanya sematan kata Rahman dan Rahiim di ayat pembuka Al Fatihah, namun juga “jimat”, agar secara sadar maupun tidak sadar, kita mengucapkan ayat tersebut untuk memohon bimbingan kepada Allah agar senantiasa berada di jalan yang sesuai dengan yang dikehendaki-Nya.
 
Namun demikian, satu hal yang memang sulit untuk dilakukan oleh manusia adalah mengakui bahwa dirinya itu salah. Nabi Adam AS pernah berdoa; robbana dholamna anfusanaa wa in lam taghfirlanaa wa tarhamnaa lanaa kunnanaa mina-l-khosirin, juga doa Nabi Yunus AS suatu ketika, Laa ilaaha illa Anta subhanaka inni kuntu mina-dh-dholimiin. Sebuah pengakuan dari seorang Nabi, bahwa dirinya juga merupakan manusia biasa yang bisa berbuat salah. Pengakuan dosa, kesalahan manusia yang kemudian membuatnya sadar dan meminta maaf kepada Allah, maka secara otomatis juga dia mengakui bahwa dirinya telah bersikap kufur kepada Allah. Nilai inilah yang telah diajarkan Nabi Adam AS dan Nabi Yunus AS kepada kita melalui kedua doa tersebut. Persoalannya, apakah kita sebagai manusia memiliki kepekaan, kewaspadaan, kesadaran untuk mengakui bahwa diri kita ini juga berlaku dholim?
 
Jika kita mau belajar kepada kisah Nabi Adam AS dan Nabi Yunus AS itu, dengan mengakui bahwa dirinya itu salah, memposisikan diri sebagai manusia biasa, dengan segala kerendahan hati mengakui kesalahan di hadapan Allah. Meskipun sudah dilantik resmi menjadi Nabi, kesadaran untuk tetap rendah diri, mengakui kekurangan dalam diri tetap ada. Sementara kita, manusia hari ini, sudah tidak memiliki kepekaan itu.

Suatu kali, Rasulullah Saw menyampaikan sebuah pesan kepada para sahabat, bahwa dimasukkannya ke surga oleh Allah itu bukan karena ibadah yang kita lakukan, melainkan atas rahmat Allah, atas kemurahan hati Allah kepada kita. Sebuah pertanda bahwa kunci hubungan manusia dengan Allah adalah kemesraan. Bahkan ritual ibadah kita, doa kita, amal baik kita yang kita lakukan sehari-hari seharusnya berlandaskan atas dasar cinta kita kepada Allah. Maka dalam sebuah hadits qudsi pun Allah menyampaikan, Aku lapar kenapa engkau tidak memberiku makan? Aku sakit kenapa engkau tidak menjengukku?

Bicara tentang kesesatan, siapa yang tidak sesat diantara kita hari ini? Kita mengalami kesesatan dalam dunia kesehatan, kita mengalami kesesatan moral, kesesatan politik, kesesatan ekonomi, kesesatan demokrasi, kesesatan budaya, bahkan tidak sedikit dari kita yang juga mengalami kesesatan dalam beragama. Tidak salah jika ada ungkapan bahwa semakin banyak orang beragama tetapi tidak bertuhan. Karena konsep Bergama tidak sama dengan konsep bertuhan. Agama hari ini menjadi lembaga-lembaga institusional. Para ulama membatasi pola pikir ummatnya, sehingga mereka yang belajar agama pada ulama-ulama terkurung dalam pola pikir yang sudah diatur sebelumnya.

Orang saling mengkafirkan satu sama lain, orang saling merasa benar sendiri, orang saling memaksakan keyakinannya kepada orang lain, hampir tidak ada celah dan kesempatan bagi orang lain untuk menemukan kebenarannya. Sehingga tidak benar-benar tampak Rahmatan Lil-‘Alaamiin yang didamba-dambakan itu. Orang yang mengkafirkan orang lain, yang menyebut orang lain sesat sama sekali tidak berpikir bahwa tuduhannya itu menyakiti hati orang lain, baginya apa yang ia yakini adalah kebenaran yang mutlak, dan tidak ada ruang bagi orang lain untuk menyatakan pendapat.

Ketika orang berani mengkafirkan orang lain, apakah ia juga berani menyatakan bahwa dirinya juga kafir? Bukankah rumusannya sangat mudah, ketika kita taat kepada Allah pada saat itulah kita muslim-mu’min, namun ketika kita ingkar kepada Allah, apalagi meniadakan keberadaan Allah, disitulah kita kafir, kita kufur kepada Allah.

Kita mempelajari bersama di Maiyah bahwa yang paling tinggi kedudukannya adalah akhlaq, moral. Dengan pijakan moral, kita memiliki kewaspadaan untuk bersikap sopan santun, tidak menyakiti hati orang lain, tidak menghina martabat orang lain, tidak mengancam nyawa saudara kita sendiri. Ketika kita menyebut orang lain adalah orang kafir, urusannya bukan tentang kualitas keimanan seseorang, tetapi yang seharusnya menjadi landasan berpikir adalah tatanan moral sesama manusia. Toh pada hakikatnya kita sebagai manusia tidak akan mampu menakar muslim atau kafirnya seseorang secara kualitas, karena keimanan seseorang merupakan sebuah perjanjian yang sangat privat dalam diri setiap manusia.

Innama bu’istu liutammima makarima-l-akhlaq, sebuah penegasan dari Rasulullah Saw bahwa diutusnya beliau menjadi Rasul tidak lain dan bukan tugas utamanya adalah dalam rangka menyempurnakan akhlaq manusia. Apakah kemudian Rasulullah Saw tidak berdakwah tentang Islam? Justru melalui perilaku, perangai sehari-hari, bagaimana bersosialisasi dengan tetangga, relasi bisnis, hingga musuh sekalipun Rasulullah Saw memiliki konsep dalam berdiplomasi. Dari perangainya itulah Islam ditampakkan, sehingga tanpa ada teori yang dibukukan berjilid-jilid, bahkan ditafsirkan oleh banyak ulama, Rasulullah Saw menampilkan Islam melalui perilakunya sehari-hari.

Al Islamu ya’lu walaa yu’la alaihi; Islam itu tinggi dan tidak bisa ditinggii, atau bisa disebut tidak ada yang lebih tinggi dari Islam. Karena Islam itu ruhani bukan materi. Para ustadz, ulama, kyai, da’i atau siapapun saja yang membawa dakwah Islam, tidak seharusnya merasa bahwa dirinya adalah yang paling memahami, yang paling mengetahui tentang Islam. Karena, jika ada setitik saja sifat dalam dirinya untuk merasa paling tinggi dari yang lainnya, maka pada saat itu pula ada kesombongan dalam dirinya sehingga ia merasa lebih Islam dari yang lainnya.

Kenduri Cinta kali ini mengajak kita semua untuk merefleksikan ke dalam diri kita masing-masing. Menyadari bahwa kita adalah manusia yang masih jauh dari sempurna. Mengakui kesalahan itu memang berat, namun dengan mengakui kesalahan yang ada dalam diri kita, semoga itu menjadi sebuah pintu rahmat dari Allah, sehingga kelak kita mampu merasakan cipratan Rahman dan Rahiim-nya Allah, tentu saja melalui fasilitator utama; Rasulullah Saw.